๐๐๐
Danuar dan Elena duduk di sofa ruang tengah seperti pesakitan yang akan menghadapi sidang tuntutan. Di sofa lainnya di depan mereka Nyonya Rosita duduk diam sambil memijat pelipisnya. Pak Yuda baru saja bergabung setelah istrinya menelepon menyuruhnya segera pulang. Padahal pria tua itu baru saja berencana menghabiskan akhir pekan bersama teman-temanmu.
"Tolong jelaskan! Apa ini Danuar?" tanya Pak Yuda dengan nada tenang.
Elena kian menunduk semakin dalam. Dia sudah siap menghadapi konsekuensi dari perbuatannya. Cepat atau lambat keluarga Danuar pasti akan mengetahuinya.
"Itu- itu hasil pemeriksaan Elena, Pa," jawab Danuar ragu-ragu.
"Pemeriksaan kandungan? Apakah Elena hamil?" tanya Pak Yuda lagi.
Elena langsung menggeleng. Tapi keduanya masih diam.
"Danuar, Elena. Kalian harus tahu. Apa pun yang kalian pertengkarkan itu urusan rumah tangga kalian. Papa dan mama tidak perlu ikut campur kecuali jika sudah sampai merambah pada KDRT. Mamamu bilang kalau dokter yang menangani Elena adalah teman SMP mama dulu. Jadi bukan hal sulit untuk bertanya pada Dokter Wirajaya. Jadi sebelum mamamu jadi kalap dan darah tingginya kumat, sebaiknya kalian bicara," tekan Pak Yuda.
"Elena yang harus menjelaskan itu. Karena aku muak harus mengatakan kebohongannya," desis Danuar dengan tatapan marah kepada Elena.
"Kebohongan? Katakan apa pun itu Elena," desak Nyonya Rosita.
Elena langsung terisak. Dan seketika memerosotkan diri bersimpuh di depan ibu mertuanya.
"Maafkan Elena, Ma. Elena sudah bikin kesalahan di masa lalu. Karena keegoisan Elena sekarang Elena sakit huhuhu ... Elena tidak bisa mengandung. Kandungan Elena infeksi dan tidak bisa punya anak. Maafkan Elena Ma huhuhu ... Elena yang salah," raung Elena menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Pa ..." Nyonya Rosita langsung syok. Dia sudah menduga ada yang tidak beres dengan kertas diagnosis tersebut.
"Lalu apa maksud Danuar tentang kebohongan itu?" cecar Nyonya Rosita.
"Itu- aku- aku pernah aborsi Ma, dan itu yang buat kandunganku infeksi," lirih Elena dengan isakan yang kuat. Suaranya hampir tidak terdengar.
"Astagfirullah. Apa Elena? Aborsi?" pekik Nyonya Rosita. Elena mengangguk pelan. Nyonya Rosita langsung tegang. Begitu pula dengan Pak Yuda. Nyonya Rosita memejamkan matanya dan memijat kepalanya. Semuanya berputar. Informasi yang diterimanya begitu kuat menghantam seperti palu godam besar. Dan wanita tua itu limbung.
"Ma ...!!! pekik Danuar dan Elena bersamaan dan keduanya langsung berdiri menghampiri Nyonya Rosita yang rebah dalam pelukan Pak Yuda. Danuar menghalau tubuh Elena dengan kasar ke samping menyebabkan wanita itu terhuyun ke sofa. Sikunya membentur sandaran tangan sofa. Sementara Danuar langsung duduk di samping ibunya. Kedua pria itu kemudian memapah tubuh Nyonya Rosita ke kamarnya meninggalkan Elena yang masih terisak di tempatnya.
Nyonya Rosita dibaringkan di atas ranjang. Danuar segera mencari obat yang rutin diminum ibunya dan juga meraih segelas air di atas meja nakas.
"Ma, minum obatnya." Danuar menyodorkan beberapa pil ke arah mulut ibunya dibantu Pak Yuda yang menopang istrinya. Nyonya Rosita menurut meski tubuhnya terasa sangat lemah. Setelah itu dia kembali berbaring dan mulutnya tak henti-henti mengucap istigfar.
"Pa, apa dosa kita di masa lalu yang buat kita dapat cobaan begini," racau Nyonya Rosita.
"Huss! Mama tidak boleh ngomong seperti itu. Tetap istigfar," tegur Pak Yuda pada istrinya. Nyonya Rosita kembali mengucap istigfar berkali-kali. Danuar hanya terdiam di samping tempat tidur ibunya. Pikirannya kusut dan penuh. Dia bingung harus bertindak bagaimana.
