Keputusan Rahman untuk menceraikan Laras membuat kedua orang tuanya shock dan tidak percaya. Rahman mencoba untuk menenangkan kedua orang tuanya dan memberikan penjelasan tentang alasannya menceraikan istrinya.
"Papa benar-benar tidak menyangka, Tommy tega berbuat seperti itu sama kamu Rahman, Sabil". Ujar sang papa.
"Kalau memang itu yang terbaik untuk kamu, nak. Lakukanlah, lalu bagaimana dengan Sabil? Apa kamu juga akan menceraikan Tommy?". Tanya mama mertuanya.
Sabila menghela nafasnya. "Aku tidak tau bu".
Rahman mengernyitkan dahinya dan menatap Sabila serius. "Tommy sudah menghianati kamu Sabil, terlebih lagi ia menelantarkan kamu sewaktu kamu sakit". Ujar Rahman.
"Aku tau itu mas, tapi aku sangat mencintai suamiku. Aku ingin memberikan kesempatan kedua untuknya, karena tidak sepantasnya kita menghakimi dosa orang lain". Gumam Sabila lirih.
"Tapi Sabil—Rahman, jika ini sudah keputusan Sabila terimalah dan biarkan adikmu menjadi sadar betapa beruntungnya ia memiliki istri setegar dan sebaik Sabila". Sang papa langsung memotong ucapan Rahman.
"Apakah ucapanmu itu benar Sabila?". Ujar seseorang dari balik pintu.
Orang-orang yang berada di ruang tamu langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut yang ternyata adalah Tommy. Tommy langsung melangkahkan kakinya untuk menghampiri Sabila, lalu bersujud minta ampun di hadapan Sabila.
"Sabil, maafkan aku. Selama ini aku telah khilaf dan telah menelantarkanmu, tapi kini kamu masih mau memberikan aku kesempatan kedua. Aku tidak tau lagi harus membalas dengan apa untuk kebaikanmu, tapi yang jelas aku janji, aku tidak akan mengulanginya lagi". Ujar Tommy lirih.
Sabila menitikan air matanya. "Aku tidak tau keputusanku ini benar atau salah, tapi yang aku tau surga istri terletak pada suaminya. Aku hanya ingin menjadi istri sholehah yang selalu mengingatkan suaminya jika salah, jangan minta maaf sama aku mas tapi minta ampun lah pada Allah. Dan aku mau kamu juga menikahi Kak Laras, karena ia telah mengandung anak kamu".
"Tapi Sabila—mas kalau kamu berani berbuat, kamu juga harus berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu". Sabila langsung memotong ucapan Tommy.
Sementara itu Rahman merasa kesal dengan keputusan yang di ambil oleh Sabila. Ia segera pergi dari hadapan kedua orang tuanya dan juga adik-adiknya.
Seketika mimpinya buyar ketika Rahman terbangun dari tidurnya. Ia langsung menenggak habis air minumnya lalu mencoba untuk mengatur nafasnya yang masih terengah-engah.
Nggak, Sabila gak boleh memberikan kesempatan kedua untuk Tommy. Ia sudah menanggung kemalangan sendirian sejak ia sakit dan aku tidak setuju jika ia harus memberikan kesempatan kedua pada Tommy. Gumam Rahman.
♡♡♡
Kurang ajar kamu Tommy, setelah kamu menikmati segalanya dan aku telah mengandung anak kamu, kini dengan tega kamu bilang harus mengugurkan anak ini. Ujar Laras kesal dan sambil menangis sejadi-jadinya.
Laras benar-benar frustasi, ia tidak sanggup menanggung beban hidupnya sendirian. Perasaanya sangat tidak stabil, ia merasa saat ini sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia sudah kehilangan suaminya, namun kini orang yang benar-benar ia cintai malah dengan tega melukai perasaannya. Laras menyesal dan tidak ingin hidup di dalam derita bersama anak yang tengah dikandungnya. Untuk itu ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara menenggak cairan pembersih lantai sebanyak dua botol.
Kurang dari dua menit, tubuh Laras langsung bereaksi dan sedikit mengejang. Laras sangat merasakan panas di bagian tenggorokan, dada dan juga lambungnya. Seketika Laras langsung tak sadarkan diri dan kemudian mulutnya banyak mengeluarkan busa.
