Chereads / Jangan Rebut Suamiku / Chapter 24 - Part 23 - Jangan Rebut Suamiku

Chapter 24 - Part 23 - Jangan Rebut Suamiku

Rena baru saja terbangun dari tidurnya, ia langsung shock ketika mendapati lemari baju miliknya sudah berantakan tidak karuan. Rena bergegas melompat dari tempat tidurnya untuk mengecek keadaan di ruangan lain, ia tak kalah tercengangnya ketika mendapati seluruh isi rumahnya sudah berantakan.

Sial, siapa yang ngelakuin semua ini. Gerutu Rena kesal.

Rena langsung teringat akan kotak brangkas miliknya yang berisi uang dan barang berharga peninggalan suaminya. Dengan cepat Rena segera bergegas berlari menuju ruangan tempat ia menyimpan seluruh barang berharganya, Rena histeris ketika melihat brangkas miliknya sudah terbuka dan seluruh isinya hilang dalam sekejap.

Kurangajar, siapa yang ngambil semua uangku. Teriak Rena kesal.

Rena segera bergegas kembali ke kamarnya untuk menelepon Rio, sudah satu minggu Rio tidak memberinya kabar dan Rio juga tidak kembali ke rumah Rena.

Angkat Rio, please... Gumamnya cemas.

Rena kesal karena tidak ada jawaban dari Rio, ia memutuskan untuk menemui Rio siang ini di kantor. Yang masih membuatnya bingung, bagaimana bisa ia tidak menyadari jika di dalam rumahnya telah terjadi perampokan. Rena mencoba mengingat kembali kejadian tadi malam, karena sepertinya semua masih aman-aman saja ketika ia kembali Ke rumah nya walau dalam keadaan mabuk.

Bagaimana bisa harta yang sudah susah payah aku kumpulkan harus hilang begitu saja dalam satu malam. Gerutu Rena kesal.

Setelah membersihkan diri Rena segera bergegas menuju kantor tempat Rio bekerja, namun ia tak mendapati Rio berada di ruangannya. Berdasarkan informasi yang Rena dapatkan dari rekan kerjanya, Rio sudah tiga hari tidak masuk kantor dengan alasan yang kurang jelas.

Rena pun bergegas pergi untuk mencari Rio, namun ia teringat dengan gaun pernikahan yang harus ia ambil hari ini di boutique langganannya. Rena pun memutuskan untuk pergi ke boutique terlebih dahulu sebelum ia menyusul Rio di kostan nya.

Setelah berkendara kurang lebih tiga puluh lima menit akhirnya Rena tiba di boutique tersebut, ia segera bergegas menuju bagian informasi untuk menanyakan apakah gaun pesanannya sudah jadi atau belum.

"Permisi mbak, saya mau tanya apakah pesanan gaun pernikahan saya sudah jadi? ini nomor invoicenya". Ujar Rena kepada petugas informasi.

"Tunggu sebentar ya mbak, saya cek dulu". Sahut sang petugas.

Setelah menunggu kurang lebih tiga puluh detik, akhirnya sang petugas informasi memberikan penjelasan bahwa gaun pesanan milik Rena telah di minati oleh pembeli lain. Bahkan pembeli tersebut mampu membayar dua kali lipat dari harga jual, Rena yang merasa tidak terima langsung marah dan menghampiri pembeli tersebut yang masih berada di ruang tunggu VVIP.

"Kamu pikir kamu istri presiden, apa? main bayar dua kali lipat gaun pesanan saya, kalau kamu mau gaun bagus ya pesan dulu dong jangan maunya terima instan kaya gini". Seru Rena.

"Apaan sih ini cewe dateng-dateng marah-marah gak jelas". Gerutu sang wanita.

"Lo yang gak jelas, main rampas pesenan orang aja". Ujar Rena kesal dan langsung menarik rambut wanita tersebut dengan kedua tangannya.

Tak mau kalah, wanita tersebut juga membalas menarik rambut Rena dengan kedua tangannya dan perkelahian tidak bisa terhindarkan. Sampai pada akhirnya datang seorang pria melerai mereka berdua, pria tersebut yang tak lain adalah calon suami dari si wanita langsung mendorong Rena hingga jatuh tersungkur.

"Sayang, kamu gak apa-apa?". Ujar sang pria.

"Iya gak apa-apa sayang, cuma kepala aku jadi sedikit sakit". Gumamnya.

