Sabila sedang sibuk memeriksa kertas ulangan para siswanya. Tak lama kemudian seseorang memanggil namanya. Ia segera menghampiri orang tersebut yang ternyata adalah kurir sebuah perusahaan ekspedisi.
"Maaf, apa benar dengan Sabila Hanum?". Tanya sang kurir.
"Iya benar, saya Sabila Hanum pak".
"Ini bu, ada surat untuk ibu".
"Surat? Dari siapa pak?".
"Saya juga tidak tau, karena tidak ada nama pengirimnya. Tolong tanda tangan disini ya bu".
"Terima kasih ya, pak".
"Sama-sama bu"
Sabila masih penasaran dengan isi amplop cokelat tersebut, namun ia enggan membukanya di sekolah jadi ia memutuskan untuk membuka surat tersebut di rumah. Dan sesampainya di rumah, Sabila segera bergegas meraih amplop cokelat tersebut dari dalam tas nya. Lalu ia mulai membuka isi amplop cokelat tersebut yang ternyata terdapat dua buah surat.
Sabila segera membuka surat yang di bungkus menggunakan amplop berwarna merah jambu. Ia pun mulai membuka lipatan sura tersebut dan mulai membacanya.
Malioboro, 27 April 2007
Dear Sahabatku Sabila Hanum.
Hi, Sabil aku harap setelah kamu membaca surat ini, kamu tidak marah sama aku. Karena aku terpaksa pergi tanpa pamit terlebih dahulu, semua ini terpaksa aku lakukan karena penerbangan ku menuju New York tinggal satu jam lagi. Jadi aku minta maaf tidak bisa menunggu kamu lebih lama lagi disini.
Sabila sebenarnya aku ingin sekali membicarakan tentang hal ini langsung dihadapanmu, namun apa daya aku tidak punya kesempatan untuk menyatakannya. Sabil, sudah lama aku memendam perasaan untuk dirimu, aku berharap semoga kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Sabil, aku harap kamu mau menunggu sampai aku menyelesaikan masa studyku. Karena setelah itu aku akan kembali ke Indonesia untuk melamar kamu.
Salam sayang,
Amar Syarief
Sabila tercengang membaca isi surat tersebut, ia masih bingung kenapa surat yang Amar tinggalkan untuknya dan sama sekali tidak pernah ia terima malah kembali kepadanya setelah dua belas tahun. Sabila langsung membuka surat kedua dan segera membaca isi surat tersebut, ia pun tak kalah tercengang membaca isi surat kedua tersebut.
Dear Sabila,
Sabila, sebelumnya aku minta maaf karena aku telah lancang mengambil surat ini. Seharusnya kamu mengetahui surat ini sejak awal. Jadi kamu bisa menunggu calon jodohmu dengan tepat, Sabil aku mengambil surat ini karena aku tidak ingin jika kamu mengetahui kalau Amar Mencintaimu.
Jujur, aku cemburu Sabil. Karena aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk lebih dekat denganmu dan itulah mengapa, aku menyembunyikan surat ini. Tapi aku sadar, jika cinta tidaklah bisa untuk dipaksakan. Kamu tidak mengetahui jika Amar mencintaimu tapi kamu juga tidak bisa aku miliki, bahkan kamu telah menjadi milik orang lain saat itu.
Sabil, jika suatu saat nanti kamu mengetahui siapa aku. Maukah kamu memaafkan semua kesalahanku? Karena nantinya akan ada lagi cerita yang lebih menyakitkan dari yang aku ceritakan di surat ini.
Maafkan aku,
Dari seseorang yang pernah mencintai kamu.
Sabila langsung melipat surat tersebut dan tanpa sadar buliran air mata nya telah menetes membasahi kedua pipinya. Karena, ia tidak menyangka jika ada seseorang yang begitu tega dengan dirinya sejak dulu.
