Robin tengah duduk dibalik meja kebesarannya. Membaca beberapa berkas dari klien yang mengajukan kerja sama. G-Corporation adalah perusahaan yang tak kalah besar dari Abraham Company perusahaan milik orang tuanya. Setelah menikah, Robin lebih banyak membantu mertuanya untuk mengurus perusahaan ini. Menikahi putri tunggal dari pemilik perusahaan G-Corporation membuat tanggung jawabnya terbagi. Mengurus perusahaan milik keluarganya sendiri dan membantu sang mertua di perusahaan lainnya.
Awalnya semua berjalan lancar. Namun setelah setahun ini tiba-tiba mertuanya itu jatuh sakit. Robin yang awalnya hanya membantu, kini justru diberi wewenang penuh untuk menjalankan perusahaan itu. Sebenarnya bisa saja sang istri yang menjalan perusahaan ini mengantikan Ayahnya, namun sepertinya Robin tak akan tega. Istrinya itu tengah hamil muda, dan dia tidak ingin membuat calon anaknya terluka. Maka biarlah dia sendiri yang menjalankan perusahaan ini. Mengundurkan diri dari pekerjaannya di perusahaan sang Ayah, dan mengabdi pada perusahaan mertua.
"Permisi, apakah Tuan Robin memanggil saya?" Tanya seorang pria dengan stelan jas rapinya. Dia baru saja masuk kedalam ruang kerja atasannya, stelah tadi mengetuk pintu dan membukanya.
"Iya, duduklah dulu Tian! Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan denganmu." Jawab Robin setelah menutup berkas yang tadi sedang dibacanya.
Pria yang dipanggil Tian itu pun langsung mendudukan diri pada kursi yang tersedia dihadapan atasannya. Tian adalah salah satu orang kepercayaan Robin. Pria keturunan Asia dengan wajah oriental ini baru dua tahun mengabdikan diri pada Robin. Tetapi karena kecakapan dan kepandaiannya, Robin jadi sangat menyukainya dan memilihnya sebagai orang kepercayaan.
"Aku memiliki tugas baru untukmu." Robin menegakkan tubuhnya dan mulai berbicara.
"Tugas apa itu Tuan?" Tanya Tian.
"Aku ingin kau menjadi pengawal untuk adikku! Besok pagi Daddyku akan pergi ke Qatar bersama Mommy. Dan mau tidak mau, Azzura yang harus mengur perusahaan Abraham Company. Kau tau sendirikan jika dia tidak pernah datang ke perusahaan? Dan dia memang belum tahu apa-apa tentang dunia bisnis ini." Robin sedikit menghela nafasnya, menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dan mulai berbicara lagi. "Meskipun begitu, Daddy tetap memaksanya untuk terjun ke perusahaan. Karena aku tidak mungkin bisa menguru perusahaan Daddy lagi."
Tadi pagi Robin memang sudah membahas masalah ini dengan Ayahnya via telepon genggam. Dia sempat tidak yakin dengan keputusan sang Ayah yang memilih Azzura untuk menjalankan perusahaan. Bagaimana tidak? Adiknya itu tidak memiliki jiwa sebagi pebisnis. Yang bisa dilakukannya hanyalah pergi liburan dan berbelanja, menghabiskan uang milik sang Ayah. Bahkan untuk sekedar datang melihat-lihat perusahaan saja dia tidak pernah. Lalu bagaimana sekarang dia diberi tanggung jawab seberat ini. Apakah Azzura akan siap?
"Lalu, apa tugas saya nanti Tuan?"
"Kau hanya perlu menjaganya, mengawasinya, dan membatunya jika dalam kesulitan! Aku juga akan mengajarinya untuk menjalankan perusahaan agar tidak merugi. Tetapi aku tidak bisa selalu ada disampingnya. Maka itu aku membutuhkan dirimu. Kau juga cukup pandai dalam mejalankan bisnis perusahaan, kau sering memberiku saran saat akan menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan lain. Jadi aku cukup yakin kau bisa membantu dan menjaga Azzura dengan baik."
"Terimakasih atas pujian dan kepercayaannya Tuan. Saya akan menjalankan tugas dari anda ini dengan sebaik-baiknya." Jawab Tian penuh keyakinan. Pasalnya dia memang selalu menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab tinggi.
"Ok. Malam ini aku akan menemui Daddy di rumahnya. Apakah kau bisa ikut denganku?" Tanya Robin lagi yang kini kembali menegakkan tubuhnya.
