Chereads / Bukan Wonder Woman / Chapter 7 - BWW #7

Chapter 7 - BWW #7

Please, jangan lupa tinggalkan jejak dengan beri penilaian, komen dan batu kuasanya.

Happy reading!

๐Ÿ’๐Ÿ’๐Ÿ’

Semakin dirimu menghindari sebuah masalah, dia akan semakin dekat denganmu. Bukan untuk menyulikanmu, namun agar kamu belajar menghadapinya. (Ayushita)

***

Ayushita memandang sekantong plastik obat-obatan yang terdiri dari salep dan tablet pereda nyeri. Juga sebungkus gado-gado buatan Bu Sri yang sebelumnya dibayarkan oleh si dokter pemaksa. Jika menuruti rasa kesalnya maka dia ingin sekali membuang gado-gado tersebut, namun kesadaran manusiawinya mengingatkan akan ajaran orang tuanya agar jangan suka membuang-buang makanan karena masih banyak orang yang kekurangan makanan di luat sana. Sebagai orang yang berkecukupan kita perlu banyak bersyukur dengan tidak bersikap mubazir.

Untuk mengobati rasa lapar yang sudah protes sejak tadi, Ayushita berdoa sejenak lalu melahap makanan itu dengan perlahan.

Sambil mengisi perutnya, Ayushita memutar kembali semua hal yang terjadi sepanjang hari ini. Mulai dari omongan Firda tentang Dokter Arjuna yang memaksa meminta nomor kontak chatnya, pertemuan di warung Bu Sri, kemudian sikap tak ingin dibantah dokter itu kala menyeretnya ke ruang kerjanya hanya untuk mengambil satu cepuk kecil salep memar dan tablet obat nyeri.

Bukannya tidak ingin menghargai kebaikan sang dokter yang pastinya tidak ada niat lebih selain sebagai bentuk kewajiban seorang tenaga medis kepada pasiennya, tetapi sejak awal dia sudah menanam sugesti pada dirinya sendiri bahwa sebisa mungkin menghindari kontak berlebih dengan seorang pria. Apalagi pria tampan dan populer seperti Dokter Arjuna.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dia mengakui kalau dokter kontrak itu tampan, keren dan berwibawa. Selain itu, sebagai seorang dokter anak, Dokter Arjuna selalu bersikap ramah dan menyukai anak-anak. Tipikal bakal calon suami yang sangat memenuhi kualifikasi.

Tetapi Ayushita sudah berusaha mengenyahkan berbagai fantasi tentang pasangan sempurna nan tampan. Arjuna dan Danuar memiliki banyak kesamaan dalam segi fisik maupun sikap. Pribadi yang sangat ingin dihindari oleh Ayushita agar dia tidak terluka kembali.

Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya.

๐Ÿ“ฉ

081xxxxxxxxx :

Ini aku Arjuna. Sudah minum obatnya?

'Dia lagi.'

Perhatian seperti ini membuat Ayushita jengah apalagi jika di tempat umum. Mereka tidak punya hubungan lebih hanya sebatas saling kenal dan hubungan dokter dan pasien 'memar' kecil. Dan apa yang Ayushita harapkan dari perhatian kecil seperti itu. Sebuah emosi yang dilatar belakangi sebuah perasaan? Dia segera menghalau imajinasi itu.

Sudah cukup tatapan sinis Dian yang menghujam padanya siang ini ketika Dokter Arjuna menariknya masuk ke ruang kerjanya.

Perawat muda itu seolah menembakkan laser mematikan melalui matanya dengan ekspresi tidak senang. Sebagai seorang perempuan, Ayushita tidak bodoh untuk memahami bahasa tubuh si perawat. Itu karena asisten dokter itu secara terang-terangan mengumbar rasa sukanya terhadap sang dokter. Ayushita tidak ingin dianggap rival oleh Dian. Dia tidak ingin menciptakan perseteruan baru. Sudah cukup menghadapi preman Joe.

Sebuah pesan kembali masuk dua menit kemudian.

๐Ÿ“ฉ

081xxxxxxxxx :

Ayu, save nomor aku. Jangan sampai tidak.

'Ck, benar-benar pemaksa.'

Dengan enggan Ayushita mengetik balasan pesan.

๐Ÿ“ค

Me:

Iya

Satu balasan singkat mewakili dua pesan.

