Chapter 22 - 21. Bos Preman?

Setelah kejadian yang tak menyenangkan, Aldy dan Maureen memutuskan untuk melanjutkan acara jalan-jalan berdua mereka yang tertunda. Untuk masalah ponsel dan pakaian, Maureen sudah merasa puas, yang tersisa hanyalah tinggal menghabiskan waktu berdua.

Aldy sudah mendapatkan tiket bioskop dari film yang ingin ditonton oleh Maureen, yaitu Dear Nathan : Hello Salma. Walau premiere-nya sudah lewat, namun Maureen tetap ingin menontonnya.

Sebenarnya Aldy kurang menyukai genre film yang akan mereka tonton, namun karena Maureen yang memintanya ia jadi tak memiliki keinginan untuk menolak sama sekali. Lagi pula, kalau memang filmnya dirasa membosankan, Aldy bisa tidur hingga filmnya selesai.

"Masih dua jam lagi. Mau makan dulu ga?"

Maureen mengangguk dan langsung memeluk salah satu lengan Aldy.

Yap.

Maureen terus menempel pada Aldy, yang pasti membuat siapapun yang melihat tak akan berpikir bahwa kedua makhluk mempesona itu adalah sepasang kakak dan adik. Namun baik Aldy maupun Maureen tak ada yang memperdulikan hal itu sama sekali. Lagi pula, terserah orang-orang ingin beranggapan bagaimana juga, tidak ada yang merasa terpengaruh.

Setelah menyusuri beberapa bagian mall, Aldy menoleh. Namun, baru saja ia ingin menanyakan Maureen ingin makan di mana, Aldy sudah bisa menebak jawaban apa yang akan Maureen berikan.

Terserah.

Dan jawaban itu sedang tak ingin didengar oleh Aldy saat ini.

Mereka telah melewati beberapa tempat makan di dalam mall, namun tak ada yang menarik perhatian Aldy sama sekali. Sebenarnya Aldy mengetahui tempat makan yang ingin ia datangi, namun tempat itu berada di pinggir jalan yang tepat bersebrangan dengan mall.

"Kalo gue ngajak lo makan di luar, mau ga?"

"Gak apa-apa, ke mana aja Kak Aldy mau pergi, Maureen ikut." jawab Maureen, masih memeluk lengan kakaknya dengan manja.

Mereka pun berjalan keluar mall, menaiki jembatan penyebrangan untuk melewati jalan raya. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah warung makan yang menyediakan hidangan bakso rusuk dan mie ayam. Yang Aldy incar adalah mie ayamnya. Entah mengapa, cita rasa mie ayam itu terasa cocok di lidah Aldy, dan ia pertama kali merasakannya saat bolos bersama Marsel waktu mereka masih duduk di bangku kelas satu SMAS Caius Ballad.

Saat itu, mereka sedang tawuran dengan sekolah lain di lokasi yang lumayan dekat, dank arena polisi tiba-tiba datang, Aldy dan Marsel pun lari dari kejaran polisi. Cara mereka lolos adalah dengan membeli mie ayam di tempat ini, sekaligus menyamar sebagai pelanggan.

"Mau mie ayam apa bakso rusuk?"

Maureen duduk tepat di sebelah Aldy. "Ikut yang Kak Aldy pesen aja."

Aldy tersenyum masam. Seharusnya ia sudah tahu jawaban apa yang akan diberikan Maureen setiap kali ia menanyakan hal itu.

"Mie ayamnya dua." ucap Aldy pada orang yang mencatat pesanan mereka. Meskipun warung makan ini tergolong kecil, namun mereka juga memiliki pegawai yang mencatat pesanan pelanggan. Aldy kembali menoleh ke arah Maureen. "Minumnya?"

"Ikut—"

"Es teh dua." ucap Aldy cepat memotong jawaban Maureen.

Pegawai yang mencatat pesanan mereka pun mengangguk dan langsung berjalan ke arah dapur. Atau lebih tepatnya ke arah gerobak jualan.

Yah, tak ada bedanya.

Pesanan mereka datang. Didasari rasa lapar dan juga rindu dengan mie ayam yang ia santap dulu dalam keadaan tegang berkat lari dari kejaran polisi saat tawuran, Aldy langsung menyantapnya tanpa ragu-ragu.

