Dua minggu kemudian.
Santi sedang sibuk berkutat di dapur menyiapkan masakannya, karena hari ini adalah hari minggu waktunya jadwal Dokter Amar untuk datang ke rumah mengecek kondisi Sabila. Untuk itu Santi selalu memasak dan memberikan suguhan terbaik untuk tamunya.
Tak lama kemudian suara ketukan pintu terdengar, Santi segera bergegas menuju ruang tamu untuk membukanya.
"Pak Rahman, saya kira Dokter Amar?". Ujar Santi.
"Apa Dokter Amar akan kemari?". Tanya Rahman.
"Iya Pak, biasanya setiap hari minggu Dokter Amar selalu yang datang kerumah kami. Karena hari minggu Dokter Amar prakteknya libur, silahkan masuk pak".
"Oh begitu, baik terimakasih Santi".
Santi segera bergegas menuju kamar Sabila untuk memberitahu kedatangan Rahman.
"Bu, di luar ada Pak Rahman". Ujar Santi.
"Benar-kah? Tol-ong ba-wa i-bu ke de-pan nak". Sahut Sabila terbata-bata.
"Baik bu".
Santi segera mendorong kursi roda Sabila dan membawanya keruang tamu, Sabila tersenyum melihat kakak iparnya.
"Bagaimana keadaanmu hari ini Sabila?". Tanya Rahman.
"A-ku ba-ik mas". Sahut Sabila.
"Syukurlah kalau begitu, maksud kedatanganku kemari adalah untuk memberitahumu kalau aku akan membawa kamu berobat menuju Singapore. Minggu depan kamu sudah harus check-up disana untuk itu kita akan berangkat jum'at pagi di minggu ini".
Sabila menoleh ke arah Santi, sementara Santi menganggukkan kepalanya tanda ia mengiyakan permintaan Rahman.
"A-pa tidak mere-potkan Mas Rah-man?".
"Sama sekali tidak Sabila, aku sebagai kakak dari Tommy perlu melakukan ini karena kamu masih bagian dari keluarga kami. Aku tidak mau kalau sampai bapak dan ibu tau kalau kamu ditelantarkan oleh Tommy".
"Ba-iklah mas, a-ku ma-u bero-bat kes-ana. Mungkin ji-ka aku sem-buh mas Tommy bi-sa ber-ubah".
Rahman menghela nafas, ia tidak kuasa untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada Sabila.
"Kamu yang sabar ya Sabila". Ujar Rahman sambil mengelus pundak Sabila. "Kalau begitu, aku pergi dulu ya. Karena aku masih ada pekerjaan, kamu jangan lupa makan dan minum obat ya Sabila, Santi titip ibu ya". Sambungnya lagi.
"Iya pak". Sahut Santi.
Rahman segera bergegas pergi dari rumah Sabila, Santi tak henti-hentinya mengucap syukur karena sebentar lagi ibu angkatnya bisa sembuh total. Santi langsung memeluk erat Sabila, lalu mencium pipi Sabila.
"Pak Rahman baik banget ya bu, Santi senang karena sebentar lagi ibu bisa sembuh total. Ibu yang semangat ya, di lawan ya bu penyakitnya". Ujar Santi.
"I-iya nak". Sahut Sabila lirih.
Saking bahagianya sampai-sampai mereka berdua tidak menyadari kedatangan Amar. Sampai pada akhirnya Sabila melihat Amar sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
"Am-ar". Ujar Sabila.
Santi langsung melepas pelukannya dan menoleh ke arah dokter Amar.
"Dokter Amar, silahkan masuk". Ujar Santi.
Amar tersenyum. "Assalamualaikum".
Waalaikumsalam. Sahut Santi dan Sabila.
"Sepertinya ada kebahagiaan yang tercipta di pagi ini, ada apa Santi? Saya senang sekali melihat moment seperti tadi". Ujar Amar.
Santi tersenyum. "Iya dok, barusan kakak iparnya Ibu Sabila datang. Lalu beliau mengatakan kalau ibu akan di bawa ke Singapore untuk berobat di sana". Seru Santi sumringah.
"Benarkah? Syukurlah kalau begitu, saya ikut senang mendengarnya. Lalu kapan kalian berangkat?". Tanya Amar.
"Minggu ini dok, tepatnya di hari jum'at". Ujar Santi. "Kalau begitu saya tinggal dulu ya dok ke dapur". Sambung Santi.
