Jangan lupa batu kuasa dan bintang limanya. Seikhlasnya saja.
Happy reading!
๐๐๐
Malam mulai beranjak subuh, suara-suara malam masih setia menemani lelapnya penghuni alam yang sedang berselancar dalam mimpi masing-masing.
Di sudut satu ruangan bercat putih, di atas tempat tidur empuk, seorang pria masih setia memandangi langit-langit kamar dengan mata terbuka lebar. Sesekali dia meraih ponsel di atas nakas samping tempat tidur, memandang layar sejenak berharap sebuah notifikasi pesan terpampang di sana, namun nihil.
Arjuna berdecak kesal. Lalu meraih bantal dan membenamkan wajahnya di permukaan benda berkapuk yang tidak bersalah itu.
'Ck, kok pesanku tidak dibalas ya. Apakah itu benar-benar nomor kontak dia? Jangan-jangan Firda salah kasi lagi.'
Si Tuan Dokter yang lagi galau lalu bangun dari rebahnya dan duduk seraya kembali meraih ponselnya.
Sekali lagi dipandangi pesan yang terkirim setengah jam yang lalu. Ada dua centang biru pertanda pesan sudah dibaca.
'Apakah dia sudah tidur? Aku kan khawatir dengan lukanya. Apa aku telpon aja ya.'
Berbagai pergumulan terjadi dalam pikiran Arjuna. Dia pun heran mengapa dia jadi peduli dengan si gadis lemah yang jago karate itu. Tapi, mana mungkin gadis itu lemah kalau dia bisa menumbangkan si preman Joe itu. Cih, gayanya saja yang sok lemah.
Tanpa sadar Arjuna menekan ikon panggilan di layar ponselnya. Tertulis 'Memanggil Ayu' di atas layar yang berpendar itu. Terdengar bunyi dering pertanda panggilan masuk namun belum terjawab.
Seketika Arjuna terkesiap menyadari aksi impulsifnya. Dia hendak memutus panggilan tapi penasaran juga apakah Ayushita akan menjawab panggilannya atau tidak.
Setelah menunggu sekian lama akhirnya hanya suara mesin operator yang terdengar.
Kecewa. Juga gusar.
Dengan kesal Arjuna melempar ponselnya di sudut tempat tidur lalu menutup kepalanya dengan selimut.
'Ngapain juga aku khawatir sama gadis lemah itu. Toh dia sendiri tidak peduli dengan keadaan dirinya,' Arjuna menggerutu tak karuan.
Dia kembali teringat bagaimana keras kepalanya gadis lemah itu saat terluka. Dia terus menerus menolak untuk diobati. Mengingat hal itu Arjuna kembali jengkel sembari menendang dengan kakinya kian kemari. Kali ini selimut yang tak berdosa menjadi sasarannya.
Sepersekian menit kemudian sebuah notifikasi menggetarkan ponselnya. Arjuna langsung menghambur bangun dan buru-buru meraih ponsel malang yang tadinya terhempas ke sudut.
Dengan senyum lebar yang hampir merobek mulutnya Arjuna membuka pesan masuk. Namun sedetik kemudian senyumnya luruh ke bawah saat menemukan bahwa pesan itu berasal dari provider seluler yang berisi pesan broadcast iklan.
Akhirnya ponsel malang itu kembali teronggok di sebuah sudut tempat tidur yang tak terdeteksi. Biarlah sang Arjuna pusing tujuh keliling mencarinya esok hari.
\*\*\*
Udara pedesaan yang sejuk belum terkontaminasi polusi membelai lembut tubuh Ayushita. Dia bangun menunaikan shalat Subuh dengan tubuh terasa nyeri hingga menusuk tulangnya. Kedua tangannya yang lebam tak kalah berdenyut sakit saat digerakkan. Akhirnya Ayushita hanya melakukan *tayammum karena kedua tangannya belum bisa tersentuh air. Saat mandi pun Ayushita hanya membasuh bagian tubuh yang tidak memar dan luka.
Ketika sedang mengawasi siswa yang melakukan piket pagi, Firda menghampirinya dengan senyum manis yang masih berbalut sedikit kecemasan.
