Chereads / Jangan Rebut Suamiku / Chapter 8 - Part 7 - Sandiwara

Chapter 8 - Part 7 - Sandiwara

Sabila masih tertegun sambil memandangi langit-langit rumah barunya, ia sedang memikirkan keadaan suaminya. Apakah suaminya baik-baik saja atau tidak, tapi jika ia mengingat kembali apa yang suaminya lakukan padanya. Dirinya kembali teriris jika harus mengingat kejadian tersebut.

Mas Tommy, aku merindukanmu. Aku selalu berdoa semoga kamu bisa kembali ke jalan yang benar. Kamu telah salah langkah mas, aku tau hatimu masih ada rasa iba kepadaku. Gumam Sabila dalam hati.

Tak lama kemudian Santi datang, ia sengaja pulang kerumah di jam istirahat. Ia selalu memantau kondisi ibu angkatnya di setiap jam istirahat kerjanya.

"Assalamualaikum". Ujar Santi dan Fira.

Waalaikumsalam. Sahut Sabila dalam hati.

Fira langsung berlari menuju Sabila, ia langsung mencium kening ibu angkatnya, sementara Santi bergegas pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang yang telah ia bawa dari restoran tempatnya bekerja.

"Bu, hari ini Fira ada ulangan matematika di sekolah dan ibu tau? Fira dapet nilai berapa? Fira dapet nilai 10, bu". Ujar Fira antusias sambil menunjukkan kertas ulangannya.

Sabila pun sangat bangga mendengarnya, ia pun langsung mengedipkan kedua matanya sebanyak satu kali. Fira yang melihat reaksi dari ibu angkatnya langsung berjingkrak kegirangan karena mengetahui ibu angkatnya menyukai nilai ulangannya.

Tak lama kemudian Fira menyadari dan melihat dengan mata kepalanya sendiri jika ibu angkatnya bisa menggerakkan jari-jari tangannya. Sontak hal tersebut membuat Fira kaget dan langsung memanggil sang kakak.

"Kak, kakak, Kak Santi". Panggil Fira.

"Ada apa sayang? Kenapa teriak-teriak gitu sih?". Tanya Santi penasaran.

"Kak lihat ini, ibu bisa menggerakkan jari-jarinya". Gumam Fira sambil menunjuk kerah tangan Sabila.

Santi yang melihat hal tersebut, sontak langsung berlari ke arah Sabila. "Masha Allah, ibu. Ibu bisa menggerakkan jari-jari ibu? Bisa ibu coba sekali lagi?". Ujar Santi.

Sabila pun langsung mencobanya sekali lagi, ia benar-benar bisa menggerakkan kembali jari-jarinya. Santi yang senang melihat kemajuan kondisi ibu angkatnya, tanpa pikir panjang ia langsung bergegas membawa Sabila menuju rumah sakit untuk melakukan checkup.

"Kakak mau bawa ibu kemana?". Tanya Fira polos.

"Kakak mau bawa ibu ke rumah sakit, Fira mau ikut gak?".

Fira pun menganggukkan kepalanya, mereka bertiga langsung bergegas menuju rumah sakit menggunakan taksi online. Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit, mereka bertiga akhirnya tiba di rumah sakit.

Santi langsung bergegas menuju loket pendaftaran untuk mendaftarkan Sabila ke dokter spesialis syaraf. Namun Santi mengalami kendala, karena nomor antriannya telah di habis dan hanya di batasi sebanyak lima ratus orang perharinya.

"Maaf mbak, pendaftaran pasien sudah tutup. Karena batas harian antrian hanya sampai lima ratus dan nomor antriannya telah habis". Ujar petugas loket tersebut.

"Tapi pak, saya mohon kasih kesempatan untuk saya. Saya ingin memeriksakan kondisi ibu saya, saya mohon pak tolong saya". Seru Santi memelas.

"Maaf mbak, tidak bisa. Ini sudah prosedur rumah sakit, mbak bisa kembali mendaftar besok dan datanglah sepagi mungkin agar nomor antriannya tidak kehabisan".

"Tapi pak, saya harus memeriksakan kondisi ibu saya saat ini juga. Tolong saya pak".

Tak lama kemudian datanglah seorang dokter yang menanyakan sesuatu yang terjadi di antara Santi dan petugas loket pendaftaran tersebut.

"Maaf, ada apa ya? Kok saya mendengar seperti ada keributan kecil disini". Ujar dokter tersebut.

