Chapter 39 - 38. Perampok?

Maureen terbangun dari tidurnya. Kedua matanya menatap ke luar jendela kamarnya, mengetahui bulan masih berada di posisi tertingginya Maureen bisa menebak bahwa sekarang masih tengah malam.

Namun, kenyataan ia terbangun di atas ranjangnya membuatnya bingung. Yang Maureen ingat, dia masih mengerjakan tugas kimia di meja belajarnya sebelumnya. Ia bangkit, mengarahkan pandangannya pada meja belajarnya.

Lampu belajarnya telah mati. Dengan sedikit pencahayaan dari cahaya bulan, ia bisa melihat bahwa buku-bukunya telah tersusun rapi.

"Pasti Kak Aldy." gumamnya yang lalu kembali berbaring dan ingin melanjutkan tidurnya yang terhenti.

Namun tak sampai lima detik ia telah kembali berbaring, dengan cepat gadis itu melompat dari ranjangnya dan berlari ke arah meja belajar.

"Gak boleh tidur, besok tugasnya harus udah dikumpul. Kenapa juga aku tunda-tunda ngerjain PR? Duh, bodohnya!" keluh Maureen dalam tempo yang cepat dan langsung duduk di kursi di depan meja belajarnya.

Ia menyalakan lampu belajarnya dan membuka kembali buku tugas.

Namun saat ia membukanya, kedua tangan Maureen seakan berhenti bergerak.

Bukan karena ia telah kehilangan niat untuk mengerjakan PR-nya dan memutuskan untuk bermalas-malasan dan kembali tidur. Namun, hal yang membuat kedua tangannya berhenti bergerak adalah, semua tugasnya sudah selesai.

Tak hanya itu.

Di dalam buku tugasnya itu ada secarik kertas HVS yang telah dilipat beberapa kali. Maureen yang penasaran membuka lipatan kertas itu, dan di dalam kertas yang dilipat-lipat itu adalah tata cara pengerjaan tugas dari setiap nomer yang ia belum kerjakan sebelumnya.

Awalnya, ada sekitar dua belas nomer dari dua puluh nomer soal yang masih belum dijawab oleh Maureen. Namun sekarang, semuanya telah selesai. Dan bahkan ada tata cara pengerjaannya di kertas yang dilipat-lipat itu.

"Kak Aldy pinter kimia? Bukannya dia anak IPS? ... Bentar, tapi kelas satu emang belum bisa milih jurusan, nanti kelas dua baru milih jurusan."

Maureen bangkit dari kursinya, berjalan ke luar kamar dan melangkahkan kakinya menuju ke kamar Aldy.

Dengan perlahan Maureen membuka pintu kamar Aldy. Seperti yang ia duga, Aldy sedang menembaki kepala orang-orang dengan senjata api favoritnya di komputer.

Dengan penuh kehati-hatian, Maureen kembali menutup pintu kamar Aldy.

"Kayaknya besok aja aku ngucapin terima kasih."

Maureen pun berjalan kembali ke kamarnya dan memutuskan untuk melanjutkan tidurnya.

Aldy yang sebenarnya menyadari ada yang membuka pintu kamarnya, membiarkan hal itu. Dan saat pintu kamarnya kembali ditutup, ia hanya tersenyum singkat dan kembali memfokuskan kedua matanya di layar komputer.

"Nice!" teriak Marsel dari seberang saluran komunikasi Discord saat permainan telah dimenangkan oleh Aldy.

"Gila lo ye, tangan lo kayak tangan alien, sumpah!" keluh Zico yang juga ikut bermain bersama Aldy dan Marsel.

"Ga usah heran, Aldy dari dulu emang mainnya begitu." balas Marsel yang entah mengapa merasa bangga karena telah bermain dengan Aldy cukup lama. Walau kenyataannya, Marsel hanya terus-terusan menjadi beban bagi Aldy.

"Kok lo gak pernah cerita kalo lo jago banget, Dy?" kini Edwin yang berbicara dari seberang sana dengan saluran Discord yang sama. Edwin dan Zico baru-baru ini bergabung dengan tim Aldy dan Marsel. Biasanya, Aldy hanya bermain berdua dengan Marsel, dan permainan perang perang dengan gaya survival ini bisa dimainkan dengan satu tim yang terdiri dari empat orang.

Artinya, selama ini Aldy hanya bermain dengan dua pemain dalam timnya, melawan beberapa tim lain yang memiliki empat orang di dalamnya.

Ditambah, Marsel yang hanya menjadi beban bagi Aldy, membuatnya seakan Aldy bermain sendiri melawan banyak tim sekaligus.

Kini, timnya telah lengkap dengan tambahan Edwin dan Zico. Namun, Zico yang mati di awal-awal permainan, dan Edwin yang tembakannya selalu saja meleset, membuat keadaan menjadi tak jauh berbeda dengan sebelumnya.

Meski begitu, Aldy tetap menikmati permainan. Karena baginya, dengan bergabungnya Edwin dan Zico, permainan jadi tak terlalu sepi dibanding hanya dimaninkan dengan dua orang.