Tak lama kemudian, Tommy yang baru saja tiba di apartment Laras, sedikit terkejut ketika melihat pintu kamar Laras sedikit terbuka. Tommy memutuskan untuk masuk dan memanggil nama Laras, namun tak ada jawaban sedikitpun dari Laras. Ia segera mencari keberadaan Laras, sampai pada akhirnya Tommy menemukan Laras sudah tergeletak tak sadarkan diri di dalam kamar mandi dengan mulut penuh mengeluarkan busa. Tommy panik dan mencoba untuk menyadarkan Laras, namun hasilnya tidak membuahkan hasil. Lalu dengan cepat Tommy segera menelepon petugas apartement untuk menelepon ambulans. Setelah beberapa menit kemudian, tim medis datang untuk memeriksa kondisi Laras, namun naas Laras sudah pergi untuk selamanya.
"Maaf Pak Tommy, Ibu Laras sudah meninggal dunia". Ujar petugas medis.
"Apa? gak mungkin, Laras bangun Laras, bangun jangan tinggalin aku". Teriak Tommy sambil memeluk tubuh Laras.
♡♡♡
Setelah mimpi buruknya semalam, Rahman segera bergegas menuju rumah Sabila di pagi harinya. Ia hanya ingin memastikan jika kondisi adik iparnya tersebut baik-baik saja. Rahman sangat khawatir jika Sabila akan memaafkan Tommy dan memilih untuk kembali bersama Tommy.
Setelah berkendara kurang lebih dua puluh menit, Rahman pun tiba dirumah Sabila. Rahman segera bergegas turun dari dalam mobilnya lalu mengetuk pintu rumah Sabila, belum sempat Rahman mengetuk pintu rumah Sabila. Tiba-tiba seseorang telah membuka pintu tersebut dari dalam.
"Pak Rahman, mari pak silahkan masuk". Ujar Santi.
Rahman tersenyum. "Terimakasih Santi". Sahut Rahman.
"Silahkan duduk pak, sebentar ya pak, saya panggilkan ibu dulu".
"Iya Santi".
Santi langsung bergegas menemui Sabila di kamarnya dan memberi tau jika kakak iparnya telah datang.
"Bu, di depan ada Pak Rahman". Ujar Santi.
"Oh ya? Terimakasih ya Santi, kamu bisa tolong buatkan minuman untuk Pak Rahman".
"Iya bu bisa".
"Terimakasih ya Santi". Ujar Sabila yang langsung bergegas menemui Rahman.
Sabila mengernyitkan dahinya, ia merasa jika kondisi sang kakak sedang tidak baik. Hal itu terlihat dari raut wajah sang kakak yang terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Mas Rahman". Ujar Sabila.
"Sabila, gimana kabar kamu hari ini?". Sahut Rahman.
"Aku baik-baik saja mas, mas sendiri gimana kabarnya?".
"Aku baik, hanya saja ada yang sedikit mengganggu pikiranku Sabil".
Sabila mengernyitkan dahinya. "Ada apa mas? Cerita sama aku".
Rahman langsung menceritakan mimpinya pada Sabila, Sabila tau persis bagaimana ketakutan yang dirasakan oleh kakak iparnya tersebut.
"Mas, itu hanyalah mimpi dan untuk apa yang sedang menimpa kita saat ini biarlah Allah yang menghakimi karena kita tidak berhak menghakimi dosa orang lain".
"Tapi kamu nggak punya niatan buat balik lagi sama Tommy kan?". Tanya Rahman.
Sabila menghela nafas. "Bagaimana mungkin aku bisa kembali bersama orang yang telah tega menelantarkan aku mas, sedangkan aku sangat mencintainya. Itu serasa tidak adil untuk aku mas, jujur aku sangat kecewa pada Kak Laras yang telah tega berbuat seperti itu padaku". Ujar Sabila.
Tak lama kemudian Santi datang membawa dua cangkir teh hangat untuk Sabila dan juga Rahman. Setelah meletakkan cangkir tersebut di atas meja, Santi memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu pada Sabila dan juga Rahman.
"Pak, Bu, Santi mau mengatakan sesuatu tentang Pak Tommy dan juga Ibu Laras". Ujar Santi sedikit gugup.
"Rahasia apa yang kamu tau tentang mereka San? Katakan saja". Sahut Rahman.
Santi mengeluarkan ponselnya, lalu memberikan rekaman video mesra milik Laras dan juga Tommy. Rahman pun tercengang melihat video tersebut.
"Santi, dari mana kamu mendapatkan rekaman ini?". Tanya Rahman penasaran.
