๐๐๐
Bagi Arjuna, hari-hari jadi semakin cerah dan indah. Matahari pagi terasa hangat, siang terasa sejuk dan bintang malam tampak selalu bersinar. Bahkan titik hujan di kala hujan pun terlihat seperti percikan kristal yang berkilau. Semua berbeda.
Jangan salahkan Arjuna yang tak berhenti tersenyum kepada semua orang, kepada setiap pasien-- tapi ini memang harus, bahkan kepada kucing tetangga yang lewat pun disenyumi. Salahkan dewa cinta yang telah menancapkan panah merah mudanya ke hati sang Arjuna.
Siapa pun yang melihat tingkah Arjuna pasti langsung bisa menebak jika sang dokter sedang terserang virus merah jambu. Meskipun mereka tidak tahu pasti siapa penyebab wajah berseri tersebut.
Hanya Firda saja yang tahu. Gadis mungil ini sudah pasti pertama yang tahu. Firda ibarat tong sampah bagi semua keluh kesah Ayushita maupun Arjuna. Jika dia menjadi orang terakhir yang akan mendengarkan berita bahagia keduanya maka Ayushita dan Arjuna harus bersiap menerima amukannya.
"Selamat pagi, Bu Narti!" sapa Arjuna kepada perawat senior yang sedang duduk di meja depan. Dia datang pagi sekali ke puskesmas.
"Selamat pagi, Dok. Wah wajah dokter ceria sekali. Senyumnya juga menyilaukan."
"Ah, Bu Narti bisa saja. Tolong antarkan data pasien hari ini ya," pinta Arjuna.
"Oke, Dok." Bu Narti membuka lemari arsip di belakangnya lalu meraih sebuah map. Sang perawat paruh baya kemudian menyusul Arjuna ke ruangannya.
"Ini, Dok," ujar Bu Narti meletakkan map ke atas meja kerja Arjuna.
"Terima kasih. Bu Narti sudah sarapan?" tanya Arjuna dengan senyum tampan menyilaukan. Seandainya Dian yang melihat senyum itu maka pastilah hatinya akan lumer meleleh seperti cokelat batang yang dipanaskan.
"Sudah, Dok," jawab Bu Narti.
"Syukurlah. Silahkan kembali ke depan." Arjuna masih memasang senyum the Cheshire cat.
Bu Narti berlalu dari ruang kerja Arjuna dengan penuh keheranan melihat tingkah atasannya. Tidak biasanya sang dokter banyak bicara dan basa basi dengan bawahannya. Dokter Arjuna yang mereka kenal memang ramah tetapi hari ini terasa berlebihan.
"Ada apa, Bu?" tanya Dian yang baru saja keluar dari ruang bangsal. Dian heran melihat kerut keheranan di wajah seniornya tersebut.
"Dokter Arjuna bertingkah aneh tidak seperti biasanya," sahut Bu Narti.
"Aneh gimana, Bu?" tanya Dian bingung.
"Tidak biasanya dokter Arjuna banyak bicara seperti hari ini. Bahkan dia tersenyum sangat lebar. Sepertinya dia sedang bahagia," jawab Bu Narti serius.
Dian terdiam. Dia ingat kemarin dia sedikit menguping pembicaraan dokter Arjuna dan Ayushita. Dia tahu apa yang menyebabkan atasan mereka bahagia. Tetapi dia tidak akan mengatakan kepada siapa pun. Biarlah sang dokter yang mengatakan sendiri nanti.
"Baguslah kalau pak dokter bahagia. Harusnya kita mendoakan kan?" timpal Dian dengan senyum dipaksakan. Bu Narti mengangguk tapi heran juga. Kali ini dia heran dengan ucapan Dian. Bukankah Dian juga tergila-gila pada dokter Arjuna. Apa maksudnya mendoakan sang dokter?
Dian berlalu menuju dapur meninggalkan Bu Narti yang masih keheranan.
Sakit hati. Pastilah Dian sakit hati. Sekian lama dia berusaha menarik perhatian dokter Arjuna tetapi sang dokter tak juga tertarik padanya. Padahal ibu guru itu baru datang beberapa bulan di kampung itu. Mengapa gadis itu yang memenangkan hati sang Arjuna.