"Iya Santi, silahkan". Sahut Amar.
Amar tersenyum pada Sabila, sementara Sabila tersipu malu karena tatapan Amar.
"Kamu beruntung Sabila, bertemu orang sebaik Santi yang sangat menyayangi kamu". Ujar Amar.
"I-iya Amar, ka-mu ben-ar. A-ku gak tau la-gi apa ja-dinya tan-pa San-ti". Sahut Sabila.
"Sabila kamu yang kuat ya dalam menjalani cobaan ini, Sabila ada yang mau aku katakan sama kamu. Sabila sebelum aku pergi ke New york untuk melanjutkan studi ku disana, aku telah menunggu kamu dua jam di tempat kita janjian. Tapi kamu tidak pernah muncul, maka dari itu aku pergi meninggalkan kamu dan meletakkan suratku di atas kursi taman. Karena aku bisa ketinggalan pesawat kalau berada disana lebih lama, Sabila sebenarnya pada saat itu aku mau mengatakan bahwa aku mencintai kamu dan waktu aku tau kabar pernikahanmu dengan suamimu, aku shock dan benar-benar shock mendengarnya dan kini rasa itu masih sama kepadamu Sabila. Aku gak mau kehilangan kamu lagi untuk yang kedua kali". Ujar Amar.
Sabila menitikan air matanya. "Maafkan aku Amar, pada saat itu aku bukannya tidak mau menemui kamu. Pada saat itu, ban sepedaku bocor lalu aku berniat untuk menambalnya terlebih dahulu. Tapi bengkel yang aku datangi sangat ramai, maka dari itu aku memutuskan untuk berjalan kaki menuju tempat kita janjian. Tapi aku tidak menemukanmu disana dan aku juga tidak mendapati suratmu dikursi taman". Sahut Sabila. "Amar saat ini aku sudah bersuami dan kamu tau itu-tapi suami kamu tidak merawatmu dengan baik Sabila". Amar langsung memotong perkataan Sabila.
"Amar, saat ini memang suamiku telah salah jalan. Tapi aku yakin itu bukan kehendaknya, ia hanya lelah dengan tuntutan dunia maka dari itu ia mencoba untuk membebaskan diri dari belenggu tersebut". Sahut Sabila lirih.
Amar menghela nafas. "Aku gak tau hatimu terbuat dari apa, tapi yang jelas kamu itu seperti malaikat. Yang hatinya selalu bersih dan tak pernah dendam walau orang lain telah menyakiti kamu".
Sabila tersenyum. "Kamu juga orang baik Amar, aku yakin kamu pasti bisa menemukan perempuan yang lebih baik dari aku".
Amar kembali menghela nafasnya, ia tidak tau harus berkata apa lagi kepada Sabila. Tapi jauh dalam lubuk hati Amar, rasa cintanya untuk Sabila masih sama dan akan terus tetap sama.
♡♡♡
Laras sedang sibuk mengemasi pakaiannya, lalu memasukannya kedalam koper. Tak lama kemudian Rahman datang dan masuk ke dalam kamar lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur.
"Mas Rahman, kamu sudah pulang". Tanya Laras.
"Iya sudah, kamu baru packing? Emangnya naik pesawat jam berapa?". Ujar Rahman.
"Jam tujuh malem mas, mas gak apa-apa kan kalau aku tinggal? Aku cuma tiga hari kok disana".
"Iya gak apa-apa, tapi kalau aku ikut gimana? Aku kan juga pengen ketemu Sabila".
Ucapan Rahman seketika membuat Laras terdiam mematung tanpa suara.
"Sayang kok diem? Boleh gak kalau aku ikut?". Tanya Rahman.
"Gimana ya mas, kan Tommy cuma beliin tiketnya buat aku. Pesawat yang nanti aku tumpangi juga udah full seat mas". Ujar Laras.
"Oh gitu? Yaudah aku nyusul aja besoknya, gimana? Gampangkan? Kamu tinggal kirimin aja alamat rumah sakitnya dimana".
"Emm.. Gimana ya mas, gak usah deh mas. Aku gak mau kamu kecapean, kamu nikmatin aja waktumu selagi masih di Indonesia. Lagian kan aku disana cuma sebentar mas, cuma tiga hari". Gumam Laras meyakinkan suaminya.
