Chereads / Jangan Rebut Suamiku / Chapter 14 - Part 13 - Kenyataan Yang Sebenarnya

Chapter 14 - Part 13 - Kenyataan Yang Sebenarnya

3 bulan kemudian.

Setelah 3 bulan berlalu dari perceraiannya dengan Sabila, Tommy langsung memutuskan untuk menikahi Rena. Pernikahan mereka berdua akan di gelar satu minggu lagi, segala persiapan telah selesai Tommy urus. Sementara Rena hanya mengikuti bagaimana yang Tommy mau.

Di lain tempat, Rena tengah sibuk membuatkan sarapan untuk sang kekasih. Setelah semuanya selesai, Rena langsung menyuguhkannya di atas meja makan. Tak lama kemudian laki-laki tersebut keluar dari dalam kamarnya dan sudah terlihat rapi mengenakan kemeja berwarna biru.

"Mas, tumben sudah rapi". Ujar Rena.

"Iya dong, aku kan mau berangkat pagi-pagi biar bisa jadi bos kaya pacar simpenan kamu itu". Sahut laki-laki tersebut.

Rena mengernyitkan dahinya. "Pacar simpenan? Lebih tepatnya kayanya mesin pencetak uang deh mas". Gumam Rena tertawa.

"Kamu ini ya bisa aja, jadi seminggu ke depan dan seterusnya aku harus sabar nih melihat pernikahan kalian berdua?".

Rena langsung menghampiri laki-laki tersebut, lalu memeluknya erat dari belakang. "Mas, sesuai rencana kita ya. Setelah aku mengeruk habis harta Mas Tommy, aku langsung menggugat cerai dirinya lalu kita berdua bisa menikah".

Laki-laki tersebut menghela nafas. "Yasudah atur saja sesuai rencana kita, yang jelas Tommy harus jatuh miskin dan juga tersingkir dari perusahaan".

"Kamu gak usah khawatir soal itu mas, serahkan semuanya padaku". Ujar Rena antusias.

Mereka berdua langsung memulai sarapannya, dalam benak laki-laki tersebut ia merasa puas dengan cara kerja Rena dalam mendekati Tommy. Tak lama kemudian hape Rena berdering, Rena langsung mengisyaratkan kekasihnya untuk tidak bersuara selama ia menjawab telepon dari Tommy.

Iya, halo Mas Tommy. Kamu sudah bangun? Apa? Lima belas menit lagi kamu sampai di apartemen aku? Yaudah aku siap-siap dulu ya bikinin sarapan buat kamu. Okey bye sayang.

"Gawat mas, kayanya kamu harus cepet-cepet pergi dari sini. Kalau nggak rencana kita semua bisa hancur". Ujar Rena panik.

Laki-laki tersebut menghela nafas panjang. "Baiklah, aku akan pergi sekarang. Terimakasih untuk sarapannya ya sayang". Sahut laki-laki tersebut dan langsung mengecup kening Rena.

Sementara Rena langsung mengantar kekasihnya tersebut sampai di depan lift. Setelah itu, Rena langsung bergegas merapikan piring sisa makanan dan kembali menata meja makan serapi mungkin.

Tak lama kemudian terdengar suara bel berbunyi, Rena segera bergegas membukakan pintu. Dan dilihatnya Tommy sudah berada dihadapannya dengan sebuket Bunga Mawar di tangannya.

"Surprise". Ujar Tommy antusias.

"Mas Tommy, wah cantik sekali bunga ini. Makasih ya mas, kamu ini so sweet banget sih mas". Gumam Rena yang langsung memeluk Tommy.

"Iya sayang, sama-sama".

"Yaudah yuk mas masuk, aku udah siapin sarapan untuk kamu. Setelah sarapan baru deh kita berangkat ke kantor". Ajak Rena.

Mereka berdua langsung masuk ke dalam dan menuju ruang makan, Rena langsung menyiapkan sarapan untuk Tommy. Sementara Tommy terpaku menatap Rena yang begitu luwes dalam melayani dirinya, bagi Tommy, Rena adalah wanita idaman yang memang sangat pantas untuk di jadikan sebagai seorang istri.

"Udah ah ngeliatinnya, mendingan sekarang kamu makan. Kalau nggak nanti kita bisa terlambat ke kantornya". Gumam Rena.

