Satu minggu kemudian.
Hari ini tepat satu minggu Sabila merawat Tommy, keadaan Tommy pun berangsur membaik. Dan hari ini adalah jadwal Tommy untuk terapi bersama dokter pribadinya. Sabila yang baru saja selesai memasak, segera bergegas mengantar masakan buatannya untuk Tommy.
Di letakkan nya nampan yang berisi semangkuk bubur dan juga segelas air di atas meja. Kemudian Sabila mencoba untuk membangunkan Tommy yang kembali tertidur, tak lama kemudian Tommy membuka matanya dan di lihatnya senyum Sabila yang tergurat manis di pipinya.
"Mas, makan dulu yuk. Aku udah buatin bubur buat kamu, hari ini aku bikin buburnya pakai suwiran ayam sama brokoli". Ujar Sabila.
"Terimakasih Sabila". Sahut Tommy terbata-bata.
Sabila langsung menyuapkan sesendok bubur kepada Tommy, sementara Tommy sangat bersyukur masih ada mantan istrinya yang peduli dengan dirinya. Tak lama kemudian Rahman datang menghampiri mereka berdua dan memberi tahu jika dokter yang menangani Tommy akan datang lima menit lagi.
"Gimana Tom, enak gak masakannya Sabila?". Gumam Rahman.
Tommy pun menganggukkan kepalanya ke arah Rahman, sementara Sabila tersenyum melihat jawaban Tommy.
"Apa dokternya jadi datang mas?". Tanya Sabila.
"Iya lima menit lagi katanya sampai di apartemen". Sahut Rahman.
Tak lama kemudian terdengar suara bel berbunyi, Rahman pun segera bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Sabila terbelalak ketika melihat seseorang yang kini ada di hadapannya.
"Amar". Gumam Sabila.
"Sabil, kamu disini juga?". Tanya Amar.
"Iya, aku sudah satu minggu di sini". Sahut Sabila.
Tak lama kemudian Tommy tersedak makanan yang sedang di kunyahnya dan hal itu langsung membuat Sabila cepat-cepat meraih segelas air dan memberikannya pada Tommy secara perlahan. Dan pemandangan tersebut membuat Amar sedikit cemburu, jauh di lubuk hatinya langsung bertanya-tanya apakah Sabila masih memiliki perasaan untuk mantan suaminya.
Apakah kamu masih cinta dengan mantan suamimu yang dulu pernah mencampakkanmu Sabil, jika benar begitu hilanglah sudah harapanku. Gumam Amar dalam hati.
Tak lama kemudian ucapan Sabila membuat lamunan Amar buyar, dirinya pun menjadi sedikit salah tingkah.
"Amar, silahkan jika kamu mau memeriksa Mas Tommy". Ujar Sabila, namun tak ada respon dari Amar. "Amar, apa kamu mendengar aku?". Sambung Sabila sambil menyentuh bahu kanan Amar.
"Oh iya Sabil, kenapa?". Sahut Amar sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
"Silahkan kalau kamu mau memeriksa Mas Tommy". Gumam Sabila.
"Oh iya, terima kasih Sabil". Ujar Amar dan langsung mulai memeriksa Tommy.
Setelah selesai memeriksa, Amar segera melakukan terapi pada Tommy. Sesekali Sabila juga ikut membantu Tommy dalam menjalankan terapi. Hal tersebut benar-benar mengusik Amar dan sempat membuatnya tidak fokus, namun ia harus profesional menjalankan tugasnya.
"Saya rasa cukup untuk terapi hari ini, Pak Tommy harus membiasakan belajar untuk mengangkat tangan secara perlahan agar otot-otot di tangan tidak terlalu kaku". Ujar Amar.
"Tuh mas, kamu dengar kan apa yang dokter bilang. Kamu harus terus belajar ya mas, karena aku yakin kamu juga bisa sembuh". Gumam Sabila.
Tommy pun menganggukkan kepalanya, sementara Amar langsung bergegas pamit untuk pulang.
"Baiklah, kalau begitu saya pamit pulang dulu ya Sabila". Gumam Amar.
"Sebelum pulang, makan siang bareng dulu ya Amar. Kebetulan aku tadi sudah masak". Sahut Sabila.
