Agar tidak membuat bingung, tolong baca terlebih dahulu (jika berkenan) struktur penulisan di bawah ini :
"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.
["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.
[Kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.
'Kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu (makna ganda) / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.
Selamat Membaca ^-^
@ @ @ @ @
'KETIKA kau keluar dari zona aman, maka kau akan melihat dunia dengan luasnya. Tapi ketika kau melihat dunia yang seperti itu, kau ingin kembali ke dunia yang seharusnya'.
Aku menyebutnya kalimat di atas dengan 'Asas Michi'. Dan asas itu terlahir ketika aku sedang berada di kelas waktu lalu dan temanku yang bernama, Nyla, membagikan undangan untuk acara ulang tahunnya dan hanya aku sajalah yang dilupakan—dan tiba-tiba saja kutipan itu pun tercipta. Menyedihkan? Kurasa tidak... lagi pula dia bukan temanku, dia hanyalah orang luar yang kebetulan belajar di ruangan yang sama—begitu juga dengan yang lainnya. Dan lupakan soal 'Teman',
Aku meralatnya.
Jika di hitung, butuh setiap jari dari pemiliknya masing-masing untuk mencukupi seberapa banyak orang-orang yang telah mencoba hal seperti ini. Dengan sigap mereka meloncati batu demi batu sampai jauh ke depan. Tapi kebanyakan yang terjadi, mereka tidak lupa untuk kembali ke posisi awal lagi. Asas yang ku buat menjadi formula yang begitu amat sangat cocok. Aku sangat bangga.
Banyak peribahasa yang mampu menggambarkan peristiwa seperti itu. Pada dasarnya semua itu hanyalah permainan sebab-akibat saja. Semua orang paham apa yang akan terjadi dengan yang mereka perbuat sekarang. Tapi anehnya, kebanyakan tidak mengerti apa yang saat ini mereka lakukan. Mencoba-coba bukanlah hal yang buruk. Tapi mengerti akan diri sendiri adalah hal yang jauh lebih baik.
Atau bersiaplah untuk sebuah kejutan.
"Vino, nih bukunya."
"Oh, iya."
Entah kenapa pagi ini buku tulis itu seperti layaknya sebuah 'Kitab Suci'. Berpindah dari tangan ke tangan dan begitu di hargai. Sebenarnya bukan buku tulisnya yang berharga, tapi apa yang tertulis di dalamnya-lah yang begitu amat penting. Jika tidak menyalinnya, mereka akan menyebut hari ini sebagai hari buruk. Dan terus ngedumel tanpa lelah sepanjang hari.
10 menit yang lalu, aku yakin anak yang bernama Vino itu merasa begitu berharga dan di hargai. Mereka mengerubunginya layaknya bertemu dengan idola mereka dan mengajaknya ngobrol. Aku tidak begitu yakin, tapi saat itu mungkin ia merasa telah menaklukkan dunia dan menjadi seorang raja. Tapi lihat sekarang, ia kembali di tinggal sendirian.
Di kelas ini, Vino adalah siswa yang nasibnya sama denganku. Aku tidak begitu mengenalnya dengan baik. Tapi yang ku lihat, dia selalu sendirian. Kalau begitu, kenapa kita berdua tidak membuat sebuah klub dan menamakannya 'Ayo Kuasai Dunia' saja ya? Itu terdengar keren, siapa tahu bisa jadi kenyataan.
Yang membedakan antara diriku dengannya adalah otak kami berdua. Dia dikenal sebagai penyendiri yang cerdas. Sedangkan diriku dikenal sebagai penyendiri ala kadarnya. Aku menempati peringkat 17 dari 37 murid kelas ini. Dengan begitu, aku bisa dinobatkan sebagai 20 terbaik dari bawah dan 17 terbaik dari atas.
Di situ tertulis 'Terbaik'—jadi tidak ada masalah.
Sebenarnya aku tidak bisa menyebut Vino adalah penyendiri. Saat siswa-siswi kelas ini mengerubunginya dan mengajaknya bicara, aku tidak begitu mengerti, tapi dia kelihatan senang. Walaupun hanya membicarakan tentang soal dan penyelesaiannya saja dan tak lebih.