"Waktu itu saya sedang menuju kantor Pak Tommy untuk memberitahu Pak Tommy kalau keesokan harinya saya tidak bisa masuk kerja. Tapi ketika saya hendak mengetuk pintu ruangan Pak Tommy, ternyata pintunya tidak tertutup rapat dan setelah saya membukanya perlahan, saya di kagetkan dengan apa yang sedang mereka lakukan. Maka dari itu saya merekamnya dan rekaman tersebut hendak saya pergunakan untuk mengancam Ibu Laras agar tidak mengganggu Pak Tommy lagi". Ujar Santi gugup.
"Astaga Kak Laras, lalu bagaimana lagi kelanjutannya? Ceritakan semuanya pada kami Santi". Gumam Sabila.
"Setelah itu saya mengirim video tersebut ke Ibu Laras, maaf bu kalau saya lancang. Karena pada saat itu saya mengambil nomor Ibu Laras di ponsel Ibu Sabila tanpa sepengetahuan ibu". Seru Santi.
"Cukup Santi tidak usah diteruskan lagi ceritanya". Pinta Rahman.
"Baik pak, kalau begitu saya ke dalam dulu ya pak, bu". Ujar Santi.
"Iya Santi". Sahut Sabila.
Rahman menghela nafas panjangnya begitu pula dengan Sabila, ia tidak menyangka jika suaminya telah lama menghianatinya. Tak lama kemudian ponsel Rahman berdering, Rahman langsung menjawab telepon tersebut yang ternyata dari petugas apartemen miliknya.
Halo, iya selamat siang, apa?!! Innalilahi wainnailaihi rojiun, Baik saya akan segera kesana.
Rahman langsung memasukkan kembali ponselnya kedalam saku celananya. Sabila pun merasa penasaran, karena raut wajah kakak iparnya mendadak seperti bermuram.
"Mas Rahman, ada apa? Telepon dari siapa tadi? Siapa yang meninggal mas?". Tanya Sabila penasaran.
Rahman menatap Sabila sejenak, air matanya langsung jatuh membasahi kedua pipi Rahman.
"Mas, ada apa? Bilang sama aku mas, jangan bikin aku bingung mas". Paksa Sabila.
"Laras bil, Laras".
"Iya kenapa Kak Laras, mas?".
"Laras ditemukan meninggal di apartemen, ia bunuh diri dengan cara meminum cairan pembersih lantai". Ujar Rahman histeris.
"Innalillahi wa innailaihi rojiun, yaudah ayo mas kita kesana sekarang. Kunci mobil mas mana? Biar aku aja yang nyetir".
Rahman langsung memberikan kunci mobilnya pada Sabila, sementara Sabila menemui Santi terlebih dahulu sebelum pergi dan memberitahukan kabar duka ini pada Santi. Setelah itu Sabila dan Rahman langsung bergegas menuju rumah sakit untuk melihat jenazah Laras, Rahman benar-benar terpukul dan tidak menyangka jika Laras harus pergi secepat ini.
Setibanya di rumah sakit, Rahman dan Sabila sudah mendapati Tommy yang sudah berada di sana lebih dulu, Tommy terlihat sangat terpukul ketika mengetahui Laras telah bunuh diri. Rahman langsung naik pitam ketika melihat sosok Tommy yang sudah berdiri dihadapannya, tanpa basa-basi sedikitpun Rahman langsung menghajar Tommy tanpa ampun.
"Kurangajar kamu Tommy, ini semua gara-gara kamu. Laras bunuh diri pasti karena depresi kamu tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya". Ujar Rahman kesal.
Sambil memegangi pipinya Tommy langsung berusaha membalas pukulan Rahman, namun dengan cepat Sabila melerainya.
"Apa mas gak mikir kalau Laras depresi juga karena telah diceraikan oleh Mas Rahman, mikir mas mikir". Teriak Tommy.
"Cukup, apa kalian gak malu bertengkar seperti ini? Malu sama orang lain, ini masalah pribadi kalian. Kalian harus bisa menyelesaikannya dengan kepala dingin bukan dengan kekerasan seperti ini". Seru Sabila. "Mas Rahman, udah jangan ngeladenin Mas Tommy. Tujuan kita kesini untuk melihat jasad Kak Laras". Sambung Sabila yang langsung menarik tangan Rahman dan mengajaknya masuk ke dalam.
Kurangajar, Sabila telah dipengaruhi oleh Mas Rahman. Bagaimana bisa aku mendapatkan kembali Sabila karena ini pasti akan sulit untuk aku. Gumam Tommy dalam hati.