"Iya dok, Sabila benar. Kita makan siang bareng dulu". Ujar Rahman.
Amar pun menerima ajakan Sabila dan juga Rahman, mereka bertiga langsung bergegas menuju ruang makan. Sementara Sabila langsung menyiapkan peralatan makan di meja makan dan membuka tudung saji.
"Wah.. Masaknya banyak banget, kelihatannya enak-enak". Gumam Amar.
"Masakan Sabila memang enak, dokter. Kalah yang di restoran-restoran". Sahut Rahman.
"Ah, Mas Rahman suka berlebihan deh". Ujar Sabila tersipu malu.
Mereka bertiga pun tertawa, sementara Amar masih tertegun memikirkan Sabila. Amar sangat takut jika Sabila memiliki perasaan lagi kepada suaminya. Setelah jamuan makan siang selesai, Amar pun pamit untuk pulang.
Sementara Sabila mengantar Amar hingga ke lobby apartemen, kali ini Amar tidak ingin kalah start untuk yang kedua kalinya. Ia berusaha untuk menyatakan semua perasaannya pada Sabila.
"Sabil, kamu sangat telaten mengurus Tommy. Apa kamu masih menyimpan cinta untuknya?". Tanya Amar lirih.
Sabila menghentikan langkahnya, lalu menatap Amar serius. "Apa aku terlihat seperti itu?".
"Aku tidak tau, tapi melihat caramu seperti itu membuat aku berpikir kalau kamu masih menyimpan cinta untuk Tommy".
Sabila menghela nafas. "Aku tidak tau Amar, yang aku rasakan saat ini hanyalah perasaan iba untuk Mas Tommy. Aku hanya kasihan melihat ia berjuang sendiri melawan penyakitnya, sementara istrinya pergi bersama pacarnya dan membawa seluruh harta yang ia punya. Setidaknya itu lebih tragis dari apa yang aku rasakan dulu".
Amar menghela nafas lega, ia sangat bersyukur karena apa yang ia takutkan tidak akan terjadi. "Sabil, sampai detik ini aku masih menyimpan rasa yang sama untuk kamu. Bahkan semakin aku mencoba untuk melupakan perasaan ku padamu, maka semakin besar pula cinta yang aku punya".
Sabila terpaku mendengar ucapan Amar, dirinya bingung harus berkata apa. "Amar terima kasih, aku hargai semua pengorbananmu. Tapi maaf untuk saat ini aku masih ingin sendiri, aku masih belum bisa membuka hatiku karena trauma di masa lalu".
"Aku akan nunggu kamu sampai kapanpun". Tegas Amar.
Sementara Sabila tersipu malu dan langsung berjalan meninggalkan Amar di belakangnya.
♡♡♡
Rena baru saja tiba di kantor tempat Rio bekerja, ia langsung turun dari mobil dan berjalan tergesa-gesa untuk menemui Rio. Sesampainya Rena di depan ruangan Rio, Rena memutuskan untuk segera masuk ke dalam dan ia langsung tercengang melihat pemandangan yang ada di depannya.
Seorang perempuan berambut cokelat terang sedang asik bercanda dengan Rio. Perempuan tersebut duduk di atas meja sambil menghadapkan tubuhnya ke arah Rio. Sontak kedatangan Rena membuat mereka kaget, sementara perempuan tersebut langsung bergegas pergi dari ruangan Rio.
"Rena, apa-apaan kamu ini? Bisa gak kalau masuk ketuk pintu dulu?". Bentak Rio.
"Jadi gini mas kerjaan kamu di kantor? Aku sibuk telepon kamu dari kemarin, tapi ternyata kamu malah enak-enakan sama perempuan lain". Gerutu Rena.
"Jaga omongan kamu, Rena. Kamu itu gak tau apa-apa, aku ini sibuk meeting sama klien. Gak kaya kamu yang kerjanya cuma bisa ngabisin duit doang". Gumam Rio.
"Maksud kamu apa ngomong kaya begitu sama aku?". Tanya Rena ketus.
"Udahlah mendingan sekarang kamu keluar dari ruangan aku, aku lagi gak mau berdebat sama kamu". Usir Rio.