Astagfirullahaladzim, siapa yang tega berbuat seperti ini sama aku. Gumam Sabila.
Sabila segera meraih ponselnya untuk menghubungi Amar, Sabila meminta Amar untuk menemuinya di cafe yang berada dekat dengan rumah sakit tempat Amar bekerja. Setelah Amar menyetujui, Sabila segera bergegas untuk menemui Amar di cafe tersebut.
Sesampainya di cafe, Sabila segera masuk ke dalam cafe dan mencari tempat yang nyaman untuk membicarakan hal ini dengan Amar. Tak lama kemudian seorang pelayan datang menghampirinya, namun ia belum ingin memesan sesuatu. Sabila segera meraih ponselnya untuk menghubungi Amar, setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit, Amar pun tiba di cafe tersebut.
"Sabila, maaf sudah membuat kamu menunggu lama". Ujar Amar.
"Tidak apa-apa Amar, oh ya kita sekalian pesen makan ya. Lagi pula ini kan sudah masuk jam makan siang". Sahut Sabila, sementara Amar langsung mengiyakan ucapan Sabila.
Setelah mereka berdua selesai memesan, Sabila segera meraih surat yang diterimanya lalu memberitahunya pada Amar.
"Surat apa ini, Sabil?". Tanya Amar.
"Kamu lihat saja". Sahut Sabila.
Amar pun segera membuka surat tersebut dan membacanya, ia benar-benar terkejut melihat surat miliknya yang ia kirim untuk Sabila dua belas tahun yang lalu.
"Sabil, ini surat yang pernah aku ceritakan. Lalu bagaimana surat ini bisa ada di kamu? Bukankah sebelumnya kamu bilang tidak pernah menerima surat ini sama sekali?". Tanya Amar penasaran.
"Justru itu Amar, surat itu bisa berada di tanganku setelah dua belas tahun berlalu dan seseorang telah mengirimnya untukku hari ini". Gumam Sabila.
Sementara Amar menghela nafas panjang, ia benar-benar bingung memikirkan tentang hal ini.
"Lalu siapa yang mengambil surat ini, aku masih tidak percaya dengan semua ini". Ujar Amar.
"Yang pasti orang yang mengambil surat ini adalah orang yang tidak suka jika melihat aku dekat dengan kamu". Sahut Sabila.
"Apa?!! Bagaimana kamu tau". Seru Amar.
Kemudian Sabila kembali menyodorkan surat kedua kepada Amar.
"Surat apa lagi ini, Sabil?". Tanya Amar.
"Di dalam surat ini berisi pernyataan dari orang yang mengambil surat kamu". Ujar Sabila.
Dengan cepat Amar langsung membaca isi surat tersebut, dirinya benar-benar tercengang membaca isi surat tersebut.
"Ini benar-benar gila, Sabil. Orang ini yang jelas-jelas sudah misahin kita dan dia juga tidak menginginkan kita berdua bersatu". Gumam Amar sambil menghela nafas panjang.
"Bisa jadi". Sahut Sabila datar.
Tak lama kemudian seorang pelayan datang mengantarkan pesanan mereka berdua. Kemudian Sabila meminta Amar untuk melupakan tentang surat tersebut dan mengajaknya untuk menikmati makan siang bersama.
"Yaudah, karena makanan kita udah datang, mendingan sekarang kita makan dulu dan lupain soal surat tersebut". Gumam Sabila ceria.
Amar tersenyum. "Iya, yaudah selamat makan Sabila".
"Selamat makan juga Amar". Sahut Sabila sambil membalas senyuman Amar.
Mereka berdua langsung melahap makanan masing-masing, namun dalam pikiran Amar terus menerus memikirkan siapa orang yang tega berbuat seperti itu.
Andai saja surat itu sampai ke tangan Sabila sejak dulu, mungkin saat ini aku sedang menikmati makan siang ini dengan seorang Sabila yang telah sah menjadi istriku. Aku harus cari tau siapa orang yang sudah mengambil surat ini. Gumam Amar dalam hati.