"Ngomong-ngomong, gimana kuliah lo?" tanya Aldy yang telah membakar ujung batang rokoknya sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi gaming yang ia duduki saat ini.

"Ya ... Gak gimana-gimana. Di kampus gue dibenci sama banyak orang, karena yang ngejar-ngejar gue juga banyak. Biasa lah, resiko orang kelewat ganteng ya begini." jawab Edwin yang membuat Marsel dan Zico yang mendengarnya merasa jijik.

Mereka berempat kini sedang berada di lobby permainan karena baru saja menyelesaikannya.

"Gimana hubunganlo sama Maureen? Lancar-lancar aja?"

"Kenapa lo nanya gitu?" tanya Aldy balik yang merasa sedikit heran karena Edwin menanyakan hal itu.

"Nanya aja."

"Ada cewek baru bro di tongkrongan kita." sela Zico. "Cantik banget lagi. Namanya Jean. Katanya, dia sahabatnya Maureen dari SMP dan sekarang mereka sekelas. Untung aja lo udah lulus, jadi gue gak ada saingan berat."

"Lah terus, gue lo anggep apa, nyet?!" protes Marsel yang merasa diremehkan sebagai saingan untuk mendapatkan hati Jean.

"Gak perlu gue jelasin. Jean mana mau sama ingus biawak kayak lo."

"Bacot lo, selangkangan belut."

"Emang secantik apa orangnya?" tanya Edwin yang penasaran. Mengetahui bahwa Marsel dan Zico sampai memperebutkannya, pasti Jean bukanlah gadis yang biasa-biasa saja.

"Ga usah tau lo, playboy cap kaki tiga!" teriak Zico dan Marsel serempak yang membuat Edwin terkekeh.

"Tapi, tadi lo bilang, saingan lo cuman Marsel kan?" tanya Edwin pada Zico.

"Terus?"

"Lo ga inget, ada satu lagi yang bisa ngancem posisi lo berdua?" tanya Edwin yang langsung disadari oleh Marsel dan Zico.

"..."

Suasana mendadak hening. Aldy yang menyadari keheningan yang aneh itu pun mengembuskan asap nikotin dari pernapasannya. "Ambil aja, gue ga minat."

Singkat, padat dan jelas.

Aldy telah menyatakan bahwa dirinya tak akan berada di tengah-tengah lingkaran yang merepotkan itu, antara Jean, Marsel dan Zico.

Edwin terkekeh, membuat Aldy mengerutkan keningnya. "Ada yang lucu?"

"Semuanya juga tau. Walaupun lo gak ngapa-ngapain sekalipun, gak menutup kemungkinan malah si cewek bernama Jean itu yang bakal ngejar lo."

"Setuju. Gantengnya Aldy emang over-power. Bukannya gue gay, tapi kenyataannya emang begitu." ucap Marsel.

"Mmmm ... Iya juga sih. Bisa aja Jean yang ngejar-ngejar lo, Dy." Zico ikut nimbrung.

"Berisik. Mau lanjut main apa engga?" ucap Aldy yang langsung menekan tombol mulai tanpa mendapat persetujuan dari Marsel, Edwin maupun Zico.

Aldy merasa tak ada gunanya berdebat dengan hal yang tak ia pedulikan.

Karena, meski hal itu sudah terlihat sangat jelas, namun Aldy memang hanya memperhatikan Maureen jika menyangkut tentang wanita.

***

"Thanks ya. Gue off."

"Gue juga. Makasih ya."

"Oke, gue juga."

Semuanya telah log-out. Aldy adalah yang paling terakhir keluar dari game, karena ia masih ingin memeriksa item-item yang didapatnya setelah kemenangan berturut-turut yang didapat oleh timnya. Dan semua itu juga berkat usaha Aldy, karena ketiga orang lainnya benar-benar tak banyak membantu.

Mungkin Marsel adalah sedikit pengecualian, karena ia lumayan pandai menebak ke arah mana zona pertempuran akan bergerak.

Selebihnya, kemampuan menembak dan posisi saat bertempur, bisa dibilang masih sangat kurang untuk ukuran pemain yang sudha cukup lama bermain game ini. Terlebih, ia sudah lama satu tim dengan Aldy, seharusnya ia bisa belajar dari Aldy walau sedikit.

Untuk Zico dan Edwin yang baru saja bermain permainan ini, wajar jika kemampuan bermain mereka sangat jauh di bawah rata-rata.

Kini, Aldy sudah merasa puas dengan item-item yang telah ia dapatkan. Saat sebelum ia log-out dari permainan, sebuah pesan muncul dari fitur inbox di dalam game tersebut.

Dari : RRQ

RRQ, Rex Regum Qeon adalah salah satu organisasi E-sports di Indonesia yang sudah berdiri dari tahun 2013. Saat ini, RRQ menjadi salah satu dari empat organisasi E-sport terbesar di Indonesia.