"Yasudah kalau itu maumu, tapi kamu harus hati-hati ya disana. Jangan lupa makan dan kabarin aku terus ya tentang perkembangan Sabila". Sahut Rahman.
Laras tersenyum. "Iya mas, pasti". Laras menghela nafasnya pelan, untung saja suaminya tidak keras kepala memaksa untuk ikut ke Singapore bersama dirinya.
Gila kalau Mas Rahman bener-bener minta ikut, bisa hancur ini semuanya. Gumam Laras dalam hati.
Dua jam berlalu, tak lama kemudian Tommy datang menjemputnya. Rahman pun membukakan pintu untuknya, Tommy terlihat sedikit salah tingkah ketika Rahman memperhatikan penampilannya.
"Kenapa sih mas, kok ngeliatnya tajem banget. Apa ada yang salah sama penampilan aku?". Tanya Tommy bingung.
"Ngak ada kok". Ucap Rahman singkat.
Tak lama kemudian Laras keluar dari dalam kamarnya, lalu menghampiri Rahman dan Tommy.
"Tom, baru datang? Ini koper kakak, tolong bawain ya". Ujar Laras.
"Iya kak baru aja sampe, oh iya kak siap". Sahut Tommy.
"Mas, aku berangkat dulu ya. Kamu jangan lupa makan ya sayang". Ujar Laras yang langsung mengecup pipi Rahman.
"Iya sayang, kamu hati-hati ya. Sampaikan salamku pada Sabila, Tom titip Laras ya". Seru Rahman.
"Iya mas, tenang aja. Kak Laras aman sama aku". Gumam Tommy nyengir.
Mereka berdua segera bergegas pergi meninggalkan Rahman, sementara Rahman tetap bersikap seperti tak mengetahui apa-apa. Dalam diamnya, Rahman telah merancang semua rencananya untuk mengakhiri semua sandiwara Laras dan Tommy.
Sementara itu di lain tempat, Tommy dengan cepat melajukan mobilnya keluar dari area apartemen Laras. Tommy sangat senang karena bisa membawa pergi istri sang kakak. Laras sesekali memeluk dan membelai mesra rambut Tommy.
"Kamu tau gak sih tadi Mas Rahman tuh hampir aja ngerengek kepengen ikut".
Tommy pun langsung menginjak rem secara mendadak dan hal itu membuat Laras tersentak kaget. "Sayang, kenapa sih kok ngerem mendadak gitu". Gerutu Laras.
"Tadi kamu bilang apa? Mas Rahman mau ikut?".
"Iya Mas Rahman hampir minta ikut, alesannya dia kepengen tau kondisi Sabil lah. Terus gimana dong beb, kalau nanti Mas Rahman nanyain Sabil terus?".
"Kamu tenang aja sayang, urusan itu biar aku yang atur. Kamu gak usah mikirin itu ya".
Laras menganggukkan kepalanya, sementara Tommy kembali melajukkan mobilnya.
♡♡♡
Tiga hari kemudian.
Rahman sedang sibuk mengemasi pakaiannya, karena besok pagi dirinya akan bertolak ke Singapore untuk mengantar Sabila berobat disana. Laras yang baru saja pulang berbelanja, terkejut melihat Rahman yang sedang mengemasi barang-barangnya.
"Loh, Mas Rahman, mas mau kemana?". Tanya Laras bingung.
"Aku ada kerjaan di Korea selama tiga bulan, maaf kalau aku belum kasih tau kamu sebelumnya. Soalnya ini dadakan, aku baru dikasih tau kemarin malam". Ujar Rahman.
"Apa? Korea? Aku ikut mas". Rengek Laras.
Rahman menghela nafasnya. "Aku minta maaf sayang, tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa mengajak kamu. Karena aku benar-benar full bekerja disana".
"Gak apa-apa mas, kan nanti aku bisa jalan-jalan sendiri". Seru Laras.
"Aku benar-benar minta maaf sayang, kali ini kamu tidak bisa ikut".
Laras mengerucutkan bibirnya, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa yang berada disudut kamarnya. Tiba-tiba pikirannya berubah menjadi senang karena suaminya akan pergi meninggalkannya selama tiga bulan.
Benar juga ya, ngapain ngerengek pengen ikut ke Korea kalau di sini aku bisa bersenang-senang bersama Tommy. Apalagi Mas Rahman perginya sampai tiga bulan, asik bisa puas-puasin nih di apartemen sama Tommy. Laras terkikik pelan.
