Seorang gadis cantik berkulit putih tampak keluar dari pintu kedatangan bandara Soekarno Hatta. Dengan mengenakan celana jeans berwarna navy, atasan sabrina berwarna putih, dan tak lupa tas mahal keluaran terbaru dari brand ternama Fendi yang bertengger dilengan kiri. Rambut pajangnya dia biarkan terurai begitu saja, hingga sesekali menutupi wajah cantiknya saat angin menerpa. Dengan menarik koper bawaannya, dia menoleh kesana kemari untuk mencari seseorang yang akan menjemputnya.
Dia sebenarnya sedikit kesal saat harus pulang secepat ini. Baru dua hari dia merasakan indahnya berlibur di Kota Paris, dan sang Ayah justru memintanya untuk segera pulang hari ini juga. Maka dengan terpaksa dia memangkas waktu liburannya dari seminggu menjadi dua hari saja. Sungguh menyebalkan.
"Nona Azzura." Panggil seorang pria paru baya yang menggenakan seragam hitamnya.
Ya, nama gadis itu adalah Azzura. Atau lebih tepatnya adalah Azzura Abraham. Anak bungsu dari keluarga Abraham. Keluara yang cukup terpandang dan berada di Kota ini. Terlahir dari seorang Ayah yang berdarah campuran Timur Tenggah dan Asia, serta Ibu yang asli orang America, membuat perpaduan yang menakjubkan pada wajah Azzura. Meskipun kedua orang tuanya bukanlah asli orang Indonesia, tetapi Azzura lahir di Negara ini. Dia tumbuh dan dibesarkan sesuai dengan budaya dan norma-norma yang berkembang di Indonesia. Kedua orang tuanya pun juga sudah lama menetap di Indonesia, bahkan sebelum dirinya ada.
Ibunya sudah berada di Indonesia sejak berumur lima bulan. Takdir buruk yang membawa Ibunya ke Nagara ini, berbuah manis saat Ibunya bertemu dengan sang Ayah. Mereka menikah dan lahirlah Azzura. Azzura bahkan tak pernah bosan saat mendengar cerita pertemuan mereka berdua dari mulut kedua orang tuanya. Dia berharap suatu saat nanti, dia juga bisa menemuka seorang pria yang sangat mencintainya seperti halnya sang Ayah mencintai Ibunya.
Merasana mananya dipanggil, Azzura menolehkan kepalanya pada pria paru baya tersebut. Dilihatnya supir pribadi keluarganya itu dengan mata tajam mengancam. Dia menarik nafas dalam sebelum akhirnya berkata. "Bawakan koperku! Aku sudah sangat lelah dan ingin segera sampai dirumah." Azzura berjalan terlebih dahulu meninggalkan supirnya.
Saat sudah sampai didepan mobil, dia berdiri dengan angkuh, menunggu supir membukakan pintu untuk dirinya. Supir yang sudah tahu maksud dari majikannya itu langsung membukakan pintu mobil penumpang yang ada dibelakang. Lalu dia mulai memasukan koper sang majikan ke bagasi belakang.
Perjalanan dari bandara menuju kediaman Abraham terasa lama sekali. Mungkin karena siang ini jalanan Ibu Kota tampak ramai. Deretan mobil pribadi dan beberapa kendaraan umum tampak memenuhi jalan. Azzura mengangkat pergelangan tangan kirinya, menatap jam tangan yang ada disana. Jelas saja, ini sudah memasuki jam makan siang. Dan pasti semua orang sedang ingin segera pulang, atau mungkin pergi ke resto untuk menikmati makan siang dengan teman-teman.
Mengacuhkan lambatnya mobil yang berjalan, Azzura memilih untuk memainkan ponselnya. Membuka beberapa sosial medianya, dan menemukan beberapa massage dari pria-pria yang selalu mengejarnya. Azzura memilih mengacuhkannya, dan tak membuka pesan-pesan tersebut. Dia tidak tertarik untuk berhubungan dengan siapa pun saat ini. Usianya masih 21 tahun, dan masih terlalu dini untuk memikirkan hal seperti itu. Mommy dan Daddynya saja menikah saat sang Mommy berusia 27 tahun, masih ada enam tahun lagi.
Tak terasa kini mobil sudah berhenti dipekarangan rumah milik keluarga Abraham. Azzura keluar terlebih dahulu, membiarkan supirnya yang membawakan koper miliknya kedalam kamar. Saat memasuki ruang tengah, Azzura sudah disambut oleh kedua orang tuanya yang tampak tersenyum kepadanya.
"Bagaimana perjalanmu sayang?" Tanya Ibunya yang kini berjalan menghampiri Azzura dan memeluk putrinya itu.
"Tidak menyenangkan. Mommy tau? Aku baru menikmati liburanku dua hari, dan kalian memaksaku untuk segera pulang. Aku bahkan belum sempat berbelanja." Kesal Azzura saat kembali mengingat jadwal liburannya yang berantakan.
"Maafkan Mommy dan Daddy ya sayang. Kami tidak bermaksud menganggu liburanmu." Alena kembali berkata demi untuk menenangka hati putrinya yang sedang kesal. Dia tahu jika Azzura sudah lama menginginkan pergi berlibur sendiri seperti saat ini. Tetapi karena keadaan yang mendesak, dia terpaksa meminta Azzura untuk segera pulang ke Indonesia.
"Tapi kalian sudah mengacaukannya." Ucap Azzura lagi tak berselera.