Setelah pertemuannya dengan Sabila, Amar segera kembali ke rumah sakit untuk melanjutkan pekerjaannya. Amar memijat keningnya memikirkan pertemuannya dengan Sabila tadi siang. Amar masih termenung memikirkan siapa orang yang telah tega memisahkan ia dan Sabila sejak dulu. Pikirnya jika surat yang ia tulis untuk Sabila telah sampai di tangan Sabila sejak dulu, mungkin kini mereka berdua telah bersatu.
Lalu mengapa setelah dua belas tahun berlalu, orang tersebut mengembalikan lagi surat miliknya pada Sabila. Tentu saja ini benar-benar sulit untuk di percaya, apalagi butuh keberanian lebih jika harus mengungkapkan kembali seluruh perasaannya pada Sabila. Mengingat dulu, Sabila pernah menolak dirinya.
Kenapa? Kenapa harus sekarang, ketika aku mulai belajar untuk melupakan Sabila. Takdir seakan-akan menarik kembali kita berdua ke masa lalu, aku harus bagaimana ya Allah. Gumam Amar.
♡♡♡
Tommy masih berkutat dengan pekerjaannya, ia benar-benar kesal dan tidak terima karena harus turun jabatan seperti ini. Harusnya ia tinggal duduk santai sambil menerima laporan dari anak buahnya, namun kini ia harus menyelesaikan semua pekerjaanya tepat waktu dan harus menyerahkan semua berkas laporan kepada atasannya.
Sial, kenapa gue harus ngerasain kaya gini sih. Biasanya kan gue tinggal duduk manis sambil minum kopi, terus nunggu laporan selesai. Lah sekarang gue yang harus ngerjain semua ini, kurang ajar emang itu si Pak Eko, bisa-bisanya dia main nurunin jabatan gue secara sepihak. Gerutu Tommy dalam hati.
Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki seseorang berjalan masuk ke dalam ruangan Tommy. Dan orang tersebut tak lain adalah atasannya, Rio. Rio langsung menghampiri Tommy dan meminta Tommy untuk menyelesaikan semua laporannya hari ini, dengan nada mengejek, Rio memperlakukan Tommy sama persis seperti apa yang pernah Tommy lakukan dulu kepadanya.
"Tom, jangan lupa ya laporannya harus selesai hari ini". Ujar Rio.
"Gampang bro, tenang aja". Sahut Tommy santai.
"Apa?! Bro?". Seru Rio.
"Terus kenapa? Ada yang salah?". Tanya Tommy sambil mengerutkan dahinya.
"Tommy, Tommy, gue ini atasan lo. Dan sekarang masih jam kerja, jadi bisa kan lo panggil gue Pak Rio?". Gumam Rio.
"Ah ribet banget lo". Gerutu Tommy.
"Ya semuanya sih terserah lo, karena nasib lo di sini ada di tangan gue. Jadi jangan salahin gue kalau tiba-tiba lo di berhenti kan secara tidak hormat karena sikap lo yang tidak baik sama atasan". Ujar Rio dengan senyuman licik.
Tommy menghela nafas panjang. "Iya, iya Pak Rio".
"Nah gitu dong, kan enak di dengernya. Yaudah lanjutin kerjanya, laporannya jangan lupa". Ujar Rio sambil berlalu dari hadapan Tommy.
Kurang ajar Rio, baru aja jadi manajer gayanya udah selangit. Tommy menggerutu kesal dalam hati, dirinya benar-benar muak melihat tingkah Rio yang berbuat seenaknya. Sedangkan Rio merasa puas bisa memperlakukan Tommy seperti itu. Setelah itu Tommy segera menyelesaikan laporannya, ketika ia sedang berkonsentrasi membuat laporan tiba-tiba pikirannya buyar karena ponselnya berdering. Dilihatnya nama Rena tertera di layar ponsel, dengan cepat Tommy segera menjawab panggilan telepon dari Rena.