Ia langsung mengirim pesan singkat untuk Tommy tentang kabar gembira ini.
To : Tommy
Sayang, aku punya kabar gembira buat kamu. Besok pagi Mas Rahman akan pergi ke Korea selama tiga bulan, kita tidak boleh menyianyiakan kesempatan ini sayang pokoknya aku tunggu kamu besok malam ya sayang ❤
Laras tersenyum, rona kebahagiaan sangat terpancar di wajahnya. Sementara Rahman telah mengetahui apa isi pesan singkat istrinya yang Di kirim untuk Tommy. Karena tanpa sepengetahuan Laras, Rahman telah menyadap seluruh percakapan istrinya dengan Tommy dan tak lupa juga Rahman telah memasang kamera cctv disetiap sudut ruangan apartemennya. Karena semua rekaman tersebut akan Rahman jadikan sebagai bukti perselingkuhan mereka berdua.
Keesokan Harinya.
Rahman terbangun dari tidurnya, ia pun menoleh ke arah Laras yang masih tertidur pulas di sampingnya. Hatinya begitu teriris ketika ia terus memandangi wajah istrinya, Rahman benar-benar tidak menyangka jika sang istri bisa memiliki hubungan terlarang bersama adik kandungnya.
Rahman pun segera bergegas menuju kamar mandi, karena hari ini ia harus pergi ke Singapore untuk membawa adik iparnya berobat disana. Sementara Laras mulai terbangun dari tidurnya ketika suara gaduh terdengar di dalam kamarnya.
"Mas, kamu udah mandi? Kamu cari apa?". Tanya Laras sambil mengucek matanya.
"Aku lagi nyari kemeja yang biasa aku pake, kok gak ada ya?". Ujar Rahman bingung.
"Kemeja yang mana sih mas?". Gumam Laras yang bergegas berjalan menghampiri suaminya. "Mas, kamu kan bisa bangunin aku buat bantu cariin kemejanya. Yaudah sini aku bantu cari ya". Ujar Laras sambil memegang kedua pipi suaminya.
"Aku kasihan mau bangunin kamu, tadi kamu bobonya lagi nyenyak banget. Kemeja warna biru yang dulu aku beli di Jepang, waktu kita pergi honeymoon kesana, kamu pasti tau kan?".
Laras menelan ludah, karena seingatnya kemeja tersebut di pinjam oleh Tommy ketika Tommy menginap di apartemennya sebelum Rahman kembali ke Indonesia.
"Oh yang itu, yaudah sebentar ya mas. Aku coba cari dulu ya". Laras bergegas untuk berpura-pura mencari kemeja tersebut di dalam lemari.
Laras menghela nafas, ia memasang wajah frustasi karena tidak berhasil menemukan kemeja yang di carinya.
"Mas, aku udah cari ke semua lemari tapi kok gak ada ya, atau mungkin kemejanya kamu tinggal di New york?". Ujar Laras.
"Nggak, kemeja itu gak pernah aku bawa ke New york. Yasudahlah kalau memang tidak ada, aku pakai kemeja yang lain aja". Seru Rahman kesal.
Rahman segera bergegas mengenakan pakaiannya, sementara Laras pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya. Tak lama kemudian suara bel berbunyi, Laras bergegas menuju ruang tamu untuk melihat siapa yang datang sepagi ini.
Ia terkejut karena Tommy telah datang sepagi ini, ia langsung membukakan pintu untuk Tommy. Laras tersenyum manis pada Tommy lalu memeluknya, Tommy pun membalas pelukan Laras dan mengecup pipi kanannya.
"Kamu kenapa datang sepagi ini? Kan aku bilang datangnya nanti malam". Ujar Laras lirih.
"Aku kan kangen sama kamu, lagi pula aku mau menghormati Mas Rahman yang mau bertugas jauh selama tiga bulan". Sahut Tommy sambil tertawa kecil.
Laras terkikik pelan. "Yaudah yuk kita masuk, aku lagi buat sarapan. Nanti kita sarapan sama-sama". Gumam Laras yang langsung menarik tangan Tommy.
Laras pun segera memanggil suaminya yang masih berada di dalam kamar, kemudian memberitahunya bahwa Tommy datang untuk menemuinya.
"Mas, sudah selesai? Sarapan dulu yuk, oh ya di luar ada Tommy". Ujar Laras dari balik pintu.