Sementara Rena yang meringis kesakitan merasa kesal dengan pria yang kini sedang ada di hadapannya.

Kurangajar, berani-beraninya dia dorong aku. Gerutu Rena kesal.

Tak lama kemudian Rena di buat tercengang dengan pemandangan yang ada di hadapannya, bagaimana bisa Rio berada di hadapannya bersama wanita lain.

"Rio, kurangajar kamu ya berani-beraninya kamu dorong aku dan juga selingkuh di belakang aku. Siapa perempuan itu Rio? kenapa kamu gak pernah pulang ke rumah sudah satu minggu ini, jawab aku Rio". Teriak Rena.

"Rio, dia siapa? apa dia istri kamu?". Tanya Anya.

"Dia calon suami gue dan kita akan menikah bulan depan, terus sekarang lo mau ngerebut dia dari gue? dasar perempuan murahan". Seru Rena.

"Hati-hati ya mbak kalau bicara, gue gak ngerebut Rio tapi kalau Rio maunya sama gue gimana ? mending lo tanya sendiri aja deh, orang selama ini juga lo gak pernah di anggep kok sama Rio. Rio udah pernah ceritain semuanya sama gue". Gumam Anya sinis.

Mendengar ucapan Anya membuat Rena naik pitam dan ingin sekali menampar Rio. "Jawab aku Rio, apa benar yang semua perempuan ini katakan? jadi selama ini kamu hanya mempermainkan aku, Rio? kamu hanya jadikan aku alat untuk mengambil semua harta Tommy? Kurangajar kamu Rio, beraninya kamu berbuat seperti itu sama aku". Teriak Rena.

"Maafkan aku Rena, tapi aku bener-bener gak cinta sama kamu. Yang selalu ada di hati aku sejak dulu ya cuma Anya, aku sama sekali gak cinta sama kamu dan bagaimana bisa aku hidup satu atap dengan perempuan yang gak pernah aku cinta". Ujar Rio.

"Tapi Rio, aku ini sedang mengandung anak kamu". Tegas Rena.

"Aku yakin kalau anak itu bukan anak aku, bisa aja kan itu anak suami kamu".

"Apa?! Jadi perempuan itu hamil, Rio?".

"Anya, aku bisa jelasin sama kamu. Dia itu dulunya punya suami waktu ngejar-ngejar aku".

"Apa?!". Rena terbelalak tak percaya mendengar ucapan Rio.

Karena sudah terlanjur kesal, Anya segera bergegas meninggalkan boutique begitu saja.

Anya.. Anya tunggu Anya.. Teriak Rio.

"Semua ini gara-gara kamu Rena, awas ya kamu, aku akan bikin perhitungan".

"Kurangajar kamu Rio, kalau gitu kembalikan semua uang hasil penjualan apartement". Seru Rena.

"Gak bisa Rena, uang itu milik aku". Gumam Rio dan bergegas mengejar Anya, sementara Rena mencoba menghalangi langkah Rio namun tenanganya tidak sebanding dengan tenaga Rio, Rena pun kembali terjatuh dan hanya bisa berteriak memanggil nama Rio.

Kurangajar kamu, Rio. Aku benar-benar tidak rela di perlakukan seperti ini. Gerutu Rena kesal.

Rena langsung memutuskan untuk pergi dari boutique tersebut, perasaannya sangat hancur. Bagaimana bisa orang yang selama ini ia banggakan mampu mematahkan hatinya dalam hitungan detik. Rena langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia tidak tau kemana arah tujuannya untuk pergi.

Sementara itu di lain tempat, Rio yang masih berusaha membujuk Anya, terus berusaha agar Anya percaya dengannya.

"Anya, please dengerin penjelasan aku". Ujar Rio.

"Penjelasan apalagi? Semuanya udah jelas Rio. Kemarin kamu bilang kan Rena itu mantan pacar kamu, kenapa sekarang dia ngaku sebagai calon istri kamu?".

"Ya makanya kasih aku waktu untuk jelasin semuanya sama kamu".

"Oke, aku akan dengerin semua penjelasan kamu".

"Syukurlah, terima kasih Anya".

Rio pun segera mengekori Anya di belakangnya, sementara Anya segera merebahkan tubuhnya di atas Sofa. Tanpa basa-basi Rio segera menjelaskan semuanya pada Anya, jika semua yang terjadi hanyalah tipu daya semata. Rio sengaja menjadikan Rena sebagai bonekanya untuk menyingkirkan Tommy dari jabatan di perusahaan tempatnya bekerja.