"Ini dok, mbak ini maksa untuk mendaftar . Padahal nomor antrian sudah habis, tapi dia tetep kekeh minta di daftarin". Ujar petugas loket tersebut.

"Memangnya kamu mau berobat ke dokter apa? Ibumu dimana?". Tanya dokter tersebut.

"Saya mau ke dokter syaraf dok, ibu saya terkena stroke dan hari ini ia bisa menggerakkan jari-jarinya setelah satu bulan lebih mati rasa. Itu ibu saya". Ujar Santi putus asa sambil menunjuk kearah Sabila.

Dokter tersebut memicingkan matanya, ia seperti mengenali orang yang ada dihadapannya.

"Sabila". Ujar dokter tersebut lirih.

Santi terkejut mendengar dokter tersebut mengenali ibu angkatnya. "Dokter kenal sama ibu saya?".

"Itu ibu kamu? Sabila teman masa kecil saya". Ujar sang dokter.

Santi menggeleng pelan. "Bukan dok, Ibu Sabila adalah ibu angkat saya. Ceritanya panjang dok".

"Pak, tolong buatkan data pasien ibu anak ini ya. Saya yang akan menangani kondisi ibunya". Ujar sang dokter.

"Tapi dok, jumlah pasien dokter hari ini sudah mencapai batas kuota".

"Tidak apa-apa pak, buatkan saja".

Santi tersenyum sumringah."Benarkah dok? Alhamdulillah, terima kasih dokter.

"Iya sama-sama, ayo kita bawa ibu kamu ke ruangan saya".

Setelah menerima data pasien, Santi dan dokter tersebut segera bergegas menemui Sabila. Dokter tersebut tidak menyangka jika harus bertemu Sabila dengan kondisi Sabila yang sangat memprihatinkan.

"Sabila, ini beneran kamu Sabila? Kamu masih ingat aku? Aku Amar temen kecil kamu". Ujar Amar antusias.

Sabila menatap Amar sebentar, kemudian ia mengedipkan kedua matanya sebanyak satu kali.

"Kalau ibu mengedipkan kedua matanya sebanyak satu kali, itu tandanya iya dokter. Berarti ibu ingat sama dokter". Ujar Fira polos.

"Benarkah? Syukurlah kalau kamu masih mengingatku Sabila, mulai saat ini kamu akan jadi pasienku. Jadi kamu gak usah khawatir ya, aku akan memantau kesehatan kamu sampai kamu sembuh". Gumam Amar sambil memegang kedua tangan Sabila.

"Beneran dokter?". Seru Santi.

Amar Tersenyum. "Iya, yasudah ayo kita bawa ibu kalian keruangan saya".

Mereka segera bergegas membawa Sabila keruangan Amar, Santi merasa lega karena ini benar-benar suatu anugerah dari Allah. Begitu pula yang dirasakan Sabila, ia sangat bersyukur bisa bertemu dengan Amar. Teman masa kecilnya yang selalu setia menjaganya dari gangguan anak-anak lain.

Amar, aku tidak menyangka kita dipertemukan kembali setelah sepuluh tahun berpisah dan sekarang kamu sudah menjadi seorang dokter. Aku bangga padamu Amar, akhirnya cita-citamu bisa terwujud. Gumam Sabila dalam hati.

♡♡♡

Rahman begitu sangat tergesa-gesa ketika baru saja turun dari taksi, ia  bergegas menarik kopernya dan berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai dua puluh lima. Kini ia telah tiba di depan pintu kamar apartemennya, Rahman termenung sejenak. Ia tidak sanggup jika harus melihat istrinya berani macam-macam di belakangnya, pikiran itu muncul sejak Rahman merasa ada yang janggal ketika sedang menelpon sang istri.

Ia mulai menekan bel, namun Laras tak kunjung membukakan pintu untuknya. Sampai pada akhirnya rasa sabarnya telah habis, Rahman pun mengetuk pintu tersebut berkali-kali namun Laras juga tak kunjung membukanya.

"Astaga, kemana perginya kamu Laras". Gumam Rahman.

Rahman langsung meraih ponselnya yang berada di saku jasnya, ia segera menghubungi Laras. Namun hasilnya nihil, nomor Laras tidak dapat dihubungi. Tanpa pikir panjang Rahman langsung bergegas pergi dari apartemennya untuk menemui Tommy di rumahnya.

