Chereads / Penjaga Yang Ditakdirkan (Destined Guardian) / Chapter 33 - 32. Jeanice Ainsley

Chapter 33 - 32. Jeanice Ainsley

"Jean?"

Maureen terkejut. Jeanice Ainsley, adik kelas Maureen saat masih SMP.

Jean adalah satu-satunya orang yang Maureen anggap sebagai sahabat. Saat Maureen duduk di bangku kelas tiga SMP, Maureen terjebak di kerumunan pelajar yang sedang tawuran, saat itu Maureen sedang makan di tempat makan seafood bersama mendiang ibunya.

Kebetulan Jean berada di sana, dan jika bukan gadis itu yang berdiri di garis depan untuk menghalau para pelajar yang sedang tawuran, Maureen dan mendiang ibunya beserta orang-orang yang sedang makan disana juga mungkin tidak akan selamat.

Apakah Jean sekuat itu?

Tentu.

Pemegang sabuk hitam TaeKwonDo sejak kelas satu SMP, dan juga gadis itu mengambil beberapa kelas atletik seperti voli dan renang. Kemampuan bela diri yang mumpuni disertai tubuh yang bugar berkat kelas atketik.

Saat itu Jean duduk di bangku kelas satu SMP. Namun saat ia naik ke kelas dua, ia terpaksa pindah ke kediaman kakeknya selama satu tahun, karena terlalu sering mendapat teguran dari pihak sekolah berkat ia kerap berkelahi dengan siswa-siswa di sana.

Tepat saat Jean pindah, Maureen juga mengalami kecelakaan yang mengakibatkannya harus terbaring koma selama setahun lebih.

Mereka hilang kontak.

Dan sekarang, gadis yang dua tahun lebih muda dari Maureen itu berdiri di belakangnya.

"Ikut orientasi juga? Bukannya sekarang lo udah kelas tiga harusnya?"

Maureen masih tak percaya dengan apa yang ia lihat di depan kedua bola matanya itu.

Jean melambaikan telapak tangannya di depan wajah Maureen untuk menyadarkan Maureen dari lamunannya. "Woi, kenapa sih? Kayak liat setan aja."

"Oh ... Itu, aku kecelakaan, jadi koma setahun lebih."

"Terus sekarang gimana? Udah sehat?" tanya Jean dengan ekspresi penuh kekhawatiran.

Maureen mengangguk mengiyakan pertanyaan Jean.

"Ibumu gimana? Sehat?"

Maureen terdiam sebentar. Sikap diamnya membuat Jean merasa tidak enak.

"Mamah meninggal gara-gara kecelakaan itu."

Mendengar jawaban Maureen membuat Jean terkejut. Tanpa ragu Jean merangkul tubuh Maureen dan memeluknya dengan sangat erat. "Maaf ya, gue malah gak tau itu."

Dari depan barisan mereka, beberapa anggota OSIS melihat adegan Jean sedang memeluk Maureen. "Kalian berdua, yang lagi pelukan, maju!"

Jean tak menghiraukan perintah anggota OSIS itu. Yang lebih penting baginya adalah, ia ingin memeluk Maureen lebih lama. Di samping rasa rindunya pada Maureen yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri, Jean juga sedih akan kepergian ibunda dari Maureen.

"Kalian dengar gak? Maju!"

Maureen akhirnya yang melepaskan pelukan Jean. Dengan senyuman yang paling tulus, Maureen berterimakasih pada sahabat satu-satunya yang sudah lama tak ia lihat itu. "Aku udah gapapa kok."

Merasa tak dihiraukan, anggota OSIS yang mengenakan jas almamater berwarna merah itu mendekati Maureen dan Jean. Kini ia sudah berada di hadapan kedua gadis itu. Sosok lelaki berbadan besar dengan rambut keriting yang hampir menutupi telinganya, dan juga bulu-bulu halus yang memenuhi kulit di bawah hidungnya.

Orang itu terlihat terlalu tua untuk ukuran anak SMA, meski begitu dia adalah seseorang yang duduk di bangku kelas dua.

Tanpa basa-basi kedua tangan besarnya menarik kerah Maureen dan Jean, menyeret mereka berdua ke bagian depan barisan.