"Assalamu'alaikum," sapa Firda.
"Wa'alaikumussalam," balas Ayushita tersenyum.
"Gimana keadaan kamu?" tanya Firda seraya mengamati tubuh Ayushita penuh rasa ingin tahu.
"Sudah mendingan. Memarnya masih nyeri. Tapi nanti juga baikan." Ayushita memperlihatkan lengannya yang telah berubah ungu. Firda mengernyit melihatnya.
"Gimana Joe dan kawan-kawannya." Kali ini Ayushita yang diliputi rasa ingin tahu.
"Joe dan temannya yang patah tulang hidung masih dirawat. Sedangkan yang lainnya sedang ditangani Pak Babinsa. Hari ini mereka kerja bakti di lapangan sebagai hukuman. Joe akan menyusul nanti saat sudah sehat," tutur Firda.
Ayushita hanya manggut-manggut.
"Sit, kamu populer lho sekarang di kampung. Bahkan kepopuleranmu sudah sampai ke kampung tetangga." Firda mulai lagi masuk ke mode gosip. Tapi yang digosipkan teman di depannya itu.
"Kali ini apa lagi?" tanggap Ayushita tertawa kecil. Dia teringat saat pertama kali tiba di kampung itu, Firda bilang kalau dia menjadi bahan pembicaraan warga sebagai guru baru yang cantik.
"Warga kampung lagi heboh mengelu-elukan dirimu karena berhasil mengalahkan preman Joe dan kawan-kawannya. Mereka menganggap kamu sebagai super heroin pemberantas kejahatan," tutur Firda memperagakan gaya seorang super hero.
Ayushita terbahak mendengar keterangan Firda.
"Bahkan ada yang menyamakanmu dengan Wonder Woman di film Justice League itu. Cantik, seksi dan jagoan." Firda mulai berhalusinasi.
"Hahahaha ... Ada-ada saja kamu Fir. Mana mungkin aku disamakan dengan Wonder Woman. Yang ada aku ini lebih mirip Black Widow mungkin. Meskipun belum benar-benar janda sih karena baru sampai tahap tunangan sudah putus." Ayushita tersenyum kecut membayangkan hal itu.
Firda mendesah napas berat. Sebagai satu-satunya teman dekat Ayushita, dia juga menjadi satu-satunya orang yang tahu cerita sedih gadis itu hingga terdampar di kampung Petak Hijau. Pertunangan yang gagal yang membuatnya pergi karena tak tahan melihat raut kecewa keluarganya dan sakit hati atas pengkhianatan Danuar.
"Maaf, kalau omonganku buat kamu ingat lagi masalah itu." Firda menunjukkan wajah menyesal.
"Calm down, Baby!" Ayushita tersenyum seraya mencubit gemas pipi Firda.
Wajah Firda kembali semringah lalu melanjutkan menggoda Ayushita.
"Ngomong-ngomong Pangeran Arjuna menelpon kamu semalam?" tanya Firda dengan mata mengerling jail.
"Pangeran Arjuna?" Ayushita membeo.
"Tsk, itu Dokter Arjuna." Firda menyenggol lengan Ayushita dengan gemas. "Semalam waktu kamu sudah pulang, dia minta nomor kontak kamu."
"Jadi kamu kasi sama dia, Fir?" tuntut Ayushita.
"Awalnya aku tidak mau kasi sih karena aku belum minta izin sama kamu, tapi ... mau gimana lagi. Dokter Arjuna maksa. Katanya sih biar lebih mudah mengecek kondisi lengan kamu."
"Ck, pantas aja ada pesan dari nomor baru," gerutu Ayushita.
"Jadi benaran Dokter Arjuna kirim pesan?" Firda kian tersenyum jail. Ayushita mengangguk.
"Cieeee ... yang lagi dapat perhatian dari Pangeran Arjuna." Firda bersuit-suit tak jelas. Gadis itu heboh sendiri membuat siswa yang sibuk membersihkan halaman kantor menoleh ke arah mereka.
"Cih, pangeran ... pangeran dari Hongkong?" Ayushita sewot.