Tommy tersenyum. "Ngeliatin kamu begini aja rasanya aku udah kenyang banget deh".

Rena mengernyitkan dahinya. "Gombal banget sih calon suami aku". Ujar Rena sambil mencubit pipi kiri Tommy.

Mereka berdua langsung memulai sarapannya, sementara Tommy tak henti-hentinya memuji masakan Rena.

♡♡♡

Yogyakarta.

Hamparan sawah yang sudah mulai menguning membuat para petani sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Suara mesin-mesin penggiling padi terdengar dari arah manapun. Sekali lagi Sabila menghirup udara segar yang begitu asri di kota kelahirannya. Sampai kapanpun Sabila tidak akan pernah lupa akan tempat yang begitu banyak menyimpan berjuta kenangan masa kecil dan juga masa remajanya. Tak lama kemudian terdengar suara seseorang memanggil dirinya, suara yang tidak begitu asing untuk dirinya. Sabila membalikan tubuhnya, dilihatnya orang itu sudah melambaikan tangannya dari kejauhan.

Jumi. Gumam Sabila.

Sementara Jumi semakin mempercepat langkahnya untuk menghampiri Sabila.

"Sabil, ya ampun. Kamu apa kabar?". Ujar Jumi antusias dan langsung memeluk Sabila erat.

"Aku baik, Jum. Ya Allah, aku seneng banget bisa ketemu kamu lagi disini". Sahut Sabila.

Jumi melepaskan pelukannya. "Kamu nih ya makin cantik aja ya, ngomong-ngomong mana suami kamu itu?". Tanya Jumi.

Sabila menundukkan kepalanya. "Aku sudah bercerai Jum". Ucap Sabila lirih.

"Ya Allah, Sabil maaf. Aku tidak tau kalau kamu sudah bercerai, maafkan aku Sabil". Gumam Jumi menyesal.

"Iya tidak apa-apa".

Sabila langsung mengajak Jumi kerumahnya untuk melepas rindu pada sahabatnya tersebut. Sesampainya dirumah, mereka berdua langsung disambut oleh teriakan Fira yang secara tiba-tiba menghampiri mereka berdua.

"Ibu". Teriak Fira.

"Ini anak kamu, Sabil?". Tanya Jumi.

Belum sempat Sabila menjawab, tak lama kemudian Santi datang dari dalam dan sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kampus.

"Bu, Santi berangkat ke kampus dulu ya. Ibu jangan lupa makan ya, tadi Santi sama nenek sudah masak makanan kesukaan ibu". Ujar Santi yang langsung mencium punggung tangan Sabila.

"Terimakasih, nak. Belajar yang rajin ya dikampus, oh ya kenalin ini temen ibu. Namanya Tante Jumi". Sahut Sabila.

Santi dan Fira langsung bersalaman pada Jumi, sementara Jumi masih di buat penasaran dengan kedua anak tersebut. Setelah Santi berangkat dan Fira kembali masuk ke dalam rumah, Jumi langsung menanyakan hal tersebut pada Sabila.

"Mereka tadi siapa kamu Sabil? Kalau yang masih kecil tadi anak kamu kan? Nah si Santi itu siapa? Masa anak kamu juga, ya gak mungkinkan. Lah wong kamu aja umurnya baru dua puluh tujuh kan? Masa udah punya anak segede Santi". Tanya Jumi bingung.

Sabila tersenyum. "Kamu pasti bingung ya Jum? Mereka berdua adalah anak angkat aku dan pada kenyataannya aku belum dikaruniai momongan selama aku menikah dua tahun bersama Mas Tommy". Jelas Sabila. "Yaudah yuk ah masuk, kenapa jadi ngobrol di luar gini". Sambung Sabila.

Sabila segera menceritakan semua kehidupannya pada Jumi, sementara Jumi benar-benar tidak menyangka jika sahabatnya tersebut akan mengalami nasib yang sangat tragis dalam berumah tangga.

"Jadi begitulah Jum ceritanya, makanya sekarang aku mau fokus ngurus anak-anak sama jagain kedua orangtua ku". Ujar Sabila sambil menarik nafas panjang.

"Kamu yang sabar ya, Sabil. Aku yakin kamu mampu melalui ini semua, karena aku tau kamu itu perempuan hebat". Sahut Jumi menguatkan. "Oh ya ngomong-ngomong kamu tau gak kalau sekarang Amar ada di Jogja". Sambung Jumi.

