Satu bulan kemudian.
Sabila sedang bersusah payah menjalani terapi yang sedang ia jalankan. Di temani Santi dan Fira Sabila mencoba menguatkan diri agar dirinya bisa kembali berjalan.
"Bu ayo bu semangat". Ujar Fira antusias sambil berjingkrak kegirangan.
"I-iya". Sahut Sabila terbata-bata.
"Ayo Sabila semangat, aku yakin kamu pasti bisa". Ujar Amar.
"Iya bu, ayo bu. Ibu pasti bisa, di lawan bu penyakitnya karena ibu lebih kuat dari mereka". Gumam Santi.
Sabila tersenyum pada Santi, sementara Santi masih setia menuntun Sabila dari belakang agar dirinya kuat berdiri dan tidak terjatuh. Sementara itu di lain tempat, Rahman yang baru saja keluar dari ruangan dokter seperti menyadari keberadaan Sabila.
Sabila? Apa itu benar Sabila?. Rahman memicingkan matanya dan setelah ia yakin jika yang dilihatnya adalah Sabila, Rahman segera bergegas menghampiri Sabila.
"Sabila? Ini beneran kamu Sabila?". Tanya Rahman.
Sabila menghentikan langkahnya, ia menatap Rahman sejenak. Sabila tersenyum ketika yang ada dihadapannya benar-benar Rahman, kakak iparnya.
"M-as Ra-hman". Ujar Sabila terbata-bata.
"Iya Sabila, ini aku Rahman kakak ipar kamu". Sahut Rahman yang langsung memeluk adik iparnya.
"Dokter bagaimana keadaan adik ipar saya?". Tanya Rahman.
"Mari ikut ke ruangan saya pak, nanti akan saya jelaskan semuanya. Suster tolong di lanjutkan kembali ya terapinya". Ujar Amar.
"Baik, dok".
Rahman pun langsung berjalan mengekori Amar di belakang nya , sesampainya di ruangan Amar, Rahman langsung mencecar sang dokter dengan rentetan pertanyaan.
"Dokter bagaimana keadaan adik saya?". Tanya Rahman.
"Sabar pak, saya akan jelaskan satu persatu. Keadaan Sabila sejauh ini sudah semakin membaik dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena kesehatannya makin hari semakin mengalami kemajuan. Itu semua karena Santi yang begitu telaten merawat Sabila dan juga kegigihan Sabila dalam melawan penyakitnya". Ujar Amar.
"Santi?". Tanya Rahman bingung.
"Iya Santi, anak perempuan yang ada bersama Sabila tadi. Santi yang merawat Sabila ketika suami Sabila mengusirnya dari rumah dan tidak ingin mengurusnya lagi dan kebetulan Sabila adalah teman kecil saya, saya tidak sengaja bertemu dengannya lagi disini untuk itu saya yang menangani kondisi kesehatan Sabila". Ujar Amar.
"Apa? Sabila di usir oleh suaminya? Gak mungkin dok, selama ini Sabila selalu di rawat dengan baik oleh suaminya . Bahkan suaminya telah membawanya untuk berobat ke Singapore".
Amar tersenyum. "Kalau soal itu saya kurang tau, yang tau soal pengobatan Sabila di Singapore hanya Sabila sendiri".
"Baiklah dokter, terima kasih untuk penjelasannya. Saya permisi dulu ingin menemui Sabila". Ujar Rahman yang langsung bergegas keluar dari ruangan Amar.
Rahman keluar dari dalam ruangan Amar dengan wajah yang sangat frustasi, dirinya masih bingung dengan semua yang terjadi saat ini. Yang ia tau, Sabila sedang berada di Singapore dan bagaimana bisa Tommy berbohong padanya. Lalu jika Sabila tidak berada di Singapore, untuk apa Tommy dan Laras pergi berdua menuju Singapore dua minggu yang lalu.
Ini benar-benar ada yang tidak beres, pikir Rahman. Ia bahkan sampai memiliki pikiran jika adik kandungnya telah berselingkuh dengan istrinya.
Kebohongan apa yang sedang kamu rancang, Tom. Gumam Rahman.
Rahman segera mempercepat langkahnya untuk menemui Sabila, ia ingin mendapatkan penjelasan tentang Tommy.