Setelah selesai, Tommy meletakkan kembali ponselnya. Sambil menghela nafas panjang, ia benar-benar frustasi menghadapi sikap Rena yang semakin hari semakin tidak terkendali. Rena selalu saja menuntutnya soal uang, apalagi ketika Rena tau jika dirinya di turunkan dari jabatan sebelumnya. Dan saat itu juga Rena menjadi marah besar dan selalu menyalahkan Tommy, bahkan Rena terus mendesak dirinya untuk mengambil rumah peninggalannya untuk Sabila.
Karena terlalu banyak beban pikiran yang ditanggung oleh Tommy, tiba-tiba ia merasakan sakit dikepalanya. Penglihatannya mulai samar-samar dan seluruh tubuhnya terasa seperti kaku dan tak bisa digerakan, karena tidak kuat merasakan sakit yang ia rasakan. Akhirnya Tommy terjatuh tak sadarkan diri, beberapa temannya yang melihat kondisi Tommy segera membawanya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit Tommy langsung di tangani oleh dokter, tak lama kemudian Rena tiba di rumah sakit untuk melihat kondisi suaminya.
"Mas, kamu gak apa-apa? kenapa bisa pingsan begini sih?". Tanya Rena panik.
"Ibu, maaf pasien harus banyak istirahat dan jangan banyak di ajak bicara terlebih dahulu ya". Ujar sang dokter.
"Bagaimana keadaan suami saya dok? apa semuanya baik-baik saja?".
"Suami ibu baik-baik saja, cuma kadar kolestrol dan juga tensi darahnya sangat tinggi. Untuk itu tolong asupan makanan suami ibu harus benar-benar di perhatikan ya".
"Iya baik, dok. Terima kasih".
"Kalau begitu saya permisi dulu ya, bu".
"Iya dok".
Rena segera mengambil posisi duduk di samping ranjang tidur Tommy dan langsung menanyakan kenapa dirinya bisa pingsan seperti itu. "Mas, kamu kenapa sih pake acara pingsan segala? kamu tau kan kalau tabungan kita itu makin menipis, ini malah pake masuk rumah sakit segala".
"Aku pingsan juga gara-gara kamu, Rena".
"Lah, kok aku di salahin. Enak aja aku di salahin".
"Kalau kamu tadi gak telepon sambil marah-marah protes mulu soal uang, aku gak bakalan jadi begini".
"Ya makanya kamu tuh harus bisa menghasilkan uang yang lebih banyak kaya dulu, mana janji kamu yang mau ambil rumah yang kamu kasih ke Sabila?".
Tommy menghela nafas. "Iya Rena, kamu sabar dong. Aku pasti akan ambil rumah itu".
3 Hari Kemudian.
Tommy bergegas menuju rumah lamanya yang dulu pernah di tempati bersama Sabila, tanpa pikir panjang Tommy langsung mengetuk rumah tersebut yang kini telah di tempati oleh orang yang mengontrak rumah ini. Tak lama kemudian seseorang membuka kan pintu.
"Iya cari siapa ya?".
"Perkenalkan bu, saya Tommy suaminya Sabila yang punya rumah ini".
"Oh iya, mari pak silahkan masuk. Mau minum apa pak?".
"Gak usah repot-repot bu, terima kasih. Saya cuma mau ngobrol sebentar soal sewa rumah ini, bu".
"Iya pak, bagaimana".
"Selama ini istri saya memberi harga sewa rumah ini berapa ya bu?".
"Oh sebulan saya sewa rumah ini sama Ibu Sabila sebesar dua juta rupiah pak, memang ada apa ya?".
"Jadi begini bu, kebetulan rekening istri saya hilang jadi untuk sementara untuk pembayaran sewa rumah ini bisa di bayar melalui rekening saya ya bu. Ini nomor rekening saya". Ujar Tommy sambil menyodorkan foto copy buku tabungannya.