Kini Maureen dan Jean menjadi pusat perhatian seluruh murid yang sedang mengikuti masa orientasi.

Alih-alih merasa takut, Maureen malah lebih heran pada sikap Jean yang tetap tenang walaupun diperlakukan agak kasar oleh senior. Karena biasanya, minimal Jean akan langsung menendang kemaluan orang yang berbuat kasar kepadanya, tak peduli siapapun itu.

"Kalian berdua ngapain tadi?"

Tidak ada yang menjawab.

"Sekarang, praktekkan apa yang baru saja kalian lakuin tadi, biar semuanya liat. Cepat!"

Belum ada yang bergerak, membuat semua orang penasaran apa yang baru saja dilakukan kedua gadis itu hingga diseret ke depan oleh anggota OSIS yang bertanggung jawab atas kegiatan orientasi di aula utama SMAS Caius Ballad ini.

Jean menyeringai, ia maju selangkah dan langsung merangkul leher senior itu dengan kedua tangannya dan memeluknya erat.

Yap.

Jean memeluk senior itu, seperti yang ia lakukan pada Maureen sebelumnya.

"Eaaaaaaa ... "

"Prikitiwwww ... "

"Acikiwirrrr .... "

"ANJAY MABAR! ... "

Siswa laki-laki yang juga ikut dalam masa orientasi menjadi sangat gaduh.

Tentu saja, seseorang seperti Jean yang kecantikannya tak kalah dari Maureen memeluk seorang anggota OSIS di hadapan mereka semua.

"Ka-kamu ngapain?!" teriak si senior setelah Jean melepaskan pelukannya.

"Loh, katanya tadi suruh praktekin? Itu yang aku lakuin sama Maureen di belakang tadi. Emang salah?" balas Jean dengan wajah polos yang dibuat-buat.

"Ekhem ... " deham si senior berusaha membersihkan tenggorokannya. "Diam semua!"

Suasana yang cukup gaduh itu langsung hening seketika.

"Kalian berdua kembali ke barisan. Lain kali, kalau senior kalian di depan berbicara, perhatikan! Ngerti?!"

Jean dan Maureen pun kembali ke dalam barisan. Maureen berbalik untuk menatap Jean yang berdiri di belakangnya, hanya mendapat senyuman yang Maureen tak mengerti apa artinya dari Jean. Maureen menggelengkan kepalanya dan kembali memperhatikan ke depan.

***

Maureen duduk di bangku yang dipilihnya. Dan sesuai dugaan, Jean memilih bangku di sebelah Maureen.

Bel istirahat telah berbunyi.

Jean duduk di samping Maureen dan menatapnya lurus. "Sorry ya, gegara gue, lo jadi ikutan kena."

"Gapapa, lagian ga sepenuhnya salahmu kok."

"Lo gak berubah ya. Dari dulu masih aja terlalu baik." balas Jean yang membuka satu kancing seragamnya teratasnya.

"Kamu yang malah berubah, jadi feminim gini. Tiba-tiba ngilang gak ada kabar, sekarang jadi lebih kalem. Jangan-jangan, kamu dijodohin ya?"

"Enak aja!" balas Jean cepat. "Gue disuruh tinggal di rumahnya opung, itu bener-bener kayak neraka, pengen meninggal rasanya. Katanya bokap, biar gue bisa lebih disiplin. Hasilnya gini deh. Jadi lebih cantik kan gue?"

"He'em ... Jadi lebih keliatan kayak cewek." sanggah Maureen yang membuat mereka berdua tertawa.

Sedang asyik ngobrol, sekitar tiga orang siswa yang sepertinya duduk di bangku kelas tiga berjalan masuk ke dalam kelas. Ketiga orang itu mengedarkan pandangan mereka, dan satu di antara mereka menunjuk tepat ke arah Maureen dan Jean berada.

"Tuh, liat deh mereka berdua. Mantep banget kan?" ucap salah satu dari ketiga orang itu.

Seorang yang kelihatan seperti pemimpin dari mereka berjalan duluan menghampiri Jean dan Maureen.

