"Papah?"
Maureen terdiam setelah melihat apa yang ada di depan kedua matanya. Aldy berjongkok untuk memeriksa denyut nadi Heri, dan setelah memastikan bahwa Heri mungkin masih bisa diselamatkan, Aldy berbalik dan menatap Maureen dengan tatapan yang serius.
"Ambil kunci mobil!"
"Ta-tapi ... Aku gak bisa nyetir."
"Ambil aja, colokin kuncinya, aku yang bawa papah ke mobil."
Aldy membopong tubuh tak sadarkan diri Heri dan berlari secepat mungkin ke arah garasi. Maureen yang berusaha mengimbangi kecepatan Aldy pun telah memegang sebuah kunci salah satu mobil sport yang terparkir di garasi.
Maureen membuka pintu mobil itu dan memasukkan kuncinya ke dalam lubang kunci yang berada di dekat kemudi mobil.
Aldy menaruh tubuh Heri dengan penuh kehati-hatian dan menutup pintu. Ia berlari memutari bagian depan mobil dan langsung masuk ke kursi kemudi. "Kamu nyusul pakai Grab. Inget, gak usah panik, yakin aja papah gak akan kenapa-kenapa."
Maureen masih terdiam, namun Aldy menarik lengan Maureen dan membuatnya tersadar dari lamunannya. Tak perlu mempertanyakannya lebih jauh, Aldy bisa menebak apa yang sedang Maureen pikirkan di dalam kepalanya.
"Reen!" teriak Aldy sambil menarik tangan Maureen. "Tenang, oke? Percaya sama gue."
Maureen mengangguk, membuat Aldy merasa tak perlu khawatir lagi dengan Maureen. Ia perlu memfokuskan dirinya untuk membawa Heri ke rumah sakit terdekat secepat mungkin.
"Inget, kunci pintu, gak usah buru-buru."
Setelah mengatakan hal itu, Aldy menutup pintu mobil sport yang terbuka ke atas itu, menyalakan mesin mobil dengan memutar kuncinya ke kanan. Suara engine mesin yang meraung dengan cukup keras menandakan bahwa tunggangan yang hanya memiliki dua pintu itu sudah sangat siap untuk beraksi.
Tepat setelah pintu garasi terbuka secara otomatis, Aldy langsung menginjak pedal gas setelah memasukkan persnelen mobil dengan lumayan ganas.
Untungnya, suasana lalu lintas tak begitu ramai pada waktu dini hari seperti ini.
Di sepanjang jalan lurus, Aldy menginjak pedal gas hingga pada keadaan maksimal. Bahkan ia tak ragu hanya menggunakan rem tangan untuk belokan-belokan kecil. Walau kedua matanya fokus terhadap jalan, Aldy juga menyadari ada hal-hal aneh yang terjadi.
Entah mengapa, ia merasa sedang diikuti oleh seseorang.
Ia melihat mobil van berwarna hitam beberapa kali di persimpangan jalan yang ia lewati, dan dari pola gerakan mobil-mobil van hitam itu seperti akan bergerak mengikutinya.
Namun, Aldy mengesampingkan hal itu dan terus memfokuskan pikirannya untuk membawa Heri ke rumah sakit terdekat secepat mungkin. Aldy menyambungkan ponselnya dengan perangkat suara yang ada di mobil sport itu dan menghubungi rumah sakit yang ingin ia tuju.
Setelah bunyi panggilan berdering beberapa kali, seorang wanita yang sepertinya bertanggung jawab dalam urusan resepsionis rumah sakit mengangkat sambungan telepon dari Aldy.
"Ada yang bisa dibantu?"
"Tolong siapkan ruang gawat darurat, saya membawa pasien dengan kondisi kritis dan sekarang sedang menuju ke sana."
"Maaf, kalau boleh tahu--"
"SIAPIN AJA! GUE GAK MAU BOKAP GUE MATI!"
"Baiklah, kalau begitu, bisa--"
Aldy membelokkan mobil dengan tajam, namun ia tak melepas pedal gas secara sepenuhnya. Saat mobil itu berbelok ke arah kanan dengan sangat cepat, ban depan dan ban belakang di sebelah kanan sedikit terangkat, dan bahkan hampir menabrak halte bus yang berada di sebelah kiri jalan.
Ia menginjak kembali pedal gas dengan kondisi penuh, melepasnya langsung saat berbelok masuk ke dalam halaman rumah sakit lalu menginjak pedal rem dan pedal kopling secara bersamaan.
Ckiiiiitttttt ...