"Maafkan saya Tuan, malam ini saya tidak bisa ikut dengan anda untuk Menenui Tuan Ben dan Nona. Saya sudah terlanjur membuat janji dengan kerabat saya, dan saya merasa tidak enak jika harus membatalkannya." Tolak halus Tian. Dia memang sudah memiliki janji temu malam ini, dan dia tidak mungkin membatalkannya.
"Baiklah. Kalau begitu kau datang besok pagi saja! Biar nanti aku yang menjelaskan semuanya pada Daddy dan Azzura."
"Terimakasih Tuan. Apakah masih ada lagi yang ingin Tuan bicarakan?"
"Tidak Tian, kau boleh pergi sekarang!"
"Baiklah Tuan, kalau begitu saya permisi." Berdiri dari posisinya, membungkukkan diri sebagai tanda hormatnya pada atasannya. Membalikkan badan dan mulai meninggalkan ruangan ini.
Saat Tian sudah meninggalkan ruangannya, Robin kembali focus pada pekerjaannya. Dan ketika ingat dengan rencananya untuk bertemu sang Ayah, Robin pun mulai mencari ponselnya yang sejak tadi tergeletak dimeja. Setelah ketemu, dia pun mendial nomer Ayahnya dan akan mengatakan niatnya.
***
Malam ini dikediaman Abraham tampak sedikit sepi. Alena memang sengaja meminta beberapa pelayannya untuk kembali ke rumah saja. Bukan karena dipecat atau diberhentikan, mereka hanya akan diliburkan untuk sementar. Dan meskipun libur, mereka tetap akan digaji sebulan sekali seperti biasanya.
Bagi Alena, terlalu banyak orang di rumah hanya akan membuat Azzura tidak nyaman. Putrinya itu memang lebih suka dengan keadaan yang sunyi dan sering menyendiri. Padahal dulu saat masih kecil, Azzura sangat suka bermain dengan saudara-saudaranya. Dengan Kakak dan juga sepupunya dari keluarga Alena. Tetapi seiring berjalannya waktu, sikap dan kepribadian Azzura kian berubah. Walau kadang sikap majanya masih ada, dan sering marah-marah juga. Alena tetap tidak bisa untuk tidak mencemaskan putrinya.
"Selamat malam Mom, Dad." Sapa Robin yang baru saja memasuki rumah.
Alena yang sedang menonton televisi diruang tengah tampak bangkit dan berjalan kearah sang putra. Dipeluknya tubuh Robin yang kini makin besar dan berisi. Jika dulu Alena harus berjongkok untuk memeluk sang putra, saat ini justru Robin yang tampak lebih tinggi darinya. Kadang Alena merindukan masa kecil anak-anaknya. Saat dia bisa menemani Robin menggambar, saat harus menyusui Azzura, dan yang saangat dia sukai adalah saat memasakkan makanan kesukaan anak-anaknya.
"Bagaimana kabarmu sayang? Kau datang sendiri? Kenapa tidak mengajak istrimu?" Tanya Alena setelah melepas pelukannya.
"Aku baik-baik saja Mom, dan ya aku sendiri. Dia sedang di rumah, karena Mama harus ke rumah sakit seperti biasa." Jawab Robin.
Alena menarik tangan Robin untuk duduk disofa yang tersedia. Membiarkan sang putra berbincang dengan Ayahnya. Lalu dia bergegas ke dapur untuk mengambilkan minum dan juga camilan. Tak lupa juga dia meminta salah satu pelayannya untuk memanggil Azzura yang ada dikamar. Sepertinya Azzura harus tahu jika Kakaknya sudah tiba.
"Bagaimana pekerjaanmu? Kau tidak merasa kesulitan disana?" Tanya Ben setelah melipat koran yang ada ditangannya.
"Semuanya baik Dad, dan banyak yang membantuku disana. Jadi aku tidak merasa kesulitan. Ohh ya, dimana Zura?"
"Aku disini Kak." Sahut Azzura yang baru saja turun dari lantai dua dan langsung menghampiri Kakak beserta sang Ayah di ruang tengah.
"Bagaimana liburanmu? Menyenangkan?" Tanya Robin setelah sang adik mendudukan diri disampingnya. Tak lupa juga dia mengacak rambut adiknya seperti kebiasaannya dulu.