"Apa? Amar ada di Jogja? Kamu kata siapa Jum?". Tanya Sabila penasaran.

"Jadi sudah tiga bulan kamu di Jogja, kamu gak tau kalau Amar ada disini juga? Ah kamu mainnya kurang jauh sih". Gerling Jumi.

"Ah Jumi kamu bisa aja".

"Amar itu kan dari dulu naksir kamu, Sabil. Apa kamu gak pernah tau tentang hal itu?". Tanya Jumi penasaran, namun Sabila hanya menggelengkan kepalanya.

Jumi menghela nafas dan langsung menceritakan pertemuannya dengan Amar beberapa hari yang lalu. Sementara Sabila sedikit shock mendengar apa yang Jumi ceritakan.

Sabila jadi merasa bersalah atas sikapnya pada Amar, karena dirinya sejak dulu tidak pernah peka terhadap perasaan Amar. Namun disisi lain, Sabila juga bingung bagaimana caranya ia harus memulai untuk memperbaiki hubungannya dengan Amar.

Terakhir mereka bertemu, Amar menyatakan perasaannya kembali pada dirinya . Namun hal itu telah membuat Sabila merasa tidak nyaman dan meminta Amar untuk menjauhinya dan tidak seharusnya Sabila bersikap seperti itu. Karena bagaimanapun Amar adalah teman terbaik yang pernah Sabila miliki.

"Sabil, Sabila, hellow". Ujar Jumi.

"Hah, apa Jum?". Tanya Sabila terbata-bata.

"Kamu tuh ngelamunin apa? Orang aku lagi cerita kenapa kamu malah ngelamun". Protes Jumi.

"Maaf, maaf Jum. Aku gak bermaksud seperti itu".

"Yowes, aku mau balik dulu ya. Mau masak dulu, karena nanti siang aku harus nganterin makan siang buat mas bojo, karena hari ini mas bojo sibuk di sawah untuk memenuhi kebutuhan penyewaan mesin giling padi". Ujar Jumi antusias.

"Iya Jum, makasih ya udah mau dengerin curhatan aku. Sukses terus ya untuk usaha penyewaan mesin giling padinya".

"Aamiin, Iya podo-podo sing penting kamu aja kakehan pikiran yo. Yowis aku Bali disit, assalamualaikum".

"Waalaikumsalam". Sahut Sabila.

Sabila tersenyum dan sangat bangga dengan sahabatnya tersebut, karena baginya Jumi tetaplah menjadi Jumi yang dulu. Yang selalu rendah hati dan tidak sombong walaupun sekarang ia sudah menjadi istri juragan mesin penggilingan padi.

♡♡♡

Tommy sedang sibuk berkutat dengan tugas-tugasnya hari ini, dirinya merasa sangat stress karena beberapa anak buahnya tidak becus dalam menghandle pekerjaan. Tommy langsung menghubungi Rena untuk memanggil Rio ke ruangannya.

Tak lama kemudian Rio datang ke ruangan Tommy, belum sempat Rio duduk, Tommy langsung menghujam nya dengan perkataan yang tidak enak di dengar.

"Rio, lo itu gimana sih? Masa lo ngehandle anak buah lo aja gak becus banget ? Lo itu sebenernya bisa kerja gak sih? Lo tau gak berapa kerugian akibat anak buah lo ini? Pokoknya gue gak mau tau, lo harus bisa menuhin target penjualan bulan ini 1000 pcs". Tegas Tommy.

"Apa? Tapi Tom—Bapak Tommy, ini kantor bukan cafe dan gue ini atasan lo. Jadi lo harus panggil gue bapak, ngerti lo? Udah sana keluar bikin pusing aja". Tommy langsung memotong ucapan Rio.

Dengan perasaan kesal Rio langsung keluar dari ruangan Tommy, sementara Rena yang melihat raut wajah Rio berubah setelah keluar dari ruangan Tommy, langsung menghampiri Rio untuk menanyakan sesuatu.

"Mas Rio, Mas Rio, kenapa? Apa ada masalah? Kok wajah Mas Rio ditekuk gitu sih pas abis keluar dari ruangan Pak Tommy". Tanya Rena bingung.