"Fira ikut kakak yuk, biarin ibu sama om ngobrol dulu sebentar". Ujar Santi.
Fira menganggukkan kepalanya lalu bergegas berjalan menuju sang kakak, namun dengan cepat Rahman menahannya.
"Santi tetaplah berada disini, karena saya juga membutuhkan penjelasan dari kamu tentang ibu". Ujar Rahman.
"Baik pak, ada apa?". Sahut Santi.
"Sabila apa selama ini Tommy tidak memperhatikanmu? Apa selama ini Tommy sudah membawamu ke Singapore untuk berobat? Tommy pernah berkata seperti itu padaku". Tanya Rahman.
Sabila menggeleng, namun dengan cepat Santi langsung menjawab seluruh pertanyaan Rahman.
"Pak Tommy sebelumnya sangat perhatian dengan Ibu Sabila tapi tidak tau kenapa Pak Tommy berubah menjadi sangat arogan kepada ibu, sebelum ibu saya bawa keluar dari rumah saat itu saya memergoki Pak Tommy dengan sangat kasar memukuli ibu. Bahkan setiap hari Pak Tommy selalu mabuk-mabukan, rencananya Pak Tommy memang mau membawa ibu berobat ke Singapore tapi sampai pada saat Pak Tommy mengusir ibu dari rumah rencana tersebut tidak pernah terlaksana". Ujar Santi. "Maafin Santi bu, kalau Santi lancang menjelaskan semuanya". Sambungnya lagi.
Sabila tersenyum, sementara Rahman sangat shock mendengar penjelasan Santi. Rahman tidak menyangka jika sang adik bisa begitu tega memperlakukan istrinya seperti itu.
"Apa? Sampai setega itu Tommy memperlakukan kamu? Lalu sekarang ibu tinggal bersama kamu Santi?".
"Iya pak, ibu tinggal di rumah saya".
"Apa terapinya sudah selesai? Kalau sudah ayo saya antar kalian pulang".
"Sudah pak, apa tidak merepotkan bapak?". Tanya Santi.
"Tidak, Sabila kan adik saya sementara kalian berdua adalah malaikatnya adik saya. Jadi kenapa saya harus merasa di repotkan, saya justru senang bisa bertemu kalian disini". Ujar Rahman. "Yasudah yuk kita langsung aja menuju lantai basement ya, ibu biar saya yang urus". Sambung Rahman.
"Baik pak, terimakasih". Sahut Santi.
Mereka berempat segera bergegas menuju lantai basement rumah sakit, Sabila senang karena bisa bertemu kakak iparnya disini. Tapi ia juga takut, jika setelah ini Rahman akan marah pada Tommy karena kebohongan yang Tommy lakukan.
Setelah berkendara kurang lebih lima belas menit, akhirnya mereka tiba di rumah Santi. Rahman terkejut jika adik iparnya tinggal di lingkungan yang menurutnya tidak sehat.
"Kalian tinggal disini?". Tanya Rahman terkejut.
"Iya pak, ini rumah peninggalan almarhum kedua orangtua saya". Ujar Santi sambil membuka kunci pintu rumahnya.
Rahman pun langsung mendorong kursi roda Sabila ketika pintu rumahnya telah terbuka. Walaupun isi di dalam rumahnya rapi dan bersih, namun tetap saja mereka tinggal di area pembuangan sampah akhir yang menurutnya sangat tidak layak untuk ditinggali.
"Santi maaf jika ucapan saya kurang berkenan, apakah rumah ini berdiri di tanah milik keluargamu?". Tanya Rahman.
Santi menggeleng sementara Rahman langsung menjelaskan perihal rumah yang berdiri di tanah milik pemerintah.
"Santi, rumah ini bisa kapan saja digusur. Saya tidak mau kamu dan adik kamu tidak memiliki tempat tinggal dan menurut saya lingkungan disekitar sini juga gak bagus untuk kesehatan kalian bertiga terutama ibu yang dalam proses pemulihan. Apa Santi mau ikut saya pindah kerumah yang baru bersama ibu? Santi gak usah khawatir memikirkan biaya sewanya karena semuanya saya yang akan menanggungnya". Ujar Rahman.