Biar saja. Biar dia kesal dan berhenti mengirim pesan padaku, gumam Ayushita.

Namun sesungguhnya tak demikian yang terjadi.

Di sisi lain kampung, Arjuna terus menatap penuh harap layar ponselnya setelah mengirim dua pesan. Meskipun sebenarnya dia tidak berharap banyak.

Ponselnya bergetar tanda sebuah pesan masuk. Yess!!! Sebuah pesan yang diharapkan. Tanpa menunggu lewat satu detik, Arjuna langsung membaca pesan itu.

๐Ÿ“ฉ

Ayu :

Iya

Singkat tapi mampu membuat sebuah lengkungan indah menghias bibir Arjuna seindah pelangi sehabis hujan. Senyum lebar dan mata berbinar memandang layar ponsel itu pun berhasil menciptakan spekulasi liar di otak Dian yang sedang sibuk menyelesaikan data pasien di meja kerjanya.

'Dengan siapa sih Pak Dokter chat. Kayanya dengan cewek deh. Tuh wajahnya senang banget. Jangan sampai dia chat dengan guru centil itu,' sungut Dian dalam hati.

"Lagi chat dengan siapa, Dok?" Dian kepo.

"Bukan urusan kamu." Arjuna beranjak ke ruangannya dengan wajah kembali datar.

Dian cemberut mendapat tanggapan dingin. 'Awas saja kalau guru centil itu yang nge-chat sama Dokter Arjuna.'

Jika memang benar demikian, Dian bertekad akan memberi peringatan pada guru baru itu.

***

Di kota P.

"Iya, Sayang. Nanti Mama sampaikan sama Papa. Kamu jaga kesehatan di sana. Makan yang banyak dan tidur cukup," Terdiam sejenak. "Love you, too. Wa'alaikumussalam."

Nyonya Aliya, ibunya Ayushita, menutup pembicaraan telepon setelah memberikan wejangan panjang lebar pada putrinya yang jauh di sebuah kampung kecil. Senyum lebar terpatri di wajahnya setelah mendengar suara merdu putrinya. Rindunya sedikit terobati.

"Apakah itu Sita?" tanya wanita paruh baya yang duduk berhadapan dengannya.

Kegembiraan mendapat telepon dari buah hatinya sejenak membuat Nyonya Aliya lupa kalau mantan calon besannya, ibunya Danuar, sedang bersamanya. Nyonya Aliya dan Nyonya Rosita bersahabat sejak zaman putih abu-abu. Itulah sebabnya keluarga dan anak-anak mereka saling kenal satu sama lain.

Ayushita dan Danuar sudah berteman sejak kecil. Nyonya Aliya mengetahui kalau putrinya menyukai putra sahabatnya itu sehingga mereka berniat meningkatkan hubungan mereka ke tingkat besanan. Hingga akhirnya cita-cita mereka kandas.

"Iya," jawab Nyonya Aliya seraya menyimpan ponsel dalam tasnya.

Kedua nyonya itu sedang duduk menikmati teh di halaman belakang rumah keluarga Danuar. Gagalnya pertunangan anak-anak mereka tidak seketika membuat hubungan baik mereka renggang.

"Gimana kabar, Sita?" tanya Nyonya Rosita lagi.

"Dia sehat dan sepertinya dia menikmati hidup barunya," jawab Nyonya Aliya dengan senyum masih tersemat di bibirnya.

"Aku benar-benar minta maaf atas kelakuan Danuar. Anak itu benar-benar tidak tahu diri. Mempermalukan keluarga dan menyakiti hati Sita. Gadis baik itu. Entah apa yang ada di pikiran anak tidak tahu diuntung itu," geram Nyonya Rosita dengan wajah merah padam.

"Sudahlah. Semua sudah terjadi. Mereka belum berjodoh saja. Ayu memang menyukai Danu, tapi perasaan Danu tidak bisa dipaksakan," ucap Nyonya Aliya sembari mengusap lengan sahabatnya.

"Kami sangat malu sama kamu dan Ruslan. Kalian begitu legowo. Kalau memang Danu tidak menerima perjodohan ini, mengapa sedari awal dia tidak menolak malah dia memberi harapan pada Sita. Anak itu benar-benar deh," rutuk Nyonya Rosita.

"Mungkin kita yang salah tidak memahami perasaan anak-anak, Ros. Danu hanya menganggap Ayu sebagai adiknya seperti halnya Ayub."

