๐๐๐
Langit baru saja selesai mencurahkan bulir-bulir bening ke atas permukaan bumi. Hanya menyisakan berkas titik-titik kecil yang mengembun di permukaan kaca jendela. Sesekali angin dingin menyeruak masuk melalui ventilasi udara yang terbuka.
Elena masih duduk tak bergeming di atas tempat tidur bernuansa putih seperti kamar yang ditempati saat ini. Hampir seminggu dia siuman di atas ranjang itu, tak ada hal lain yang dilakukan selain diam membisu seraya menatap jendela kamarnya. Selama hampir seminggu itu pula Danuar belum pernah sekali pun menampakkan batang hidungnya di depan istrinya. Hanya nyonya Rosita, ibunda Danuar, ibunda Elena serta adik-adiknya yang mondar-mondar di rumah sakit itu untuk menemani Elena.
Setiap kali mengingat keadaannya yang telah hancur berantakan atau menyadari ketidakpedulian sang suami lagi, Elena akan menangis sesenggukan sendirian. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Hanya isakan yang sering terdengar memenuhi kamar itu. Bahkan Elena berhenti berbicara kepada orang-orang di sekelilingnya. Elena memilih membisu, mati bersama perasaannya yang tak berbentuk lagi.
"El, mau makan apa?" tanya ibu Elena yang sedang mengupas sebutir jeruk manis. Sejenak matanya melirik putri kesayangannya yang hanya diam menatap jendela kamarnya. Tak ada sahutan.
Dengan telaten sang ibu menyuap buah jeruk ke mulut Elena. Perempuan itu membuka sedikit mulutnya dengan enggan.
"Kata dokter hari ini kamu sudah bisa pulang, Nak. Kamu mau pulang kemana? Ke rumah mertuamu atau ke rumah kita?" lanjut sang ibu yang masih asyik mengupas buah yang lain. Hal itu dilakukan hanya untuk mengusir kegundahan hatinya yang tidak tahan melihat penderitaan putrinya.
"Kamu pulang ke rumah kita saja ya, Nak. Biar ibu yang merawat kamu. Nanti-- nanti ibu izin sama mertua kamu." Akhirnya air mata ibu Elena luruh juga. Wanita tua itu tak bisa menahan isakannya. Sedangkan Elena tetap diam membisu larut dalam dunianya sendiri.
Selesai menyuap makan siang untuk Elena, sang ibu segera mengemasi barang-barang Elena yang akan dibawa pulang. Pintu kamar rawat terbuka dan nyonya Rosita masuk ke dalam ruangan.
"Kenapa berkemas, Dek? Apakah Elena sudah boleh pulang?" tanya nyonya Rosita menyaksikan ibu Elena memasukkan beberapa lembar terakhir pakaian Elena ke dalam tas kulit berwarna hitam.
"Iya, Kak," jawab ibu Elena singkat. Wanita itu masih fokus mengganti baju pasien Elena dengan sebuah gaun terusan berwarna putih.
"Saya telepon sopir dulu supaya bersiap-siap menjemput," ujar nyonya Rosita merogoh ponsel dalam tas mahalnya.
"Tidak perlu, Kak. Kami naik taksi saja. Ini-- sekalian saya minta izin mau membawa Elena pulang ke rumah kami," tukas ibu Elena dengan suara terbata.
"Kenapa, Dek?" Nyonya Rosita mengernyit.
"Biar saya merawat putri saya sendiri. Elena tidak punya apa-apa lagi, dia bahkan tidak akan pernah bisa memberikan anak untuk suaminya. Saya hanya tidak ingin putri saya semakin terluka. Kehilangan rahim dan tidak dipedulikan oleh suaminya sudah cukup membuat dia menderita. Elena melakukan kesalahan besar di masa lalu tapi ... tapi dia tetap putri saya yang berharga. Jika memang suaminya tidak bisa menerima keadaannya lagi, sa-- saya mohon kembalikan saja dia padaku. Biar saya merawatnya sendiri," tandas ibu Elena dengan berlinang air mata. Tak ayal nyonya Rosita ikut menangis mendengar permintaan sang besar.
Nyonya Rosita langsung memeluk tubuh kurus Elena, menumpahkan semua penyesalan dan rasa bersalah atas sikap pengecut Danuar, putranya.
"Maafkan Mama yang tidak bisa merawat kamu dengan baik, El. Maafkan sikap tidak bertanggungjawab Danuar. Dia memang putra Mama yang brengsek dan pengecut. Mama tidak bisa menahan kamu hanya untuk terus disakiti Danuar. Bukan kamu yang salah. Danuar yang salah. Mama malu punya putra yang hina dan pengecut seperti dia. Maafkan Mama, El. Huhuhuhu ...."