Namun, tanpa melihat isi pesannya, Aldy menghapus pesan itu bahkan sebelum membacanya.

Sampai saat ini, ia sudah berusaha dihubungi oleh beberapa organisasi E-sport, salah satu yang terkenal adalah Aerowolf. Namun Aldy menolak itu semua.

Sesuai dengan tujuannya bermain game dari awal.

Ia hanya bermain untuk bersenang-senang. Rancah professional gamer bukanlah gayanya.

Aldy melepas earphone yang ia kenakan dan berdiri. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari, dan perut Aldy berbunyi. Ia kelaparan, karena melewatkan makan malam berkat mengerjakan tugas sekolah milik Maureen. Setelah mengerjakannya, Aldy hanya mengambil sepotong roti tawar tanpa tambahan apapun dan langsung bermain game.

Aldy menuruni tangga dan melangkahkan kakinya menuju dapur. Namun, Aldy melihat lampu di ruang kerja Heri masih menyala.

"Orang tua itu belum tidur?" gumam Aldy pelan. Ia melanjutkan langkahnya menuju ke dapur, menyiapkan segalanya untuk membuat mie instan.

Setelah air telah mendidih di dalam panci, Aldy memasukkan mie instan mentah tanpa menghancurkannya terlebih dahulu. Aldy terkadang heran dengan orang-orang yang menghancurkan mie nya terlebih dahulu sebelum memasukannya ke dalam panci berisikan air mendidih.

Menurutnya, mie yang masih dalam keadaan utuh itu adalah hal yang terbaik.

"Siapa kamu?!"

Meski suaranya sedikit teredam karena pintu yang tertutup, Aldy bisa mendengarnya dengan jelas bahwa itu adalah suara teriakan dari Heri. Dan suara itu berasal dari ruang kerja Heri yang lampunya masih menyala.

"Telponan sama siapa sih, lebay banget sampe teriak-teriak gitu? Kalo Maureen kebangun gara-gara orang tua itu teriak-teriak di telpon, gue getok kepalanya pake panci mie rebus. Sekali aja. Yang penting bunyi."

Aldy tak bersungguh-sungguh memiliki niat memukul kepala Heri dengan panci mie instan. Ia hanya bergumam sendiri.

"Keluar!"

Brakkk ...

Kini Aldy terdiam. Sepertinya Heri bukan sedang berbicara di saluran telepon. Bahkan ia bisa mendengar suara barang yang dihantam dengan keras.

Duakkk ... Brakkk ...

Aldy mengetahui dengan jelas suara itu. Itu adalah suara antara dua orang yang sedang bertarung hebat.

Aldy mematikan kompor dan berjalan mendekat ke arah pintu ruang kerja Heri. Ia mencoba membukanya, namun sepertinya pintunya terkunci dari dalam.

Tok ... Tok ... Tok ...

Aldy mengetuk pintu. Ia belum mengatakan apapun, untuk membaca situasi.

Setelah Aldy mengetuk pintu, suara berisik di dalam berubah hening seketika. Namun, keheningan itu membuat perasaan Aldy tambah tak enak.

Dor! ... Dor! ... Dor! ... Dor! ... Dor! ...

Terdengar lima kali suara tembakan berturut-turut, dan di pintu ruang kerja Heri juga terbentuk lima lubang peluru.

Untungnya, Aldy berhasil menghindar saat tembakan pertama gagal mengenainya.

Kedua mata Aldy terbuka secara sempurna.

Pistol?

Apakah ada perampok di dalam ruang kerja heri?

Haruskah ia menelpon polisi?

Tapi, apakah polisi akan tiba tepat waktu sebelum Heri celaka?

Aldy bahkan tak tahu kondisi Heri sekarang.

"Persetan!"

Aldy bangkit dari posisi tersungkurnya. Dengan sekuat tenaga, ia menendang pintu itu hingga lubang kuncinya rusak dan pintu terdobrak dengan cukup keras.

Heri telah terbaring di lantai, dengan pendarahan di kepalanya. Namun tak ada siapapun selain Heri di dalam sana. Ruang kerjanya juga berantakan, dan kaca jendelanya pecah.

Sepertinya orang yang melepaskan tembakan tadi telah kabur dari jendela.

Namun, banyak keganjilan di sini. Setidaknya begitulah yang dirasakan Aldy. Kenapa orang itu langsung melepaskan tembakan? Dan ia juga tak mendengar suara kaca dipecahkan setelah suara tembakan itu berakhir.

Apakah kaca itu sudah pecah dari awal?

Tapi untuk apa?

Tidak. Itu bukan hal yang penting sekarang. Aldy bergegas mengecek denyut nadi Heri. Setelah memastikan bahwa Heri masih memiliki denyut nadi, Aldy bergegas menghubungi ambulan.

Tentu suara tembakan itu akan membangunkan Maureen. Maureen yang menuruni tangga karena penasaran, langkahnya terhenti tepat di depan ruang kerja Heri.

Aldy berbalik dan mendapati Mauren dengan ekspresi terkejut.

"Papah?"