Rio menghela nafasnya. "Bos kamu tuh, gila". Jawab Rio ketus dan langsung pergi dari hadapan Rena.

Rena langsung bergegas masuk ke dalam ruangan Tommy, ia berusaha untuk mendinginkan suasana hati Tommy yang sedang tidak stabil.

"Mas, kenapa sih? Ada masalah? Kok mukanya gak enak gitu sih dilihatnya. Cerita sama aku kalau ada masalah, aku gak mau kamu banyak pikiran menjelang pernikahan kita". Ujar Rena lirih.

Tommy menghela nafas panjang. "Aku gak apa-apa sayang, cuma ada sedikit masalah aja sama bagian penjualan. Tapi kamu gak usah khawatir, aku bisa menyelesaikan semuanya. Yaudah yuk kita pergi makan siang". Ajak Tommy yang langsung bergegas merangkul pinggang Rena.

Di lain tempat, Rio yang masih kesal dengan perlakuan Tommy, menatap sinis ke arah Tommy dan Rena dari kejauhan. Rio tidak terima karena telah diperlakukan buruk oleh sahabatnya tersebut.

"Awas lu ya Tom, gue bakal bikin perhitungan untuk kejadian hari ini". Gumam Rio kesal.

Sementara itu di lain tempat, Tommy dan Rena yang baru saja tiba di restoran segera memesan beberapa makanan. Tommy merasa sangat lelah memikirkan pekerjaannya yang saat ini sedang mengalami penurunan.

"Mas, kamu gak apa-apa?". Tanya Rena.

"Aku gak apa-apa kok, memangnya kenapa?".

"Aku lihat kayanya kamu lesu banget, kaya gak ada gairah".

Tommy tersenyum dan mendekat pada Rena lalu berbisik lirih di telinga Rena. "Kalau gitu bikin aku bergairah dong".

Rena tertawa mendengar ucapan Tommy. "Yaudah nanti malam nginep di apartemen aku ya".

"Siap sayang". Sahut Tommy yang langsung mencium pipi kiri Rena.

❤ ❤ ❤

Amar

"Kamu lagi ngelamunin apa sih, nak?". Tanya sang mama.

"Mama, bikin aku kaget aja. Gak ngelamun kok ma, aku lagi santai aja".

"Gak usah bohong sama mama, mama tau kok kamu lagi mikirin Sabila kan?".

Amar menghela nafas. "Aku ngerasa bersalah banget ma, udah nyatain perasaan aku sama Sabila".

"Jadi karena masalah itu makanya kamu minta di pindah tugaskan ke Jogja?"

"Mama tau sendiri kan, aku bener-bener malu ma. Aku juga bingung kenapa aku gak bisa nahan diriku untuk gak nyatain semua perasaan ku sama Sabila".

"Mama ngerti perasaan kamu, Amar. Tapi seharusnya kamu gak pindah gitu aja, apalagi kamu sama sekali gak kasih kabar ke Sabila. Yasudah pokoknya kamu tenangin pikiran kamu dulu, mama harus pergi dulu sekarang ya. Pesawat mama take off jam sepuluh malam".

"Aku antar ke bandara ya ma".

"Gak usah, nak. Mama di antar Pak Urip aja".

"Yaudah mama hati-hati ya, kalau sudah sampai Jakarta langsung kabari aku".

Sang mama segera mengecup pipi anak laki-lakinya, Amar bersyukur memiliki orang tua seperti sang mama.

Maafkan aku Sabila, aku gak bermaksud untuk menjauh dari kamu. Tapi aku malu sama sikap aku yang tidak tau diri.

Keesokan paginya, Amar terlihat sangat buru-buru untuk berangkat ke rumah sakit. Karena siang ini ia ada jadwal operasi, sesampainya di rumah sakit ia segera bergegas menuju ruangannya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat sosok perempuan yang ia kenal.

Kini mereka berdua saling terdiam dan menatap satu sama lain, setelah beberap bulan ini mereka berdua tidak lagi saling bertemu. Namun, Allah pertemukan lagi mereka berdua untuk kedua kalinya.

"Amar". Ujar Sabila.

Amar langsung memajukan langkahnya untuk menghampiri Sabila. Rasa canggung benar-benar menyelimuti hati Amar, ketika cintanya telah ditolak oleh Sabila.

"Sabila? Kamu apa kabar? Kamu di Jogja sekarang? Kamu ngapain disini? Siapa yang sakit?". Tanya Amar.