"Kak Aldy."

Aldy menelan mie ayam yang ada di dalam mulutnya lalu menoleh. "Hm?"

"Yang tadi, itu temennya Kak Aldy?"

"Yang tadi?" tanya Aldy balik, namun ia langsung teringat dengan kejadian saat ia menghajar orang yang merekam Maureen sedang ganti baju. "Oh, Rania? Kalo dibilang temen, kayaknya bukan. Cuman kebetulan kenal aja. Kenapa?"

"Jadi bukan temen? Tapi kok dia mandang Kak Aldy kayak gitu?"

"Mandang gimana?"

Maureen menggeleng menanggapi pertanyaan balik dari Aldy dan memilih untuk meneruskan makannya.

Maureen menyadari dua hal. Pertama, bahwa perempuan bernama Rania yang menolong mereka tadi memiliki rasa tertarik pada Aldy. Maureen bisa tahu berkat intuisinya sebagai seorang perempuan. Cara Rania menatap Aldy, tak salah lagi. Rania pasti merasa tertarik pada Aldy.

Dan hal kedua yang Maureen sadari adalah, Aldy benar-benar tidak peka dengan hal-hal seperti itu.

Entah apakah Aldy belum pernah berpacaran sebelumnya, namun dari cara Aldy memperlakukan Maureen dengan sangat manis, Maureen merasa bahwa Aldy adalah orang yang sangat berpengalaman karena tahu cara memperlakukan seorang wanita dengan sangat baik.

Itu menandakan satu hal.

Aldy hanya seorang lelaki yang tidak peka.

Namun yang membuat Maureen merasa gelisah adalah, apakah Aldy memiliki perasaan yang sama terhadap Rania?

Tunggu.

Memangnya kenapa jika Aldy juga memiliki perasaan yang sama dengan Rania?

Maureen tak mungkin melarang kakaknya untuk menyukai seorang cewek.

Tapi, kenapa Maureen merasa gelisah dengan hal itu?

Maureen juga tidak mengerti dengan perasaan yang saat ini sedang ia rasakan.

"Gak dimakan? Udah kenyang emang?" tanya Aldy yang baru saja menyelesaikan makannya.

Seakan baru tersadar dari lamunannya, Maureen kembali melanjutkan makannya yang baru habis setengah.

Aldy berdiri dan beralih duduk di seberang meja Maureen, mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam kantung jaketnya dan mengapit sebatang di antara bibir atas dan bibir bawah. Dengan sebuah pemantik, ia membakar ujung batang nikotin itu lalu menghisapnya dalam-dalam, menghembuskan asap kenikmatan itu ke udara dan menaruh pemantik serta bungkus rokok itu di atas meja di depannya.

Maureen yang melihat itu sudah mengetahui sebelumnya bahwa kakaknya memang memiliki kebiasaan merokok. Sebenarnya, jika bisa, Maureen ingin Aldy menghilangkan kebiasaan buruknya itu. Namun, ia tak ingin melarang Aldy.

Entahlah.

Mungkin belum saatnya.

Dan pikiran Maureen masih dipenuhi hal yang sedari tadi ia pikirkan. Tentang wanita bernama Rania.

"Woi, bagi rokok lo!" pinta seseorang yang entah datang dari mana langsung duduk di sebelah Aldy. Meskipun Aldy belum memberikannya, ia langsung mengambil rokok dan pemantik milik Aldy yang berada di atas meja.

Aldy masih diam dengan kelakuan orang yang tidak memiliki tata krama sepeperti itu. Dan sesaat setelahnya, sekitar tambahan tiga orang asing duduk di meja yang sama dengan Aldy dan Maureen.

Mereka semua memakai jaket jeans tanpa lengan yang memamerkan tato-tato di lengan mereka masing-masing. Ditambah dengan orang yang mengambil rokok Aldy tanpa izin tadi menjadi empat orang.

Tanpa menanyakan identitas mereka pun Aldy sudah bisa menebak siapa empat orang dengan pakaian tak karuan ini.

Kemungkinan mereka adalah preman sekitar warung mie ayam ini.

Salah satu dari mereka duduk tepat di sebelah Maureen yang masih berusaha menghabiskan mie ayamnya. "Neng cantik, lagi makan ya?"

