Aldy memarkir motornya di halaman parkir sebuah bangunan yang merupakan kelab malam yang memiliki reputasi sebagai tempat untuk orang-orang VIP.
Dengan langkah biasa berjalan menuju pintu depan. Namun saat ia baru ingin masuk, dua orang yang sepertinya petugas keamanan tempat itu menahan langkahnya.
Aldy berhenti, memperhatikan kedua orang itu. Pakaian yang mereka kenakan terkesan terlalu mewah untuk sekedar petugas keamanan, walau otot-otot yang terbungkus di balik jas mahal itu tak bisa ditutupi sama sekali.
Salah seorang dari kedua orang itu memperhatikan Aldy dari ujung kepala hingga ujung kaki dan menyunggingkan senyuman dengan aksen yang lumayan menyebalkan. "Maaf, tapi ini bukan tempat buat 'orang biasa'. Mending pulang aja."
Gaya berpakaian Aldy memang sangat kasual, dengan kaus putih oblong yang dilapisi jaket bomber berwarna dark-brown yang resletingnya dibiarkan terbuka, celana jogger-jeans hitam dengan akhiran sepatu kets Vans SK8 High hitam dengan garis old-skool berwarna putih.
Seseorang yang mengenakan pakaian mahal yang cukup nyentrik baru saja keluar dari dalam kelab VIP itu sambil merangkul dua wanita di kiri dan kanannya.
Salah satu dari kedua petugas keamanan yang menghentikan langkah Aldy berbalik lalu menundukkan kepalanya kepada si pria yang membawa keluar dua orang wanita berpakaian kurang bahan itu.
"Bocah, kenapa masih di sini? Pergi sana, jangan ngalangin pintu masuk."
Aldy masih diam.
Untuk beberapa alasan, Aldy merasa kesal karena kesalah pahaman antara dirinya dengan Maureen. Keputusannya untuk datang ke alamat yang dikirimkan oleh Mansur adalah siapa tahu dia memliki sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya.
Aldy masih diam bukan karena merasa takut ataupun terintimidasi, namun ia memikirkan apa konsekuensinya jika ia mematahkan beberapa tulang dari dua orang petugas keamanan yang telah memperlakukannya bagaikan sampah ini.
Kemungkinan terburuknya mungkin Aldy akan berurusan dengan kepolisian. Namun Aldy tidak yakin apakah pemilik dari tempat ini percaya kepada aparat penegak hukum.
Jika bukan berurusan dengan kepolisian, apakah ia akan berhadapan dengan gangster yang 'memegang' daerah ini.
Mungkin Aldy hanya terlalu banyak menonton film action.
"Woi Anak Setan!" teriak Mansur yang muncul dari dalam tempat itu. "Gue tungguin lama, kenapa gak ngabarin kalo udah sampe?"
Mansur menepuk pundak salah satu petugas keamanan dan berbisik kepadanya. Setelah Mansur melakukan hal itu, mereka berdua langsung mempersilahkan Aldy untuk masuk.
Aldy berjalan di belakang Mansur tanpa menanyakan apapun.
Sebenarnya banyak sekali hal yang ingin Aldy ketahui. Salah satunya, adalah tentang pakaian yang Mansur kenakan.
Setelan jas berwarna light-pink itu benar-benar sangat tidak cocok dengan kulitnya yang berwarna gelap. Apa si gendut biadab ini bekerja di sini?
Semakin mereka melangkah, semakin terdengar suara dentuman musik EDM yang menggema di sepanjang lorong.
Dan tibalah mereka di tempat yang dipenuhi oleh lautan manusia, mereka semua bergerak mengikuti irama musik keras yang dimainkan oleh seorang DJ di atas panggung. Aldy mengedarkan pandangannya, di beberapa titik ada penari tiang yang hanya mengenakan bikini.
Dalam benaknya Aldy berpikir, apakah tempat seperti ini legal di negara yang menganut budaya timur?
Sepertinya uang memang bisa membeli banyak hal.
Terutama legalitas dari sebuah tempat usaha.
Walau tempat itu berisi kotoran, seperti yang sedang Aldy lihat sekarang.
"Gimana, bagus kan tempat maen gue?" tanya Mansur sambil merasa bangga kepada dirinya sendiri. "Oh iya, lo sengaja gue ajak ke sini soalnya ada yang mau ketemu sama lo."
"Siapa?" tanya Aldy mulai waspada.
Mansur tersenyum. "Udah ikut aja."