Dengan cepat Rio langsung menyeret Rena keluar dari ruangannya, namun Rena bersikukuh menahan diri untuk tidak keluar dari ruangan Rio. Tapi sayang, tenaga yang ia miliki tidak cukup kuat untuk menahan genggaman Rio yang lebih kuat darinya.
Rena pun terjatuh di depan pintu, sementara Rio langsung membanting pintu dengan keras. Rena yang kesal langsung bergegas pergi dan sesampainya di lobby utama Rena kembali bertemu dengan perempuan yang menjadi sekertarisnya Rio. Tanpa buang-buang waktu Rena segera mendekati perempuan tersebut dan memintanya untuk menjauhi Rio.
"Hey, saya peringati ya kamu. Jangan coba-coba untuk mendekati Mas Rio, kalau sekali lagi saya lihat kamu dengan Mas Rio. Kamu tanggung sendiri akibatnya". Ancam Rena.
Namun wanita tersebut hanya menatap Rena sinis lalu bergegas pergi dari hadapannya. Dan hal itu justru membuat Rena kesal dan ingin sekali mencakar wajah wanita tersebut.
Ihhh.. Nyebelin banget sih tuh perempuan. Gerutu Rena.
Sementara itu di lain tempat, suara bell berbunyi tak beraturan dan juga ketukan pintu yang terdengar sangat keras terdengar sampai ke dalam kamar, Sabila yang baru saja selesai menunaikan shalat ashar segera bergegas keluar kamar. Disana sudah ada dua orang bodyguard berbadan besar yang sedang beradu mulut dengan Rahman. Sabila segera menghampiri mereka untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
"Mas Rahman, ada apa?". Tanya Sabila panik.
"Rena sudah menjual apartemen ini tanpa sepengetahuan Tommy". Ujar Rahman.
"Astagfirullahaladzim, lalu bagaimana Mas Tommy? Jangan sampai Mas Tommy tau mas, aku takut kalau kondisinya jadi drop". Gumam Sabila.
Sabila segera bergegas menuju kamar Tommy untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. Tommy yang menyadari keberadaan Sabila langsung mengisyaratkan agar Sabila menghampirinya.
"Iya mas". Gumam Sabila lirih.
"Siapa yang datang Sabil?". Tanya Tommy terbata-bata.
Namun Sabila tak kuasa untuk mengatakannya karena takut hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada Tommy.
"Sabil kenapa kamu diam saja? Jawab aku Sabil". Seru Tommy.
Sabila menghela nafas. "Orang itu meminta kita untuk pindah dari sini, karena Rena telah menjual apartemen kamu pada mereka".
Tommy menghela nafas. "Sudah aku duga ini akan terjadi".
Tak lama kemudian Rahman datang menghampiri Tommy dan Sabila, dengan berat hati Rahman menyampaikan hal ini kepada sang adik.
"Dengan berat hati aku harus mengatakan ini, kita harus pindah sore ini juga. Karena pemiliknya sekarang tidak memberikan waktu untuk kita pindah besok atau lusa". Ujar Rahman.
Tega sekali kamu sama aku Rena. Gumam Tommy sambil menangis terisak.
Sabila tidak kuasa menahan air matanya, ia mencoba untuk menenangkan Tommy agar tidak larut dalam kesedihan.
"Yang sabar mas, ikhlaskan semuanya. Ambil hikmahnya dari semua kejadian ini". Ujar Sabila.
Tommy hanya menganggukkan kepalanya, sementara Sabila dan Rahman bergegas untuk segera berkemas.
"Mas, kita mau pindah kemana?". Tanya Sabila.
"Kita pindah ke rumah mama papa, disana kan udaranya segar. Biar Tommy kan bisa berjemur setiap pagi".
"Gimana kalau pindahnya ke runah aku sama Mas Tommy aja, mas? Siapa tau ia bisa merasa nyaman disana".
"Bukankah rumah itu sudah ada penyewanya?".
"Kebetulan penyewanya sudah tidak memperpanjang lagi masa sewanya".
"Oh begitu, yasudah kalau itu keputusanmu. Aku akan ikut apa yang menurutmu baik".
"Terima kasih, mas".