Tak lama kemudian knop pintu terbuka dari dalam, Tommy menengok ke arah kanan dan kiri. Tak ada seorangpun yang datang, ia bergegas menutup pintu dan kembali menemui Laras di dalam kamar mandi.

"Siapa sayang yang datang?". Tanya Laras yang masih asik berendam.

"Gak tau siapa, pas aku buka pintunya udah gak ada orang". Sahut Tommy.

"Yasudah biarin aja, mungkin itu petugas kebersihan apartemen yang selalu rutin untuk mengangkut sampah di setiap kamar penghuni". Ujar Laras sambil meletakkan gelas berisi red wine. "Kemarilah sayang, aku akan membersihkan tubuhmu". Sambung Laras sambil menjulurkan tangannya kearah Tommy.

Tommy pun meraih tangan Laras dan bergegas masuk ke dalam bath up untuk berendam bersama Laras. Laras tersenyum menatap Tommy, Laras langsung mengusapkan spons sabun di tubuh Tommy.

Sementara itu di lain tempat, Rahman telah tiba di rumah sang adik, ia mendapati rumah sang adik yang sangat terlihat sepi seperti tak berpenghuni. Ia mencoba mengetuk pintu, namun belum sempat ia mengetuk, tiba-tiba pintu tersebut dapat terbuka ketika Rahman memegang knop pintu tersebut.

Kok gak di kunci. Gumam Rahman.

Rahman langsung bergegas masuk ke dalam rumah sang adik, Rahman terkejut melihat suasana rumah Tommy yang sangat berantakan. Bantal sofa tergeletak dimana-mana, belum lagi ac ruangan yang di biarkan menyala. Rahman langsung meraih remote ac tersebut dan mematikannya, ia memanggil-manggil nama Tommy namun tak ada jawaban dari dalam.

Tommy.. Sabila.. Aku datang nih. Ujar Rahman sambil mengecek ke setiap sudut ruangan. Namun Rahman tak menemukan mereka disana, setelah Rahman keluar dari dalam kamar utama tiba-tiba ia merasa seperti menginjak sesuatu.

Rahman langsung menyingkirkan kakinya untuk melihat apa yang telah diinjaknya. Rahman terkejut ketika mendapati jepit rambut berlapis emas milik Laras, tentu saja ia mengenali jepit rambut tersebut, karena jepit rambut tersebut adalah pemberian Rahman ketika Laras berulang tahun.

Inikan jepit rambut Laras, kenapa bisa ada disini?. Gumam Rahman bingung.

Tak lama kemudian ponsel Rahman berdering, dilihatnya nama Laras yang tertera di layarnya. Rahman langsung menjawab panggilan telepon tersebut.

Kamu dimana Laras? Kenapa nomornya tidak aktif pas tadi aku telepon. Ujar Rahman.

Maaf mas, tadi aku lagi mandi. Sekarang aku mau makan di Teras Cafe, aku lagi kangen sama kamu mas, makanya aku lagi pengen kesana sambil inget-inget masa-masa pacaran kita dulu. Sahut Laras antusias.

Oh yasudah, kamu hati-hati ya. Kalau begitu aku mau tidur dulu ya.

Iya mas, good night. Mimpi indah ya sayang.

Sambungan telepon pun terputus, Rahman sengaja berbohong karena ia ingin memberikan surprise kepada sang istri. Tanpa pikir panjang, ia segera bergegas menemui Laras di Teras Cafe. Pikirnya Laras pasti senang jika melihat dirinya yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Setelah menempuh waktu selama dua puluh menit akhirnya Rahman tiba di cafe tersebut, ia bisa dengan mudah mencari istrinya karena istrinya pasti duduk di tempat favorite mereka berdua.

Rahman tertegun sejenak melihat Laras bersama dengan adiknya, Tommy. Laras terlihat sangat dekat dengan Tommy, bahkan mereka berdua terlihat seperti pasangan kekasih. Tak lama kemudian Laras menyadari kedatangan Rahman, Laras tercengang tak percaya karena melihat suaminya sudah berada di Indonesia.

"Mas Rahman". Ujar Laras shock.

"Mas Rahman? Mana?". Tommy langsung menoleh ke arah Rahman yang sudah berdiri sekitar sepuluh meter dari tempat duduk mereka.

Tanpa pikir panjang Tommy langsung berlari ke arah sang kakak dan memeluknya. "Mas Rahman kapan dateng, kok gak kasih tau aku sih". Ujar Tommy yang langsung memeluk Rahman.