"Ekhem ... cewek."

Maureen dan Jean menoleh bersamaan ke arah sumber suara.

"Boleh kenalan ga?"

Mauren melirik ke arah Jean yang juga melirik Maureen balik. Raut kebingungan terlihat jelas di wajah kedua murid yang sejak hari pertama orientasi sudah dinobatkan secara tidak langsung sebagai primadona angkatan kelas satu oleh kebanyakan murid, tentu saja berkat kecantikan mereka berdua yang terlalu sulit untuk diabaikan.

"Kenalin." ucap lelaki itu sambil menyodorkan tangannya untuk dijabat. "Nama gue Rifki."

Maureen masih diam, namun Jean menyambut duluan uluran tangan itu. "Jean."

Maureen belum menerima jabatan tangan itu.

"Yaileh sombong amat." celetuk seseorang di belakang Rifki.

"Cantik-cantik kok sombong. Mau jual mahal?" celetuk satunya lagi.

Rifki menyikut orang terakhir yang nyeletuk. "Huss ... Gaboleh gitu, di depan cewek harus sopan!"

Rifki kembali melihat ke arah Jean dan Maureen. Ia menyodorkan ponselnya kali ini. "Minta nomer kalian dong. Pasti boleh dong, iya kan?"

Jean kembali beradu pandang dengan Maureen. Di tengah-tengah kebingungan, mata Maureen menangkap kehadiran seseorang yang sudah berdiri di depan kelas.

Brakkk!

Meja di hadapan mereka berdua digebrak dengan cukup keras oleh orang yang bermulut paling kasar dari mereka bertiga. "Woi, cepet kasih nomer kalian, gak usah sok jual mahal! Kita udah denger kalo salah satu di antara kalian berdua meluk anggota OSIS tadi pagi! Calon-calon pelacur kayak kalian tuh gak usah sok!"

Semua yang berada di kelas bisa mendengar ocehan senior itu.

Di saat seperti ini, belum ada yang berani bergerak karena penampilan ketiga orang yang duduk di bangku kelas tiga itu benar-benar menakutkan.

Namun Maureen tak bisa melepaskan sosok yang berdiri di depan kelasnya.

Lelaki itu masuk dan menghampiri Maureen dan Jean yang sedang berada di posisi sulit itu.

Duaaaakkk ...

Dengan tenaga yang tak main-main, Aldy menendang orang yang baru saja mengatakan bahwa Maureen adalah pelacur tepat di hadapannya.

Lelaki itu terpental hingga membentur dinding kelas.

Ya.

Aldy, lelaki yang sedari tadi berdiri di depan kelas Maureen.

Dua orang senior yang tadinya mengelilingi Maureen dan Jean pun berbalik. Aldy tak menghiraukan keduanya. Aldy melangkah mendekati orang yang baru saja ia tendang dengan sangat keras.

"Woi, sakit bangsat!" keluh orang itu yang mencoba berdiri namun belum menyadari siapa yang baru saja menendangnya.

Duakkk ...

Aldy menendang tubuhnya untuk kedua kalinya.

Orang itu tersungkur dengan kepala terbentur di dinding kelas. Dengan posisi masih terbaring seperti itu, Aldy melangkah maju dan mendaratkan alas sepatunya bertubi-tubi ke tubuh lelaki malang itu.

Bukk ... Bukk ... Bukk ... Bukk ... Bukk ...

Alas sepatu kets yang Aldy kenakan terus mendarat di tubuh lelaki itu tanpa henti. Dua orang senior lainnya termasuk lelaki bernama Rifki hanya terdiam melihat Aldy menyiksa temannya separah itu di depan mata mereka.

Aldy menghentikan siksaannya saat korban keganasan alas sepatunya terlihat sedikit lagi akan pingsan.

Kedua tangannya patah karena berusaha melindungi wajahnya dari siksaan Aldy, sedangkan beberapa tulang rusuk beserta hidungnya retak. Lebam memenuhi wajah lelaki itu.

Namun amarah Aldy masih belum reda.

Aldy berbalik menatap lelaki bernama Rifki dan satu orang lagi yang ia tak kenal. Namun satu hal yang pasti, mereka berdua tahu siapa itu Aldy.