Kedua wanita paruh baya itu memeluk Elena bergantian, mencurahkan semua kesedihan mereka. Elena hanya menangis dalam diamnya. Dadanya terus saja sesak oleh sakit hati.
***
Danuar melangkah santai sembari memperhatikan nomor kamar rawat yang dilewatinya. Setelah berhari-hari tidak menghiraukan keadaan sang istri, akhirnya pria itu menurunkan egonya sehabis mendapat nasehat dari sang ayah. Pak Yuda pula yang memberitahu Danuar bahwa Elena sedang dirawat di rumah sakit.
Malam saat Elena dilarikan ke rumah sakit, dokter harus melakukan tindakan ekstrim dengan operasi pengangkatan rahim demi menyelamatkan nyawa Elena. Pak Yuda dan nyonya Rosita dengan berat hati menyetujui prosedur operasi tersebut. Mereka sadar, hal itu akan membuat Elena terpukul kelak bagi seorang wanita sebuah rahim sama dengan nyawa mereka sendiri. Namun hanya tindakan itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan menantu mereka.
Danuar mengembuskan napas perlahan ketika tiba di depan kamar rawat Elena. Sebelum tangannya berhasil mendorong daun pintu agar terbuka, Danuar mendengar ucapan ibu mertuanya yang diiringi isak pilu. Lalu disusul oleh tangisan ibunya yang memeluk tubuh istrinya. Semua dia saksikan dari balik pintu kamar.
Danuar berdiri mematung di depan pintu. Suara tangisan masih terdengar dari dalam ruangan.
Elena telah kehilangan rahimnya dan ibu mertuanya akan membawa Elena pergi.
Seorang perawat datang dengan sebuah kursi roda. Perempuan muda itu mengernyit heran menatap Danuar yang hanya berdiri diam di depan pintu. Ketika sang perawat hendak masuk, Danuar segera menyingkir ke belakang.
Kini dia tidak punya keberanian untuk bertemu istri juga ibu mertuanya. Rasa bersalah memenuhi rongga dadanya. Benar kata ibunya. Dia adalah pria brengsek, pengecut dan tidak bertanggung jawab. Dia telah melukai perasaan Elena dengan kemarahan dan ketidakpeduliannya. Dia meninggalkan istrinya yang sedang sekarat menahan sakit. Dia pun turut andil menghancurkan hati semua orang.
Pintu kamar rawat terbuka. Nyonya Rosita keluar sambil menjinjing tas pakaian Elena disusul oleh ibu Elena yang mendorong kursi roda. Elena duduk diam di atas kursi roda tersebut dengan pandangan kosong.
Tatapan Danuar tertuju pada istrinya yang bersandar lemah pada kursi roda. Elena tidak menatapnya sama sekali. Perempuan itu telah kehilangan cahaya pada wajah cantiknya. Rambut panjang berwarna cokelat bergelombang milik Elena tampak kusut terurai. Kulitnya seputih kertas membungkus tulang-tulang yang menonjol di sekujur tubuhnya. Elena benar-benar terlihat kesakitan.
Tatkala tatapan Danuar bersirobok dengan mata ibu mertuanya, ada kilatan kemarahan di sana. Ibunya pun tak kalah sinis terhadapnya. Kedua ibu itu melangkah pergi bersama sang perawat yang membantu mendorong kursi roda. Meninggalkan Danuar tanpa satu patah kata.
Ketika Danuar sepenuhnya sadar tak ada siapa pun lagi selain dirinya, pria itu segera menyusul Elena ke arah lobi rumah sakit. Akan tetapi dia tak menemukan sosok Elena ataupun ibu mertuanya di sana. Hanya nyonya Rosita yang masih berdiri termenung seolah sengaja menunggunya.
"Ma, mana Elena?" lirih Danuar.
"Oh, kamu masih ingat Elena?" sinis nyonya Rosita tanpa memandang wajah putranya.
"Jangan mencari Elena dan jangan mengingatnya lagi. Bukankah kamu sudah membuangnya? Elena dibawa ibunya untuk dirawat dan Mama tidak bisa menghentikannya," desis nyonya Rosita dengan mata berapi-api. Jika saja mereka tidak sedang berada di tempat umum, mungkin wanita itu sudah menghajar Danuar hingga babak belur.
Danuar kembali terdiam dan menatap punggung ibunya yang masuk ke dalam mobil kemudian melaju pergi.