Sementara Elena hanya bisa terduduk di depan sofa tempat dia jatuh karena didorong oleh Danuar. Dia terus terisak tanpa menghiraukan nyeri pada lebam di sikunya. Kini dia mengkhawatirkan nasibnya di keluarga Danuar. Sikap Danuar yang selalu menghindarinya selama seminggu ini mengindikasikan kalau suaminya benar-benar marah padanya. Belum lagi kedua mertuanya yang sudah mengetahui semuanya.
Membayangkan dirinya tidak akan bisa memberikan keturunan untuk Danuar membuat Elena semakin ketakutan. Bagaimana jika Danuar benar-benar meninggalkannya kelak? Bagaimana jika ibu mertuanya membencinya dan mengusirnya? Bagaimana nanti ibu dan saudaranya akan menanggung cemoohan orang? Bagaimana dia akan bertahan tanpa suaminya yang dicintainya?
Semua pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar di kepalanya seperti baling-baling yang diputar dengan kecepatan penuh. Membuat kepalanya nyeri. Ditambah rasa sakit diperutnya kembali menyengat dan menggigit.
Suara langkah kaki dari arah kamar ibu mertuanya menyadarkan Elena. Dengan menahan rasa sakit dia berdiri dan berhadapan dengan Danuar, suaminya.
"Mas ...!" lirih Elena dengan airmata masih berurai di wajahnya. Danuar berhenti dan memandang wajah Elena tanpa ekspresi. Hanya semenit setelah itu Danuar langsung memalingkan wajahnya dan melangkah menuju pintu depan.
"Mas!!!" Kali ini suara Elena lebih keras. Tetapi Danuar tidak menghiraukan. Terus melangkah dan menghilang di balik pintu yang dibanting dengan keras.
Elena tersedu tanpa suara. Tangannya mencengkeram kemejanya untuk menguatkan dirinya terhadap rasa sakit yang menusuk perut sekaligus memukul dadanya. Sangat menyesakkan.
Dengan tertatih Elena melangkah naik ke lantai dua, masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Saat rasa sakit kian menyengat, Elena menggigit selimut dan meneriakkan rasa sakitnya. Suaranya teredam dalam selimut.
***
Danuar memutuskan tidak akan pulang ke rumah. Dia tidak ingin melihat wajah istrinya yang hanya akan membuat emosinya melonjak naik. Tentang ibunya yang sakit dia tidak khawatir karena ada ayahnya yang akan mengabarinya jika sesuatu terjadi pada ibunya.
Danuar check in di sebuah kamar hotel yang akan menjadi tempatnya menginap selama beberapa hari ke depan. Sampai suasana hatinya membaik. Dia sedang dalam suasana hati buruk pasca pengakuan mencengangkan istrinya.
'Elena sakit? Apa peduliku. Itu akibat perbuatannya sendiri,' dengus Danuar.
Dia membanting tubuhnya yang terasa lelah di atas ranjang hotel. Di sini lebih nyaman ketimbang tidur di kantor. Dia akan mengusir jauh pikirannya dari Elena. Saat ini dia belum bisa berpikir jernih.
Besok awal pekan. Dia juga harus ke kantor. Namun semua perlengkapan kantornya ada di rumah. Segera dia merogoh kantong celananya mengeluarkan ponsel untuk menelepon supir ayahnya.
"Halo, Pak. Bisa bantu saya ... Tolong ambilkan pakaian kerja saya dan juga tas kantor saya ... iya ... bawa ke hotel Mulia ... alamatnya nanti saya kirimkan ... dan jangan kasi tahu papa dan mama saya ... iya itu saja terima kasih Pak." Danuar memutuskan sambungan teleponnya.
Dia meletakkan ponsel di sampingnya kemudian memejamkan mata. Tiba-tiba dia ingat dengan Ayushita. Segera Danuar meraih kembali ponselnya dan menghubungi Ayushita.
Deringan pertama dan kedua tidak diangkat. Nanti pada deringan ketiga baru ada jawaban.
"Assalamu'alaikum!" Suara Ayushita terdengar datar.
"Wa'alaikumussalam. Kamu ngapain Yu lama amat jawabnya," tanya Danuar.
"Aku baru selesai shalat Maghrib," jawab Ayushita. Danuar terdiam.
"Kenapa Kak?" Ayushita balik bertanya.
"Kamu baik-baik saja kan?" Danuar ingin memastikan keadaan Ayushita setelah insiden kafe.
"Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan Kak Danuar dan Kak Elena? Apakah kalian sudah bicara," tanya Ayushita.
"Sudah," jawab Danuar. Singkat.
"Terus?"
