Chereads / Penjaga Yang Ditakdirkan (Destined Guardian) / Chapter 26 - 25. Kejadian Tak Disengaja

Chapter 26 - 25. Kejadian Tak Disengaja

"Kenapa lo ngos-ngosan begitu?" tanya Edwin yang duduk bersama Elanie dan Shania, melihat Zico dan Maureen yang sepertinya baru saja berlari dengan napas yang terengah-engah.

"Gawat Win." ucap Zico, masih berusaha mengatur napasnya yang tak karuan.

"Gawat kenapa?"

"Aldy!"

Edwin yang mendengar itupun membulatkan matanya dengan sempurna. Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, ia seakan sudah mengerti dengan apa yang Zico coba sampaikan. Ia menatap kedua kakaknya. "Tunggu di sini bentar."

Edwin berdiri dan berjalan mendekat ke arah Zico. "Kenapa lo lari? Ga bantuin Aldy?"

Zico menunjuk Maureen. "Ya masa gue biarin Maureen ngebantai mereka?"

Edwin menaruh tangannya di pundak Maureen. "Lo tunggu di sini sama kakak-kakak gue. Gue sama Zico mau ke tempatnya Aldy dulu."

Maureen menggelengkan kepalanya. "Gak, Maureen mau ke tempatnya Kak Aldy juga."

"Udah lo tunggu aja di sini." sahut Elanie yang juga berdiri meninggalkan Shania. "Gue aja yang ke sana, lo di sini sama Shania."

"Tapi … Kak Aldy begitu gara-gara aku, aku gak bisa—"

"Gak usah bantah. Tenang aja." potong Edwin yang tersenyum ke arah Maureen. Shania pun telah berdiri di belakang Maureen.

Shania menggenggam tangan Maureen dan berusaha meyakinkan Maureen, meski sebenarnya ia juga tak mengerti apa yang sedang terjadi. Namun satu hal yang ia mengerti, bahwa ia harus bisa membuat Maureen tetap di sini.

Edwin menoleh pada Zico. "Di mana dia?"

"Ikut gue." ucap Zico yang memimpin jalan. Edwin dan Elanie mengikutinya dari belakang.

Elanie sedikit mengerti dengan keadaan yang sedang terjadi. Karena mendengar kata 'ngebantai' dari mulut Zico, ia bisa sedikit membayangkan apa yang sedang dialami oleh Aldy.

Sebelumnya, pada perjalanan mereka sebelum mencapai rest area, Edwin sudah menceritakan sedikit mengenai Aldy kepada Elanie. "Aldy, orang yang nyetir mobil di belakang kita, meskipun lo jago berantem, tapi sebisa mungkin jangan cari masalah sama dia. Meskipun dia itu temen gue, tapi gue juga lumayan jaga sikap gue kalo lagi sama dia." itulah yang diucapkan oleh Edwin di mobil, mengetahui Elanie adalah wanita yang suka mencari masalah.

Melalui percakapan dengan Edwin, Elanie sudah bisa membayangkan sosok seorang Aldy walaupun hanya sedikit.

Dan betul saja, saat mereka bertiga sudah tiba di tempat yang Zico, Aldy sudah tak ada di sana.

Zico mengedarkan pandangannya, tak bisa menemukan Aldy di manapun.

"Mana?" tanya Edwin, dan Zico hanya mengedikkan kedua bahunya, tak tahu dengan keberadaan Aldy.

Namun suara langkah kaki membuat mereka bertiga berbalik. "Kalian ngapain di sini?"

Aldy.

Ia sudah berdiri di belakang mereka bertiga dengan kantung plastik berisi berbagai macam makanan ringan berada di tangannya. Tentu saja, Zico dan Elanie kebingungan di sini.

Edwin berusaha melihat ke arah Aldy datang sebelumnya, memprediksinya dari arah langkah Aldy. Edwin pun menemukan sebuah gang kecil yang terdapat di antara kedua bangunan di sana.

Edwin menyadarinya.

Gang kecil itu.

Mungkin orang-orang yang mencari masalah dengan Aldy sudah terkapar di sana.