"Mas Rahman, berati tadi kamu bohongi aku ya? Ah mas mah kenapa gitu sih". Laras pun tak kalah hebohnya memainkan aktingnya, ia langsung memeluk suaminya dengan erat. "Ayo mas kita duduk dulu".

Rahman masih terdiam tanpa sepatah katapun, sampai pada akhirnya Tommy kembali membuka percakapan. "Mas kok diem aja sih, sumpah aku seneng banget mas ada disini". Ujar Tommy.

Rahman menghela nafas. "Aku juga senang kita bertiga bertemu disini, kalian berdua ada urusan apa?". Tanya Rahman ketus.

Tommy melirik kearah Laras kemudian langsung tertawa. "Mas jangan salah sangka dulu, aku disini sama Laras emm.. Maksudku Kak Laras karena aku baru aja tiba dari Singapore, tadinya aku mau minta tolong Kak Laras untuk jemput di bandara sekalian ada yang mau aku omongin sama Kak Laras. Jadi aku mau minta tolong sama Kak Laras untuk jagain Sabila di Singapore karena aku masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan disini, dan kebetulan Kak Laras ngajak ketemuannya disini katanya Kak Laras lagi kangen banget sama mas, makanya dia pengen sarapan di cafe ini". Ujar Tommy.

Gila, jago juga Tommy aktingnya. Gumam Laras dalam hati.

"Oh begitu, aku minta maaf kalau aku sudah berprasangka buruk. Jadi bagaimana keadaan Sabila?". Tanya Rahman.

"Ya begitu deh mas, belum ada kemajuan. Pusing banget aku, kasian juga kalau Sabila harus menderita terus menerus". Ujar Tommy.

"Yasudah kamu yang sabar ya Tom, kalau kamu butuh bantuan Mas sama Kak Laras bilang aja ya. Apalagi kalau kamu sangat membutuhkan biaya untuk pengobatan Sabila, kamu langsung bilang aja ya sama Mas".

"Iya mas terima kasih". Ujar Tommy sambil tersenyum ke arah Rahman dan juga Laras, dengan nakal Tommy langsung meremas paha kiri Laras yang duduk tepat berada disampingnya.

Setelah satu jam mereka berbincang sambil melepas rindu, Rahman pun mengajak Laras untuk pulang. Sementara Laras tidak bisa berbuat apa-apa jika suaminya yang meminta, padahal rencananya setelah ini ia dan Tommy ingin pergi menonton film di bioskop.

"Sayang, kita pulang yuk. Aku cape banget mau istirahat". Ujar Rahman.

"Oh iya, ayo mas. Tom, kakak sama Mas Rahman pulang duluan ya".

"Iya kak, hati-hati ya kak, mas".

"Iya tom, kamu juga hati-hati ya. Yang sabar mengurus Sabila". Sahut Rahman.

Tommy pun hanya mengangguk dan mereka berdua segera berlalu dari hadapan Tommy.

Yah.. Gagal deh kencan sama si Laras, lagian ngapain sih Mas Rahman pake balik segala ke Indonesia. Makin susah nyalurin dah gue nih kalau begini caranya, haduhh. Gerutu Tommy.

Sesampainya di apartemen, Rahman segera bergegas untuk mandi. Sementara Laras segera menyiapkan pakaian untuk sang suami, tak lama kemudian ponsel Laras berdering dan notifikasi pesan singkat telah ia terima dari Tommy. Laras tersenyum ketika melihat nama Tommy di layar ponselnya, ia segera mendownload pesan gambar yang di kirim oleh Tommy.

Laras terkikik kecil ketika melihat wajah Tommy yang sedikit memanyunkan bibirnya, karena dengan begitu Tommy makin terlihat manis dan menggemaskan. Tak lama kemudian Rahman keluar dari dalam kamar mandi, ia terpaku melihat Laras yang sedang asik dengan ponselnya. Sampai-sampai Laras tidak menyadari keberadaannya, Rahman pun segera menghampiri Laras untuk meminta pakaiannya yang masih berada di genggaman Laras.

"Chattingan sama siapa sih, kayanya seru banget". Ujar Rahman.

"Astaga, Mas Rahman, kamu bikin kaget aja deh".

"Ya abis kamu serius gitu sih, sampe aku kelar mandi aja kamu gak sadar kan".