Firda makin tertawa geli melihat wajah cemberut Ayushita.
Ternyata kehebohan yang diceritakan Firda sampai juga di lingkungan sekolah. Para siswa berebut mendekati Ayushita, menyalami sang ibu guru dan mulai bertanya macam-macam. Bahkan ada beberapa siswa laki-laki yang terang-terangan mengatakan bahwa mereka mengidolakan Ayushita dan ingin belajar karate pada sang ibu guru. Sekali lagi mereka menganggap Ayushita seperti Wonder Woman. Ayushita jadi gemas sendiri.
'Siapa sih pencetus ide gila itu. Perlu dikasi penghargaan kayanya'
Ayushita kewalahan menanggapi celotehan siswa-siswanya. Pak Mardi harus turun tangan membubarkan mereka.
Pak Mardi pun tak luput memberi pujian pada Ayushita. Dia mendengar kabar tersebut dari berita yang berembus dari satu warga ke warga lainnya. Maklum, Pak Mardi tidak tinggal di Kampung Petak Hijau tapi dia berdomisili di kampung sebelah.
Ayushita hanya bisa berdecak kagum plus kesal. 'Luar biasa. Belum cukup sehari kabar pengeroyokan geng Joe yang terkenal itu terhadap dirinya sudah tersiar kemana-mana. Tentu saja sudah dibumbuhi dengan tambahan dimana-mana.'
Sepertinya hidupnya tidak akan tenang lagi.
\*\*\*
Di salah satu ruangan dalam Puskesmas.
Arjuna duduk di kursi dalam ruangan kerjanya. Matanya masih lekat memandang layar ponsel redup di genggamannya. Dia lalu mengembuskan napas panjang.
Terdengar ketukan di pintu. Dian membuka pintu setelah dipersilahkan masuk. Pandangannya terpaku pada wajah muram sang dokter lalu pada ponsel yang sedang dipandangi pria itu.
"Dok, apakah Anda baik-baik saja," tanya Dian sehat-hati mungkin. Arjuna menoleh ke arahnya sambil meletakkan ponsel tadi di atas meja.
"Ada apa?" tanya Arjuna tanpa berniat menjawab pertanyaan Dian.
"Ada pasien anak, Dok. Diare," jawab Dian.
"Oke silahkan suruh masuk 5 menit kemudian," pinta Arjuna datar.
"Baik, Dok. Lalu, bagaimana dengan makan siang Anda? Apakah saya pesankan di warung Ibu Sri lagi?"
Arjuna terdiam sejenak. "Tidak perlu. Saya mau keluar siang ini."
"Ada lagi yang Anda perlukan?" Dian gusar karena sang dokter tidak memandang wajahnya sedikit pun.
"Tidak ada. Saya tunggu pasiennya sekarang," tegas Arjuna. Hari ini dia tidak ingin diganggu dengan kebawelan Dian. Dia tahu perawat itu suka padanya. Bukan kege-eram, tapi gadis itu terlalu terang-terangan memperlihatkan rasa sukanya. Dan Arjuna merasa risih dengan sikap sok dekatnya.
Dian keluar dan menutup pintu ruangan Dokter Arjuna dengan hati mendongkol. Berbagai cara dia lakukan untuk menarik perhatian sang dokter, namun tampaknya sang Arjuna tidak bergeming. Tapi dia bertekad tidak akan menyerah hingga berhasil menaklukkan hati pujaan hatinya itu. Sebelum masa kontrak sang dokter berakhir pokoknya.
\*\*\*
Siang itu Ayushita kehabisan bahan makanan dan beberapa bumbu dapur. Dia memutuskan hanya akan membeli makanan jadi untuk makan siang sekaligus berbelanja keperluan dapur di warung.
Di keluarganya Ayushita memang sangat disayang dan dimanja oleh kedua orang tua dan kakaknya. Tetapi hal itu tidak membuat Ayushita malas dan tidak pandai mengerjakan pekerjaan rumah. Ayushita bisa memasak meskipun tak seenak masakan bibik asisten rumah tangga di rumahnya. Sesekali di hari libur dia akan mencoba resep-resep sederhana di You**** dan meminta orang rumah mencicipi dan memberi penilaian.