Aldy masih diam. Ia menghembuskan asap rokok dari pernapasannya. Orang yang duduk di sebelah Aldy menaruh sikunya di atas pundak Aldy dengan gaya sok akrab. "Bro, siapa nih? Cewek lo ya? Gue pinjem bentar gapapa kan?"

Aldy masih diam juga.

Yang ada di dalam pikiran Aldy, jika salah satu dari mereka menyentuh sehelai rambut Maureen, maka ia akan membuat mereka berempat hanya memiliki sehelai rambut yang tersisa di tubuh mereka.

Orang yang duduk di sebelah Maureen pun mengangkat tangannya, seperti ingin merangkul Maureen dari samping.

Jlebbb …

Meskipun Aldy duduk bersebrangan dengan Maureen, namun tangannya masih bisa menjangkau orang di sebelah Maureen. Dengan gerakan yang lumayan cepat, Aldy meraih tangan orang yang ingin merangkul Maureen itu, menaruhnya di atas meja dan mengambil alih garpu di tangan Maureen lalu menancapkan garpu itu di punggung tangan orang malang tersebut.

"Aaaaaaakh! Tangan gue!"

"Reen, tutup mata sama telinga lo." titah Aldy yang langsung dituruti oleh Maureen.

Aldy mencabut garpu itu dan menikam leher orang yang duduk di sebelahnya, orang yang mengambil rokok Aldy tanpa persetujuannya terlebih dahulu. Aldy sengaja tak mengincar pembuluh darahnya, namun sepertinya di masa depan orang itu akan kesulitan untuk berbicara.

Dua orang telah dibuat tak berkutik oleh Aldy, dan dua orang lainnya pun beranjak.

Masing-masing mereka mengeluarkan pisau lipat dari balik jaket jeans yang mereka kenakan.

"Diem lo, atau cewek lo gue bunuh!" teriak satu orang yang kini sudah menyandera Maureen. Satu orang lagi yang juga memegang pisau lipat sudah mengambil ancang-ancang untuk menyerang Aldy.

Brakkk …

Meja yang berada tak jauh dari tempat kekacauan itu digebrak oleh seseorang. "Berisik lo semua, dasar sampah gak berguna!"

Semua mata tertuju pada orang yang berteriak itu. Dan saat dua preman yang tersisa itu melihat siapa yang menggebrak meja dan berteriak itu, keringat dingin seakan mengalir dari kening mereka masing-masing.

"B-b-b … Bos." ucap preman yang menyandera Maureen.

Bos?

Maureen yang sudah membuka matanya saat ia disandera tadi juga mengarahkan pandangan pada orang yang mereka panggil 'bos' itu.

Lelaki dengan perawakan tubuh yang lumayan tinggi dan berisi, dengan aura yang cukup gelap dan mengintimidasi itu berjalan mendekat ke arah mereka.

Dia berhenti tepat di depan Aldy. Berkat tinggi badannya, Aldy harus mendongak untuk menatapnya balik.

Semua orang yang berada di warung makan itu, melihat Aldy dan orang yang sepertinya bos dari preman-preman pengacau itu saling beradu pandang, tenggorokan mereka seakan mongering.

Aura yang dipancarkan oleh Aldy dan bos preman itu terlalu mencekam untuk disaksikan.

Kedua mata Maureen baru saja berlinang air mata. Gadis itu benar-benar merasa takut. Bukan karena sebuah pisau lipat yang menempel di lehernya, namun karena melihat Aldy, kakaknya yang sepertinya akan menghadapi orang mengerikan itu.

Aldy tak menunjukkan ekspresi takut sedikitpun, walaupun tubuh orang itu satu setengah kali lebih besar darinya.

Namun yang terjadi selanjutnya malah membuat semua orang terngaga.

Seakan rahang bawah mereka akan terlepas dari sendinya.

Benar-benar tak menyangka apa yang sedang mereka lihat.

Pemandangan yang benar-benar tak terbayangkan sebelumnya.

Plakkk …

Suara tamparan terdengar, sebuah tamparan yang membuat orang-orang tak percaya dengan apa yang sedang terjadi.

Karena tamparan itu berasal dari telapak tangan kanan Aldy yang menampar wajah orang yang sepertinya bos dari para preman itu.

Ya.

Aldy menampar wajah bos preman itu, sambil terus menatapnya dengan dingin.