Setelah selesai berkemas mereka segera membawa Tommy menuju mobil, Rahman segera melajukan mobilnya menuju rumah Sabila. Sesampainya disana Tommy tidak bisa lagi menahan air matanya, Sabila yang melihat hal itu langsung mencoba untuk menenangkan Tommy.
"Mas, kamu kenapa? Kok nangis?". Tanya Sabila.
"Aku gak apa-apa, aku cuma sedih. Kenapa kamu masih mau nampung aku lagi di rumah ini?".
"Mas, ini kan rumah kamu juga".
Air mata Tommy makin mengalir deras. "Sabil, maafkan aku. Karena aku telah banyak berbuat jahat sama kamu. Sabil, tiga bulan yang lalu aku telah mengambil uang sewa dari yang menyewa rumah ini tanpa sepengetahuan kamu. Aku terpaksa melakukannya Sabil, karena Rena selalu menuntutku. Maafkan aku Sabila".
Sabila menghela nafas. "Aku sudah tau tentang hal itu mas, karena penyewa itu memberitahu aku. Sudahlah mas, aku tidak mempermasalahkan tentang hal itu. Yang penting sekarang kamu fokus untuk sembuh".
"Terima kasih Sabil, kamu memang orang baik".
Sabila tersenyum. Kenapa kamu terlambat menyadari bahwa aku ini baik mas, jujur aku sangat sedih melihat keadaan kamu seperti ini.
Sabila baru saja selesai menyiapkan makan malam untuk mereka bertiga, tak lama kemudian suara bel berbunyi. Sabila segera bergegas untuk membuka pintu, ia di buat terkejut dengan tamu yang datang ternyata adalah kedua orang tua Tommy.
"Mama, papa". Ujar Sabila.
Tak lama kemudian Rahman datang menghampiri mereka. "Mama, papa".
"Sabila, Rahman, dimana Tommy?". Tanya sang mama.
"Mas Tommy ada di kamar ma".
Tanoa pikir panjang sang mama langsung bergegas masuk ke dalam kamar di ikuti dengan langkah suaminya. Kedua orang tua Tommy di buat terkejut sesampainya mereka di dalam kamar, sang mama langsung menangis histeris memeluk tubuh Tommy.
"Tommy anakku".
"Mama, ma maafkan aku ma". Ujar Tommy terisak.
"Iya Tom, mama sudah maafkan kamu. Pokoknya kamu harus semangat untuk sembuh ya, nak". Sahut Sang mama.
"Tommy maafin papa sama mama yang baru bisa menjenguk kamu sekarang".
"Aku yang minta maaf pa, karena aku telah mengecewakan kalian berdua".
"Sudah lupakan saja tentang hal itu, papa sama mama sudah lama memaafkan mu sebelum kamu meminta maaf, kamu harus kuat ya".
"Iya pa, aku akan berjuang melawan penyakit ini".
Sabila merasa terharu, dengan sembunyi-sembunyi ia menyeka air matanya. Lalu ia mengajak kedua orang tua Tommy untuk makan malam bersama.
"Mama, papa, Mas Tommy kan baru aja minum obat, jadi biarkan Mas Tommy istirahat ya. Sekarang waktunya mama sama papa ikut aku dan Mas Rahman ke meja makan, kebetulan aku udah masak untuk makan malam".
"Tom, mama sama papa ke depan dulu ya. Kamu istirahat dulu ya biar cepat sembuh".
"Iya ma".
Mereka pun segera menyusul Sabila menuju meja makan, kedua orang tua Tommy sangat bersyukur memiliki Sabila yang begitu perhatian.
"Sabila, terima kasih ya karena kamu masih mau mengurus anak mama. Walaupun dia bukan suamimu lagi". Gumam sang mama.
"Ma, sudah jangan bicara seperti itu. Itu sudah kewajiban kita sesama manusia harus saling tolong menolong"
"Sabil, kamu memang anak yang baik. Bagi kami, kamu adalah menantu terbaik. Karena kamu masih sempat-sempatnya mau masakin kami berdua, mantan mertua kamu". Ujar sang papa.
"Pa, ma, mantan suami atau istri itu ada. Tapi yang tidak ada itu mantan mertua dan mantan anak. Sampai kapanpun papa sama mama adalah mertua aku".