Mobil yang dikemudikan oleh Aldy tiba di pintu depan sebuah rumah sakit swasta yang jaraknya paling dekat dengan rumah mereka dibanding rumah sakit-rumah sakit lain.
"Halo?"
Si wanita yang bertanggung jawab pada bagian resepsionis masih mencoba mengonfirmasi keadaan Aldy, namun saat ia melihat sebuah mobil sport tiba-tiba berhenti di pintu depan rumah sakit dengan sangat cepat, si wanita itu seakan menatapnya dengan tatapan tak percaya.
Aldy melihat sekeliling secara sekilas. Ia sadar, bahwa dirinya masih tersambung dengan pihak resepsionis rumah sakit. "Tolol! Kalian niat jalanin rumah sakit apa engga?!" teriaknya yang langsung memutuskan sambungan telepon dengan pihak resepsionis rumah sakit itu.
Tentu saja Aldy sangat kesal, karena ia tak melihat anggota medis satupun yang berada di depan.
Aldy membuka pintu dan berlari memutari mobil, mengambil alih tubuh Heri dengan cepat menempatkannya pada gendongan di punggung dan langsung menghambur ke dalam rumah sakit.
Ia bisa melihat seorang wanita masih terdiam di balik meja resepsionis dengan gagang telepon masih menempel pada pipinya.
"Di mana?" tanya Aldy yang menjadi pusat perhatian dari seluruh orang yang kebetulan sedang berada di lobi rumah sakit itu. "Ruang gawat daruratnya! Di mana?!" Aldy mengeraskan suaranya, membuat salah satu tenaga medis yang tadinya terkejut kini menghampiri Aldy.
"A-ada di ujung lorong sebelah kanan. Tunggu, saya ambilkan--"
Tanpa mendengarkan lanjutan kalimat dari petugas medis tersebut, Aldy berlari ke arah yang dibicarakan oleh orang tersebut tadi. Si petugas medis itupun ikut berlari di belakang Aldy yang masih menggendong tubuh Heri di punggungnya. Lelaki itu menoleh ke arah si wanita yang masih tediam di balik meja resepsionis. "Hubungi dokter!"
Si wanita itu mengangguk mengerti, dan petugas medis yang berteriak itu pun melanjutkan langkahnya mengejar Aldy.
Dengan cepat Aldy membaringkan tubuh Heri di atas sebuah ranjang yang memiliki empat roda di bawahnya, mendorongnya dengan cepat sedangkan si petugas medis berlari mendahului Aldy untuk membukakan pintu ruang gawat darurat.
Setelah Aldy berada di dalam ruang gawat darurat, tak lama seorang dokter dan beberapa asistennya masuk.
"Silahkan tunggu di luar."
Aldy mengangguk dan pergi meninggalkan Heri untuk ditangani oleh dokter tersebut.
Yang bisa ia lakukan kini hanya menunggu hasilnya.
Ponsel di dalam saku celananya bergetar. Aldy melihat nama Maureen pada layar ponsel tersebut.
"Kak Aldy di mana?"
Di ujung lorong, terlihat Maureen yang sedang mencari keberadaan Aldy dengan ponsel yang menempel di telinganya. Aldy hanya melambaikan tangannya dan Maureen pun bergegas ke tempat di mana Aldy berada.
"Papah gimana?" tanya Maureen dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
Aldy mengusap lembut puncak kepala Maureen, "Tenang aja, papah udah di dalam. Udah ada dokter juga yang--"
Aldy yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya, mengerutkan keningnya saat seorang dokter dan beberapa orang yang terlihat seperti asistennya berjalan melewati Aldy dan Maureen menuju ke arah ruang gawat darurat tempat Heri berada.
Dengan cepat Aldy menarik lengan dokter tersebut. "Mau ngapain, dok?"
"Bukannya ada pasien gawat darurat di sini? Saya dihubungi sama pihak resepsionis kalau saya harus segera ke ruang gawat darurat."
Aldy terdiam sejenak.
Ia melirik ke arah tanda pengenal yang dikenakan oleh sang dokter. Di belakangnya, wanita yang tadi berada di balik meja resepsionis kini berlari di belakangnya. "Ini dok, orang yang bawa pasien ke ruang gawat darurat."
Tunggu.
Jika pihak resepsionis pun mengakui bahwa orang ini adalah seorang dokter, maka siapa yang masuk sebelumnya ke ruang gawat darurat?
"Kak Aldy?" tanya Maureen yang tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.
"Kenapa lampunya nyala? Apa ada pasien lain di dalam yang sedang ditangani?" kini si wanita bagian resepsionis itu yang bertanya.