Wajah Nyonya Rosita tampak sendu menyiratkan kekecewaan.

"Aku sangat menyukai Sita dan benar-benar berharap menjadi menantuku. Kamu membesarkan putrimu dengan baik. Aku melihatnya tumbuh besar dengan kepribadian baik, ramah, tulus dan sopan. Dia tidak pernah mengecewakan kita. Namun Danu buta dan tidak melihat semua itu. Rasanya aku ingin menghajarnya habis-habisan ketika dia datang membawa perempuan itu."

"Lalu, bagaimana dengan gadis yang dibawa Danu tempo hari itu?" Nyonya Aliya tidak bisa menahan diri untuk kepo.

"Hmm ... Setelah hari itu tak sekali pun dia muncul lagi di hadapan kami. Mungkin Danu menyembunyikannya karena takut dengan ancaman Papanya." Nyonya Rosita mendelik kesal.

"Apakah kamu tidak akan merestui mereka?"

"Entahlah. Aku masih berharap Danu akan kembali pada Sita. Apa yang akan aku harapkan dari perempuan yang tidak aku kenal latar belakangnya. Aku tidak memandang harta atau apa pun selama perempuan itu baik-baik dan menghormati kami. Ah Sita ... Seandainya aku punya putra lain maka aku akan berusaha mengikatnya dengan Sita apa pun caranya." keluh Nyonya Rosita dengan desah napas berat.

Nyonya Aliya hanya tersenyum miris mendengar keluhan sahabatnya. Mereka saling berpegangan tangan untuk saling menguatkan.

"Jadi kan kita jalan-jalan ke rumah Indi?" Nyonya Aliya memecah suasana sendu di antara mereka.

"Jadi. Kita ajak dia makan di kafe langganan kita supaya dia tidak mengeram di kamarnya melulu," sahut Nyonya Rosita.

"Indi kenapa?"

"Dia sama kaya kamu ditinggal anaknya tugas di pedalaman. Dia lagi sebel karena anaknya itu tidak pernah pulang dan susah dihubungi," jawab Nyonya Rosita.

Nyonya Aliya tertawa mendengar penuturan sahabatnya. Sekejap saja mereka sudah melesat ke rumah salah satu teman arisan mereka.

***

Di kantor CV. Meubel Sejati, Danuar sedang mendengarkan laporan keuangan usaha keluarganya itu. Dering telepon mengalihkan fokusnya dari laporan-laporan itu. Sebaris nama kekasihnya tertera di layar ponsel membuat senyum semringah di bibirnya.

"Halo, Sayang," jawabnya.

"Sayang, kapan kamu temani aku makan siang?" Suara merajuk di seberang sana.

"Sebentar ya, Sayang. Aku masih ada kerjaan. Nanti siang aku jemput kamu." Danuar merenggangkan posisi duduknya.

"Benar jemput ya. Jangan telat. Trus jangan jelalatan liatin pegawai cewe kamu."

Danuar terkekeh dengan sikap menggemaskan kekasihnya.

"Iya, Sayang. Sudah dulu ya." Danuar mematikan sambungan telpon lalu melanjutkan pekerjaannya.

Sudah seminggu ini dia berkutat dengan banyak pekerjaan sebagai hukuman dari ayahnya. Danuar ingin mengeluh tapi mengingat wajah murka ayahnya mau tidak mau dia harus menelan semua keluhannya. Lagi pula dia masih butuh restu dari kedua orang tuanya untuk kekasihnya, Elena. Dia harus bersabar.

Awalnya dia juga merasa menyesal sudah mengacaukan pertunangannya dengan Ayushita. Namun isakan Elena yang berurai airmata membuat hati Danuar luluh dan mengabaikan segala resiko yang akan dihadapinya di depan.

Danuar baru setahun menjalani kasih dengan Elena yang nota bene adalah teman kuliahnya dulu.

Danuar terpikat pada Elena saat mereka bertemu kembali pada reuni fakultasnya. Elena yang bekerja sebagai Sales Promotion Girl (SPG) di sebuah gerai kosmetik berhasil memikat Danuar. Tampilan cantik dan seksi Elena membuat Danuar berpaling dari Ayushita yang hanya berpenampilan sederhana ala tenaga pendidik meskipun sebenarnya Ayushita bisa saja memakai pakaian bermerek dan tampil glamor karena keluarganya tergolong mampu.