"Cukup Rio, tapi sekarang dia sedang hamil anak kamu".

"Anya please, suami Rena belum lama meninggal. Bisa aja kan dia hamil sama suaminya atau dia tidur dengan laki-laki lain selain aku".

Anya bingung, ia tidak tau harus percaya Rio atau tidak. "Apa kamu bisa jamin itu semua?"

"Anya please percaya sama aku, aku itu cintanya cuma sama kamu".

"Sungguh?". Tanya Anya serius.

"Harus berapa kali aku ngomong sama kamu? Aku beneran cuma cinta sama kamu".

"Oke, aku percaya".

"Makasih ya sayang".

❤ ❤ ❤

Amar baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan segera bergegas untuk pulang. Belum jauh ia melangkahkan kaki dari ruangannya, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil namanya.

Dokter Amar.

Amar segera membalikkan tubuhnya, dilihatnya seorang wanita tengah berjalan menghampirinya.

"Dokter Amar, gimana kabarnya?".

"Alhamdulillah, saya baik. Ibu Rena ya kalau tidak salah?". Tanya Amar memastikan.

"Iya dokter, panggil aja saya Rena".

"Saya turut berduka ya bu, atas meninggalnya suami ibu. Semoga Pak Tommy sekarang sudah bahagia ya bu".

"Terima kasih dokter, mungkin memang sudah takdir suami saya, harus pergi secepat ini. Dokter Amar mau pulang?".

"Iya bu, eh Rena maksud saya. Kamu sendiri ngapain disini?".

"Kebetulan saya abis cek kesehatan aja, oh ya dokter bawa mobil? Boleh gak kalau saya ikut sama dokter? Kebetulan saya gak bawa mobil". Gumam Rena memohon.

"Emm.. Boleh mari silahkan".

"Asyik, makasih ya dok".

Amar tak menjawab dan langsung bergegas menuju area parkir, Rena pun senang karena bisa pergi berdua dengan dokter tampan idamannya.

"Silahkan Ren". Ujar Amar membukakan pintu mobil untuk Rena.

"Duh, dokter sweet banget sih. Terima kasih ya dok". Sahut Rena yang langsung bergegas masuk ke dalam mobil.

Duh.. Bagus banget sih mobilnya Dokter Amar, ini mah mobil mahal. Kalau bisa beli mobil semewah ini pasti rekeningnya Dokter Amar banyak duitnya nih. Gumam Rena dalam hati.

"Ren, kamu melamun?".

"Hah, apa dok?".

Amar tersenyum. "Kamu kenapa kok melamun?".

"Ah, gak apa-apa dok, kadang saya suka kepikiran sama Mas Tommy. Padahal saya baru aja ngerasain berumah tangga, eh malah udah di tinggal pergi selamanya".

"Kamu yang sabar ya, Ren. Mulai sekarang kamu harus ngelanjutin kehidupan kamu, kamu gak boleh sedih terus kaya gini".

"Kadang saya kesepian dok, gak punya temen ngobrol. Kapan-kapan dokter mau gak nemenin saya di rumah?".

"Emm.. iya boleh, tapi biar gak menimbulkan fitnah mending ngobrolnya di luar rumah aja. Kamu bisa ke rumah sakit kalau lagi butuh temen ngobrol".

"Oke dok, kapan-kapan saya mampir ya ke rumah sakit".

Amar tak menjawab dan hanya melempar senyum pada Rena, sementara Rena merasa sangat tersipu mendapat senyuman dari Amar.

Ya ampun, nih dokter gemesin banget sih. Gumam Rena dalam hati.

Sementara itu di lain tempat, Sabila yang baru saja selesai menyiapkan. makan malam sudah tidak sabar menunggu kedatangan suaminya. Sabila memutuskan untuk menunggu di ruang tamu dan tak lama kemudian, terdengar suara mobil Amar terparkir di garasi. Sabila segera menuju garasi.

"Assalamualaikum".

"Waalaikumsalam, mas". Seru Sabila yang langsung mencium punggung tangan suaminya.

"Wah, istri aku udah cantik aja sih. Oh ya kamu masak apa sayang? Aku udah laper banget nih".

"Pokoknya aku masakin makanan kesukaan kamu, tapi sebelum makan kamu mandi dulu ya terus shalat isya".