"Masalahnya rumit. Aku tidak menyangka kalau dia pernah melakukan itu. Dan lagian mama dan papa juga sudah tahu," tukas Danuar. Dia menggusar rambutnya dengan kesal.
"Lalu bagaimana keadaan bibi Ros?" tanya Ayushita lagi.
"Penyakit mama kambuh," sahut Danuar. Terdengar nada terkejut Ayushita disertai ucapan istigfar.
"Ayu. Maafin aku karena sudah melukai kamu dulu. Aku menyesal. Mungkin ini karma yang aku dapatkan," ujar Danuar dengan nada sesal.
"Dalam agama Islam tidak ada karma. Setiap perbuatan baik atau buruk akan dipertanggung jawabkan masing-masing pelakunya. Perbuatan Elena akan dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri di hadapan Allah bukan ditanggung oleh orang lain. Begitu pula dengan perbuatanmu. Itu adalah pertanggung jawabanmu. Jangan menyalahkan orang lain."
Danuar terdiam lagi mendengar ucapan Ayushita. Gadis itu selalu berkata bijak dan tidak pernah menghakimi orang lain. Gadis sempurna dan baik. Entah mengapa dulu dia tidak pernah merasakan perasaan cinta pada Ayushita selain rasa sayang kepada seorang adik perempuan yang manja. Kini rasa kehilangan itu menyergapnya. Kini Ayushita tidak pernah lagi bermanja-manja padanya. Dia telah menjaga jarak dengannya.
"Kak, sudah dulu. Aku mau terima telepon masuk dulu," ucap Ayushita menyadarkan Danuar.
"Telepon? Dari siapa?" tanya Danuar. Sifat protektifnya tiba-tiba keluar.
"Teman," jawab Ayushita.
"Cowok?" cecar Danuar.
"Iya. Teman di kampung tempat aku tugas," balas Ayushita. "Sudah ya, aku tutup. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalam!" Sambungan terputus menyisakan rasa sesak di dada Danuar.
Ayushita menerima telepon dari seorang cowok. Entah mengapa dia merasa cemburu.
***
Elena terkejut dan langsung terbangun mendengar suara ketukan di pintu kamar. Dia bangun dan menyingkap selimut. Perutnya masih terasa perih.
Ternyata sudah malam. Kamarnya begitu gelap. Elena meraba dinding dekat lemari dan menekan saklar lampu. Seketika cahaya kuat menyilaukan menusuk retina matanya.
Suara ketukan di pintu kembali terdengar. Elena melangkah ke pintu dan membukanya.
"Nyonya, maaf mengganggu. Tadi ada pesan dari tuan Danuar disuruh ambil pakaian kantor dan tas kerjanya?" kata Mbok Yum yang sedang berdiri di depan pintu.
"Danuar, Mbok? Dimana dia?" tanya Elena heran.
"Mbok juga tidak tahu. Tadi sopir bapak yang kasi tahu. Dia ditelepon sama tuan Danuar dan disuruh antar," jawab Mbok Yum pelan. Elena menghela napas. Sepertinya Danuar tidak akan pulang ke rumah lagi.
"Masuk, Mbok. Aku siapin dulu." Elena mempersilahkan Mbok Yum masuk kemudian dia menuju walk in closet mengambil beberapa perlengkapan Danuar, lalu memasukkan dalam koper. Rasa sedih merambati syaraf-syaraf di setiap inci kulitnya. Inilah yang akan dia hadapi. Danuar yang akan membencinya bahkan menghindarinya.
"Bagaimana keadaan ibu mertuaku, Mbok?" tanya Elena seraya menyeret koper di tangannya.
"Tadi sudah mendingan. Mbok tadi sudah antar makanan ke kamarnya," jawab Mbok Yum.
"Syukurlah," gumam Elena.
"Nyonya tidak makan malam dulu? Mbok sudah siapkan di atas meja," ujar Mbok Yum.
"Aku tidak lapar, Mbok," jawab Elena lesu.
"Kalau gitu Mbok turun dulu. Sopir bapak sudah menunggu," kata Mbok Yum. Wanita yang sudah setengah abad itu lalu keluar sambil menyeret koper berisi perlengkapan Denuar.
Elena kembali ke tempat tidur. Kepalanya masih pening. Rasa lapar menyerang tetapi dia sedang tidak nafsu makan. Dia kembali menyelimuti tubuhnya. Matanya menatap nyalang dinding kamar berwarna abu-abu. Berbagai bayangan adegan kebahagiaannya bersama Danuar melintas di benaknya. Kenangan kebersamaan mereka. Bagaimana mereka saling mencintai.
