Makan siang kali ini, mereka hanya memesan makanan dari salah satu restaurant terdekat. Dan kini, meja telah dipenuhi oleh berbagai macam olahan sea-food.
Aldy menghancurkan cangkang kepiting, mengeluarkan dagingnya sedikit demi sedikit dan menaruhnya di atas piring Maureen.
Shania melihat hal itu. Aldy benar-benar memperlakukan Maureen dengan sangat manis. Tentu saja itu membuatnya iri, sebagai seseorang yang telah mengakui perasaannya pada Aldy, ia juga memiliki keinginan untuk diperlakukan semanis itu oleh Aldy.
Semakin ia memikirkannya, semakin Shania merasakan sakit di hatinya.
Tadi malam, saat ia memeluk tubuh Aldy dari belakang di pinggir kolam, Aldy melepaskan pelukan Shania dan berbalik.
Kedua mata Aldy menatap mata Shania dengan sangat dalam. Dan kata yang keluar dari bibir Aldy adalah, "Maaf. Saat ini, gue belum punya pikiran buat menjalin hubungan sama orang lain."
Kelopak mata Shania berlinang air mata mendengar jawaban dari Aldy.
Aldy mengusap mata Shania dengan ibu jarinya dengan lembut, lalu menangkup dagu Shania dengan telapak tangannya. Aldy menyunggingkan senyumannya yang hangat. "Lo cantik, dan sifat lo juga baik. Gue yakin, orang secantik dan sebaik lo, bisa dapetin yang lebih baik dari gue."
Hingga saat ini, Shania masih memikirkannya. Dalam hatinya, ia masih yakin, sangat yakin bahwa tak ada lagi yang lebih baik dari Aldy.
Ia tak ingin menyerah dengan perasaannya pada Aldy. Namun, semakin ia memandang Aldy, entah mengapa ia merasa semakin jauh dari lelaki itu.
Dari lubuk hatinya, ia ingin sekali berada di posisi Maureen, walau untuk waktu yang sangat singkat.
Aldy memandang ke arah Shania. Aldy tersenyum ramah, membuat Shania membalas senyuman Aldy dengan senyum manisnya.
Zico melihat Aldy dan Shania secara bergantian beberapa kali lalu menyunggingkan senyuman yang sangat lebar. "Cieeeeh, ada apa nih, senyum-senyum gitu. Jangan-jangan, kalian berdua udah 'acakiwir' ya?"
Shania membulatkan matanya dan menatap Zico dengan sengit. "Ja-jangan sembarangan ngomong! Gue sama Aldy … Gue sama Aldy … Eng-engga kok."
Elanie menyadarinya. Shania tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Ia jadi penasaran, apa yang dilakukan oleh Elanie dan Aldy semalam?
Ia tahu bahwa Elanie orang yang sangat kuat minum. Mungkin kembarannya itu masih terjaga saat ia sudah tak kuat lagi minum dan pergi ke kamar untuk tidur.
Tunggu dulu …
Mungkinkan?
Elanie mendekatkan wajahnya pada Shania yang duduk di sebelahnya. Shania kebingungan dengan sikap Shania saat ini. "Ke-kenapa El?"
Elanie menunjukkan tatapan yang sangat serius pada Shania.
"Lo … Semalem … Udah gak perawan lagi ya?"
Aldy yang mendengar hal itu tersedak. Zico membulatkan matanya dengan sempurna disertai mulutnya yang terbuka lebar, bahkan daging udang yang sedang dikunyahnya sampai jatuh ke piringnya sendiri.
Maureen juga terlihat kaget, dengan rona pipi yang mulai memerah.
Edwin adalah satu-satunya yang bersikap tenang di sini, namun ia tak mau ketahuan bersikap tenang jadi ia pura-pura menatap kaget ke arah Shania.
Ingat kalau pipi Maureen sedang memerah?
Pipi Shania lebih merah dari Maureen.
Shania melotot ke arah Elanie. "Go … Go-goblok! Mana ada!"
Shania beranjak dan berlari ke dalam. Elanie mengarahkan pandangannya pada Aldy dan tersenyum penuh arti. "Jadi, kalian main di sofa? Atau outdoor-an di kolam belakang? Berapa ronde?"
Aldy menenggak minumnya dan menaruh gelas itu di atas meja dengan lumayan keras. Ia tak menjawab dan berjalan ke dalam villa.
Zico menepuk pundak Maureen yang sepertinya masih tak bisa berkata-kata. Maureen menoleh ke arah Zico dan mendapati Zico mengacungkan jempolnya sambil tersenyum lebar dengan memamerkan deret gigi-gigi depannya.
"Ekhem … " deham Edwin memecahkan kecanggungan yang telah dibuat Elanie. "Kak, harusnya yang kayak gitu kan gak usah diumbar."