Tentu saja jalinan kasih mereka tidak diketahui oleh keluarga Danuar apalagi Ayushita. Hingga kedua keluarga merencanakan pertunangan itu, Danuar masih berusaha tenang dan menyembunyikan rencana itu dari Elena.

Ketika undangan beredar dan kabar itu sampai di telinga Elena, Elena langsung berang dan mengancam akan meninggalkan Danuar. Rasa cinta yang mendalam membuat Danuar membuat keputusan yang mengecewakan kedua keluarga, terutama Ayushita.

Ayu. Entah dimana dia sekarang.

Sejak kejadian itu, Danuar tidak pernah bertemu dengan mantan tunangannya itu lagi. Keluarganya pun melarang dia menemui Ayu. Dia memang salah. Tapi perasaannya pada Ayu sudah berkurang sejak kehadiran Elena. Dia tidak ingin memaksakan perasaannya yang akan menyakiti Ayu.

Sekarang tujuannya adalah mendapatkan restu untuk menikahi Elena.

***

Siang harinya Danuar menjemput Elena di tempat kerjanya untuk makan siang di restoran langganannya. Mereka duduk berdampingan dengan mesra. Setelah melakukan pemesanan, mereka bercakap-cakap diiringi tawa menggoda Elena. Gadis itu bergelayut manja di lengan Danuar.

"Danuar, kan?" Sapa sebuah suara menyela percakapan mereka.

Serempak mereka berdua menoleh ke sumber suara. Seorang perempuan dengan setelan kantor yang elegan dan mewah, wajah cantik serta rambut panjang terurai di belakang punggungnya.

"Emm ... Siapa ya?" tanya Danuar dengan kening berkerut.

"Sudah lupa ya. Aku Amira," kata perempuan itu.

Danuar menerawang sejenak. "Oh, sekretarisnya Pak Salam dari Hotel Santika?" Perempuan itu langsung tersenyum lebar saat Danuar mulai mengingatnya.

"Lagi ngapain di sini?" tanya Danuar.

"Mau makan siang. Tadi aku temani Pak Salam meeting dekat sini," jawab Amira.

"Sendiri?"

"Iya. Begini kalau jomblo kemana-mana sendiri aja," seloroh Amira yang ditanggapi tawa oleh Danuar.

Mereka terus bercakap-cakap tanpa Danuar menyadari Elena yang telah memasang wajah cemberut karena diabaikan.

"Sayang, kapan sih makannya datang?" rengek Elena tiba-tiba.

Danuar tersadar. "Sabar ya, Sayang," bujuk Danuar.

Elena terus memasang wajah cemberut dan menatap tidak suka pada Amira.

Amira yang merasakan aura permusuhan dari Elena jadi sadar diri dan buru-buru pamit pada Danuar.

"Sayang, perempuan itu siapa?" tanya Elena dengan nada cemburu yang tak disembunyikan.

"Kenapa? Kamu cemburu ya?" goda Danuar.

Elena kian menekuk wajahnya.

"Kok kamu akrab banget sama dia?

"Dia itu sekretarisnya Pak Salam, aku sudah bilang tadi kan. Pak Salam pemilik Hotel Santika pernah memesan beberapa furniture untuk hotelnya di perusahaan Papa. Lalu Papa suruh aku tangani. Aku ketemu Amira waktu meeting dengan bos dia di hotel Pak Salam." Danuar menjelaskan panjang lebar sambil mengelus rambut panjang Elena.

"Tapi dia cantik. Kamu pasti sudah tergoda sama dia?" cetus Elena dengan mulut mengerucut cemburu.

"Apaan sih. Kalau aku suka sama dia sudah lama aku menjalin kasih sama Amira. Hubungan kami hanya sebatas hubungan profesional."

"Lain kali jangan ketemu dia lagi atau ngobrol sama dia. Aku tidak suka," titah Elena tegas.

"Iya ya. Aku senang deh kalau kamu cemburu gini." Senyum lembut terukir di bibir Danuar. Elena pun kian menggelayut manja. Hingga pelayan datang menghidangkan pesanan mereka di atas meja.

Sepasang mata mengawasi aktifitas kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu.

Bersambung ...

๐Ÿ’๐Ÿ’๐Ÿ’