Aldy menoleh pada Maureen. "Siapa lagi yang ngatain kamu?"

Maureen masih tediam. Namun Jean yang sepertinya bisa membaca keadaan meraih tangan Aldy. "Engga, kak. Udah gak ada, mereka cuman mau kenalan kok."

Aldy menatap Jean dengan tatapan yang masih menunjukkan amarah. Aldy menoleh pada Maureen, dengan salah satu tangannya masih digenggam dengan erat oleh Jean. "Ini temenmu?"

Entah mengapa, Maureen hanya sanggup mengangguk pelan.

Aldy kembali menatap Rifki dan satu temannya. "Cabut lo berdua, kalo masih sayang nyawa."

Kata-kata yang keluar dari mulut Aldy benar-benar terdengar sangat dingin. Ditambah intensitas tatapan yang menyiratkan keseriusan itu. Siapapun tak berani membantah, siapapun itu.

Rifki dan satu temannya pun membantu orang yang baru saja disiksa habis-habisan oleh Aldy keluar dari kelas.

Aldy kembali melihat ke arah lengannya yang digenggam oleh Jean. "Lo boleh lepasin tangan gue sekarang."

Jean yang sepertinya baru saja sadar dari lamunannya pun melepaskan lengan Aldy. Aldy mengarahkan pandangannya pada Maureen, dengan tatapan penuh kekhawatiran yang sangat tulus, Aldy menatap Maureen sangat dalam.

"Lo gapapa?" tanya Aldy pada Maureen.

Maureen menggeleng menanggapi Aldy.

Aldy menggapai puncak kepala Maureen dan mengelusnya dengan sangat lembut. "Yakin?"

"Iya, Maureen gapapa kok."

Jean melihat seorang lelaki berlaku sangat manis terhadap Maureen untuk pertama kalinya. Dalam benaknya, muncul pertanyaan yang sudah sewajarnya terlintas bagis setiap orang yang melihat adegan itu.

Jean mengamati penampilan Aldy dari ujung rambut hingga ujung kaki secara kilat.

Ganteng juga. Badannya juga bagus. Dari seragamnya, pasti kakak kelas. Ini pacarnya Maureen?

Jean melihat ke arah Maureen dan menepuk lengannya. Maureen menoleh dan mendapati Jean menunjukkan gestur dengan ekspresinya.

Jean menaik-naikkan alisnya sambil melirik sesekali ke arah Aldy. Maureen mengerti tentang isyarat dari Jean.

"Oh, ini kakakku." Maureen lalu kembali melihat ke arah Aldy. "Kak Aldy, ini Jean, adik kelas Maureen waktu di SMP."

"Kakak?" tanya Jean seakan tak percaya. Setahunya, Maureen adalah anak tunggal. Lalu, siapa orang yang dipanggil 'Kak Aldy' oleh Maureen ini?

Maureen mengangguk mengiyakan. "Ceritanya panjang."

Jean pun mengerti. Gadis itu menyodorkan tangannya. "Jeanice Ainsley. Sahabatnya Maureen. Panggil aja Jean."

Aldy melihat sebentar ke arah Jean.

Awalnya Aldy tak ingin memperdulikannya. Baginya yang terpenting saat ini adalah Maureen. Meskipun Aldy mengakui bahwa Jean adalah seorang perempuan yang bisa membuat hati para adam meleleh.

Namun mendengar bahwa gadis bernama Jean ini adalah seorang sahabat dari adik yang sangat disayanginya, Aldy tak bisa bersikap dingin kepadanya. Setidaknya itu yang ia pikirkan.

"Aldy." balas Aldy singkat sambil menyambut tangan Jean yang terulur.

Baik Aldy maupun Maureen tak menyadari, ada detak jantung yang terdengar sangat cepat. Itu adalah detak jantung Jean. Sambil tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari Aldy, Jean merasa dadanya semakin lama semakin berdebar hebat.

Mungkin tak ada yang menyadarinya.

Namun Jean.

Gadis itu sepertinya mengalami sesuatu yang disebut cinta pada pandangan pertama.