Rahman segera menghampiri jasad Laras, Rahman tidak kuasa membendung air matanya. Rahman langsung memeluk jasad Laras, sementara Sabila mencoba untuk menguatkan Rahman. Setelah semua urusan di rumah sakit selesai, Rahman segera membawa jenazah Laras ke rumah kedua orang tuanya, suasana duka sangat menyelimuti keluarga Permana. Terlebih lagi mertua Laras juga masih tidak percaya jika menantunya bisa melakukan hal senekat ini.
Pemakaman
Rahman mencoba tegar selama mengikuti prosesi pemakaman Laras, dirinya masih tidak menyangka jika Laras akan pergi secepat ini dalam kondisi yang sangat tragis. Sabila terus menguatkan kakak iparnya tersebut, agar mengikhlaskan kepergian Laras.
Sementara Tommy yang turut hadir dalam prosesi pemakaman tersebut, juga masih tampak shock dengan kabar yang menimpa Laras. Terlebih lagi ia juga menyadari jika Laras sedang mengandung anak dari dirinya, walaupun Tommy mengelak awalnya dan tidak ingin bertanggung jawab atas kehamilan Laras namun dirinya juga merasa kasihan melihat bayi yang tidak bersalah itu ikut menanggung dari dosa kedua orang tuanya.
Setelah proses pemakaman selesai, lantunan ayat-ayat suci langsung dibacakan oleh ustadz yang memimpin proses pemakaman Laras. Ketika semua orang sedang khusyuk berdoa, Tommy pun berbisik di telinga Sabila dengan kata-kata yang membuat Sabila terkejut.
"Sayang, aku kangen". Bisik Tommy lirih.
Sabila pun menoleh ke arah Tommy, lalu menatapnya sejenak. Tommy tersenyum manis padanya namun Sabila langsung membuang pandangannya dari wajah Tommy.
Sial, susah banget sih naklukin Sabila. Gumam Tommy dalam hati.
Setelah lantunan do'a-do'a selesai di bacakan, Rahman dan keluarganya pun kembali menuju rumah mereka. Di ikuti dengan keluarga Laras yang juga akan menginap selama tujuh hari di Jakarta. Belum sempat Rahman masuk ke dalam mobilnya, seorang polisi yang menyelidiki kasus kematian Laras datang menghampiri Rahman dan memberikan sesuatu padanya. Rahman pun menerima secarik surat tersebut yang ternyata adalah pesan terakhir dari Laras untuknya.
Rahman langsung memasukan surat tersebut ke dalam saku celananya dan kemudian langsung melanjutkan perjalanannya menuju rumah kedua orangtuanya. Rahman masih terus menyayangkan keputusan Laras untuk mengakhiri hidupnya, terkadang ada rasa bersalah dalam diri Rahman yang telah membuat Laras menjadi depresi. Namun di sisi lain ia juga membenarkan tindakannya untuk menceraikan Laras, karena bagaimanapun Laras telah mengkhianatinya dengan cara berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri.
"Rahman, kamu jangan melamun ya nyetir mobilnya". Ujar sang mama.
"Oh iya mama, nggak kok". Sahut Rahman lirih.
"Mama masih tidak menyangka kalau Laras akan pergi secepat ini, baru saja mama bersyukur atas kesembuhan menantu mama yang satu. Eh tiba-tiba mama malah kehilangan menantu yang lainnya, mama masih penasaran kenapa bisa-bisanya Laras bunuh diri. Padahal sebentar lagikan kalian mau punya anak".
Mendengar ucapan sang mama, seketika Rahman langsung menginjak rem secara mendadak dan hal itu membuat semua penumpang yang ada didalamnya tersentak kaget dan sedikit berteriak.
"Rahman kamu melamun ya". Teriak sang mama.
"Rahman, tenang. Ma, kamu juga jangan banyak membicarakan soal Laras dulu, biarkan Rahman tenang dulu". Ujar sang Papa.
"Iya pah, maafin mama". Sahut sang ibu lirih.
"Mas Rahman, apa kamu baik-baik saja? Kalau kamu belum bisa menyetir biar aku aja mas yang bawa mobilnya". Ujar Sabila.
"Nggak, nggak, biar aku aja yang bawa mobilnya. Denger ya sayang, kamu ini perempuan dan tugas kamu hanya perlu duduk manis aja temenin mama". Timpal Tommy dengan cepat.
Sabila hanya terdiam mendengar ucapan Tommy, sementara Tommy langsung bertukar tempat dengan Rahman. Rahman pun menghela nafas panjangnya, ingin sekali rasanya ia memaki sang adik yang sudah membuat kekacauan di dalam keluarga.