Apa kurangnya dia?
Dian menyeduh secangkir teh untuk dokter Arjuna. Tanpa sadar airmatanya menetes. Dia benar-benar merasa telah kalah.
***
Siang harinya Arjuna tidak melakukan banyak pekerjaan. Setelah membereskan beberapa data pasien baru Arjuna mengirim pesan kepada pujaan hatinya.
๐ค
To : My Honey โค
Assalamu'alaikum.
Sibuk?
Menunggu dua menit akhirnya balasan tiba.
๐ฅ
From : My Honey โค
Wa'alaikumussalam
Tidak. Makan siang yuk?
๐ค
To : My Honey โค
Baru mau ngajak kamu. Warung Bu Sri? ๐
๐ฅ
From : My Honey โค
Oke. Aku masih di rumah. Aku ke sana sekarang.
๐ค
To : My Honey โค
Big No! Aku jemput kamu.
๐ฅ
From : My Honey โค
Dekat koq. Tidak perlu jemput.
๐ค
To : My Honey โค
No! Kamu tidak boleh kelelahan. Ini kencan pertama kita jadi aku jemput. Otw nih ๐
Arjuna melepas jas snelinya dan menyampirkan ke sandaran kursi. Dia segera meraih kunci mobil sebelum melangkah keluar ruangan. Di depan dia berpapasan dengan Dian.
"Dok, makan siangnya saya pesankan?" tanya Dian menoleh dari berkas yang sedang dia rapikan dalam lemari.
"Tidak perlu. Saya janjian makan siang dengan Ayushita," tukas Arjuna dengan senyumannya. Sepertinya pak dokter tidak lelah tersenyum hari ini.
Dian hanya memandangi punggung sang dokter yang keluar dari pintu puskesmas sambil bersiul riang. Bu Narti sampai terkekeh geli melihat perubahan atasan mereka.
Lima menit perjalanan Arjuna sampai di depan rumah Ayushita. Kampung Petak Hijau hanya kampung kecil yang bisa dikelilingi dalam waktu setengah jam dengan naik sepeda. Itu pun kalau dihitung dengan empang pak Jaja, pinggiran sungai dan sawah warga.
Ayushita keluar dari pintu rumah saat mendengar suara klakson mobil. Dia melangkah mendekat setelah mengunci pintu rumah. Penampilannya seperti biasa, gamis dan kerudung sederhana berwarna biru muda dan sandal jepit serta kaos kaki. Berdandan? Bukan hal penting untuk keseharian Ayushita. Lagian dia sudah cantik alami.
Setelah Ayushita duduk manis di kursi penumpang di sampingnya, Arjuna kembali memacu perlahan mobilnya melewati gang-gang kecil ke arah warung Bu Sri.
"Jadi ini kencan?" goda Ayushita sambil menatap wajah Arjuna. Pria itu tersenyum malu.
"Iya, kencan perdana sambil makan gado-gado di warung Bu Sri," imbuh Arjuna seraya mengedipkan sebelah matanya ke arah kekasihnya. Ayushita tertawa perlahan.
"Biasanya kencan itu di restoran mewah dengan candle light dinner, ada sebuket bunga mawar dan musik romantis," ujar Ayushita.
"Oke, aku minta Bu Sri menyiapkan," timpal Arjuna cepat.
"Ish jangan. Mana ada yang seperti itu di sini," cetus Ayushita. "Cuma becanda kok."
"Tidak marah kan kalau kencan pertama cuma makan gado-gado," goda Arjuna kali ini.
"Mau di warung atau restoran mewah gak ada bedanya yang penting niatnya tulus," ucap Ayushita mantap. Tapi tak urung wajahnya merona juga.
"So sweet banget sih, my honey love," seru Arjuna bahagia. Wajah Ayushita kian terbakar karena malu.
Arjuna memarkirkan sedan hitamnya di depan warung Bu Sri. Mereka turun bersamaan. Jangan harap Ayushita mau dibukakan pintu mobil oleh Arjuna karena sudah pasti dia akan menolak keras. Ayushita sangat merasa malu ketika Arjuna bersikap mesra di tempat umum.
