Chereads / Penjaga Yang Ditakdirkan (Destined Guardian) / Chapter 25 - 24. Perjalanan Ke Villa

Chapter 25 - 24. Perjalanan Ke Villa

Dengan perlahan Maureen meraih ganggang pintu. Dari balik pintu itu, Maureen bisa mendengar suara Aldy yang sepertinya sedang berbicara dengan orang lain.

Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Ragu-ragu Maureen membuka pintu kamar Aldy yang memang tidak pernah dalam keadaan terkunci itu.

Setelah pintu terbuka, Maureen bisa melihat Aldy masih duduk di depan komputernya. Dengan ear-phone yang terpasang menutupi kedua daun telinganya, mata Aldy terlihat begitu fokus menatap layar LCD di depannya. Tangan kanannya memegang mouse dan tangan kiri menari di atas keyboard.

Maureen bisa melihatnya, jari-jemari Aldy yang bermain di atas keyboard memperlihatkan gerakan yang begitu indah, seakan sedang bermain piano dan memainkan sebuah lagu yang sangat indah.

Meski begitu, eskpresinya tetap tenang, berbanding terbalik dengan apa yang sedang ditampilkan di layar komputer; yaitu peperangan sengit menggunakan senjata.

"Sel, rotasi ke belakang gedung, gue serang dari depan. Kalo lo masih punya grenade, lempar ke arah tengah. Nanti gue cover." ucap Aldy dengan ekspresi tenang.

Maureen masuk dan kembali menutup pintu. Aldy menyadari keberadaan Maureen, entah apa tujuan adik kesayangannya itu mengunjungi kamarnya selarut ini, namun Aldy tetap memperhatikan laya komputernya.

Marsel, yang sedang bermain dengan Aldy dan berbicara dengannya dari seberang saluran komunikasi in-game berteriak. "Maju! Mati lo semua!"

Aldy tersenyum. "Berisik tolol, mau lo teriak sekenceng apapun, kalo tembakan lo gak ada yang kena juga percuma."

Maureen terus berjalan mendekati Aldy hingga ia berdiri tepat di belakang kakaknya yang masih fokus ke dalam game.

Entahlah, melihat Aldy begitu terampil dalam bermain permaian peperangan menggunakan senjata api itu membuat Maureen kagum. Banyak sekali orang yang Aldy kalahkan, dan ekspresinya juga tetap tenang. Benar-benar aura seorang professional.

"Wooooh! Chicken Dinner beibeh!" teriak Marsel dari seberang saluran komunikasi in-game itu, menandakan bahwa mereka telah menang. Aldy pun melepas ear-phone yang terpasang di kedua telinganya dan menaruhnya di atas meja komputer di depannya.

Aldy berputar dengan kursi khusus gamers yang memang bisa berputar itu dan menatap Maureen dengan tatapan penasaran. "Belum tidur?"

Maureen naik ke atas pangkuan Aldy. Kini Maureen telah duduk di atas pangkuan Aldy, kedua tangannya menjulur ke belakang leher Aldy dan memeluknya. Maureen menyandarkan dagunya pada pundak kanan Aldy, dengan tubuh mereka yang bersentuhan satu sama lain.

"Gak bisa tidur." ucap Maureen pelan dengan aksen manja.

Aldy hanya terkekeh pelan dan kembali berputar untuk menghadap ke komputernya. Memakai kembali ear-phone di kepalanya dan kedua tangannya kembali ke keadaan semula.

"Sel, kayaknya gue last game, abis ini mau tidur, ngantuk."

Terdengar suara hembusan napas yang lumayan berat dari seberang saluran komunikasinya. "Halah, cupu banget lu, baru juga jam berapa."

"Gausah banyak bacot. Ready cepet."

Aldy dan Marsel pun kembali melanjutkan permainan yang tadi mereka mainkan. Dengan Aldy memangku Maureen yang masih memeluknya dengan manja.