"Jangan seperti anak kecil Zura! Jika tidak terdesak, Daddy juga tidak akan memintamu untuk pulang." Kali ini suara Ben yang terdengar.
"Memangnya ada hal yang mendesak apa sampai Mommy dan Daddy meminta ku untuk pulang?"
"Grandpa sedang sakit sayang. Mommy dan Daddy harus pergi ke Qatar besok pagi."
"Astaga. Apakah Grandpa baik-baik saja? Mommy dan Daddy ingin aku ikut bersama kalian ke Qatar untuk menemui Grandpa?" Azzura tampak cemas setelah mendengar ucapan Mommynya. Dia lalu menarik tangan Alena untuk ikut duduk bergabung dengan Daddynya.
"Tidak Zura. Kau harus tetap tinggal disini! Biar Daddy dan Mommy saja yang pergi."
"Kenapa? Aku juga ingin melihat keadaan Grandpa, Daddy."
"Kalau kau ikut dengan kami, siapa yang akan menjalankan perusahaan? Daddy membutuhkanmu untuk mengurus perusahaan selama Daddy pergi. Apa kau bisa?"
"Aku? Mengurus perusahaan? Daddy tidak sedang bercanda kan?" Azzura tampak terkejut saat mendengar ucapan Daddynya.
"Tidak. Daddy serius Zura."
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan Kak Robin saja? Daddy tahu kan aku tidak mengerti apa saja yang berhubungan dengan perusahaan. Sejak dulu Daddy dan Kak Robin yang mengurusnya. Aku tidak yakin bisa melakukannya."
"Kak Robin sedang sibuk mengurus perusahaan milik mertuanya. Kau tahu sendiri kan keadaan Uncel G seperti apa. Ditambah lagi istrinya juga sedang hamil, jadi Daddy tidak mungkin menambah beban Kakakmu lagi." Ben berusaha menjelskan pada putrinya. Memang benar jika saat ini putra sulungnya itu sedang sibuk dengan perusahaan milik keluarga istrinya. Dan Ben tidak mungkin membani sang putra dengan menitipkan perusahaannya juga.
"Tapi aku tidak bisa apa-apa Daddy."
"Tidak masalah. Nanti Daddy akan meminta Kak Robin mengajarimu. Jika cuma mengajari, Kakamu pasti tidak keberatan. Dan Daddy juga akan meminta karyawan-karyawan terbaik diperusahaan untuk membantumu. Kau pasti tidak akan merasa kesulitan sayang." Jelas Ben mencoba menghilangkan kekhawatiran putrinya.
Ben tahu jika Azzura tidak memiliki pengalaman dalam menjalankan perusahaan. Tetapi dia tidak mempunyai pilihan lain. Lagi pula, nantinya Azzura juga yang menempati tahta itu. Karena Robin tidak mungkin menjalankan dua perusahaan sekaligus. Keluarga dari besannya itu sudah memberikan kekusaan penuh perusahaan kepada Robin, karena keluarga mereka hanya memiliki seorang putri dan Robinlah yang menikahinya. Maka Robin harus bertanggung jawab penuh pada kewajiban barunya itu, sebagai seorang suami dan juga menantu.
"Baiklah, aku akan mencobanya." Putus Azzura.
Ben tersenyum senang, lalu mendekati sang putri dan memeluknya. Meskipun terlihat keras, angkuh dan manja, Azzura sebenarnya adalah anak yang baik dan penurut. Dia tidak akan mungkin membiarkan keluarganya bersedih dan merasakan kesusahan. Selama dia bisa melakukannya, maka dia pasti akan berusaha. Dia tidak akan mungkin mengecewakan Daddynya, dia akan berusaha keras dan belajar lebih giat untuk bisa menjalankan perusahaan sesuai dengan amanah sang Ayah.
"Sekarang istirahatlah! Kau pasti lelah setelah perjalanan jauh. Daddy sudah berbicara pada Kakakmu, dan nanti malam dia akan kemari untuk membahas ini." Ben mengurai pelukannya, lalu mengelus kepala Azzura.
Azzura menganggukan kepala, lalu mengecup pipi Daddy dan Mommynya sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang tengah. Dia butuh istirahat sekarang. Dan tidur adalah pilihan yang tepat untuk sedikit meringankan beban hidup yang akan dia pikul nanti.
"Apakah kita tidak terlalu memaksanya Ben? Maksudku, dia masih terlalu muda. Aku takut jika hal ini akan semakin membebani mentalnya." Ucap Alena pada suaminya.
"Tidak Alen. Zura harus mulai belajar dan terbiasa menjalankan perusahaan. Hanya dia sekarang satu-satunya pewaris kita. Kita sudah tidak bisa mengandalkan Robin lagi seperti dulu." Balas Ben yang kini melihat kesedihan dimata isrinya.
"Tapi aku takut Ben. Kau tahu sendiri bagaimana kejamnya persaingan dalam dunia bisnis? Bahkan dulu banyak sekali yang ingin mencelakai keluarga kita, mengincar nyawaku dan juga anak-anak. Aku tidak ingin hal buruk kembali terjadi pada Azzura. Dia adalah putri kita Ben, dan aku tidak ingin kehilangan dia."
"Berhenti berfikiran seperti itu Alen! Aku yakin Zura akan baik-baik saja. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mencelakai dirinya. Aku janji padamu." Ben membawa tubuh istrinya kedalam pelukan. Berusaha menghilangkan ketakutan yang sedang melanda diri Alena.