"Mama sangat bersyukur punya menantu seperti kamu, Sabil".
"Terima kasih ma, yaudah yuk kita mulai ya makan malamnya".
Sabila langsung menyiapkan nasi di piring mertuanya, sementara Rahman sangat kagum melihat kebesaran hati adik iparnya tersebut.
❤ ❤ ❤
Aku tidak tau Amar, yang aku rasakan saat ini hanyalah perasaan iba untuk Mas Tommy. Aku hanya kasihan melihat ia berjuang sendiri melawan penyakitnya, sementara istrinya pergi bersama pacarnya dan membawa seluruh harta yang ia punya. Setidaknya itu lebih tragis dari apa yang aku rasakan dulu".
Amar menghela nafas lega, ia sangat bersyukur karena apa yang ia takutkan tidak akan terjadi. "Sabil, sampai detik ini aku masih menyimpan rasa yang sama untuk kamu. Bahkan semakin aku mencoba untuk melupakan perasaan ku padamu, maka semakin besar pula cinta yang aku punya".
Sabila terpaku mendengar ucapan Amar, dirinya bingung harus berkata apa. "Amar terima kasih, aku hargai semua pengorbananmu. Tapi maaf untuk saat ini aku masih ingin sendiri, aku masih belum bisa membuka hatiku karena trauma di masa lalu".
"Aku akan nunggu kamu sampai kapanpun". Tegas Amar.
Sementara Sabila tersipu malu dan langsung berjalan meninggalkan Amar di belakangnya.
Amar tersenyum membayangkan percakapannya dengan Sabila tadi siang. Kalau di lihat-lihat Sabila semakin sehat dan terlihat sangat cantik. Sabila yang ia kenal benar-benar Sabila yang tidak pernah berubah sejak dulu. Bahkan kini ia harus mampu menunggu cintanya terbalaskan oleh Sabila.
"Hayoo.. Senyum-senyum sendiri pasti lagi ngelamunin Sabila kan?". Gumam sang mama.
"Mama, bikin kaget aja. Sok tau mama nih".
"Amar-Amar, kamu lupa kalau mama kamu ini seorang psikolog? Jelas mama tau lah, karena mama bisa membaca karakter orang dari wajahnya".
"Oh iya lupa, tapi sebenarnya mama itu psikolog apa peramal?".
"Maksud kamu?".
"Ya abis mama kaya peramal, bisa nilai seseorang cuma dari wajah". Gumam Amar.
"Kamu ini ya".
Amar hanya memberikan cengiran kuda pada sang mama.
"Gimana? Apa kamu sudah bilang ke Sabila kalau kamu suka sama dia?".
Amar menghela nafas. "Sudah ma, tapi Sabila masih pengin sendiri katanya".
Sang mama tertawa dan hal itu membuat Amar sedikit bingung.
"Kenapa ma?".
"Sabila itu kan belum lama bercerai sama suaminya dan pastinya dia masih mengalami trauma hati tapi kamu udah berani nyatain cinta buat dia, ya kamu salah Amar".
Amar menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. "Jadi maksud mama gimana sih? Aku nggak ngerti, kan selama ini mama yang dukung aku untuk nyatain perasaan ku sama Sabila".
Sang mama menghela nafas. "Amar yang namanya nyatain cinta itu gak melulu soal bilang aku cinta sama kamu, kelar dan jadian. Bukan begitu sayang, tapi kamu harus bisa menyatakan cinta dengan cara kontak hati. Jadi kamu harus bisa membuat hati Sabila terkoneksi sama hati kamu".
"Mama, mama bahasa mama berat banget ah. Untung aja dulu aku ambil spesialis syaraf, coba kalau aku ambil psikologi yang ada aku udah baper kali ma karena tiap ketemu Sabila bisa nilai seseorang dari wajahnya".
Sang mama tertawa dan langsung berlalu dari hadapan Amar. Ia sangat bersyukur memiliki mama yang begitu mengerti dengan perasaannya.
❤ ❤ ❤
Rena sedang sibuk berkutat menata beberapa perabotan baru yang baru saja ia beli. Ia sangat senang karena koleksi perabotan rumahnya kini sudah lengkap. Bahkan ia sangat senang dengan model rumahnya yang sekarang sudah memiliki dua lantai.