Ketika keduanya masuk ke dalam warung Bu Sri, mereka disambut oleh suasana ramai pelanggan. Warung sedang penuh karena jam makan siang. Warga penyuka makanan buatan Bu Sri akan berkumpul di sini. Bukan hanya warga kampung Petak Hijau tetapi juga ada warga dari kampung sebelah. Selain memesan makanan, ada juga hanya sekedar minum kopi dan mengobrol.
Tatkala Arjuna dan Ayushita masuk ke dalam warung, beberapa warga senior langsung menyapa Arjuna dan Ayushita. Mereka sangat menaruh hormat kepada keduanya. Sebagai orang kota yang datang bertugas ke kampung terpencil, mereka sangat dielu-elukan. Bahkan Bu Sri sangat senang karena warungnya menjadi langganan Arjuna dan Ayushita.
"Bu, masih ada gado-gado?" tanya Arjuna.
"Masih ada, Pak Dokter. Mau pesan berapa?" balas Bu Sri.
"Dua porsi lengkap tahu dan dada ayam."
"Mau makan di sini apa dibungkus?" tanya Bu Sri dengan logat Jawa Timurnya yang kental.
"Gimana? Di sini penuh dan tidak ada kursi kosong," bisik Arjuna kepada Ayushita. Bu Sri juga melirik ke arah Ayushita yang berdiri di samping sang dokter.
Ayushita melirik dereran meja dan kursi yang benar-benar terisi penuh.
"Bungkus saja," balas Ayushita juga berbisik.
"Kita mau makan dimana?" tanya Arjuna lagi.
"Nanti kita pikirkan." Ayushita tersenyum ke arah Bu Sri yang tampak sedang kepo dengan pasangan yang asik berbisik-bisik di depannya.
"Bu, bungkus saja. Bungkus juga tumis sayurannya sama ikan nila sausnya. Eh, ini juga dua poci es jeruknya. Kerupuk juga jangan lupa," tutur Arjuna.
"Siap, Pak Dokter!" seru Bu Sri.
Sambil menunggu pesanan, Ayushita memilih-milih beberapa sayuran mentah dan bumbu serta tempe untuk bahan makanan di rumahnya. Sementara Arjuna bercakap-cakap dengan seorang bapak yang terlihat akrab dengan pria itu. Ternyata si bapak adalah tetangga Arjuna yang rumahnya terletak di belakang rumah dinasnya.
"Sudah siap nih, Pak Dokter!" kata Bu Sri menyerahkan sekantong plastik besar pesanan mereka. Ketika Ayushita akan membayar belanjaan pribadinya, Arjuna langsung melarang. Tanpa menyinggung perasaan Ayushita, dia membayar semua pesanan dan belanjaan gadis itu.
"Aduh, Pak Dokter perhatian banget sama ibu guru," tukas Bu Sri lugas yang membuat Ayushita tersipu malu.
Mereka kembali ke mobil dan meletakkan belanjaan di kursi belakang.
"Kita mau makan dimana? Di rumahku atau rumahmu?" tanya Arjuna. "Jangan bilang ke rumahnya Firda ya. Ingat ini kencan kita," sambar Arjuna cepat.
"Tidak baik kalau kita hanya berduaan di rumahku atau di rumahmu. Karena kamu juga tidak mau ke rumah Firda jadi kita cari tempat lain yang nyaman. Kaya rekreasi," jawab Ayushita.
"Dimana?" tanya Arjuna penasaran.
"Bagaimana kalau di tempat aku biasa mancing. Pinggir sungai di bawah pohon. Tempatnya adem dan bersih sambil lihatin ikan berenang," usul Ayushita antusias.
'Hmm. Kencan di pinggir sungai ya,' pikir Arjuna.
Dia ingat, di tempat itu dia pernah melihat Ayushita dan Joe memancing bersama. Apakah mereka juga kencan saat itu?
Arjuna berusaha mengenyahkan syak wasangkanya. Toh sekarang Ayushita sudah bersama dengannya.
"Bagaimana?" tanya Ayushita.
"Oke. Apa pun untukmu my honey love." Arjuna kembali mengedipkan sebelah matanya ke arah gadisnya.