"Oh begitu pak, emm.. Mumpung bapak lagi disini saya bayar cash aja langsung ya pak. Kebetulan ini saya ada uang cash dan biasanya saya cicil uang sewa ke Ibu Sabila setiap tiga bulan sekali, sebentar ya pak saya ambil dulu uangnya".
"Iya baik bu".
"Maaf ya pak lama nunggu, ini uangnya pak mohon di terima total semua ada enam juta rupiah ya pak. Silahkan di hitung dulu".
"Gak usah bu, saya percaya sama ibu. Kalau begitu saya permisi dulu ya bu, jangan lupa di simpen ya bu nomor rekening saya".
"Iya Pak Tommy, siap".
Tommy pun segera bergegas pergi dari rumah tersebut dan langsung kembali ke kantornya. Sesampainya di kantor, Rio yang sedari tadi sudah menunggunya di ruangan merasa sangat geram melihat tingkah Tommy yang seenaknya keluar kantor pada saat jam kerja berlangsung.
"Tom di tunggu Pak Rio tuh di ruangannya". Gumam Ali.
"Oh iya, thank you Al infonya". Sahut Tommy yang langsung bergegas menuju ruangan Rio.
"Permisi". Gumam Tommy.
"Masuk".
Tommy pun segera membuka pintu ruangan Rio. "Permisi pak, apa bapak manggil saya?".
"Iya Tom, sini duduk saya mau bicara penting sama kamu". Seru Rio.
Gila, makin slengean aja nih si Rio. Makin hari gayanya makin melebihi bos".
"Ada apa pak?".
"Lo tau gak kalau sekarang itu masih jam kerja, kenapa lo keluyuran pas lagi jam kerja?".
"Maaf pak, tadi saya lagi ada urusan sebentar. Makanya saya terpaksa keluar".
"
Okey, ini terakhir kalinya ya lo kaya begini. Sekali lagi lo berani kaya gini, gue gak segan-segan buat mecat lo Tom".
"Iya pak, saya minta maaf".
"Yaudah sana balik lagi kerja".
Tommy pun segera keluar dari ruang Rio, Tommy benar-benar kesal melihat tingkah Rio yang semakin semena-mena.
Sementara itu di lain tempat Rena yang baru saja selesai memasak langsung menata masakannya di atas meja makan, setelah itu ia tinggal menunggu suaminya pulang membawa uang yang suaminya janjikan. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu dari ruang tamu, Rena segera bergegas membukakan pintu.
"Mas Tommy". Seru Rena.
"Hai sayang, lihat apa yang aku bawa"
"Apa mas?". Gumam Rena antusias.
Tommy segera menyodorkan amplop cokelat berisi uang enam juta rupiah.
"Wah, kamu mendapatkan uang itu mas?".
"Iya aku mendapatkannya, bahkan aku sudah memberikan nomor rekening ku agar orang tersebut membayar sewa ke nomor rekeningku".
"Bagus, itu baru suami aku. Tapi orang itu percaya kalau kamu itu suaminya Sabila?".
"Iya orang itu percaya". Gumam Tommy sementara Rena langsung tertawa terbahak-bahak.
Rena tak henti-hentinya memeluk dan mencium suaminya, kemudian Rena segera mengajak suaminya untuk makan malam bersama.
♡♡♡
Sabila masih termenung membaca isi surat Amar 12 Tahun silam. Sabila masih tidak menyangka jika Amar harus tersakiti karena harus mencintai dirinya dalam diam.
Astaga Amar, maaf kan aku. Karena aku tidak bermaksud untuk mengabaikan perasaanmu. Gumam Sabila dalam hati.
Tak lama kemudian Santi datang menghampiri dirinya, memberitahukan jika Amar datang untuk mengajaknya makan malam.
"Bu, di depan ada Dokter Amar".