Elanie dan Zico mengangguk.
Maureen terdiam sejenak. Ia lalu beranjak dan berjalan ke dalam villa.
Zico memandang Edwin dan memamerkan tatapan menyebalkan. "Win, kayaknya bentar lagi Aldy bakal jadi kakak ipar lo. Jadi iri gue."
"Iri kenapa?" tanya Edwin sambil mengerutkan keningnya. "Jangan-jangan lo suka sama Aldy?"
"Eh tolol, gak mungkin lah! Maksudnya, coba aja gue punya sodara cewek dan bisa jadian sama Aldy. Gue jadi punya kakak ipar kayak Aldy. Beh, mantep banget pasti."
"Bacot lo." balas Edwin yang meneruskan makan, tak lagi memperdulikan ocehan Zico yang semakin lama semakin membuat kepala pusing.
***
Liburan pun berakhir. Mereka semua kembali. Setelah menurunkan Zico di rumahnya, Aldy dan Maureen kembali ke rumah.
Mereka tiba di rumah. Maureen turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan Aldy yang baru saja mengambil barang-barang mereka.
Maureen setengah berlari ke arah Heri dan memeluknya erat. "Udah pulang kalian nak? Gimana liburannya?"
Maureen tersenyum lebar. "Seru, pah."
"Syukur lah. Maaf ya. Liburan selanjutnya papah pasti luangin waktu untuk kalian."
Heri menoleh ke arah Aldy yang masih sibuk dengan semua barang bawaannya. Meskipun terlihat kerepotan, namun tak ada tanda-tanda mengeluh sedikitpun dari raut wajah Aldy. Heri tersenyum ke arah Aldy. "Butuh bantuan?"
Aldy hanya menggeleng lalu meneruskan langkahnya masuk ke dalam rumah. Ia menaiki tangga, menaruh barang-barang Maureen di dalam kamar adiknya itu lalu pergi ke kamarnya sendiri. Setelah menaruh barang-barang di lantai, Aldy melepas jaket dan kaus yang ia kenakan, melemparnya ke lantai dan langsung berbaring di sofa.
Aldy tak biasanya malas seperti ini. Ia biasanya selalu menaruh barang-barangnya dengan rapih, namun entah mengapa ia merasa cukup lelah kali ini.
Matanya terpejam, bayangan tentang apa saja yang terjadi di villa muncul lagi di benaknya. Hal itu benar-benar membuat Aldy lelah secara mental.
Entahlah.
Aldy merasa malas untuk melakukan apapun. Bahkan untuk menembak kepala setiap orang dengan senapan otomatis kesukaannya di game. Hal yang lebih membuatnya kelelahan adalah, sikap Maureen yang berubah kepadanya.
Dalam perjalanan pulang dari villa, Aldy sudah berusaha menjelaskan kepada Maureen bahwa semuanya hanyalah kesalah pahaman. Namun sikap yang Maureen tunjukan tetap saja seperti itu. Seakan Maureen menjaga jarak dengannya.
Aldy membuka kedua matanya, menatap langit-langit kamarnya yang lumayan gelap karena ia sengaja tak menyalakan lampu.
Aldy menghela napas berat. "Apa Maureen benci sama gue?"
Aldy menyunggingkan senyuman sambil terus menatap langit-langit kamarnya. "Kayaknya, sekeras apapun usaha gue, di manapun gue tinggal, yang gue lakuin cuman bawa masalah. Gak di panti, di penjara, dan sekarang di keluarga ini … Hahaha … Gue emang orang yang gak berguna."
Ponsel Aldy yang bergetar membuyarkan lamunan menyedihkannya. Sebuah nomer tak dikenal memanggilnya. Ia mengangkatnya tanpa pikir panjang.
"Woi, Anak Setan, ini gue, Mandex!" ucap orang yang berbicara dari seberang saluran telepon.
"Oh, Gendut Biadab. Ngapain nelpon gue?"
"Hahaha, masalah menghina emang lo lebih jago dari gue kayaknya." balasnya membuat Aldy merasa malas.
"Ada apa? Kalo gak penting gue matiin—"
"Eh bentar! Buset, ketus amat lo sama kekasih lama. Ada waktu gak? Kebetulan, gue lagi gabut. Mau nongkrong gak?"
Aldy mematikan sambungan telepon, namun Mansur kembali menghubungi Aldy.
"Eh bisul babon, jangan asal dimatiin gitu!"
Aldy menghembuskan napas berat. "Gue lagi males ngapa-ngapain. Kalo lo mau nyari korban tusuk bo'ol, mending cari yang lain. Gue gak tertarik."
"Dih, songong nih anak. Udah dateng aja, gue share-loc. Kalo lo gak dateng, gue do'ain tetangga lo hamil tuyul." ucap Mansur tanpa pikir panjang.