Ia satu-satunya orang yang menyadarinya. Aldy melihat raut wajah Edwin dan menyadari bahwa Edwin sudah mengetahuinya. Saat Edwin beradu pandang dengan Aldy, Aldy hanya menyunggingkan senyuman.

Edwin balas tersenyum. "Syukurlah kalo lo gak kenapa-kenapa. Balik yok, laper gue."

Zico mengerutkan keningnya, "Tapi, orang-orang tadi—"

Edwin merangkul pundak Zico dan menyeretnya. "Udah, balik aja."

Aldy mengikuti langkah Edwin dan Zico, sementara Elanie berjalan di belakangnya. Tanpa sengaja, Elanie memandang ke arah sebuah gang kecil yang cukup gelap karena tertutup bayangan dari dua bangunan yang mengapitnya. Samar-samar ia bisa melihat tiga orang lelaki yang terkapar di sana, di atas tumpukan sampah yang sepertinya cukup berserakan itu.

Melihat hal itu, Elanie tak bisa menahan rasa terkejutnya. Untuk sesaat, Elanie menghentikan langkahnya.

Aldy menyadari langkah Elanie yang terhenti dan berbalik. "Kenapa berenti? Gak ikut?"

Elanie menoleh ke arah Aldy dan menggelengkan kepalanya. Wanita itu meneruskan langkahnya, tak menjawab pertanyaan Aldy dan melewatinya. Elanie terbungkam tanpa bisa berkata apa-apa sambil terus mengikuti langkah Edwin dan Zico yang sudah beberapa langkah di depan.

Aldy memandang ke arah gang kecil itu sesaat lalu meneruskan langkahnya mengikuti mereka bertiga.

Sedangkan kondisi ketiga orang yang terkapar di gang kecil itu benar-benar mengenaskan. Mereka semua terbaring dengan beberapa tulang di dalam tubuh mereka yang patah, dan semuanya kehilangan kesadaran.

Namun Aldy meninggalkan mereka setelah memeriksa kondisi mereka satu persatu.

Tidak ada yang mati.

Dan itu sudah cukup.

Walau dalam hati, Aldy belum puas. Terlebih setelah mendengar Maureen dikatai 'lacur' oleh salah satu dari mereka. Namun ia juga harus menahan diri, karena Aldy memang tak memiliki keinginan untuk kembali ke dalam penjara.

Begitulah.

Aldy tak akan segan-segan menghancurkan siapapun yang berlaku kurang ajar pada Maureen. Tak peduli siapapun itu.

***

Mereka melanjutkan perjalanan. Kini mereka telah tiba di depan sebuah pintu masuk villa yang lumayan mewah, walau masih belum bisa dibandingkan dengan rumah Aldy dan Maureen.

Lokasinya ternyata lumayan ke arah puncak. Udaranya juga benar-benar khas daerah dengan dataran yang lumayan tinggi, begitu sejuk.

Aldy turun, mengambil tas ranselnya dan juga koper milik Maureen dan berjalan ke dalam villa.

Villa milik Edwin begitu besar, dengan total tiga kamar tidur, satu ruang utama besar lengkap dengan TV berukuran lebar dan alat yang sepertinya digunakan untuk karaoke, dan kaca belakang yang menampilkan pemandangan khas pegunungan dengan kolam renang pribadi tersaji di sana.

Seorang wanita berumur di akhir empat puluhan menyerahkan kunci Villa kepada Edwin lalu pergi meninggalkan mereka.

Di lantai atas terdapat dua kamar tidur, sedangkan satu di lantai dasar. Edwin dan Zico berjalan duluan ke atas untuk memilih kamar, sementara Elanie dan Shania sudah mengklaim kamar yang ada di bawah.

Aldy dan Maureen juga ikut naik ke lantai atas untuk menaruh barang-barang mereka di dalam kamar.

Maureen membuka pintu kamar dan terkejut melihat isinya. "Woah, Edwin anak orang kaya ternyata."

Aldy tersenyum. "Baru sadar?"