"Oh iya sayang, terima kasih".
Sabila segera keluar dari dalam kamar untuk menemui Amar.
"Amar".
"Sabil, kamu sibuk tidak?".
"Tidak, memang kenapa?". Tanya Sabila bingung.
"Mau pergi makan malam sama aku?".
Sabila tersenyum. "Sure, aku ganti baju dulu ya".
Amar pun mengiyakan ucapan Sabila, tak lama kemudian Sabila muncul dengan penampilan yang begitu menawan. Amar pun terpaku melihat kecantikan Sabila.
"Amar, ayo kita pergi".
"Hah. Iya, ayo". Sahut Amar salah tingkah.
Amar segera melajukkan mobilnya menuju restoran yang telah ia booking dua jam yang lalu. Setelah berkendara kurang lebih tiga puluh menit, mereka berdua pun tiba di restoran tersebut.
Seorang pelayan langsung datang menghampiri mereka berdua membawa table menu. Sabila segera mencatat makanan yang di pesannya di kertas menu, sementara Amar masih bingung memilih makanan yang akan di pesannya.
"Kenapa? Masih bingung mau pesan apa?". Tanya Sabila
"Iya aku bingung, karena disini ada yang lebih indah dari tampilan makanan-makanan yang ada di buku menu ini". Gumam Amar sambil menatap Sabila dalam.
Sabila tersipu malu. "Apaan sih, basi banget deh".
Amar langsung tertawa melihat Sabila yang mulai salah tingkah.
Setelah mereka memesan makanan, Amar dan Sabila langsung mengobrol sambil membahas tentang surat misterius. Tak lama kemudian Jumi yang tak lain adalah teman Sabila dan Amar, tiba-tiba saja muncul begitu saja di hadapan mereka. Dan hal tersebut membuat keduanya tersentak kaget dan langsung memarahi Jumi.
"Ya Allah, Jumi. Kamu itu bikin kaget aja sih". Gumam Sabila.
"Maaf, abisnya aku seneng banget liat kalian berdua disini bisa barengan gini. Mar kok kamu gak kasih tau aku kalau datang kesini sama Sabil". Protes Jumi.
Amar tersenyum. "Kan biar surprise".
"Terus kamu jadi toh Mar, nembak Sabila hari ini". Seru Jumi.
Amar terbelalak. "Jumi, apaan sih. Jangan bikin aku malu di depan Sabila deh". Gumam Amar.
Namun Sabila hanya tersenyum mendengar perdebatan di antara Amar dan Jumi. "Udah, udah kalau berdebat mulu kapan kita ikut ngumpulnya?". Ujar Sabila.
Tak lama kemudian seorang pelayan datang membawa pesanan makanan mereka.
"Yaudah yuk Sabil, kita mulai makan aja. Biar aja si Jumi di sini liatin kita makan. Gerutu Amar.
"Oh jadi gitu Mar, awas ya kalau nanti minta curhat". Gerling Jumi.
Sementata Sabila hanya tertawa melihat tingkah kedua sahabatnya tersebut.
❤ ❤ ❤
Keesokan harinya.
Pancaran sinar matahari yang mulai masuk melalui celah hordeng kamar, membuat Tommy memaksa membuka matanya. Ia mencoba untuk mengerjapkan matanya sekali lagi dan kini pandangannya telah jernih dari sebelumnya.
Tommy langsung beranjak duduk dari posisi tidurnya, di lihat nya Rena masih terlelap dalam tidurnya. Tommy mencoba untuk membangunkan Rena dan memintanya untuk di buatkan sarapan, namun Rena langsung menepis tangan Tommy dan semakin merapatkan tubuhnya pada guling yang sedang dipeluknya.
Dengan terpaksa Tommy harus membuat sarapan sendiri lagi hari ini, karena Rena telah menolak di bangunkan dari tidurnya. Sebelum membuat sarapan, Tommy segera bergegas untuk mandi dan setelah selesai ia langsung bergegas menuju dapur dan melihat isi stok makanan yang tersimpan di dalam kulkas.