"Kebetulan aku udah shalat isya sayang, tadi pas di jalan udah adzan isya jadi sekalian mampir sholat dulu".

"Alhamdulillah, yaudah kamu mandi ya sekarang".

"Siap bos". Ujar Amar yang langsung menyerahkan tas kerjanya pada sang istri. Sementara Sabila langsung membuatkan minuman hangat untuk suaminya.

Setelah Amar selesai mandi, ia segera menuju meja makan. Sang istri sudah setia menunggunya di meja makan.

"Sini sayang, ini aku udah buatkan cokelat panas kesukaan kamu".

"Wah, terima kasih sayang". Ujar Amar yang langsung menyeruput cokelat panasnya, sementara Sabila langsung membuka tudung saji.

"Taraaaa, ikan mas kuah kuning pedas ala chef Sabila siap untuk di santap". Seru Sabila.

Amar pun tersenyum melihat aksi istrinya tersebut bak sedang melakukan aksi akrobat.

"Terima kasih ya sayang, aku lagi cape dan juga laper pas balik kerumah udah ada yang nyiapin makanan, rasanya tuh seneng banget".

"Mas, ini sudah menjadi kewajiban aku sebagai seorang istri".

"Tadi aku ketemu Rena di rumah sakit".

Sabila terbelalak. "Apa? Ngapain dia di rumah sakit?".

"Bilangnya sih abis check up, terus dia minta numpang mobil aku sampe ke Tebet".

"Apa? Rena ikut bareng kamu mas? aduh mas, kamu ngapain sih bolehin dia bareng sama kamu". Protes Sabila.

Amar tertawa melihat tingkah istrinya. "Kamu kenapa malah ketawa?".

"Gimana aku gak ketawa, lihat ekspresi wajah kamu kaya khawatir banget begitu. Sayang dengerin aku ya, aku tau kalian berdua punya masa lalu yang kurang mengenakkan. Tapi kamu jangan khawatirnya, Insha Allah aku gak akan macem-macem sama Rena. Aku tau batesan kok sayang, lagian kan cantikkan istri aku dari pada Rena. Mantan suami kamu aja dulu yang gak bisa jaga pandangan".

Sabila mengernyitkan dahinya. "Kok jadi bahasnya kesitu?".

"Bener dong, kalau mantan suami kamu bisa jaga pandangan, mau secantik apapun wanita di luar sana gak bakalan dia tergoda".

"Udah ya, gak baik ngomongin orang yang udah gak ada".

"Oh iya ya, astagfirullahaladzim".

"Yaudah yuk kita makan sekarang". Sabila segera meraih piring, lalu menyendokkan nasi untuk Amar. Namun pikiran Sabila masih terus menerka-nerka soal Rena, karena bagaimana pun ia harus waspada agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.

Lindungi rumah tangga ku, ya Allah. Gumam Sabila dalam hati.

❤ ❤ ❤

Keesokan Harinya

Diana

Hari ini aku di pindah tugaskan di rumah sakit terbesar di Jakarta, akhirnya aku bisa kembali lagi ke kota ini setelah tiga tahun bertugas di puskesmas desa terpencil di daerah Jawa Tengah. Dan siang ini aku memutuskan untuk melihat suasana ruang kerja ku di tempat yang baru, sesampainya disana aku segera menyusup lorong rumah sakit dan menaiki lift yang akan membawaku ke lantai dua puluh lima.

Oh ya perkenalkan nama ku Diana Yoshita, aku bekerja sebagai dokter spesialis telinga,hidung dan tenggorokan atau biasa di singkat dengan THT. Aku sangat mencintai pekerjaanku, jadi dokter adalah cita-citaku sejak kecil karena aku ingin mengabdi untuk masyarakat dan juga orang banyak.

Belum sempat aku melangkahkan kaki untuk masuk kedalam ruangan ku, tiba-tiba pandanganku tertuju pada sosok seseorang yang berada tidak jauh dari tempat ku berdiri. Aku memicingkan mata sekali lagi dan benar sepertinya aku mengenali orang itu, aku pun langsung bergegas menghampiri orang tersebut sambil berharap kalau aku tidak akan salah orang.

"Amar". Panggilku.

"Iya, siapa ya? Apa kita pernah kenal sebelumnya?".

"Kamu lupa ya, ini aku Diana. Diana Yoshita teman koas kamu waktu di New York, inget gak?".