Aldy menaruh ransel miliknya dan koper milik Maureen di lantai, berjalan ke ujung ruangan untuk membuka tirai kamar mereka. Sedangkan Maureen langsung berbaring di satu-satunya kasur yang ada di ruangan itu.

Aldy berjalan kembali ke arah ransel miliknya dan mengeluarkan sebuah handuk serta pakaian ganti. "Gue mandi duluan ya."

Maureen mengangguk dan mengeluarkan ponselnya sambil terus berbaring di kasur.

Aldy masuk ke dalam kamar mandi, toilet dan shower berada di ruangan terpisah, hanya terhalang oleh kaca transparan.

Aldy melepas pakaiannya satu persatu dan masuk ke dalam ruang mandi, menyalakan shower dengan air panas yang mengalir keluar dari sana.

Uap dari air panas itu membuat kaca transparan yang memisahkan ruangan mandi tersebut menjadi tertutup embun.

Maureen menaruh ponselnya dan merasa ingin buang air kecil. Ia berjalan ke arah kamar mandi dan mengetuk pintunya. "Kak Aldy? Maureen kebelet!"

Aldy tak bisa mendengarnya berkat suara guyuran shower.

Rasa ingin buang air kecilnya sudah tak tertahankan lagi. Maureen membuka pintu dan masuk ke dalam kamar mandi.

Ia bisa melihat, tubuh Aldy samar-samar dari balik kaca yang tertutup embun itu.

Siluet tubuh seorang Rizaldy Pradipta yang begitu proposional membuat rona merah tercetak jelas di pipi Maureen.

Dengan perlahan Maureen berjalan ke arah toilet, menurunkan celananya dan juga celana dalamnya lalu duduk di sana. Ia berusaha tak menghasilkan suara sama sekali, tak ingin Aldy menyadari keberadaannya.

Aldy mematikan shower dan mengambil botol shampo yang ada di sana. Saat itu juga, Aldy tak sengaja menatap ke arah kaca. Meski kaca itu tertutup embun, namun hanya sampai bagian dadanya.

Ia bisa melihatnya, Aldy dan Maureen saling beradu pandang.

Dan di situlah pertama kalinya Aldy melihat bagian paling intim dari tubuh Maureen.

"Aaaaaaaa!" teriak Maureen.

Aldy dengan cepat berbalik.

Ia bisa mendengar suara kloset toilet yang menutup disertai suara guyuran air pada saluran kloset. Dan setelah mendengar suara pintu kamar mandi yang tertutup dengan nada sedikit terbanting, Aldy pun yakin bahwa Maureen telah keluar.

Di situlah Aldy bisa bernapas lega.

Namun saat ia menatap ke arah bawah, sepertinya 'sang junior' tanpa sadar sudah berdiri dengan tegak. Aldy pun menghembuskan napas berat. "Kayaknya gue bakal lama di kamar mandi."

Sedangkan Maureen berbaring terngkurap sambil membenamkan wajahnya di bantal. Ia memukul-mukul kasur dan menarik wajahnya kembali. "Pasti Kak Aldy tadi lihat. Lihat kan? Gak mungkin enggak. Pasti lihat. Aaaaaaah, dasar Kak Aldy cabul!" rengeknya lalu kembali membenamkan wajahnya di bantal dan menendang-nendang kasur dengan kesal.

Sepertinya liburan kali ini akan sedikit canggung.

Entah siapa yang salah, namun yang sudah terjadi tak bisa dirubah lagi.

Kenyataan bahwa Aldy tak sengaja melihat bagian tubuh Maureen yang berhimpit di antara kedua pangkal pahanya itu yang membuat 'si junior' milik Aldy berdiri tegak tanpa ia sadari itu sudah benar-benar tidak bisa diubah.

Aldy memang merasa bersalah akan hal itu.

Namun ada hal penting yang harus ia lakukan sekarang.

Aldy mengambil sabun dan melumuri kedua telapak tangannya. Yap, hal penting yang harus ia lakukan sekarang adalah menenangkan 'si junior'.

Sepertinya ia memang membutuhkan waktu sedkit lebih lama di kamar mandi.

Dasar.