Rahman mengernyitkan dahinya. "Iya sebentar, aku pakai sepatu dulu. Yasudah suruh tunggu aja dulu, ajak dia sarapan sama-sama ya sayang". Sahut Rahman.
Laras pun menganggukkan kepalanya dan bergegas kembali ke dapur, sementara Rahman mulai meradang ketika mendengar nama Tommy disebut. Namun ia harus bisa mengatur emosinya dan tetap bersikap seperti biasa untuk memuluskan rencananya. Setelah selesai, Rahman langsung menuju ruang makan untuk sarapan bersama-sama.
Tommy pun langsung menyapa sang kakak yang baru saja keluar dari dalam kamarnya. "Pagi mas, wih.. Ganteng banget si bos ini, keren banget deh jasnya". Ujar Tommy sambil menyeruput kopinya.
Sementara Rahman terdiam menatap Tommy, lalu langsung membalas sapaannya. "Pagi Tom, iya dong profesional". Sahut Rahman. "Kamu keliatan beda banget hari ini Tom, bajumu bagus. Emm.. Sayang, apa Tommy pernah meminjam kemeja ku? Karena kemeja yang sedang ia pakai itu milikku yang sejak tadi kita cari-cari". Sambung Rahman.
Laras berdeham pelan. "Mungkin cuma mirip aja mas, kan kemeja yang kaya gitu gak cuma mas doang yang punya".
"Iya mas, ini kemeja aku kok". Timpal Tommy.
"Boleh aku lihat kerah belakangnya?". Seru Rahman.
"Yaudah liat aja mas". Ujar Tommy kesal.
Rahman segera bergegas berjalan menghampiri Tommy, lalu melihat kerah belakang dari kemeja tersebut. Tommy dan Laras terkejut ketika mendengar ucapan Rahman.
"Nahkan, ini benar-benar kemeja milikku. Dibelakang kerah ini ada bordiran namaku Rahman Permana". Ujar Rahman sambil menatap sinis wajah Laras.
"Apa iya mas?". Sahut Laras yang langsung beranjak dari duduknya dan menghampiri suaminya. "Oh iya bener ada namanya, ah sekarang aku ingat waktu itu Tommy emang pernah pinjam baju kamu, Mas. Kamu inget gak Tom waktu kran air wastafel dapurku bocor kan aku minta tolong kamu buat benerin, terus pas kamu buka kran airnya langsung menyembur ke arah kamu dan baju kamu basah semua dan setelah itu aku buru-buru ambil baju Mas Rahman buat di pakai kamu, karena baju kamu basah semua". Sambung Laras.
"Oh iya kak, iya mas bener kata Kak Laras. Maaf mas aku lupa kalau aku pernah pinjam bajunya Mas Rahman". Ujar Tommy nyengir.
Rahman menghela nafas, lalu kembali duduk di kursinya dan memulai sarapannya. Laras dan Tommy pun ikut menghela nafasnya pelan, hampir saja kebohongan mereka berdua terbongkar.
"Kamu tau dari mana Tom, kalau kakak hari ini mau pergi tugas?". Tanya Rahman.
"Pastinya dari Kak Laras dong, kan aku sudah pesen sama Kak Laras kalau Mas Rahman mau pergi tugas kemana pun, aku minta di kasih tau. Karena aku ingin mengantar mas, bagaimanapun doaku selalu menyertai mas". Ujar Tommy.
"Ciee.. So sweet banget kamu Tom". Timpal Laras.
Pintar sekali sandiwaramu Tom. Gumam Rahman dalam hati.
"Terima kasih Tom, Mas bangga punya adik yang perhatian sama kakaknya". Sahut Rahman.
Mereka bertiga kembali melanjutkan sarapannya, setelah selesai sarapan Rahman segera bersiap-siap untuk berangkat. Tommy menawarinya untuk mengantarnya sampai ke bandara, namun tawaran Tommy tersebut di tolak oleh Rahman.
Laras dan Tommy pun akhirnya mengantar Rahman sampai ke Lobby apartemen, setelah mobil Rahman berlalu dan sudah tidak kelihatan. Tommy langsung menarik tangan Laras untuk kembali ke kamarnya, setibanya di dalam elevator, Tommy langsung menyandarkan tubuh Laras di dinding elevator tersebut lalu ia langsung mengecup bibir Laras. Laras tersenyum dan langsung berlalu dari hadapan Tommy ketika pintu lift terbuka, sementara Tommy segera bergegas mengekori Laras. Sesampainya mereka di dalam kamar, Tommy segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Sementara Laras langsung menganti pakaiannya, Tommy tersenyum melihat Laras yang baru saja keluar dari ruang wardrobe.