Tommy mengernyitkan dahinya ketika melihat isi kulkas yang kosong dan tidak ada sama sekali stok makanan yang tersedia dan yang ada hanyalah sebutir telur. Tanpa pikir panjang Tommy segera meraih telur tersebut untuk di masaknya, Tommy terus menggerutu karena Rena benar-benar membuat hidupnya tak terurus.
Keterlaluan Rena, apa sih yang ia kerjakan dirumah? Sampai-sampai stok makanan habis tak ada sisa. Padahal kerjanya cuma minta uang, uang dan uang tapi kemana uangnya sampai-sampai kebutuhan rumah tidak terpenuhi. Gerutu Tommy.
Karena emosi yang terlalu berlebihan, tiba-tiba Tommy merasakan sakit di kepalanya. Pandangan matanya mulai kabur dan ia juga merasakan sesak di bagian dadanya, Tommy berusaha sekuat tenaga berjalan menuju kamarnya untuk meminta bantuan Rena.
Namun belum sempat ia tiba di depan kamarnya, Tommy langsung terjatuh tak sadarkan diri menyenggol vas bunga yang berada di atas meja. Sementara itu, Rena yang mendengar suara pecahan kaca segera beranjak dari tempat tidur dan langsung mencari sumber suara tersebut. Rena terkejut ketika mendapati Tommy sudah tergeletak tak sadarkan diri di lantai.
Ya ampun, pagi-pagi udah berisik aja kerjanya. Pake segala mecahin vas bunga lagi, Mas Tommy bangun mas, Mas Tommy bangun. Gumam Rena sambil menyenggolkan kakinya di kaki Tommy.
Karena tak ada reaksi dari Tommy, Rena segera bergegas menghubungi ambulans. Tak lama kemudian tim medis datang dan segera membawa Tommy menuju rumah sakit. Rena pun turut ikut mengantar suaminya sampai menuju rumah sakit.
Sesampainya dirumah sakit, dokter segera memeriksa kondisi Tommy. Setelah melalui proses pemeriksaan, akhirnya dokter yang menangani Tommy keluar dari dalam ruangan ICU. Sementara Rena segera menghampiri sang dokter untuk meminta penjelasan.
"Dokter bagaimana keadaan suami saya?". Tanya Rena.
"Sebaiknya ibu ikut keruangan saya, nanti akan saya jelaskan disana". Sahut sang dokter.
Rena pun mengiyakan ucapan sang dokter, ia segera berjalan mengekori sang dokter menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan, dokter langsung menjelaskan perihal penyakit yang di derita oleh Tommy.
"Dokter, bagaimana keadaan suami saya?". Tanya Rena.
"Begini bu, setelah menjalani proses pemeriksaan dapat disimpulkan kalau suami ibu menderita stroke". Ujar sang dokter.
"Apa?! Stroke dok? Apa masih bisa disembuhkan dok?". Sahut Rena.
"Soal itu biar nanti dokter syaraf yang akan menjelaskannya, kemungkinan suami ibu akan menjalani terapi setiap minggunya".
Apa?! Harus terapi setiap minggu? Gila, buang-buang duit itu mah namanya. Gerutu Rena dalam hati.
"Baik dok, lalu apa ada hal yang lain yang harus saya lakukan?". Tanya Rena.
Sementara sang dokter langsung menjelaskan semuanya pada Rena, setelah selesai Rena segera bergegas keluar dari ruangan dokter dan menuju ruangan tempat Tommy di rawat. Ditatapnya Tommy dalam-dalam, semakin dalam Rena menatap dan semakin besar pula rasa bencinya terhadap Tommy.
Akhirnya yang aku tunggu-tunggu tiba juga. Gumam Rena sambil terkikik pelan.