"Do'a? Orang tolol yang kerjaannya nyembah situs bokep trans-gender Thailand kayak lo emang bisa do'a juga? Wah, dunia kayaknya udah mau kiamat." balas Aldy, masih berbaring di sofanya dengan malas.
"Bangsat lo ye. Udah lah, darah tinggi ngomong sama lo."
Mansur memutuskan sambungannya dengan Aldy. Sebenarnya Aldy tak membenci Mansur, bagaimana ia bisa membencinya, karena Mansur adalah karung tinju favorit Aldy saat di penjara dulu.
Memang begitulah cara mereka berkomunikasi.
Aldy membuka alamat yang dikirimkan oleh Mansur dengan Google Map. Tempatnya tak jauh dari rumahnya. Namun hal yang membuat Aldy bingung adalah lokasi yang ditampilkan.
"Ini bukannya kelab VIP? Sejak kapan gendut sialan itu punya duit sampe bisa main di tempat begini?"
Didasari rasa penasaran, Aldy memutuskan untuk mandi dan pergi ke tempat itu.
***
Aldy berjalan menuruni tangga. Dari ujung pengelihatannya, ia bisa melihat Maureen sedang mengambil sesuatu dari dalam kulkas.
Awalnya ia penasaran dengan apa yang sedang Maureen lakukan. Namun mengingat sikap Maureen yang sepertinya sedang menjauh darinya, membuat Aldy membatalkan niatnya itu.
Aldy meneruskan langkahnya menuju garasi tanpa menyapa Maureen sebelum pergi seperti yang biasa ia lakukan.
Tepat di depan motornya, ia terdiam.
Bayangan saat Maureen memeluk Heri, ayahnya dengan raut wajah penuh kegembiraan entah kenapa terbayang di pikirannya. "Apa gue cuman ganggu kebahagiaan keluarga ini doang?"
Aldy menggeleng, memakai helmnya dan menaiki motor sport itu. Tanpa basa-basi ia melaju meninggalkan rumah.
Di sisi lain, Maureen mengeluarkan sebotol yogurt dari dalam kulkas. Ia mencoba membuka penutupnya, namun kali ini ia sepertinya sedang sial karena tutup botolnya terasa terlalu keras untuk dibuka.
Ia bahkan berusaha membukanya dengan bantuan kain kaus yang sedang ia kenakan. Namun tutup botol itu tetap tidak mau terbuka.
"Keras banget." keluhnya.
Maureen terdiam. Biasanya, jika ada sesuatu yang tidak bisa ia lakukan, ia akan meminta bantuan Aldy. Namun, entah mengapa ia merasa tidak ingin bertemu dulu dengan Aldy.
Gadis itu mengembalikan botol yogurt ke dalam kulkas. Berjalan ke arah pantry dapur dan melihat apakah ada sesuatu yang menarik minatnya.
Terdapat beberapa cup Pop-Mie di sana. Maureen mengambil satu, membukanya dan mengeluarkan bumbu-bumbu yang ada di dalam kemasan itu. Setelah menyeduhnya dengan air panas, Maureen memasukkan bumbu-bumbu tadi.
Ia berjalan ke arah sofa depan TV ruang tengah, menyalakan TV itu dan membuka saluran Netflix.
Pilihannya jatuh pada Itaewon Class, serial Korea yang sedang berlangsung di sana.
Maureen mengambil mie di tangannya dengan garpu lalu meniup mie yang masih panas itu. Dan bayangan tentang Aldy yang selalu meniupkan makanannya yang masih panas untuknya terlintas di benak Maureen.
"Biasanya Kak Aldy yang niupin." gumamnya lalu menaruh mienya di atas meja di depan tempatnya duduk sekarang.
Maureen memutuskan untuk naik ke lantai atas dan pergi ke kamarnya Aldy. Dengan penuh keraguan, ia mengetuk pintu.
"Kak Aldy?"
Tidak ada jawaban. "Lagi main game kah?"
Maureen membuka pintunya dan mendapati kamar Aldy yang begitu gelap. Maureen menyalakan lampu kamar Aldy.
"Berantakan banget. Tumben."
Sebelum ke sini, Maureen sudah meyakinkan hatinya, mungkin memang yang dikatakan Aldy hanyalah sebuah kesalah pahaman. Sepertinya ia akan mengerti jika berbicara dari hati ke hati dengan kakaknya itu.
Namun Aldy tidak ada di kamar. Kalau tidak salah, ia mendengar bunyi suara motor tadi. Mungkin Aldy sedang keluar. Tapi, biasanya Aldy akan bilang dulu ke Maureen setiap ingin pergi.
"Kayaknya aku udah berlebihan sama Kak Aldy."
Maureen melangkah masuk dan memungut barang-barang Aldy di lantai. Ia membuka koper Aldy lalu mengambil beberapa pakaian, membawanya ke dalam lemari dan menyusunnya dengan rapih.