"Alhamdulillah, aku baik. Aku abis check up aja. Iya, semenjak bercerai aku sengaja kembali ke Jogja untuk menenangkan diri. Kamu tugas di sini sekarang?". Sahut Sabila.

"Apa? Kamu sudah bercerai? Iya, Sabil karena aku di pindah tugaskan disini. Maaf ya kalau aku gak ngabarin kamu waktu aku pindah ke Jogja". Gumam Amar.

"Oh gitu, aku pikir kamu marah sama aku sejak kejadian itu?". Seru Sabila lirih.

Amar tersenyum. "Untuk apa aku marah? Aku gak pernah marah sama kamu, hanya saja pada saat itu momentnya sedang tidak pas dan mungkin aku juga yang terlalu egois. Padahal waktu itu status kamu masih bersuami, aku minta maaf Sabila".

"Ini bukan salah kamu Amar, jadi kamu gak perlu minta maaf. Kalau begitu aku permisi ke apotek dulu". Sahut Sabila lirih sambil menundukkan kepalanya.

Amar pun mempersilakan Sabila, di lihatnya kembali perempuan tersebut dari balik punggungnya. Ketika Amar hendak membalikkan tubuhnya, tak lama kemudian terdengar suara Sabila menyebut namanya.

"Amar". Panggil Sabila.

Amar pun membalikkan tubuhnya kembali. "Iya Sabil?".

"Besok ada reuni akbar di sekolah, kamu jangan lupa datang ya". Ujar Sabila tersenyum.

"Oh iya Sabil, Insha Allah aku akan datang. Terima kasih informasinya". Sahut Amar.

"Yaudah kalau gitu aku ke apotek dulu". Gumam Sabila.

Sementara Amar hanya menganggukkan kepalanya dan bergegas pergi menuju ruangannya. Pikirannya terus mencerna pertemuannya hari ini dengan Sabila yang baru saja usai satu menit yang lalu. Perempuan yang sejak dulu sangat ia cintai, kini telah kembali hadir dan telah tinggal satu kota bersama dirinya.

Namun Amar tidak ingin terburu-buru untuk hal ini, kali ini ia akan mengikuti semua alur waktu yang akan menentukan harus bagaimana hubungannya dengan Sabila. Amar menghela nafas panjang, lalu merebahkan tubuhnya dikursi kerjanya. Detak jantungnya masih berdegup dengan kencang sejak pertemuan tersebut. Amar sangat bersyukur pada Tuhan, karena ia masih di berikan kesempatan kedua untuk kembali bertemu Sabila.

Sementara itu di lain tempat, Sabila yang baru saja selesai mengambil resep obat segera bergegas untuk kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang Sabila masih membayangkan pertemuannya dengan Amar. Namun ada yang berbeda kali ini ketika ia harus berhadapan langsung dengan Amar, rasanya seperti ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Setelah berkendara kurang lebih tiga puluh menit, Sabila pun tiba di rumah. Ia langsung di sambut oleh sang ibu yang sudah menunggunya sejak tadi.

"Assalamualaikum, ibu kenapa duduk di luar?".

"Waalaikumsalam, iya nduk. Ibu dari tadi nungguin kamu".

Sabila mengernyitkan dahinya. "Nunggu aku? Memang ada apa bu?".

Sang ibu langsung mengajak dirinya untuk masuk ke dalam rumah.

"Sabil, jadi gini besok ibu sama bapak mau ke Semarang. Karena anaknya sahabat ibu mau menikah, kamu mau ikut kan? Karena ibu mau— mau jodohin aku sama anaknya temen ibu?". Belum sempat sang ibu menyelesaikan ucapannya Sabila segera memotongnya.

"Bu, terakhir aku menikah di jodohkan dengan anak sahabat bapak. Dan ibu bisa lihat sendiri kan gimana hasilnya? Pernikahan aku hancur berantakan bu".

Sang ibu menghela nafas. "Ya tapi kan teman ibu ini beda, mereka dari kalangan yang berpendidikan dan taat beragama. Jadi gak mungkin dong anak sahabat ibu sama seperti Tommy".

"Bu, cukup. Untuk saat ini aku belum mau memikirkan soal pernikahan, aku masih mau sendiri bu. Tolong jangan paksa aku bu".