Aldy mengikuti langkah Mansur, berjalan melewati lautan manusia yang diperbudak oleh irama musik EDM. Tak sulit mengikuti langkah Mansur walau berada di tengah-tengah kerumunan, mengingat ukuran tubuhnya yang lumayan besar dan juga setelan jas pink menyala itu membuat Aldy mudah melewatinya.
Meskipun, beberapa kali tubuh Aldy dibelai oleh tangan-tangan orang yang tertarik padanya di lantai dansa.
Aldy tak menghiraukannya.
Mereka pun tiba di sebuah tempat yang lumayan terpisah dari lantai dansa. Mansur menundukkan kepalanya kepada seseorang yang duduk di sofa sambil memangku seorang wanita.
"Bos, ini orangnya." ucap Mansur sopan pada orang itu.
Mansur memanggilnya apa?
Bos?
Siapa orang ini?
Kenapa Mansur terlihat tunduk kepadanya?
Aldy masih diam dengan tenang. Ia masih tak percaya bahwa yang ada di depan matanya benar-benar mirip dengan apa yang ia lihat di film-film action. Siapa ini? Seorang mafia atau semacamnya?
Benar-benar kenyataan yang mengejutkan.
"Al, kenalin ini bos gue, Bos Bondet. Dia orang yang nampung gue pas gue baru keluar dari penjara. Dia orang hebat." ucap Mansur yang berusaha memperkenalkan Aldy pada bosnya.
Meskipun Aldy hanya diam, namun dalam hati ia berusaha keras menahan tawanya. Bos Bondet? Kenapa seseorang yang sepertinya berpenampilan seperti penjahat di film-film action memiliki nama yang lumayan pribumi seperti itu?
Tapi kesampingkan dulu hal itu. Aldy menunjukkan tatapan yang sangat tajam pada orang bernama Bondet itu, walau tanpa ekspresi. Ia dapat melihat ekspresi Bondet saat ini, sepertinya Bondet menyadari tatapan mata Aldy.
Aldy tak melakukannya untuk memprovokasi, namun untuk menunjukkan bahwa dirinya bukanlah orang yang 'mudah'. Sekaligus, Aldy ingin mencari tahu reaksi Bondet saat mendapatkan tatapan tajam yang penuh dengan hawa membunuh dari Aldy.
Bondet terdiam.
Bukan.
Lebih tepatnya, orang itu seakan terbungkam sesaat dengan tatapan tajam dari kedua mata Aldy.
"Ekhem … " deham Bondet sembari membenarkan dasi kupu-kupu di lehernya. "Gue udah banyak denger tentang lo dari Mandex. Dan setelah ngeliat lo secara langsung, gue percaya sama reputasi lo yang sering Mandex singgung."
Aldy hampir lupa bahwa Mansur dikenal dengan nama Mandex. Semacam nama preman agar terdengar garang. Walau kenyataannya, namanya itu cukup norak bagi Aldy. Tidak. Terlalu norak.
"Terus?" tanya Aldy singkat, masih tanpa ekspresi. Namun tatapan matanya tetap tajam.
"Gue mau, lo kerja untuk gue. Gue bisa ngasih lo bayaran dua kali lebih gede dari Mandex."
Aldy memandang ke bawah dan menutup matanya. Bondet tersenyum lebar, "Dan untuk hadiah awal dari gue, lo bisa pilih salah satu cewek … Enggak, tapi berapapun cewek di tempat ini yang lo suka. Mandex bakal nyiapin kamar paling bagus buat lo."
Mendengar hal itu membuat Aldy kembali mengarahkan pandangannya pada Bondet dan menyunggingkan senyuman.
Bondet merasa senang melihat Aldy tersenyum. Niatnya merekrut orang kuat mungkin bisa terpenuhi.
Namun hal yang selanjutnya terjadi, membuat semua orang yang melihatnya terbelalak.
Duakkk …
Aldy menendang perut Mansur yang berdiri di dekatnya dengan sangat keras, membuat Mansur tersungkur beberapa langkah di lantai.
Aldy menatap Mansur dengan tatapan dingin dipenuhi hawa membunuh yang sangat pekat. "Sekali lagi lo ngajak gue ke tempat kayak gini, gue gak peduli walaupun lo temen gue, gue pastiin kepala lo gak bakal kesambung di leher lagi."
Aldy mengarahkan pandangannya pada Bondet yang terlihat marah. "Dan makasih untuk tawarannya, tapi gue gak tertarik."
Mansur memegangi bagian perut yang tadi ditendang dengan sangat keras oleh Aldy, Mungkin terlalu keras, hingga ia masih merasa kesakitan sampai sekarang. "Apa lo lupa, kalo kita berdua itu mantan narapidana? Lo kira orang kayak kita bisa diterima dengan mudah di luar? Gue gak percaya kalo lo bakal senaif ini, Aldy!"