Santi terkejut dan langsung menatap kearah Sabila, sementara Sabila menganggukkan kepalanya tanda menyetujui. "Benarkah pak? Iya saya mau pak, asal kemanapun pergi bersama Ibu Sabila".
"Baiklah kalau begitu, sebaiknya sekarang kamu segera berkemas karena kita akan pindah sore ini juga". Gumam Rahman.
Santi pun langsung bergegas mengemasi barang-barangnya dibantu oleh sang adik. Sementara Rahman mencoba itu menghampiri Sabila, ia tidak menyangka jika adik ipar satu-satunya akan mengalami hal seperti ini.
"Sabil, maafkan aku. Aku gak tau kalau ternyata keadaan kamu akan separah ini, kalau aku tau dari awal aku pasti langsung pulang ke Indonesia dan memberikan perawatan terbaik untuk kamu".
"Ngg-ak apa-apa m-as, a-ku baik-baik sa-ja. M-as a-ku in-gin pu-la-ng ke Jo-gja". Ujar Sabila terbata-bata.
"Kamu kan sedang perawatan, jadi lebih baik kamu tetap disini sampai sembuh. Apa orang tuamu belum tau kalau kamu sakit?".
Sabila menggeleng. "M-as Tommy ti-dak per-nah mem-be-ri-ta-hu or-ang tua-ku ka-lau a-ku sa-kit".
"Baiklah, nanti aku akan minta Papa untuk menghubungi orang tua kamu. Tapi yang jelas kamu harus sembuh demi Santi dan Fira, mereka benar-benar tulus merawat kamu. Aku gak tau lagi gimana jadinya kalau gak ada mereka berdua".
Sabila pun hanya menganggukkan kepalanya, kali ini ia kembali bersyukur karena di pertemukan oleh kakak iparnya.
"Pak Rahman, Santi dan Fira sudah siap".
Rahman menoleh ke arah belakangnya. "Yasudah kalau begitu, ayo kita pergi sekarang".
Sementara itu di lain tempat, Tommy yang baru saja tiba di apartemen Laras, dengan tidak sabar ingin mencumbu istri kakaknya tersebut.
"Sayang apa gak apa-apa kalau aku datang kemari sekarang? Aku takut kalau Mas Rahman curiga sama aku". Ujar Tommy.
"Udah deh, kamu kenapa jadi takut gitu sih? Udah tenang aja, Mas Rahman kalau lagi keluar rumah suka lama pulangnya". Gumam Laras yang langsung mengecup bibir Tommy.
Tak lama kemudian bel apartemen Laras berbunyi.
"Shitt.. Siapa sih ganggu aja". Gerutu Tommy.
Laras segera bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu dan melihat siapa yang datang. Laras terkejut ketika suaminya yang datang, Laras langsung berlari kearah Tommy dan memberitahunya agar ia segera merapikan pakaiannya. Setelah itu Laras kembali menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.
"Mas Rahman, sudah pulang? Di dalam ada Tommy baru saja datang". Ujar Laras salah tingkah.
"Iya sudah, kamu kenapa? Kok kaya gugup gitu liat aku? Oh ya ada Tommy? Ada apa dia kemari? Kayanya akhir-akhir ini Tommy sering banget ya datang kemari selepas pulang kerja". Gumam Rahman.
"Ngak ah, aku biasa aja gak gugup mungkin perasaan mas aja kali. Kok mas ngomongnya gitu sih? Kan itu adik mas sendiri loh, mungkin karena di rumah ia merasa kesepian maka nya ia mampir setiap hari kesini mumpung mas ada di sini kan , lagian kalau nanti mas sudah kembali ke Amerika dia kan gak akan mampir kesini lagi". Ujar Laras setenang mungkin.
"Hmmm". Sahut Rahman singkat yang langsung bergegas meninggalkan Laras.
Laras mengernyitkan dahinya, sementara Rahman segera menemui Tommy yang sedang berada di ruang tengah.
"Hai mas, baru pulang? abis dari mana?". Ujar Tommy santai sambil mengunyah kembali keripik kentang yang tersedia di meja.