Untuk beberapa alasan, mereka sudah terbiasa dengan hal itu. Terbiasa dengan Aldy bermain game, dengan Maureen bermanja-manja seperti itu.

***

Aldy kembali melepas ear-phonenya dan kini telah mematikan komputernya. "Reen?"

Maureen yang mendengar panggilan Aldy pun mengangkat wajahnya dari pundak Aldy, memundukan wajahnya dan menatap balik Aldy. "Udah selesai main gamenya?"

Aldy mengangguk mengiyakan pertanyaan Maureen yang masih duduk di pangkuannya itu.

"Kenapa belum tidur?"

"Dibilang gak bisa tidur." balas Maureen kembali mendekatkan wajahnya pada pundak Aldy dan menyandarkan dagunya di sana. Kedua tangan Maureen masih memeluk leher Aldy dengan manja.

"Tidur gih. Besok mau berangkat ke villa kan? Nanti ngantuk di jalan loh."

Maureen masih membenamkan wajahnya di leher Aldy. "Biarin, kalo ngantuk tinggal tidur. Lagian Kak Aldy kan yang bawa mobil, bukan Maureen."

"Kalo gitu minggir dulu."

"Kenapa?"

"Gue ngantuk." balas Aldy sambil menyadarkan pipinya di kepala Maureen.

"Ya udah tinggal tidur."

Aldy terkekeh mendengar jawaban Maureen. Ia mengangkat satu tangannya untuk meraih kepala Maureen dan mengelusnya dengan lembut. "Okedeh. Night."

Maureen tersenyum. "Night."

Perlahan Aldy memejamkan kedua matanya. Setelah beberapa saat, Maureen bisa merasakan napas Aldy yang sudah teratur. Ia tahu, saat itu Aldy sudah tertidur dengan pulas. Maureen menjauhkan wajahnya dari leher Aldy dan menatap lurus wajah damai Aldy yang tertidur begitu pulas itu.

Dengan pencahayaan yang lumayan kurang karena hanya diberikan oleh lampu tidur kecil, Maureen memperhatikan setiap lekuk wajah Aldy. Rambut hitamnya yang lebat namun tetap dalam batas toleransi aturan sekolah, alis yang tak terlalu tebal, bulu mata lumayan lentik walau tak terlalu panjang, hidung mancung dengan di bawahnya terdapat bibir yang begitu kiss-able, lumayan tebal dan berwarna cerah.

Terkadang Maureen penasaran, dengan kebiasaan merokoknya, bagaimana bibir Aldy masih bisa berwarna secerah itu.

Paket keindahan yang tersaji di depan mata Maureen dilengkapi dengan garis rahang tegas yang berakhir pada leher Aldy dengan tonjolan apel adam di sana.

Benar-benar ketampanan yang sangat sulit untuk ditolak oleh kaum hawa manapun yang melihatnya.

Maureen kembali mendekatkan wajahnya pada leher Aldy, membenamkannya di sana lalu menutup kedua matanya. Dalam waktu yang singkat, ia juga sudah ikut tertidur.

Ini bukan pertama kalinya mereka melakukan hal itu.

Tidur dengan posisi yang lumayan aneh seperti itu, dengan Maureen masih berada di atas pangkuan Aldy.

Memang aneh.

Namun entah mengapa mereka masih bisa tidur dalam posisi aneh seperti itu.

Aldy dan Maureen hanyalah pasangan kakak beradik yang tak biasa.

***

Aldy menurunkan kaca mobil dan menempelkan kartu E-Toll pada alat pemindai yang berada pada pintu masuk tol. Setelah palangnya terangkat, Aldy meneruskan perjalanannya.

Di dalam mobil, ada tiga orang. Aldy yang duduk di kursi kemudi, Maureen yang duduk di kursi depan di sebelah Aldy. Sementara di belakang ada Zico. Edwin Berada di mobil lain, dengan dua kakak kembarnya.

Elanie dan Shania. Dua kakak kembar Edwin yang memutuskan untuk ikut dalam liburan kali ini. Keduanya berumur dua puluh dua tahun. Meskipun mereka kembar, namun kepribadian mereka saling bertolak belakang.