Aldy tersenyum mendengar ocehan Mansur. "Naif? Gue jadi kasian sama lo."
"Maksud lo apa, hah?!"
"Gue punya keluarga yang mau nerima gue. Makanya gue kasian sama lo."
Bondet pun memandang Aldy dengan penuh amarah. "Oke, lo boleh pergi. Tapi begitu lo keluar dari tempat ini, jangan salahin gue kalo terjadi apa-apa sama keluarga lo yang lo bangga-banggain di depan gue itu."
Deg …
Jantung Aldy berhenti berdetak selama sepersekian detik.
Apakah ia tak salah dengar?
Ada seseorang yang berani mengancam keluarganya secara terang-terangan seperti ini?
Senyuman di bibir Aldy menghilang. Kini Aldy menatap Bondet dengan ekspresi serius. Jika tatapan tajam yang tadi ia tunjukkan hanya untuk membaca situasi, kali ini berbeda.
Tatapan yang sama seperti saat Aldy membuat kekacauan hebat di penjara tempat ia mendekam dulu.
Mansur menyadari tatapan itu, karena saat itu juga, Mansur hampir kehilangan nyawanya oleh Aldy. Namun saat kejadian itu, Aldy mengamuk karena ada seseorang yang menghina mendiang orang tuanya walau tujuannya hanya sekedar bergurau. Namun Aldy kembali menunjukkan tatapan itu, tepat setelah bosnya, Bondet mengancam keluarga baru yang dimiliki oleh Aldy.
Mansur pun membulatkan matanya secara sempurna.
Ia baru sadar, Aldy bukanlah orang yang mudah tersulut emosi. Namun satu hal yang dapat menyulut emosi Aldy dengan mudah. Yaitu jika hal itu berhubungan dengan hal yang ia anggap paling berharga baginya. Yaitu keluarga.
"Coba lo ulangin." pinta Aldy pada Bondet.
"Gue bakal ngancurin keluarga lo. Kenapa? Gak suka?"
Bondet membuat gestur dengan tangannya, serempak sekitar dua belas orang yang mengenakan setelan jas mahal berdiri lalu mengeluarkan pisau yang selama ini tersembunyi di balik jas mereka.
Seseorang dari dua belas orang itu berteriak sambil menerjang ke arah Aldy, mengarahkan pisaunya dengan penuh rasa percaya diri.
Krakkk …
Aldy menghindari tusukan pisau yang mengarah ke perutnya itu, dengan cepat melingkarkan tangannya di leher orang itu, dan dalam waktu singkat Aldy memutar kepala orang itu dengan tenaga yang tak main-main.
Orang yang tadi ingin menikam Aldy itu kini terbaring di lantai dengan kondisi wajahnya hampir sejajar dengan punggungnya. Kedua mata dan mulutnya terbuka, namun sudah tak memiliki nyawa.
"Aaaaaaa!" teriak wanita yang duduk di pangkuan Bondet.
Dua orang maju secara bersamaan dan menerjang ke arah Aldy.
Duakkk …
Mansur menumbangkan kedua orang itu dengan mudah.
Aldy menatap Mansur "Gak ada yang minta bantuan lo."
Mansur tersenyum lebar. "Lo kira gue bakal biarin lo seneng-seneng sendirian?"
"Bukannya dia boslu?"
"Emang … dulunya. Lo tau kan kalo gue masih punya ibu sama adek? Gue akuin, pikiran gue dangkal banget nganggep duit satu-satunya hal yang bisa bikin adek gue tetep sekolah. Tapi setelah ngeliat lo gak gentar sedikitpun demi keluarga lo, gue jadi inget lagi orang-orang yang nunggu gue di rumah." Mansur tersenyum dengan ekspresi wajah penuh keyakinan, "Walaupun habis ini kayaknya gue harus nyari kerjaan baru, anggep aja ini sebagai permintaan maaf gue udah nyeret lo ke sini. Dan bikin lo denger keluarga lo diancem di depan mata lo sendiri."
Aldy terkekeh mendengar perkataan Mansur.
"Bacot lo kepanjangan." ucap Aldy lalu maju selangkah di depan Mansur. "Kalo lo cuman jadi beban, jangan salahin gue kalo leher lo juga bakal gue patahin."
Bondet menggebrak meja di depannya dengan penuh amarah. "Kalian ngapain? Mereka cuman berdua! Bunuh sekarang!"
Aldy tersenyum puas.
Sepertinya ada sarana gratis untuk melampiaskan kekesalannya.