"Iya, abis dari rumah sakit biasa cek kesehatan dan kebetulan urusanku sudah selesai makanya aku pulang cepat. Apa sejak tadi kamu membiarkan resleting celana mu terbuka seperti itu?". Gumam Rahman.
Sontak Tommy langsung mengerjap dan menutup resletingnya sementara Laras hanya berdiri mematung di belakang Rahman sambil menelan ludah. Laras takut jika semua kebohongan nya bersama Tommy terbongkar.
"Astaga, bagaimana bisa aku lupa. Barusan aku dari kamar mandi mas, pas Kak Laras bukain pintu. Untung saja Mas Rahman yang liat". Ujar Tommy sambil nyengir.
Laras menghela nafasnya pelan, sementara Rahman langsung duduk di sofa. "Tadi aku seperti melihat Sabila di rumah sakit". Ujar Rahman singkat.
Tommy yang mendengar ucapan Rahman langsung tersedak dan langsung menenggak habis air minumnya. "Apa mas bilang? Mas liat Sabila, gak mungkin mas. Sabila kan lagi di Singapore, pasti mas salah liat".
"Iya mas gak mungkin, minggu depan aja aku mau jengukin Sabila lagi sama Tommy. Kayanya mas salah liat deh, itu pasti orang lain yang kebetulan mirip Sabila".
"Iya mungkin saja aku salah liat". Gumam Rahman.
Aku tidak menyangka kalian berdua kini memang pandai bersandiwara. Gumam Rahman dalam hati.
"Kalau begitu aku ke kamar dulu ya, cape mau istirahat". Ujar Rahman yang langsung bergegas pergi dari hadapan mereka berdua.
Laras bergegas duduk disamping Tommy ketika Rahman sudah masuk ke dalam kamar.
"Apa yang di lihat oleh Mas Rahman itu benar-benar Sabila? Aku takut jika semuanya terbongkar". Gerutu Laras.
"Udah lah sayang, kamu jangan khawatir seperti itu. Semuanya pasti aman, Mas Rahman paling cuma salah liat". Sahut Tommy sambil mengelus mesra wajah Laras.
Sementara itu Rahman yang mendengar percakapan mereka berdua dari dalam kamar merasa sangat geram. Laras dan Tommy tidak mengetahui, jika Rahman baru saja meletakkan alat penyadap suara yang ia letakan di bawah meja. Rahman mencoba tenang dan menunggu saat yang tepat untuk membongkar kebohongan mereka berdua.
Karena kesal melihat kelakuan mereka berdua, Rahman memutuskan untuk pergi lagi dari apartemen nya. Laras dan Tommy sedikit mengerjap ketika Rahman kembali keluar dari dalam kamar.
"Kenapa? Kok kaget gitu?". Tanya Rahman.
"Nggak kok mas, ini si Tommy lagi ngasih liat video lucu. Kamu mau kemana lagi mas? Katanya mau istirahat?".
"Aku mau keluar ada urusan mendadak, mungkin aku pulang agak larut malam ini. Kalau sampai jam makan malam aku belun pulang, kamu makan aja duluan nanti ya".
"Oh iya mas, kamu hati-hati ya".
"Yaudah deh, kalau Mas Rahman mau pergi, aku juga pulang aja deh". Ujar Tommy.
"Lah, kok pulang. Disini aja dulu Tom, ini kan weekend, mending kamu makan siang aja disini. Lagian kalau kamu pulang kan gak ada yang masakin, dari pada jajan mulu ntar boros loh. Yaudah aku berangkat dulu ya sayang".
"Hati-hati mas". Ujar Tommy yang sambil memperhatikan Rahman yang sedang menuju pintu keluar.
Setelah semua di rasa aman, dengan cepat Tommy langsung membuka kaos yang di kenakannya. Tanpa pikir panjang ia langsung mencumbu Laras dan melucuti semua pakaian yang Laras kenakan.
❤❤❤
Rahman baru saja tiba di rumah orang tuanya, kedua orang tuanya sangat senang jika di kunjungi oleh sang anak. Karena sebelum Sabila terserang stroke, Tommy dan Sabila sangat rutin mengunjungi mereka berdua di akhir pekan.
"Ini nak, kopi nya di minum dulu. Ini hangat tidak terlalu panas". Ujar sang mama.