"Iya maaf ya mas, ini temen aku chat. Dia lagi cerita soal suaminya mas, oh ya ini bajunya mas. Kamu mau aku masakin apa untuk makan siang nanti?".

"Gak usah masak sayang, nanti kita delivery aja. Aku gak mau kamu cape, aku lagi pengen berduan aja sama kamu".

"Oh jadi ceritanya ada yang kangen nih sama aku". Seru Laras yang langsung mengalungkan kedua tangannya di leher suaminya.

Tanpa pikir panjang Rahman segera mengecup bibir manis istrinya, sambil perlahan berjalan menuju ranjang tidur mereka. Sementara Laras hanya bisa pasrah menerima cumbuan dari sang suami yang sebenarnya tidak ia inginkan.

Kini bagi Laras, bercinta dengan suaminya seperti sudah kehilangan gairah. Karena ia lebih bergairah jika bercinta dengan Tommy, karena bagimana pun masih terasa sulit bagi Laras untuk menerima Rahman sebagai suaminya, walaupun mereka berdua telah menikah selama satu tahun.

♡♡♡

Amar masih termenung memikirkan kondisi teman lamanya tersebut, siapa lagi kalau bukan Sabila. Gadis pujaannya dulu sewaktu SMA, sesekali Amar membuka kembali album foto lamanya bersama Sabila. Ia tersenyum ketika melihat foto Amar yang pada saat itu sedang berulang tahun dan Sabila memberikan kejutan untuknya. Tak lama kemudian lamunan Amar buyar karena seseorang datang menghampirinya.

"Mama, kirain siapa". Ujar Amar kaget.

Sang mama menghela nafas. "Lagian kamu ngapain udah malem begini masih ngelamun aja di luar? Kamu pasti lagi kangen ya sama Sabila? Amar please, mau sampai kapan kamu nunggu Sabila? Kalau misalnya Sabila sudah menikah gimana? Apa kamu masih terus mau nunggu dia?".

"Mam, please. Jangan bicara seperti itu, ada yang mau aku omongin sama mama".

"Soal apa?". Tanya sang mama sambil mengernyitkan dahinya.

"Sabila come back, ma. Dan sekarang dia jadi pasien aku".

"Apa? Kamu serius Amar? Kenapa kamu bilang soal ini sekarang? Kapan kalian berdua bertemu?".

"Tadi siang ma, dia datang bersama perawatnya ke rumah sakit".

"Tunggu, memangnya Sabila sakit apa?".

"Sabila terserang stroke ma, dan tadi siang perawatnya bilang kalau Sabil sudah mulai bisa mengerakkan tangannya. Makanya mulai hari ini aku memutuskan untuk merawat Sabila sampai sembuh".

"Astaga, kasihan sekali Sabila. Lantas apa Sabila datang bersama suaminya?".

Amar menghela nafasnya. "Tidak ma, dan sayangnya aku gak berani tanya soal itu secara langsung".

"Aduh Amar, kenapa gak langsung kamu tanya. Sebentar ya nak, daddy kamu telepon". Ujar sang mama yang langsung bergegas pergi dari hadapan Amar.

Sementara Amar hanya menganggukkan kepalanya dan kembali membuka album foto halaman berikutnya.

Sabila, andai kamu bicara. Aku pasti sudah menanyakan langsung tentang status kamu saat ini. Karena aku masih menaruh sebuah harapan untuk kamu. Gumam Amar lirih sambil mengelus lembut foto Sabila.

Sementara itu di lain tempat, Santi yang baru saja selesai menyiapkan makan malam di buat terkejut ketika membaca isi pesan singkat yang baru saja ia terima dari Dokter Amar. Santi sangat bahagia karena mulai besok ibu angkatnya mendapatkan perawatan dari rumah sakit secara gratis, karena semua biayanya di tanggung oleh Dokter Amar. Santi segera bergegas menghampiri Sabila dan langsung memberitahu berita ini pada Sabila.

"Bu, barusan Dokter Amar kirim pesan ke saya. Katanya mulai besok dan seterusnya ibu sudah mulai bisa terapi di rumah sakit, karena semua biaya Dokter Amar yang tanggung. Jadi mulai sekarang ibu harus semangat ya untuk sembuh".