Sepulang sekolah, Ayushita pergi ke warung Bu Sri yang terkenal dengan makanan jualannya yang enak. Saat waktu makan siang warung Bu Sri selalu ramai oleh pelanggan yang memesan gado-gado, nasi rawon, nasi campur, atau sekedar membeli aneka sayur masak dengan harga terjangkau.
"Mau pesan apa, Ibu Guru?" Senyum keibuan selalu menghias wajah Bu Sri saat melayani pelanggannya.
"Saya pesan seporsi gado-gado saja. Dibungkus ya, Bu." ucap Ayushita.
"Pedas?" tanya Bu Sri lagi. Ayushita menggeleng.
"Saya juga seporsi, Bu. Sama tidak pedas juga." Tiba-tiba sebuah suara berat yang agak familiar di kuping Ayushita menggema di belakangnya. Ayushita terkejut lalu menoleh.
Sebaris senyum di wajah si pemilik suara terpampang di depannya.
"Wah, tumben Pak Dokter mampir ke warung. Biasanya Neng Dian yang memesan," sapa Bu Sri menyambut pelanggan istimewanya yang kedua.
"Lagi ada perlu keluar jadi sekalian mampir beli makan siang," tutur Arjuna sambil melirik Ayushita yang kini berdiri di sisi kirinya.
"Bagaimana keadaan lukamu?" tanya Arjuna kepada Ayushita. Bu Sri pun memandang cemas pada gadias itu. Peristiwa heroik semalam juga sudah sampai di telinganya.
"Apa lukanya parah, Pak Dokter?" tanya Bu Sri dengan mimik serius.
"Tidak, Bu. Hanya lebam kecil saja," sanggah Ayushita cepat. Dia tidak ingin orang sewarung heboh mencemaskannya. Karena pengunjung lain yang sedang makan di sana beralih memperhatikan dirinya.
"Kalau tidak diobati dengan benar maka lebamnya akan makin bengkak dan nyeri." Arjuna menatap tajam pada Ayushita.
"Wah, harus diobati tuh Bu Guru," pinta Bu Sri.
"Sudah kok, Bu. Semalam diberi salep sama Pak Dokter," jawab Ayushita seraya melirik Arjuna. Bu Sri tersenyum lega.
"Sebentar ikut saya ambil salep di Puskesmas sekalian saya periksa lagi lebamnya," titah Arjuna dengan nada tegas.
"Tidak usah, Dok. Nanti juga ... ," Belum selesai Ayushita berucap, Arjuna sudah melotot ke arahnya tanda tidak ingin dibantah.
Ayushita hanya bisa mendesah kesal. 'Kenapa dari semalam dia tidak kasi salep itu coba? Modus aja nih.'
"Ini Bu, sekalian saya bayar dengan pesanan dia." Arjuna menyodorkan selembar uang ratusan ribu saat Bu Sri selesai membungkus pesanan mereka berdua
"Apa? Jangan. Nanti saya bayar sendiri." Ayushita gelagapan dan segera menyerahkan lembaran uangnya sendiri. Bu Sri bingung harus menerima yang mana.
"Ibu Ayu pasien saya maka wajar kalau saya membayar pesanannya?" kilah Arjuna meletakkan uang di tangan Bu Sri lalu mengambil bungkusan gado-gadonya.
Ayushita memandang geram namun hanya bisa pasrah. Dia hanya bisa memandang punggung pria itu yang telah lebih dulu melangkah pergi.
'Apa sih, sok-sok bayarin. Mana ada pasien dibayarkan sama dokternya. Tapi tunggu. Tadi dia sebut namaku apa? Ayu?'
Seketika pipi Ayushita sedikit merona. Pasalnya Ayu adalah panggilan kesayangan keluarganya. Hanya kedua orang tuanya, Kak Ayub, dan satu orang terdekatnya yang memanggil begitu. Selain mereka, semua teman dan kenalannya memanggilnya Sita.
Karena nama Ayu adalah nama yang selalu disebut oleh Danuar dulu.
Bersambung ...
๐๐๐
See you next chapter