"Terima kasih ma. Mama sama papa sehat kan?". Sahut Rahman sambil menyeruput pelan kopinya.
"Alhamdulillah kita berdua sehat, kamu gimana? Sehatkan? Laras kenapa gak di ajak kesini?". Seru sang papa.
"Alhamdulillah aku juga sehat pah, tadi baru aja aku cek kesehatan di rumah sakit. Kebetulan tadi aku ke rumah sakit sendiri terus langsung mampir kesini, Laras ada di rumah aku biarin dia istirahat".
"Oh begitu, hubungan kalian baik-baik aja kan?". Ujar sang mama.
"Iya ma, kami baik-baik aja. Gak ada yang perlu di khawatirkan".
Rahman menghela nafas. "Pah, apa orang tua Sabila tau kalau Sabila sedang sakit parah?".
"Papa rasa sih tau, karena Tommy yang bilang ke papa kalau adikmu itu sudah memberitahu orang tua Sabila. Bahkan ketika Tommy mau membawa Sabila ke Singapore juga mereka di kasih tau".
"Apa papa sama mama ada bersama Tommy? Waktu mereka berdua berangkat ke Singapore?".
"Nggak mas, waktu itu papa sama mama lagi ada di Bandung. Ada acara pernikahan temannya papa, Tommy cuma telepon aja sewaktu sudah di bandara. Memang ada apa sih mas?". Seru sang mama.
"Gimana ya aku ceritanya, intinya semua yang Tommy ceritakan itu semuanya bohong ma, pa".
"Bohong gimana maksud kamu mas?". Tanya sang papa bingung.
"Selama ini Sabila gak pernah di bawa ke Singapore, bahkan Tommy sudah mengusir Sabila dari rumah dan yang perlu mama papa tau, Tommy juga gak pernah ngasih tau orang tua Sabila kalau Sabila sakit keras".
"Tunggu mas, ini maksudnya gimana? Mama bener-bener bingung".
"Ma, pa, tadi pas aku selesai check up di rumah sakit, aku ketemu Sabila sedang menjalani terapi syaraf. Dan aku juga mendapat kabar yang mengejutkan dari perawatnya Sabila, kalau Tommy itu udah usir Sabila dan yang lebih parahnya lagi perawatnya pernah mergokin Tommy sedang mukuli Sabila".
"Nggak-nggak mungkin Tommy setega itu mas". Ujar sang mama yang mulai menitikan air mata.
"Ma, aku minta maaf tapi memang itu kenyataannya. Kalau mama sama papa gak percaya sekarang ayo kita pergi ke rumah Sabila".
Kedua orang tuanya segera bergegas untuk ikut dengan Rahman. Mereka berdua merasa bersalah dengan apa yang telah anak bungsunya lakukan, terlebih lagi sang mama yang tidak pernah menyangka kalau anak bungsunya bisa berbuat sekeji itu.
"Papa harus ngomong apa nanti sama Gusman, ma. Bisa-bisa persahabatan di antara kita malah jadi hancur".
"Sabar ya pa, semoga kita bisa menemukan jalan keluar untuk masalah ini".
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, mereka bertiga pun tiba di rumah kontrakan yang Sabila tempati. Rahman segera mengetuk pintu dan tak lama kemudian Santi membukakan pintu untuk mereka bertiga.
"Pak Rahman, silahkan masuk".
"Terima kasih Santi, ibu lagi tidur gak? Ini saya datang bersama kedua orang tua saya".
"Ibu ada di kamar pak, sedang latihan menggerakkan tangan. Oh iya, perkenalkan saya Santi, pak, bu. Saya perawatnya Ibu Sabila, mari silahkan duduk. Saya mau kasih tau ibu dulu di dalam".
Santi pun bergegas menuju kamar Sabila dan langsung mendorong kursi roda Sabila ke ruang tamu. Kedua mertuanya di buat shock ketika melihat kondisi menantunya yang sangat memprihatinkan.
"Astagfirullahhaladzim, Sabila anakku. Kenapa kamu jadi begini nduk". Ujar sang ibu mertua yang langsung memeluk erat menantunya.
"I-bu, gi-ma-na ka-bar nya?".