Azzura hanya bisa mencebikkan bibirnya saat melihat kebiasaan Kakaknya tidak berubah. Dengan lirikan malas dan hati yang kembali kesal dia berkata. "Kakak menyindirku? Bagaimana bisa liburanku itu terasa menyenangkan, jika baru dua hari saja aku sudah diminta untuk pulang."
Robin yang mendengarkan keluhan adiknya hanya bisa tertawa. Melihat raut wajah kesal Azzura membuat hiburan baru untuknya. Ya meskipun di rumahnya sendiri, dia juga memiliki hiburan lainnya, istri dan calon anak mereka.
"Zura, kau bilang tidak akan mengungkit hal itu lagi!" Kali ini adalah suara Alena yang baru saja keluar dari arah dapur. Diikuti oleh dua pelayan dibelakangnya, dia kini mendudukan diri disamping sang suami.
"Maafkan aku Mom. Kak Robin yang memulianya."
Alena menunjukkan wajah marahnya untuk sang putra, lalu meminta kedua pelayan untuk kembali kedapur setelah meletakkan minuman dan juga beberapa camilan dimeja.
"Maafkan aku Mom. Aku hanya rindu menggoda adik kecilku ini." Kali ini Robin mengarahkan kedua tangannya untuk mencubit gemas pipi adiknya. Membuat Azzura kesal dan memberikan beberapa pukulan pada lengan Kakaknya.
"Kalian sudah dewasa, jangan bercanda seperti anak kecil!" Suara tegas Ben membuat kedua anaknya langsung terdiam. Dan Alena yang ada disampingnya hanya bisa menggelengkan kepala. Sikap keras dan tegas yang dimiliki suaminya untuk mendidik anak-anak memang tidak akan pernah berubah.
"Maaf, Dad." Ucap kompak kedua Kakak beradik itu.
Ben memulai pembicara, meminta pendapat Robin dan juga Azzura yang ada disana. Robin memberikan sarannya, dan kebetulan tadi dia juga sudah berbicara pada Tian tentang rencananya ini. Untung lah Tian mau membantu dirinya dan perusahaan sang Ayah. Sedangkan Azzura hanya menjadi pendengar saja. Dia tidak tau harus berpendapat apa, menolak pun juga tidak akan berguna. Keputusan Daddy dan Kakaknya sudah mutlak, dia hanya harus menerima dan menjalankan beban tugasnya itu.
"Tian? Baiklah, Daddy setuju akan saranmu itu. Tian cukup cekatan, dan dia juga mengerti tentang perusahaan kita. Bukankah dulu kau pernah memintanya untuk membantu Daddy juga? Daddy suka dengan kerja kerasnya. Dia pasti bisa membantu Zura nanti." Tanggapan Ben setelah mendengar pendapat sang putra.
Dia sedikit mengingat-ingat sosok yang tadi sedang mereka bahas itu. Dan setelah mengingatnya, Ben pun tersenyum senang. Dia memang sudah beberapa kali bertemu dengan Tian, pria itu memang tampak baik dan bisa dipercaya. Ben yakin Tian akan bisa membantu dan melindungi Azzura dari hal-hal buruk yang mungkin akan menimpa putrinya nanti.
"Lalu kenapa kau tidak mengajak Tian kemari? Bukan kah Zura belum mengenalnya?" Alena ikut bersuara. Dia juga sudah beberapa kali bertemu Tian saat berada di perusahaan. Sedangkan putrinya yang memang tak pernah menginjakkan kaki di perusahaan, mana mungkin dia mengenal Tian. Dan Alena sedikit cemas jika nanti Azzura justru merasa tidak nyaman saat harus diawasi terus menerus.
"Hari ini Tian tidak bisa ikut kemari Mom. Dia sudah memiliki janji temu dengan kerabatnya. Mungkin besok pagi dia akan datang kemari. Aku sudah berbicara dengannya tadi." Jelas Robin yang dibalas anggukan kepala oleh Alena.
Mereka melanjutkan perbincangan dengan obrolan-obrolan ringan ala keluarga. Mendengarkan cerita Robin tentang keadaan istrinya dan perkembangan bayi mereka. Lalu Ben juga sedikit menerangkan tetang cara kerja perusahaan pada Azzura. Putrinya itu tampak menyimak dan mendengarkan dengan baik, mungkin juga dia tengah mencatat semua ucapan sang Ayah didalam otaknya.