Elanie memiliki sifat sangat tomboy, dengan potongan rambut serta gaya berpakaian yang benar-benar membuat orang yang melihat akan ragu bahwa ia seorang perempuan. Sedangkan Shania berkepribadian feminim, dari gaya berpakaian sampai caranya bersikap.

Meskipun dalam hal kecantikan, keduanya setara dengan model-model papan atas.

Hanya saja, kepribadiannya saja yang berbeda. Jadi tak sulit membedakan mereka walau memiliki wajah kembar yang begitu identik.

Aldy membelokkan mobil mengikuti mobil yang dibawa oleh Edwin dari belakang, masuk ke dalam rest area dan memarkir mobil di lahan parkir yang tersedia di sana.

Setelah mematikan mesin mobil, Zico turun terlebih dahulu dan membentangkan kedua tangannya. "Huaaaah, capek juga jalan jauh."

Aldy bisa mendengar itu. Padahal bukan dia yang membawa mobil.

Dengan lembut Aldy menepuk pipi Maureen sepelan mungkin. "Reen? Bangun."

Perlahan Maureen membuka kedua matanya. "Udah sampe?"

"Belum. Istirahat dulu."

Maureen melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu lalu keluar dari mobil. Aldy pun juga keluar dan menekan tombol untuk mengunci mobil mereka.

Edwin berjalan mendekati Aldy. Di belakangnya Elanie dan Shania mengikut. "Mau pada makan di mana?" tanya Edwin pada Aldy, Maureen dan Zico.

Aldy memasukkan kunci mobil ke dalam kantung celananya. "Serah, ngikut."

"Oh iya, kenalan dulu. Ini kakak-kakak gue." ucap Edwin.

Mereka semua berkenalan. Shania menyalami tangan Aldy, Maureen dan Zico dengan sopan dan anggun, meskipun dia lebih tua dari mereka. Sedangkan Elanie lebih memilih untuk beradu kepalan tangan, seperti tos dengan tinjunya.

Dari situ sudah terlihat perbedaan antara Elanie dan Shania dengan jelas.

Mereka pun pergi ke food court yang ada di dalam rest area itu. Namun Aldy berjalan ke arah lain yang membuat Maureen penasaran. "Kak Aldy mau ke mana?"

Aldy berbalik. "Beli rokok bentar."

"Ikut."

Aldy tak melarangnya dan melanjutkan langkahnya. Maureen mengikutinya ke sebuah mini market. Di dalam sana, pandangan Maureen hanya tertuju pada makanan-makanan ringan yang dipajang, sedangkan Aldy fokus pada merk rokok yang ingin ia beli.

Maureen mengambil sebuah keranjang kecil dan mulai mengisinya dengan berbagai macam makanan ringan. Aldy mengambil alih keranjang kecil dari tangan Maureen yang sudah penuh itu. "Sini biar gue yang antri. Lo tunggu aja di luar."

Maureen mengangguk dan berjalan keluar mini market.

Dari dalam barisan antrean, Aldy bisa melihat Maureen yang berdiri di luar, melambaikan tangannya pada Aldy. Aldy hanya membalasnya dengan senyuman dan kembali mengarahkan pandangannya ke depan.

Ia menaruh keranjang yang penuh dengan berbagai macam makanan ringan itu di atas meja kasir, membiarkan si petugas yang berdiri di seberangnya memindai harga makanan-makanan ringan itu satu persatu.

"Sama Marlboro Merahnya lima bungkus."

Aldy memang suka menyetok rokok untuk perjalanan panjang seperti ini. Dengan perkiraan bahwa ia akan sulit mencari rokok jika sudah di villa nanti. Jadi lebih baik kelebihan dari pada kekurangan.

Aldy menoleh ke arah Maureen, yang kini sudah dikelilingi oleh tiga orang lelaki yang sepertinya berusaha untuk berbicara dengannya. Aldy mengerutkan keningnya, penasaran dengan ketiga orang itu. Apa yang mereka inginkan dari Maureen.