"Diana, Diana, oh iya aku inget kamu yang waktu itu nangiskan waktu kita mau praktek di ruang mayat". Gumam Amar terkikik dan langsung menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

Tanpa pikir panjang aku langsung meraih tangan Amar, aku bahagia karena aku bisa bertemu lagi dengan dia di rumah sakit yang sama. Apalagi kita sekarang bertugas di tempat yang sama, maka dari itu kita berdua bisa sering-sering untuk ketemu.

"Kamu, apa kabar? udah gak takut lagi kan sama mayat?". Amar terkekeh.

"Apaan sih kamu, udah deh gak usah gitu". Protesku.

"Jadi kamu sekarang udah tugas di Jakarta lagi? kapan udah bisa mulai praktek?".

Aku tersenyum. "Iya, Alhamdulillah aku sudah ditugaskan kembali di Jakarta, Insya Allah mulai besok aku sudah bisa mulai untuk praktek".

"Wah selamat ya, kalau gitu selamat bergabung bersama kami".

Aku tersenyum melihat tingkah Amar yang masih sama seperti pertama kali kita bertemu, malahan sekarang ia jadi makin lebih tampan. Perempuan mana coba yang gak terpesona sama parasnya yang benar-benar rupawan.

"Amar, aku boleh minta nomor telepon kamu?". Ujarku gugup.

Amar pun langsung meraih dompetnya dari dalam saku celananya lalu meraih selembar kartu nama yang tersimpan rapi di dalam dompetnya dan menyerahkan kartu nama tersebut padaku.

"Ini kartu nama ku, kalau gitu aku permisi dulu ya Diana". Ujar Amar terburu-buru.

"Oh iya terima kasih, Amar". Sahut ku yang masih memperhatikkan punggungnya yang lama kelamaan semakin jauh menghilang.

Aku pun segera masuk ke dalam ruang kerja ku untuk sedikit berberes, aku sangat bersyukur karena dalam masa penantianku akhirnya aku bisa bertemu kembali dengan orang yang sangat berarti dalam hidupku. Aku pun memutuskan untuk kembali kerumah setelah semuanya selesai, aku tak lagi melihat Amar disekitar sini. Bahkan di pintu ruang prakteknya sudah berganti nama dengan nama dokter lain, untuk itu aku bergegas untuk kembali kerumah dan sesampainya di rumah aku meraih kartu nama Amar yang berada di dompetku.

Tanpa pikir panjang aku langsung menekan nomor Amar dan nada sambung di teleponnya pun berbunyi dan entah kenapa perasaan ku menjadi semakin gugup. Aku seperti seorang remaja SMA yang sedang di mabuk cinta, tak lama kemudian terdengar suara seseorang menjawab telepon tersebut.

"Hallo, Amar. Save nomor aku ya, ini aku Diana". Ujarku antusias.

Tak lama kemudian sambungan telepon terputus begitu saja, lalu aku mencoba untuk menelepon sekali lagi namun niat itu aku urungkan dan lebih baik aku mengirimi pesan untukknya melalui whatsapp.

"Kok di baca doang ya, gak di bales. Apa dia masih sibuk?". Gumam ku bertanya-tanya.

Aku memutuskan untuk meletakkan kembali ponsel ku di atas meja, lalu aku ingin membuka kembali album foto kenangan sewaktu aku dan Amar masih menjadi mahasiswa kedokteran di New York. Amar adalah satu-satunya teman sesama dari Indonesia sewaktu kita masih kuliah.

Perkenalan kita untuk pertama kali adalah di ruang mayat, waktu kita sama-sama sedang menjalani koas. Saat itu aku sangat takut jika harus praktek di ruang mayat, bahkan terkadang aku sampai menangis karena saking takutnya. Dan pada saat itu Amar dapat meyakinkan ku jika semuanya akan baik-baik saja, bahkan Amar berjanji akan selalu di sampingku agar aku tidak merasa takut lagi.

Yang paling melekat dalam pikiran ku tentang Amar, dia sangat baik kepada semua teman-temannya termasuk padaku. Amar yang selalu ada sewaktu aku sedang dalam kesulitan, ia selalu mengajari ku ketika ada pelajaran yang sulit ku mengerti. Dan tak jarang ia meminjamkan uang ketika orang tua ku belum sempat mengirim uang. Tiba-tiba lamunanku buyar, ketika mama datang menghampiri ku.

"Hayoo.. Pasti ngelamunin Amar lagi kan".

"Mama, bikin kaget aja deh. Ma, tau nggak hari ini aku ketemu siapa di rumah sakit?".