Arjuna menyalakan mesin mobil dan mengarahkan tujuan mereka ke sungai. Suasana pinggir sungai sepi. Hanya terdengar suara kecipak air sungai dan sapuan angin sepoi-sepoi.
Arjuna turun dan menggelar alas dari kotak karton bekas yang sengaja disimpan para pemancing di bawah pohon rindang di pinggir sungai itu. Kemudian dia membantu menata makanan di atas alas. Bu Sri berbaik hati menyelipkan beberapa piring plastik dan sendok ke dalam bungkusan sehingga mereka bisa menata makanan di wadah tersebut.
Setelah semua siap keduanya mulai makan dengan nikmat. Ayushita menyendokkan sayur pakis tumis dan ikan nila goreng saus pedas ke piring Arjuna. Pria menyambut dengan senyum bahagia.
Ini benar-benar kencan piknik pinggir sungai yang paling berkesan bagi Arjuna. Di kota, dulu dia berkencan dengan kekasihnya ke tempat-tempat mewah dan ramai.
Di sini, hanya ada mereka berdua menikmati makanan sederhana, pemandangan sungai yang masih asri didukung tambak pak Jaja di sebelahnya. Menikmati nyanyian alam yang diiringi oleh suara sendu Richard Cociante melantunkan Just For You dari pemutar musik dalam mobil. Menikmati waktu yang berjalan lambat, berpacu dengan debaran jantung mereka, dan juga ikatan emosi yang mulai terjalin.
"Kamu masih sering mancing di sini?" tanya Arjuna memecah kesunyian.
"Tidak lagi," jawab Ayushita lalu menyuap sesendok gado-gado ke mulutnya.
"Aku pernah lihat kamu dan Joe mancing di sini. Sudah lama sih," ucap Arjuna.
"Oh iya. Waktu itu kita belum dekat." Arjuna berdehem mendengar jawaban Ayushita. Dia akui saat itu mereka belum dekat. Namun dia kesal melihat Ayushita bersama Joe. Mereka bercakap-cakap dengan akrab dan makan camilan juga.
Ayushita menyodorkan sepoci es jeruk yang sudah tidak dingin lagi. Arjuna menerima dengan senang hati. Es jeruk itu lumayan sedikit mendinginkan pikirannya. Mereka kembali makan dengan hikmad sambil sesekali bercanda.
Arjuna sangat suka melihat lesung pipi Ayushita saat gadis itu tersenyum atau tertawa. Sangat manis dan menggemaskan. Jika mereka telah sah menikah, bagian itu akan menjadi kesukaannya untuk dicolek. Pikirannya mulai mengembara ke rencana melamar Ayushita bulan depan.
Sejujurnya dia sedikit gugup. Oh, tidak. Malah sangat gugup. Dia membayangkan harus melewati Ayah dan kakak Ayushita yang minim ekspresi di wajahnya. Selama sebulan ke depan dia harus mempersiapkan mentalnya. Dia tidak mengharapkan penolakan atas lamarannya tetapi dia tetap harus bersiap jika ayah Ayushita dan Ayub nanti mempersulit dirinya.
"Kak Ayushita!" Seseorang memanggil dari balik pohon. Ayushita dan Arjuna menoleh serempak. Joe muncul dari balik pohon.
"Hai, Joe! Apa kabar?" balas Ayushita ramah. Pemuda itu mengalihkan pandangannya dari Ayushita ke Arjuna kemudian ke arah makanan yang terhampar di atas alas di atas tanah.
"Kabar baik, Kak. Kalian sedang piknik?" Dahi Joe tampak berkerut heran.
"Yah begitulah," tukas Ayushita tersenyum. "Mari makan, Joe," ajak Ayushita kemudian.
Joe menatap Ayushita lama kemudian beralih kepada Arjuna yang menatapnya dengan tatapan jangan-ganggu-kami-sedang-berkencan.
"Saya buru-buru pulang, Kak. Nenek sudah menunggu untuk makan siang bersama sekarang," tolak Joe dengan senyum sopan. Ayushita mendesah kecewa. Sedangkan Arjuna diam-diam berseru senang dalam hati.
"Baiklah! Ngomong-ngomong, kamu sakit ya Joe? Mukamu kelihatan lesu dan pucat." Ayushita mengamati wajah Joe yang terlihat sedikit berbeda.