"Mas Rahman, kamu nggak apa-apa? Ini di minum dulu mas, biar kamu agak tenangan". Ujar Sabila yang langsung menyodorkan air mineral untuk Rahman.
Rahman pun langsung menenggak habis air mineral dalam kemasan gelas tersebut. Kini pikirannya bisa sedikit lebih tenang, sementara Tommy masih terus menggerutu dalam hati. Dirinya sangat membenci sang kakak, karena menurutnya Sabila jadi tidak mau mendengarkan perkataannya semenjak Rahman membiayai pengobatan Sabila di Singapura.
Setelah berkendara kurang lebih dua puluh menit, akhirnya mereka tiba di rumah. Tommy langsung turun untuk memapah sang kakak, namun Rahman langsung menepis tangan Tommy.
Kurangajar kamu Mas Rahman, masih untung gue mau bantuin. Liat aja lo nanti kalau mati, gak bakalan gue mau ikut ngangkat keranda lo. Gumam Tommy kesal di dalam hati.
Tommy pun langsung bergegas masuk ke dalam rumah, ia pun langsung mencari-cari Sabila. Setelah menemukan Sabila yang sedang berada di dapur, Tommy pun langsung mencoba memeluknya dari arah belakang dan hal tersebut membuat Sabila tersentak kaget.
"Mas Tommy, kamu apa-apaan sih. Lepasin aku mas". Ujar Sabila sambil berusaha melepaskan diri dari Tommy.
"Aku kangen sama kamu sayang, kan udah lama aku gak peluk kamu". Sahut Tommy sambil terus mempererat pelukannya.
Sabila terus meronta namun Tommy tidak pernah menggubris ucapannya, tak lama kemudian Rahman datang dan langsung menarik Tommy dari pelukan Sabila.
"Kamu jangan keterlaluan Tommy, Sabila sudah bilang lepaskan tapi kamu masih terus memaksanya". Ujar Rahman kesal.
"Apaan sih mas, gak usah ikut campur urusan ku sama Sabila". Protes Tommy.
"Segala sesuatu tentang Sabila, aku harus ikut campur. Karena aku gak mau melihat Sabila menderita". Sahut Rahman.
Tommy tertawa. "Oh ya, kenapa? Atau jangan-jangan selama kalian di Singapore, kalian sudah melakukan—
Belum sempat Tommy melanjutkan ucapannya, Rahman langsung melayangkan pukulannya ke wajah Tommy. "Jaga ucapan kamu Tommy, karena aku tidak pernah sedikitpun menyentuh Sabila". Ujar Rahman kesal.
Tak lama kemudian kedua orang tuanya datang menghampiri mereka, di ikuti dengan langkah ibu dan kakak perempuan Laras.
"Rahman, Tommy. Ada apa? Kenapa kalian bertengkar? Kita ini masih berkabung atas meninggalnya Laras, tapi kenapa kalian berdua malah bertengkar". Ujar sang ibu.
"Bu, semuanya, kalian berhak tau kenapa Laras bunuh diri. Laras bunuh diri karena ia depresi dan yang perlu kalian tau, Laras hamil bukan denganku melainkan dengan Tommy. Laras dan Tommy telah bermain api dibelakang aku dan juga Sabila". Sahut Rahman dengan emosi yang sangat menggebu.
Semua orang yang mendengar pernyataan tersebut tampak shock dan tidak percaya.
"Apa?!! Apa benar itu Tommy?". Tanya sang bapak.
Namun Tommy hanya diam tak bergeming. "Tommy, jawab pertanyaan Papa". Sang Papa mulai naik pitam.
"I-iya pa, Laras hamil anakku". Sahut Tommy lirih sambil menundukkan kepalanya.
Mendengar jawaban Tommy, sang papa langsung mencoba memukulnya. Namun hal tersebut langsung di cegah oleh sang istri.
"Papa benar-benar kecewa sama kamu Tommy, bisa-bisanya kamu menyakiti perasaan istri dan juga kakakmu".
"Pa, sabar pa. Tahan emosi papa, nanti darah tinggi papa bisa kambuh". Ujar sang istri.
"Sudah pa, tenangkan diri papa". Seru Rahman.
"Bagaimana papa bisa diam, melihat anak papa kelakuannya seperti binatang". Teriak sang papa sambil menunjuk ke arah Tommy.