Danuar gamang. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Semua orang telah membencinya. Bahkan ibunya sendiri. Sikap brengseknya membuat dia kehilangan istrinya. Bagaimana kalau Elena tidak mau kembali lagi dan memilih berpisah dengannya?
Dia marah pada kebohongan Elena dan berniat menghukum perempuan itu dengan mendiamkannya. Tetapi sikapnya malah membuat istrinya hampir meregang nyawa jika tidak segera ditolong oleh kedua orang tuanya.
Danuar membanting tubuhnya yang lesu di atas kursi tunggu. Dia menjambak rambutnya dengan kasar. Rasa penyesalan menyerbunya seiring rasa takut kehilangan Elena.
***
Ibu Elena membopong tubuh lemah Elena ke kamar pribadinya serta membantu membaringkan di atas tempat tidur. Sang ibu dengan cekatan menyiapkan segala keperluan Elena.
"Bu ...," panggil Elena lirih. Ibu Elena seketika menoleh saat mendengar panggilan Elena.
"Kenapa, Nak? Ada yang sakit?" tanya ibu Elena sembari membelai rambut panjang putrinya.
"Maafin Elena sudah-- mengecewakan Mama," gumam Elena dengan suara lemah. Dua tetes bening kristal lolos dari kungkungan kelopak matanya yang cekung.
"Mama sudah maafin Elena. Kamu harus sabar ya, Nak. Masih ada Ibu dan adik-adikmu yang akan menerimamu. Tidak perlu berkecil hati dan putus asa. Sudah seperti ini nasib kita. Kamu harus sembuh dan melupakan semua kepahitan hidup. Kamu harus bisa bertahan dan sehat," hibur ibu Elena memeluk anak perempuan kesayangannya.
Elena telah menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal. Banting tulang bekerja membantu membiayai sekolah adik-adiknya juga biaya kuliahnya sendiri. Hingga akhirnya dia menemukan kebahagiaannya sendiri bersama orang yang dicintai dan mencintainya. Akan tetapi Tuhan masih ingin menguji hambanya. Memberikan cobaan yang sangat berat bagi seorang wanita untuk mengukur seberapa tegar dia menjalani hidup.
"Bu, apakah mas Danuar akan menceraikan Elena?" tanya wanita itu lirih. Sang ibu terdiam sesaat.
"Entahlah. Tetapi kamu harus siap dengan kemungkinan itu. Jika memang suamimu akan menggugat cerai maka kamu harus berlapang dada menerima gugatannya. Kita bukan orang berada yang bisa melawan kuasa suamimu. Sewaktu kamu sakit saja dia tidak peduli apalagi dengan keadaan kamu sekarang yang tidak bisa memberi dia anak," urai ibu Elena. Sementara Elena menangis sesenggukan tak henti meratapi nasibnya. Ibu Elena hanya bisa menghibur putrinya dari waktu ke waktu. Membesarkan hati Elena agar tetap tabah menghadapi kemungkinan Danuar akan menceraikannya nanti.
***
Suasana ruang kerja pak Yuda begitu mencekam. Nyonya Rosita sedang duduk menghadap Danuar di sofa dengan tatapan tajam tak lepas dari Danuar. Sedangkan pak Yuda hanya memandangi keduanya dari kursi kerjanya.
"Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" Nyonya Rosita memulai interogasinya.
"Apa maksud Mama?" tanya Danuar memberanikan diri menatap sang ibu.
"Apakah kamu akan menceraikan Elena?" gertak nyonya Elena. Danuar menghela napas seraya memijat pelipisnya.
"Mama tahu kan kalau Elena tidak akan bisa memberikan seorang pewaris keluarga Raharja. Aku juga anak satu-satunya Papa. Lalu apa yang bisa aku lakukan?" sergah Danuar.
"Jadi kamu akan tega meninggalkan dia dalam keadaan terpuruk seperti itu?" hardik nyonya Rosita emosi. Sebagai sesama wanita dia menganggap sikap Danuar sangat kejam pada Elena.
"Aku juga merasa bersalah, Ma. Tapi aku harus gimana? Aku bisa melihat kebencian ibu Elena padaku. Apakah ibu mertuaku masih mau memaafkanku?" isak Danuar lirih.
"Apakah kamu masih mencintai istrimu?"
Danuar tertegun mendengar pertanyaan ibunya. Cinta? Yah, dia masih mencintai istrinya itu. Tapi apakah cinta masih bisa mempertahankan rumah tangga mereka yang telah diracuni oleh sebuah kebohongan? Elena telah meruntuhkan kepercayaannya. Masih bisakah dia menerima istrinya utuh seperti dahulu?
Bersambung ....
๐๐๐