Namun saat Maureen membuka lemari pakaian Aldy, ia menemukan sebuah buku di sana.
Maureen mengambil buku itu, duduk di sofa yang biasa dipakai Aldy untuk tidur dan membuka halaman pertama.
"Hari pertama gue diterima di keluarga baru. Gue diadopsi sama Heri dari penjara dan ngajak gue buat tinggal bareng, dia ngaku sebagai temennya bokap. Gue bersyukur masih ada orang yang peduli sama sampah kayak gue, walau jujur, gue masih ragu buat kembali ke dalam lingkaran bernama 'keluarga'. Semoga kedepannya bakal baik-baik aja."
Maureen tersenyum lebar. "Jadi ini buku catatannya Kak Aldy? Emang masih ada apa, orang yang nulis di buku catatan kayak gini? Lucu banget."
Maureen membuka bagian tengah buku lalu membaca apa yang tertulis di sana. "Beberapa bulan ini kerjaan gue cuman nemenin Maureen yang masih koma di rumah sakit. Anak-anak di sekolah udah julukin gue preman insyaf. Konyol sih, gue juga gak tau kenapa orang kayak gue jadi punya kebiasaan aneh kayak gini. Walau gue belum pernah ngobrol sama Maureen, tapi gue betah ngebacot sendirian di rumah sakit, gak tau deh kenapa. Reen, gue harap lo bisa cepet sadar, banyak hal yang pengen gue tau dari lo. Dan semoga, gue bisa jadi kakak yang baik buat lo. Walau gue sendiri juga gak yakin, bajingan kayak gue bisa jadi kakak apa engga. Tapi gue bakal usaha, bener deh."
Maureen tertegun membaca tulisan yang ditulis oleh Aldy di buku catatannya. Maureen terus melewati halaman demi halaman tanpa membacanya. Ia ingin tahu apa hal terakhir yang ditulis oleh Aldy.
"Tiga hari liburan di villa. Jujur, gue seneng banget karena bisa liburan bareng orang-orang yang nganggep gue sebagai temen. Kalo diinget lagi, terakhir kali gue liburan bareng temen udah lama banget, jauh sebelum gue masuk penjara. Walau orang-orang yang gue anggep sebagai temen itu yang jeblosin gue ke penjara. Bangsat emang. Yang lalu biarlah berlalu, kata siapa juga gue lupa. Intinya, gue juga seneng bisa ngajak Maureen liburan. Walau, keadaan ternyata ga sesuai ekspektasi. Mungkin gue ngelakuin kesalahan, sampe gue ngerasa Maureen mulai menjauh dari gue. Mungkin gue berpikir terlalu jauh, tapi saat Maureen menjauh, gue sempet mikir, apa gue gagal jadi kakak? Waktu gue liat ekspresi bahagianya Maureen sama Heri, gue mikir, apa gue cuman ganggu kebahagiaan mereka doang dengan mutusin buat ikut tinggal di sini? Entahlah. Kalo udah nyangkut masalah Maureen, gue jadi rada sensitif gini. Mungkin gue emang berpikir terlalu jauh. Tapi, kalo emang kedepannya Maureen merasa gak nyaman gue ada di sini, gue bakal pergi kok. Gue sayang sama lo, Reen. Sayang banget. Jadi, gue lebih gak bisa maafin diri gue sendiri kalo keberadaan gue cuman bikin lo ngerasa gak nyaman."
Maureen terdiam.
Bibirnya menyunggingkan senyuman. "Apaan sih Kak Aldy, nulis hal kayak gini, gak jelas banget."
Air matanya menetes tanpa ia sadari.
"Lebay banget jadi cowok."
Lagi. Air matanya terus mengalir.
"Gak cocok banget."
Tubuhnya bergetar hebat. Maureen memeluk buku catatan milik Aldy yang ia baca. Air matanya terus membasahi pipinya. "Kenapa sampai bisa berpikir sejauh ini sih? Maureen juga sayang banget sama Kak Aldy, dan sampai kapanpun Maureen gak akan rela kalo Kak Aldy pergi. Maafin Maureen, Kak."
Aldy menghentikan motornya di pinggir jalan. Air matanya menetes tanpa sebab, dan ia merasakan sakit di hatinya. Ia mematikan motor dan melepas helmnya. "Lah, gue ngapain nangis? Dada gue sakit lagi. Masa iya gue kena penyakit jantung di umur segini? Apa gegara kurang tidur ya? Aneh."
Aldy menyeka air matanya yang jatuh tanpa ia tahu penyebabnya itu, memakai kembali helmnya dan menyalakan mesin motor.
Ia melanjtukan perjalanannya.
Tanpa mengetahui Maureen sedang menangis di dalam kamarnya sambil memeluk buku catatan miliknya.