Rahman pun langsung membujuk sang papa untuk pergi dari hadapan Tommy, Tommy masih terdiam begitu juga dengan Sabila. Sabila pun mencoba untuk membuka suara dan mengatakan permintaan cerainya pada Tommy.
"Mas Tommy". Ujar Sabila lirih.
Tommy menoleh ke arah Sabila. "Iya sayang, ada apa?". Sahut Tommy tersenyum.
"Aku mau kamu ceraikan aku". Gumam Sabila lirih.
Tommy terbelalak mendengar ucapan Sabila. "Apa?!! Cerai? Nggak Sabil, aku gak akan menceraikan kamu". Sahut Tommy lantang.
"Tapi mas—dengar ya Sabila, sampai kapanpun aku gak akan menceraikan kamu". Tegas Tommy yang langsung memotong ucapan Sabila.
Tommy pun langsung bergegas pergi dari hadapan Sabila, sementara Sabila hanya bisa terdiam sambil menitikan air matanya.
♡♡♡
Setelah selesai menggelar tahlilan di rumah orangtuanya, Rahman langsung bergegas masuk ke dalam kamarnya. Rahman menghela nafas, lalu ia memutuskan untuk membaca surat terakhir dari Laras.
Dear : Mas Rahman.
Mas, aku minta maaf karena aku sudah mengecewakan kamu, aku sadar tindakan aku sebagai istri kamu sudah salah. Tapi ada hal yang perlu kamu tau, sejak orang tua kita menjodohkan kita, sebenarnya aku sudah mencintai Tommy lebih dulu.
Dan ketika aku tau, aku akan di jodohkan dengan anak keluarga Permana yang aku harapkan itu adalah Tommy. Tapi ternyata yang dijodohkan denganku adalah kamu, awalnya aku menolak tapi karena ayahku ingin sekali melihat aku bahagia hidup dengan kamu, dengan terpaksa aku menerima perjodohan tersebut.
Aku sudah berusaha untuk mencintai kamu mas, tapi ternyata aku tetap tidak bisa dan yang lebih parahnya lagi cinta untuk Tommy masih melekat erat di dalam hatiku. Dan aku juga tau mas, kalau kamu juga tidak bisa mencintai aku.
Aku tau siapa perempuan yang selalu kamu cinta dan sampai saat ini perempuan itu juga masih ada di hatimu kan mas. Sekali lagi aku minta maaf mas, kalau aku gak pernah bisa jadi istri yang baik untuk kamu. Semoga kamu temukan bahagiamu mas, karena aku sudah temukan bahagiaku sendiri disini bersama calon anakku.
Laras.
Rahman menghela nafas panjang setelah selesai membaca surat tersebut. Rahman langsung meraih foto Laras yang berada di meja kerjanya.
Kamu telah salah menilaiku Laras, karena sejak aku sadar bahwa apa yang aku lakukan itu salah. Aku telah berhenti melakukannya dan aku mulai mencoba untuk belajar mencintai kamu. Dan hasilnya, aku bisa melakukannya, aku telah bisa mencintai kamu. Tapi kenapa kamu malah membalas cintaku seperti ini Laras, kenapa?. Gumam Rahman sedih.
Rahman kembali melipat surat tersebut lalu memasukannya kedalam laci meja kerjanya, di dalam laci tersebut Rahman menemukan kembali amplop surat berwarna merah jambu yang telah tersimpan rapi di dalam laci meja kerjanya selama delapan tahun. Rahman pun meraih amplop tersebut, ia ingin kembali membukanya namun ia urungkan niatnya dan kembali memasukannya ke dalam laci.
Tak lama kemudian terdengar suara ketukan di pintu kamarnya, Rahman kembali merapikan meja kerjanya lalu menyeka sisa air mata yang masih melekat di kedua matanya.
"Sabila, ada apa?". Tanya Rahman.
"Mas, ini sudah waktunya makan malam. Ibu sama bapak sudah menunggu kamu untuk makan malam bersama, lagi pula kamu juga belum makan kan mas dari tadi pagi. Kamu makan ya mas, jangan bikin ibu sama bapak kepikiran. Kasihan mereka mas, sudah cukup mereka terbebani dengan masalah kita". Ujar Sabila lirih.
Rahman tersenyum. "Iya Sabil, aku ganti baju dulu ya. Nanti aku nyusul ke bawah ya". Sahut Rahman.
Sabila pun mengiyakan perkataan Rahman, sementara Rahman langsung bergegas mengganti pakaiannya dan segera turun menuju ruang makan untuk makan malam bersama keluarganya.