Aldy melepaskan genggamannya pada lengan dokter dan menatap ke arah pintu ruang gawat darurat yang tertutup, dengan lampu di atas pintu itu masih dalam kondisi menyala.
Tak mungkin ada pasien lain yang sedang ditangani, karena Aldy memastikannya dengan mata kepalanya sendiri beberapa saat lalu.
Bayangan tentang beberapa mobil van hitam yang dilihat oleh Aldy di persimpangan-persimpangan jalan selama ia membawa Heri ke rumah sakit tadi kembali terlintas di benaknya.
Aldy mencoba membuka pintu ruang gawat darurat itu, namun sepertinya terkunci di dalam.
"Tunggu, saya coba hubungi--"
Duakkk ...
Aldy mencoba menendang pintu itu dengan sekuat tenaga.
"Berhenti!"
Aldy tak menghiraukan teriakan ssi wanita bagian resepsionis tersebut.
Duakkk ...
Percobaan kedua, masih belum memberikan hasil walau pintunya memang bergetar hebat.
Jika memikirkannya secara sekilas, rentetan kejadian memang sangat tak wajar. Perampok yang membawa senjata api namun langsung menghilang saat Aldy mendobark pintu ruang kerja Heri, dan tak ada barang yang hilang sama sekali.
Mobil-mobil van berwarna hitam yang entah mengapa terlihat di beberapa persimpangan jalan.
Dan sekarang, apakah ada kesalahan informasi dengan dua kali memanggil dokter ke ruang gawat darurat?
Tidak, pasti bukan itu.
Dan Aldy telah membayangkan kemungkinan terburuk dari semuanya.
Duakkk ... Bruakkk! ...
Pintu ruang gawat darurat itu akhirnya berhasil didobrak oleh tendangan dari kaki kanan Aldy dengan kekuatan penuh. Dan yang ada di dalam ruangan itu hanyalah si petugas medis yang tadi membantu Aldy membawa Heri ke dalam ruang gawat darurat. Lelaki itu terkapar di lantai tak sadarkan diri.
Selain lelaki itu, tak ada siapapun lagi di dalam ruang gawat darurat.
"Papah mana?" tanya Maureen.
Aldy tak menjawab pertanyaan tersebut dan langsung berlari ke luar rumah sakit. Ia mengedarkan pandangannya dan mendapati sebuah mobil van berwarna hitam baru saja meninggalkan area rumah sakit.
Tak hanya satu, tapi ada empat mobil van berwarna hitam yang meninggalkan area rumah sakit secara bersamaan menuju ke arah yang berbeda-beda.
Ponsel di dalam saku celananya kembali bergetar. Kali ini, ia mendapatkan pesan singkat dari nomer yang disembunyikan.
Isi pesannya : Heri ada di tangan kami. Tunggu instruksi selanjutnya jika ingin dia selamat. Dan jangan hubungi polisi.
Aldy yang tadinya terdiam, perlahan kedua sudut bibirnya terangkat hingga ia menunjukkan senyuman yang sangat lebar. Kedua matanya menatap lurus secara kosong ke arah depan dengan hawa membunuh yang sangat pekat.
Heri diculik, dan penculiknya benar-benar seorang profesional. Mungkin bukan seorang, lebih tepatnya beberapa orang yang bergerak secara teratur dengan skema yang mendekati sempurna.
Lebih tepatnya, gerombolan penculik itu lebih seperti sebuah organisasi yang sudah sangat terbiasa melakukan hal semacam ini.
Sementara Aldy terlarut dalam nafsu ingin membunuhnya yang sangat kuat, Heri di sisi lain duduk di salah satu dari empat mobil van itu, membersihkan darah palsu yang ada di kepalanya dengan sebuah kain lalu bersandar pada dinding mobil van tersebut.
"Kayaknya rencana ini berjalan lancar. Aldy, anak itu bisa tetap tenang di bawah tekanan. Bahkan dia bisa menginstruksikan apa yang harus Maureen lakuin dengan akurat. Cara berpikirnya cukup cepat, dan aku gak nyangka dia bisa nyetir mobil seperti itu." ucap Heri yang mendapat anggukan setuju dari orang-orang berpakaian seperti dokter yang duduk bersamanya di dalam mobil itu.
"Dia lulus di tes pertama ... " Heri menjeda kalimatnya dan menyunggingkan senyuman yang sangat lebar dengan ekspresi wajah yang sangat bersemangat. "Aku jadi makin penasaran, apa yang bakal dia lakuin di tes kedua."