"Kamu cantik banget sih hari ini". Puji Tommy.
"Itu mulu sih gombalannya, gak ada yang lain apa?". Gerutu Laras.
Tommy tertawa. "Kamu tambah cantik kalau lagi galak".
"Ahh.. Kamu nih ya, gak asik".
"Becanda sayang, gitu aja ngambek. Tapi emang beneran deh kamu mau lagi gimana aja tetep cantik. Oh ya, kok tumben banget sih Mas Rahman perginya dadakan gitu".
Laras menghela nafas. "Aku juga gak tau. Tadi pas aku sampe rumah, dia udah lagi packing".
"Itu serius perginya sampe tiga bulan?".
"Bilangnya sih begitu, jadi gimana?".
"Gimana apanya?". Tanya Tommy bingung.
"Jadi kamu gak mau temenin aku disini selama tiga bulan?".
"Oh itu, ya mau dong sayang". Gumam Tommy sambil menarik tangan Laras dan membawa Laras ke dalam pelukannya.
❤ ❤ ❤
Rahman baru saja tiba di rumah kontrakan Sabila, ia bergegas turun dari dalam mobil dan menghampiri Sabila yang sedari tadi sudah menunggunya di teras.
"Assalamualaikum". Ujar Rahman.
"Waalaikumsalam, Pak Rahman silahkan masuk". Sahut Santi.
"Terima kasih Santi, saya disini aja soalnya kita harus berangkat sekarang".
Tak lama kemudian Amar keluar dari dalam rumah Sabila. "Pak Rahman, sudah datang".
"Oh, hai Dokter Amar. Dokter disini juga".
"Iya pak, kebetulan saya mau ikut mengantar Sabila sampai ke Bandara".
"Oh kebetulan kalau dokter mau anter kita, kebetulan saya juga gak bawa mobil dan cuma pakai taksi aja. Jadi Santi sama Fira juga bisa ikut anter kita berdua ke Bandara".
"Pak Rahman, saya bolehkan kalau satu mobil sama bapak?".
"San-ti ke-napa gak sa-ma i-bu aja, nak". Sahut Sabila.
"Bu, santi gak mau ganggu ibu sama Dokter Amar. Ibu sama Dokter Amar kan udah lama gak ketemu, jadi Santi mau ngasih ruang untuk ibu dan dokter agar bisa sharing".
Amar tersenyum. "Makasih ya Santi".
"Yaudah yuk Santi, kita ke mobil sekarang". Ajak Rahman.
Santi pun langsung membawakan barang bawaan milik Sabila dan memasukkannya ke dalam bagasi taksi. Sementara Amar segera mendorong kursi roda Sabila dan membantu Sabila masuk ke dalam mobil. Setelah semuanya siap, Amar segera melajukan mobilnya dengan hati-hati. Sepanjang perjalanan keheningan begitu terasa di antara mereka berdua, sampai pada akhirnya Amar mencoba untuk memcairkan suasana.
"Sabil, aku berpesan sama kamu. Selama kamu di Singapore, kamu harus semangat ya terapinya. Nanti Insha Allah sesekali aku pasti jengukin kamu". Ujar Amar.
"I-ya Am-ar do-akan a-ku sem-oga di lan-carkan".
"Iya itu pasti, aku tidak henti-hentinya untuk mendoakan kamu".
Sementara itu di lain tempat, Santi yang berada satu mobil dengan Rahman, merasa agak kaku ketika harus bersama di tempat yang sama. Rahman pun mencoba untuk mencairkan suasana agar tidak terlalu serius.
Rahman menghela nafas. "Ehm.. Kamu masih kuliah Santi?". Tanya Rahman.
"Hah? Saya pak? Nggak pak, kebetulan sekarang saya kerja".
"Oh kerja, emang kerja dimana?".
"Saya kerja di rumah makan pak".
"Orang tua kamu, sudah lama meninggal?".
"Ayah saya sudah meninggal lima tahun yang lalu, sementara ibu saya baru meninggal satu tahun yang lalu".