Sabila pun mengedipkan kedua matanya sebanyak satu kali tanda ia mengiyakan ucapan Santi. Santi pun senang dan langsung mengusap lembut pipi wanita yang kini sudah menjadi ibu angkatnya, lalu ia langsung menyuapi makan malam untuk Sabila.

"Bu, sekarang kita makan ya. Biar ibu cepat sembuh, aku mau ibu bisa kembali pulih kaya dulu. Pokoknya ibu harus semangat ya untuk sembuh". Gumam Santi.

Sabila hanya bisa memberikan jawaban melalui kedipan matanya, sementara ia merasa sangat bersyukur memiliki Santi dan juga Fira yang begitu tulus menyayanginya. Terlebih lagi ia sangat bersyukur karena kembali di pertemukan oleh Amar, teman lamanya yang begitu dekat dengannya dulu. Ia tidak tau lagi apa jadinya jika tanpa mereka semuanya, yang jelas sekarang ia harus semangat melawan penyakitnya.

Ya Allah, terima kasih sudah mempertemukan aku dengan Amar. Bertahun-tahun kita berdua hilang kontak dan kini Amar datang bagaikan malaikat penolong untukku. Terima kasih ya Allah, aku mohon agar aku di kasih kesempatan untuk sembuh, agar aku bisa membalas semua kebaikan orang-orang yang telah sangat baik terhadapku.

♡♡♡

Tommy

Tommy masih saja sibuk membolak balikkan berkas kerjanya yang masih ia kerjakan, malam ini pikirannya benar-benar sangat kacau. Apalagi kalau bukan karena Laras yang terus menerus bermain di otaknya.

Astaga, kenapa gua jadi kepikiran Laras terus sih. Laras sih enak pasti sekarang lagi mesra-mesraan sama Mas Rahman. Sedangkan gua disini kesepian gak ada yang nemenin, lagian ngapain juga Mas Rahman pake pulang sekarang sih. Kan janjinya pulangnya bulan depan, kalau begini caranya gua gak bakalan punya tempat buat nyalurin hasrat gue. Gerutu Tommy.

Tommy memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya, ia langsung bergegas menuju cafe langganannya. Setelah mengendarai mobilnya selama tiga puluh menit akhirnya Tommy tiba di cafe tersebut.

Ia segera memesan makanan dan minuman pada pelayan cafe, tak lama kemudian terdengar suara seseorang memanggil namanya.

"Tommy". Panggil orang tersebut.

Tommy segera menengadahkan kepalanya melihat orang tersebut. "Kak Laras, Mas Rahman, kalian disini juga?".

"Iya Tom, aku sengaja ajak Laras kesini karena aku mau ngajak Laras Dinner di luar, sengaja biar romantis". Sahut Rahman.

"Oh iya bener mas, lagian kemarin-kemarin kan Kak Laras disini sendirian. Paling cuma bolak-balik kerumah ibu, terus balik ke apartemen. Yaudah silahkan kalau kalian mau makan malam".

"Emm.. Mas gimana kalau kita makan malamnya disini aja, biar bareng sama Tommy. Dia ini kan adik kita, masa ia kita biarin makan sendirian. Nanti apa kalau ada yang liat pasti malah jadi bahan fitnah mas". Seru Laras.

"Iya, kamu bener juga sayang. Yaudah kamu lihat-lihat dulu ya menunya sama Tommy, aku mau ke toilet sebentar". Ujar Rahman.

"Iya mas, jangan lama-lama ya". Sahut Laras sumringah.

Laras segera mengambil posisi duduk di hadapan Tommy, sementara Tommy merasa beruntung karena akhirnya ia bisa bertemu dengan Laras.

"Beb, aku kangen nih. Keras mulu nih dari tadi siang kalau keinget kamu". Ujar Tommy lirih.

"Ihh.. Apaan sih kamu". Gumam Laras sambil tersipu malu.

"Besok bisa kan? Pokonya harus bisa ya, aku kangen banget sama kamu".

"Iya aku usahakan, kalau Mas Rahman lagi keluar rumah. Eh, Mas Rahman dateng, yaudah kita bersikap biasa aja ya biar Mas Rahman gak curiga". Seru Laras.

"Gimana? Udah tau mau pesan apa?". Tanya Rahman.

"Belum sayang, aku sengaja nunggu kamu biar bisa milih menunya bareng".

"Uhh.. So sweet banget sih istri aku". Ujar Rahman yang langsung mengecup pipi kiri istrinya, sementara hal itu membuat Tommy cemburu melihatnya.