Untung saja waktu pertama kali Tommy akan membelikannya rumah, ia langsung mengajukan pada Tommy agar rumahnya langsung di buat dua lantai. Andai saja saat itu ia mengurungkan niatnya mungkin saat ini ia hanya memiliki rumah satu lantai.
Astaga, akhirnya istana ku terbangun sempurna. Gumam Rena senang.
Tak lama kemudian bel rumahnya berbunyi, Rena segera membukakan pintu dan ternyata yang datang adalah Rio.
"Mas Rio, akhirnya kamu datang juga".
"Kamu lagi ngapain?". Tanya Rio.
"Aku baru aja selesai menata perabotan mas, kamu mau minum apa?".
"Kopi boleh deh".
Rena pun segera bergegas menuju dapur untuk membuatkan kopi, tak lama kemudian Rena datang dan langsung menyuguhkan kopi untuk Rio.
"Ini sayang kopinya".
"Terima kasih, sayang".
"Mas, aku minta maaf ya untuk soal yang tadi siang".
Sementara Rio sedang menyecap kopinya perlahan. "Ahh.. Segernya kopi hitam. Oh soal itu, aku udah maafin kamu. Tapi lain kali jangan gitu laginya, karena aku tidak mau ada keributan di kantor. Kan kamu tau sendiri aku sedang ada promosi jabatan jadi kamu juga harus bisa kerjasama sama aku untuk tidak membuat kegaduhan di kantor".
"Iya mas, aku mengerti. Oh ya, mas kita-kira orang yang mau beli apartement kita apa sudah melihat kesana".
"Sudah, malah mereka sudah meminta Tommy untuk keluar dari sana siang tadi"
Rena tertawa. "Masa sih mas, terus pindah kemana tuh si mayat hidup".
"Aku sih gak tau dia pindah kemana? Tapi yaudahlah bodo amat juga, bukan urusan kita juga kan".
"Iya mas, kamu benar. Oh ya kira-kira kapan mereka transfer ya?".
"Oh ya, aku lupa kasih tau kamu. Orang itu sudah transfer uang muka sepuluh juta rupiah, apa kamu mau aku mengirimnya ke rekeningmu?".
"Gak usah mas, biar aja di rekeningmu. Yang penting kalau nanti aku butuh uang, kamu tinggal transfer aja".
"Oke deh sayang. Ngomong-ngomong kamu masak apa malam ini?". Tanya Rio penasaran.
"Kebetulan aku masakin makanan kesukaan kamu mas, ayam rica-rica sama cumi saos padang. Kamu mau makan sekarang?".
"Boleh, kebetulan aku udah laper banget".
"Yaudah yuk mas kita makan aja langsung".
Mereka berdua segera bergegas menuju meja makan, Rio sangat senang karena Rena selalu membuatkan makanan kesukaannya.
"Makasih ya sayang, udah masakin makanan kesukaan aku. Aku gak tau gimana jadinya aku kalau gak ada kamu".
"Ah kamu bisa aja mas, kemarin-kemarin aku selalu masakin kamu. Tapi kamu malah gak pulang ke rumah".
"Maaf ya sayang, tapi aku benar-benar sibuk. Kalau gak sibuk kan aku bisa pulang cepat begini".
"Terus kemarin-kemarin kamu pulang kemana? Aku teleponin gak di jawab, aku kira kamu pergi ninggalin aku.
"Sekali lagi maaf banget ya sayang, kalau aku bikin kamu khawatir. Aku janji kali ini gak akan ngecewain kamu lagi"
"Janji loh, aku kan takut kalau kamu pergi bawa uang transferan penjualan apartement".
Rio terbelalak. "Jadi kamu mikir sampai sejauh itu Rena?".
"Ya kan bisa aja".
Rio langsung beranjak dari duduknya lalu menghampiri Rena. "Denger ya sayang, aku tidak segila itu. Dari awal kita rencanain ini mateng-mateng berdua jadi ya kita harus nikmatin juga berdua". Gumam Rio sementara Rena langsung memeluk Rio erat.