"Semuanya tiga ratus dua puluh tujuh ribu." ucap si petugas yang telah selesai memindai semua belanjaan Aldy dan memasukkannya ke dalam kantung belanjaan. Aldy menyerahkan kartu ATMnya dan memberikannya pada si petugas.

Setelah membayar semuanya, Aldy keluar dari mini market itu dan berjalan menuju tempat Maureen berada.

Hal yang Aldy lihat membuatnya menatap tajam pada ketiga lelaki yang mengelilingi Maureen itu. Salah satu dari mereka telah mencengkram pergelangan tangan Maureen.

"Sombong banget, mentang-mentang muka lo cantik, lo kira bisa nolak gue gitu aja? Lo ga tau siapa gue? Dasar lacur, sini lo ikut gue!"

Maureen berusaha melepaskan cengkraman orang itu, namun tenaganya kalah jauh. Orang itu mulai menyeret Maureen.

Apa yang lelaki itu katakan pada Maureen terdengar oleh telinga Aldy.

Dari kejauhan, Zico yang berencana untuk mencari Aldy dan meminta kunci mobil untuk mengambil ponselnya yang ketinggalan di dalam mobil akhirnya menemukan di mana Aldy berada.

Zico mengangkat satu tangannya, sudah bersiap untuk berteriak pada Aldy, namun niatnya terhenti. Zico bisa melihatnya. Ia bisa melihat tatapan mata Aldy. Tatapan yang biasa ia lihat saat Aldy berada di dalam perkelahian masal dengan murid sekolah lain.

Tatapan yang sudah sangat khas dari Aldy. Meski bukan pertama kali Zico melihatnya, namun ia tetap saja merasa merinding melihat tatapan itu.

Zico berusaha mengikuti arah pandang Aldy, mencoba mencari tahu apa yang membuat Aldy menunjukkan tatapan yang penuh dengan hawa membunuh seperti itu.

Dan saat itu juga, Zico menyadari apa yang sedang terjadi.

Setelah melihat Maureen yang sepertinya sedang ditarik paksa oleh tiga orang lelaki sekaligus, tentu saja Aldy sebagai kakaknya tak akan diam begitu saja.

Dengan sangat cepat Zico berlari ke arah Maureen.

Keringat dingin sudah bercucuran dari kening Zico. Ia merasa takut. Bukan kepada ketiga lelaki yang mengelilingi Maureen, namun dengan apa yang mungkin terjadi jika ia membiarkan Aldy mengurus ketiga orang itu.

Duakkk …

Tanpa pikir panjang Zico mendaratkan pukulan keras pada wajah orang yang menarik lengan Maureen. Zico meraih tangan Maureen dan menatapnya dengan tatapan serius. "Ayo lari!"

Zico telah lari membawa Maureen.

Orang yang menerima bogem mentah dari Zico mengusap-usap pipinya yang mulai membiru. "Woi anjing! Jangan kabur lo!" ia menatap kedua temannya. "Ngapa diem aja? Kejar!"

Baru saja mereka ingin mengejar Zico dan Maureen, langkah mereka terhenti karena tiba-tiba ada seorang lelaki yang berdiri di depan mereka. Lelaki dengan tatapan dingin, dengan satu tangan dimasukkan ke dalam kantung celana, sementara satu tangannya yang lain memegang sebuah kantung plastik berisikan berbagai macam makanan ringan.

"Siapa lo hah?!"

Aldy tersenyum lebar. "Kakek buyut lo."

Ketiga orang itu saling beradu pandang. Seseorang yang pipinya mulai membiru berkat pukulan Zico sebelumnya pun menatap Aldy dengan penuh amarah. "Hajar!"

Dengan itu, perkelahian antara Aldy dan ketiga lelaki itupun sudah tak dapat dihindari lagi.

Atau lebih tepatnya …

Pembantaian.