Berbohong? Benar dia berbohong namun dia tidak berharap akan menjadi seperti ini. Mengecewakan suaminya, dan kedua mertuanya.
Entah nanti mereka masih menerimanya? Menerima perempuan yang tidak akan pernah memberikan keturunan pewaris darah Raharja.
Apakah nanti Danuar akan meninggalkannya? Ketika dia telah menjadi wanita yang tidak berguna, yang bisa memberikan keuntungan baginya, apakah Danuar akan tetap mempertahankannya?
Elena berharap Danuar tidak akan menghindarinya. Mereka butuh kepala dingin untuk membicarakan hal ini. Tetapi apa lagi yang bisa dia negosiasikan. Tak ada satu pun. Dia bukan berasal dari latar belakang istimewa seperti Ayushita. Dia hanya punya modal cantik. Dia yang merebut Danuar dari mantan tunangannya. Sekarang dia sakit parah. Dia tidak bisa punya anak.
Tak ada satu pun keuntungan yang bisa diberikan pada suaminya. Kecuali rasa cintanya. Tetapi apakah situasinya masih sama seperti dulu? Mungkin dia harus bersiap seandainya suatu saat dia akan dibuang dengan cara paling rendah.
Elena kembali menangis hebat. Suara tangisnya memenuhi udara kamar yang begitu dingin sejak Danuar tak kembali ke rumah dan tidur dengannya.
***
Danuar bangun dari tidurnya yang hanya sebentar. Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Saat dia membuka pintu, tampak sopir pribadi ayahnya di depan pintu menenteng sebuah koper hitam kecil dan tas kerjanya.
"Terima kasih, Pak. Tolong jangan kasi tahu istri saya kalau saya menginap di sini," titah Danuar. Sang sopir hanya mengangguk lalu undur diri.
Danuar meletakkan koper di samping tempat tidur dan tas kerja di atas meja. Perutnya berderit lapar. Sudah jam tujuh malam dan dia belum makan apa pun dari tadi siang.
Danuar masuk ke sebuah restoran yang terletak beberapa blok dari hotel tempatnya menginap. Sebuah restoran Itali yang menyediakan makanan pasta. Salah satu pegawai restoran menyambutnya dengan ramah dan mengantarkan ke sebuah kursi kosong.
Danuar duduk di salah satu kursi yang terletak agak ke pojok ruangan. Tinggal meja itu yang kosong. Dia membuka buku menu dan memesan salah satu jenis pasta dalam daftar menu. Perutnya benar-benar lapar.
Pramusaji kemudian meninggalkan Danuar untuk menyiapkan pesanannya.
"Pak Danuar?" sapa sebuah suara. Danuar menoleh dan mendapati seorang wanita dalam pakaian santai berwarna krem dan berambut panjang warna burgundy. Sejenak Danuar mengerutkan kening mencoba menarik ingatannya sejenak.
"Amira, Pak. Sekretaris Pak Salam," ucap wanita itu dengan senyum manisnya.
"Oh, Amira. Baru datang atau sudah mau pulang?" seru Danuar membalas senyum Ameera.
"Baru datang dan semua meja penuh. Boleh duduk di sini?" tanya Ameera menunjuk kursi kosong di sampingnya.
"Tentu saja. Buat dirimu nyaman," jawab Danuar. Ameera duduk dengan elegan. Tipikal sekretaris wanita. Apalagi dia sekretaris seorang pemilik hotel terkenal di kota P.
Amira memanggil seorang pramusaji dan memesan pasta saus Marinara yang sama dengan pesanan Danuar sebelumnya. Danuar hanya tersenyum menatap wajah cantik Amira.
"Sendiri?" tanya Danuar.
"Iya. Siapa yang mau menemani?" balas Amira dengan mimik lucu. Danuar tertawa.
"Kekasih?" sambung Danuar.
"Tak ada." Amira memasang senyum malu.
"Pak Danuar juga sendiri? Istrinya mana?" Kali ini Amira yang penasaran. Dia ingat wanita yang ditemuinya di restoran beberapa bulan lalu.
"Dia lagi tidak pengen diajak keluar," jawab Danuar.
Pesanan mereka datang. Danuar dan Amira kemudian menikmati hidangan pasta diselingi obrolan ringan tentang berbagai hal. Danuar kadang tertawa mendengar lelucon-lelucon yang dilontarkan oleh Amira. Melupakan sejenak persoalannya dengan Elena. Dia hanya ingin menikmati malam ini.
Bersambung ....
๐๐๐
See you next chapter ๐
Follow Ig AeRi @anienggi_ridwan/AeRi.