"Saya salut sama kamu Santi, kamu bisa bertahan hidup untuk menghidupi kamu, adikmu dan juga ibu angkatmu. Saya sebagai kakak kandung dari Pak Tommy, jadi merasa malu".
"Kenapa malu pak?". Tanya Santi bingung.
"Harusnya kamu tidak terbebani dengan membiayai kebutuhan hidup adik ipar saya. Harusnya adik saya yang bertanggung jawab atas istrinya, bukan kamu".
Santi tersenyum. "Tidak apa-apa pak, saya ikhlas bantu Ibu Sabila. Malah saya yang mau berterima kasih sama bapak, karena bapak sudah mau membawa Ibu Sabila berobat ke Singapore".
"Memang sudah menjadi tanggung jawab saya Santi, oh ya jangan panggil bapak dong terlalu formal lagi pula saya ini juga masih muda kok". Seru Rahman.
"Ah gak mau, lagian kan bapak juga lebih tua dari saya".
"Emang umur kamu berapa?".
"19 tahun pak, kalau bapak sendiri?".
"Saya sudah 29 tahun, masih muda kan".
"Tuh kan memang tuaan bapak, kita beda sepuluh tahun". Rahman pun tertawa mendengar ucapan Santi. "Oh ya Santi, ini kartu nama saya. Kalau nanti kamu mau hubungi Ibu Sabila, kamu bisa telepon saya di nomor ini".
"Oh iya pak, terima kasih".
Tidak terasa mereka pun akhirnya tiba di bandara, Santi pun segera membantu Sabila keluar dari dalam mobil, lalu menuntu Sabila sampai ke kursi roda. Mereka berlima segera berjalan menuju konter check-in, Fira sangat antusias melihat ibu angkatnya dan tak henti-hentinya ia selalu menyemangati Sabila.
"Bu, yang semangat ya disana. Pokoknya ibu harus semangat untuk bisa sembuh". Ujar Santi sambil mendorong kursi roda Sabila.
"I-ya say-ang, ka-mu hati-hati ya sel-ama i-bu ga-k a-da di ru-mah".
"Iya bu, ibi tenang aja. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan ibu bisa pulih kembali".
Sabila pun merasa bahagia memiliki orang-orang yang begitu menyayanginya. Dan sesampainya di konter check-in, Rahman segera menuju loket check-in. Setelah menunggu sekitar lima menit, Rahman pun kembali menghampiri Sabila.
"Sabila kita sudah harus masuk ke ruang tunggu". Ujar Rahman.
"Iya mas". Sahut Sabila.
Santi dan Fira langsung memeluk erat Sabila, setelah itu barulah Amar berpamitan dengannya.
"Sabil, kamu harus semangat, harus kuat dan jangan lupa berdoa". Ujar Amar.
"Iya Am-ar, teri-ma kas-ih".
"Pak Rahman, saya titip Sabila ya. Kalau ada apa-apa tolong hubungi saya secepatnya".
"Baik Dokter Amar, sekali lagi terima kasih banyak atas bantuannya".
"Sama-sama Pak Rahman".
"Kalau begitu saya pamit dulu ya dokter, Santi, Fira".
"Hati-hati ya pak". Gumam Santi dan Fira.
"Nah sekarang giliram kita yang pulang ke rumah yuk, atau kita mau nongkrong dulu di cafe?".
"Langsung pulang aja, dok".
"Beneran gak mau mampir dulu ke cafe?".
"Nggak pak, saya cuma gak mau kalau nantinya Fira jadi kecanduan makanan yang ada di cafe, pak"
Amar menghela nafas. "Saya salut dengan kamu Santi, kamu bisa mendidik Fira dengan baik. Tapi kalau saya belikan saja dan untuk di bawa pulang gak apa-apakan? Kan tidak setiap hari ini".
"Iya gak apa-apa kalau emang itu maunya Dokter Amar".
"Nah gitu dong, yaudah yuk kita mampir ke cafe itu bentar". Ujar Amar sambil menunjuk ke sebuah cafe yang berada di dalam bandara tersebut.
Sementara Santi dan Fira bergegas mengekori Amar berjalan di belakangnya. Dan sesampainya di dalam cafe, Amar memutuskan untuk memesan semua menu makanan yang di jual di cafe tersebut. Santi sudah menolaknya akan tetapi Amar tetap kekeh pada pendiriannya, Amar pun berdalih jika semua ini hanyalah hadiah untuk dirinya dan juga sang adik Fira.