Mama langsung menarik kursi dan menempatkannya tepat di hadapanku. "Memangnya siapa?". Tanya mama penasaran.

"Aku ketemu Amar, ma". Ujar ku girang.

"Ah, yang bener kamu?".

"Iya ma, beneran. Bahkan aku udah dapet nomor teleponnya Amar".

"Alhamdulillah, akhirnya anak mama menemukan kembali separuh jiwanya. Ini tuh namanya jodoh gak kemana sayang".

"Iya ma bener, aku seneng banget setelah bertahu-tahun berpisah akhirnya Allah kasih aku kesempatan untuk ketemu lagi sama Amar".

"Yaudah pokoknya kamu harus perjuangkan ya".

"Siap ma, aku gak mau kehilang Amar untuk yang kedua kalinya".

"Yaudah, mama tunggu di meja makan ya".

"Iya ma, sebentar lagi aku nyusul".

Mama langsung keluar dari dalam kamar ku, sementara aku masih ingin berlama-lama dengan album foto kenangan ku bersama Amar.

Amar, aku akan nyatain semuanya sama kamu.

❤ ❤ ❤

Sabila

Sudah banyak berbagai macam kepahitan yang aku lalui selama ini, sampai pada akhirnya aku bisa berada di posisi saat ini. Mempunyai suami yang lemah lembut, perhatian, dan juga humoris seperti Amar.

Tuhan terima kasih karena engkau telah memberikan aku kesempatan kedua untuk menjalani kehidupan yang lebih baik lagi dan kali ini aku tidak akan membiarkan wanita lain masuk kedalam istana indah kita dan merebut kamu dari pelukanku, tidak akan pernah dan tidak akan aku biarkan.

Seketika lamunanku buyar ketika aku mendengar suara klakson mobil suamiku yang sudah kembali ke rumah setelah seharian bekerja. Aku segera bergegas keluar rumah dan menyambut suamiku dengan penuh antusias, ku raih punggung tangan suamiku dan menciumnya lalu ku raih tas kerja miliknya agar aku yang membawanya. Kebahagiaan ini akan selalu aku jaga dengan baik sampai akhir hayat hidupku, aku tidak ingin rumah tanggaku kembali rusak karena hadirnya orang ketiga.

"Mas, coba tebak aku masak apa?". Ujar Sabila manja.

"Tunggu, aku tau apa yang kamu masak". Gumam Amar.

"Apa?".

"Ikan gurame asam maniskan". Sahut Amar sumringah.

"Ih.. kok kamu bisa tau sih". Aku menggerutu sambil cemberut.

Amar pun hanya terkikik dan langsung bergegas menuju kamar mandi, tak lama kemudian ponsel Amar berdering. Aku pun segera meraih ponsel tersebut di dalam tas milik suamiku, ku lihat di layar ponsel sudah tertera nomor baru menelepon suamiku.

Aku mengernyitkan dahi tanpa pikir panjang aku segera menjawab telepon tersebut dan bagaikan tersambar petir di siang bolong, hatiku menjadi remuk redam ketika mendengar suara seorang wanita dari sebrang sambungan telepon.

"Halo, Amar. Save nomor aku ya. Ini aku Diana". Ujar seseorang dari sebrang  sambungan teleponnya.

Aku pun segera menutup panggilan telepon tersebut tanpa sepatah katapun, aku tidak boleh lemah menghadapi situasi seperti ini dan aku juga harus bisa menjaga emosiku agar tidak terjadi cekcok antara aku dan juga Mas Amar. Aku mencoba untuk menghela nafas panjang, ku lantukan istigfar berkali-kali di dalam hati, agar aku bisa mengendalikan emosiku.

15 menit kemudian, suamiku yang baru saja selesai mandi keluar dari dalam kamar mandi. Aroma wangi sabun menyeruak dari tubuhnya, rambutnya yang masih basah mempertegas wajahnya yang lelah setelah seharian bekerja terlihat kembali segar. Sementara aku masih mematung di pinggir ranjang tidurku, sampai pada akhirnya Mas Amar membuyarkan lamunanku.

"Sayang, kamu kenapa?". Tanya Mas Amar.

"Aku gak apa-apa mas". Sahutku datar dan tak lama kemudian suara adzan maghrib berkumandang, aku pun segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Sementara Mas Amar segera bergegas mengambil pakaiannya dari dalam lemari.