"Tidak, Kak. Saya baik-baik saja. Mungkin karena capek saja," jawab Joe. Dia menundukkan wajahnya. Sekilas Ayushita menangkap raut sendu di wajah pemuda itu sebelum dia menyembunyikannya.
Ayushita tidak melanjutkan pertanyaannya. Dia tidak ingin Joe merasa tidak nyaman apalagi ada Arjuna. Ketika pemuda itu pamit pergi, Ayushita hanya memandang khawatir. Ada getaran aneh yang berdesir di jantungnya. Menekan halus namun menyiratkan rasa nyeri di sana
"Ada apa?" tanya Arjuna yang juga mengamati perubahan raut wajah Ayushita. Gadis itu menatap Arjuna. Mencari penawar rasa nyeri di dadanya pada wajah tampan pria itu. Sesaat kemudian dia kembali tersenyum.
"Habiskan makanmu lalu kita pulang. Bukankah kamu harus balik ke puskesmas?" ucap Ayushita lembut. Arjuna mengangguk.
Keduanya melewati sisa waktu kencan pinggir sungai dengan menghabiskan semua makanan yang ada. Kemudian mereka merapikan wadah makanan, membuang sisa makanan ke sungai agar dimakan ikan.
Arjuna mengantar Ayushita pulang ke rumahnya lalu dia kembali ke puskesmas. Setelah kencan pinggir sungai, Arjuna makin semringah dan bahagia. Kencana pertama yang mengesankan. Masing-masing dari mereka bersikap apa adanya tanpa harus jaga imej. Pada kesempatan itu dia melihat sisi jujur Ayushita. Gadis sederhana dan peduli pada orang lain.
Perasaan Arjuna semakin menggebu untuk Ayushita. Dia tetap optimis bahwa Ayushitalah gadis impiannya selama ini. Calon Masa Depannya.
***
Di teras sebuah gubuk sederhana, Joe menatap kegelapan yang menyelimuti langit malam. Sepertinya bintang lebih suka bersembunyi di balik bayang-bayang awan..
Derai suara hewan malam bersahut-sahutan membelah keheningan yang membentang di seantero Petak Hijau.
Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Hal yang wajar jika suasana kampung sangat gelap gulita karena listrik desa telah dipadamkan satu jam yang lalu.
Joe masih asik merenung. Memikirkan segala hal yang telah dia lalui selama dua puluh satu tahun hidupnya. Ada banyak hal yang dia sesali saat ini. Termasuk dia belum cukup membahagiakan kakek dan neneknya yang begitu menyayanginya. Dia lebih banyak membuat kedua orang tua itu malu dan kecewa.
Kemudian pikirannya membayangkan wajah Ayushita. Orang pertama yang menggerakkan hatinya sejak kematian kedua orang tuanya. Gadis yang membuatnya tak bisa memalingkan wajah darinya setelah bertemu di puskesmas ketika Ayushita menjenguknya, yang membuatnya berdebar saat mendengarnya berbicara.
Terdengar suara kakek terbatuk beberapa kali. Joe tersadar dari lamunannya. Dia lalu bangkit dan menyeret kakinya masuk ke dalam kamar. Dengan malas dia merebahkan tubuhnya di atas dipan reyot.
Bayangan wajah bapak dan ibunya melintas dalam ingatannya. Keduanya tersenyum dalam tatapan kerinduan yang dalam. Joe ikut tersenyum.
"Bapak, Ibu! Joe juga kangen dan pengen ketemu kalian," gumam Joe lirih. Dua tetes air bening mengalir di sudut matanya. Dia lalu memejamkan mata mengistirahatkan seluruh tubuh dan pikirannya dalam pelukan hangat mimpi. Mimpi indah yang hampir tak pernah datang dalam tidurnya. Dan kali ini dia memimpikan kedua orang tuanya sedang merangkulnya dengan senyum bahagia.
Bersambung ....
๐๐๐
Nb: Mohon maaf jika teman-teman sering kecewa karena lamanya update novel ini. Saya tidak bisa menjanjikan up tiap hari tetapi saya berusaha membuat novel ini tamat.
See you next sad chapter ๐