Sang ibu menghela nafas. "Yasudah deh, kalau kamu tetap kekeh. Ibu bisa apa".

"Bu, maafin aku ya. Bukannya aku gak mau berbakti sama ibu, tapi saat ini aku benar-benar masih trauma dengan pernikahan. Aku harap ibu bisa mengerti aku".

"Iya nak, ibu mengerti".

"Kalau gitu aku ke kamar dulu ya bu".

"Iya nak".

Sabila segera bergegas dari hadapan ibunya, ia masih tidak percaya jika ibunya memiliki niatan untuk menjodohkannya dengan anak sahabatnya. Tak lama kemudian Santi datang menghampiri Sabila sambil membawakan secangkir teh hangat untuknya.

"Ibu sudah pulang, ini aku bawakan teh hangat untuk ibu".

"Terima kasih Santi".

"Ibu kenapa?". Tanya Santi bingung dan langsung mengambil posisi duduk di samping Sabila.

"Ibu gak apa-apa, San tadi ibu ketemu sama Dokter Amar di rumah sakit".

"Apa? Beneran bu?". Ujar Santi senang.

"Kamu kenapa kok senang gitu? Atau jangan-jangan Santi naksir Dokter Amar ya". Gerling Sabila.

"Ihh.. Ibu apaan sih, orang Dokter Amar itu naksir berat sama ibu".

Sabila tercengang mendengar ucapan Santi. "Apa? Masa sih? Kamu tau dari mana?".

"Kasih tau gak ya".

"Jadi sekarang kamu mau main rahasia-rahasiaan sama ibu?".

Santi tertawa. "Ciee, ada yang penasaran nih".

Amar masih sibuk memilih beberapa makanan yang akan di beli nya, sementara Santi hanya termenung melihat Dokter Amar yang sedang sibuk memilih makanan untuk mereka.

"Kak, pak dokter beli makanan banyak banget ya".

"Iya de, gak tau tuh".

"Emm.. Pak dokter, saya rasa ibu sudah terlalu banyak deh makanannya nanti malah mubazir kalau gak ke makan".

Amar tersenyum. "Santi saya beli ini untuk kamu bawa pulang. Mending sekarang kamu duduk manis disitu bentat lagi saya datang bawa makanan yang akan kita makan disini".

Santi pun hanya mengangguk lalu kembali ke tempat duduk. Lima menit kemudian Amar datang membawa pesanan mereka.

"Nah makanan sudah siap, ayo Fira di makan ya makanannya". Ujar Amar.

"Iya pak dokter, siap".

"Santi, ayo di makan"

"Iya pak, terima kasih".

Mereka pun langsung menyantap makanan yang sudah di pesan oleh Amar. Lalu tiba-tiba Amar sedikit tersedak ketika mendengar pertanyaan Santi.

"Pak dokter sedih ya, di tinggal ibu ke Singapore?". Tanya Santi.

Uhuukk..Uhuukkk..

"Ya ampun pak, maaf ya maaf kalau pertanyaan saya bikin bapak jadi tersedak".

Amar menghela nafas. "Gak apa-apa Santi, kenapa tiba-tiba kamu nanya seperti itu?".

"Emm.. Maaf ya pak waktu itu saya gak sengaja dengar pembicaraan ibu sama bapak pas di rumah. Saya malah setuju kalau bapak mau serius sama Ibu Sabila. Ibu itu orang baik, ibu pantas bahagia bersama bapak. Tadi pas di rumah saya juga gak sengaja lihat bapak nangis pas Ibu mau berangkat, makanya bapak langsung buru-buru ke kamar mandi kan".

Amar menghela nafas. "Saya memang mencintai Sabila sejak masih SMA, namun pada saat itu saya tidak berani menyatakan semuanya pada Sabila. Dan setelah itu kita harus berpisah setelah lulus SMA, karena saya harus kuliah di New York".

"Oh begitu, yah coba aja kalau dulu bapak berani nyatain semuanya. Mungkin sekarang bapak sama ibu sudah bahagia".

Amar tersenyum. "Doakan saja yang terbaik untuk kami berdua ya Santi, yaudah di lanjut lagi ya makannya".

"Begitu ceritanya bu". Ujar Santi.

Sabila menghela nafas, ia tidak menyangka jika Amar benar-benar tulus mencintainya.