"Ibu baik, nak. Maafin Tommy ya nduk yang udah bikin hidup kamu jadi begini".
"Tommy benar-benar keterlaluan, papa akan bikin perhitungan sama dia". Seru sang papa mertua.
"Pa, su-dah jan-gan ma-rah sama Mas Tommy. Aku nggak apa-apa".
"Gak apa-apa gimana nduk? Kamu ini di telantarin dan kami berdua gak tau sama sekali, kalau dari awal kami berdua tau. Gak akan seperti ini jadinya".
"A-ku baik-baik sa-ja pa, pa to-long kas-ih t-au ba-pak ka-lau a-ku sa-kit".
"Iya papa pasti akan kasih tau bapakmu segera".
❤❤❤
Tommy dan Laras baru saja terbangun dari tidurnya, mereka berdua sangat kelelahan setelah seharian bercinta mencapai tiga rounde. Laras tidak pernah kehilangan gairah ketika sedang melakukan hal tersebut dengan Tommy, bahkan ia merasa lebih bersemangat.
Astaga, udah jam sembilan. Sayang bangun, ini udah jam sembilan malam, mending kamu cepetan pergi dari sini sebelum Mas Rahman pulang. Ujar Laras membangunkan Tommy.
Tommy pun menggeliat dan membuka matanya perlahan. "Apaan sih kamu berisik banget sih sayang".
"Ini udah jam sembilan cepetan kamu pergi dari sini sebelum Mas Rahman pulang".
Tommy langsung mengerjap kaget dan terbangun dari duduknya. "Apa? Udah jam sembilan? Yaudah aku siap-siap dulu ya, abis itu aku pulang".
"Iya udah cepetan pokoknya, aku mau ngerapihin di ruang tengah dulu".
Mereka berdua segera bergegas untuk merapikan kamar dan ruang tengah yang sangat berantakan karena ulah mereka berdua ketika sedang bercinta.
"Sayang, semuanya udah rapi. Aku pulang sekarang ya". Gumam Tommy yang langsung mengecup Laras yang sedang mencuci piring.
"Iya sayang, kamu hati-hati ya".
Tommy pun segera bergegas keluar, ketika ia membuka knop pintu keluar, Tommy di kagetkan dengan Rahman yang sudah berada di hadapannya.
"Mas Rahman bikin kaget aja".
"Oh, kamu masih disini rupanya?". Gumam Rahman.
"Iya mas, nanggung abisnya biar sekalian nebeng makan malam". Seru Tommy nyengir.
"Oh gitu, yaudah hati-hati ya di jalan".
"Iya mas kalau gitu aku pamit dulu ya mas".
Rahman hanya mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah, sementara itu Rahman tampak kaget ketika mendapati istrinya yang hanya menggunakan kemeja putih polos dan celana pendek sepaha.
"Apa kamu serius berpakaian seperti ini ketika sedang ada Tommy?".
"Hah?". Gumam Laras terkejut. "Oh ini, aku baru saja menggantinya mas, pas Tommy keluar dan lagi ngobrol sama kamu".
Rahman menghela nafas. "I am so sorry Laras".
"It's okey, aku lagi panasin makan malam. Kebetulan aku lapar lagi dan pengin makan malam bareng kamu, kamu mau kan mas?". Pinta Laras manja.
Rahman tersenyum. "It's okey, why not. Jadi kali ini kamu masak sup kacang merah kesukaan aku?". Seru Rahman sambil memeluk Laras dari belakang. Namun Rahman mencium aroma parfum laki-laki di belakang lehernya dan juga di baju yang sedang ia kenakan. Rahman mencoba tak peduli soal itu, namun makin lama-lama ia semakin kesal dan mencoba untuk mengatur emosinya.
"Kalau begitu aku mau mandi dulu, kamu lanjutin aja masaknya ya".
"Oke sayang, aku tunggu di meja makan ya".
"Yes, sure". Ujar Rahman yang langsung bergegas pergi dari hadapan Laras. Rahman sangat yakin jika Laras dan Tommy pasti melakukan hal di luar batas wajar mereka, maka dari itu Rahman mencari waktu yang tepat untuk membongkar kebohongan mereka berdua.