Tidak ada yang tahu apakah dia merasa terganggu dengan ini atau tidak. Tapi setiap saat ada tugas dan semacamnya, ia selalu diminta untuk memberikan hasil kerja kerasnya. Kasarnya, dia adalah tulang punggung kelas ini. Dan entah kenapa, dia selalu memberikan apa yang mereka pinta dan menjawab apapun yang mereka tanyakan dengan senang hati. Aku tidak tahu dia merasa senang atau tidak saat itu, tapi mungkin dia orangnya memang begitu.
Jabatannya adalah sebagai ketua kelas—sekretaris—bendahara—maksudku dia adalah pemilik kelas ini. Ya, begitulah. Dia dengan senang hati merangkap semua tugas, walaupun kursi itu sudah ada pemiliknya. Bahkan mungkin dia bisa bersedia menjadi gurunya juga. Terlebih, dia duduk paling depan—ya, itu tidak ada sangkut-pautnya, sih.
Pagi ini memang cukup merepotkan. Tugas rumah yang diberikan memang tidak banyak. Hanya saja seluruh mata pelajaran hari ini ada tugas rumahnya.
Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
Karena aku sudah mengerjakan semuanya—tentu hanya sebisaku, jadi aku punya waktu santai dan membuang CO2 sebanyak yang ku mau dari nafasku.
Aku dengan senang hati mengambil jatah oksigen milik orang lain.
"Haika, kau sudah hafal koreografinya, kan?"
"Huh?" kenapa suaranya begitu energik sekali? Semoga kedatangannya dapat menyedot aura negatif. "Oh, ya. Tentu. Aku sampai-sampai memakai 1 jam dari 8 jam waktu tidurku hanya untuk menghafal gerakan-gerakan yang kau buat itu tadi malam."
"Begitu ya? Maaf ya haika kalau begitu. Maaf kalau gerakan yang kubuat terlalu rumit."
Rumit? Kalau yang begitu saja aku tidak bisa, bagaimana caranya aku menguasai dunia?
"Tidak-tidak. Gerakan yang kau buat sudah pas. Aku hanya membiasakan diri dengan koreonya saja."
"Syukur deh. Aku pikir itu terlalu rumit. Aku sendiri saja sampai kelelahan, lho."
[Kenapa kau tersenyum? Maaf, aku mengidap Philophobia.]
Ku pikir awalnya ketika dia mengatakan rumit, dia sedang menyinggung kemampuan otakku yang lemah. Tapi ternyata Vino memang anak yang seperti ini toh.
Dan kenapa dia menambahkan kata, 'Lho'? Bikin gemas saja.
"Gerakannya akan terlihat wah kalau kau tambahkan salto ke belakang. Itu hanya opsiku saja."
Sebodoh apapun diriku, kalau aku bisa melakukan salto, itu tetaplah keren.
"Kau memang bisa melakukan salto ke belakang?"
[Jangan meremehkan calon penguasa dunia.] "Sebagai orang yang ingin menguasai dunia, tentu aku harus bisa melakukan salto."
"Apaan coba yang dia katakan!? Enggak nyambung banget."
Dasar perempuan. Mereka tahu apa tentang salto? Mereka Cuma tahu bagaimana caranya menyinyir sampai menusuk jantung. Lagi pula jangan ikut-ikutan nimbrung pembicaraan kami. Langsung pergi lagi.
"Kau punya mimpi yang keren ya haika."
"Ya aku sudah tahu itu. Tapi daripada disebut mimpi, aku menyebutnya cita-cita."
Gapailah cita-citamu setinggi langit. Kalau begitu bermimpi menguasai dunia berarti bukanlah omong kosong. Ketika khayalanku sudah setinggi langit, aku bisa menguasai dunia.
Aku terdengar seperti orang bodoh, kan? Virus kebodohan memang tidak ada obatnya.
"Tapi memangnya kita harus menambahkan gerakan salto? Salto memangnya salah satu gerakan senam? Enggak apa-apa? Tapi aku tidak bisa salto."
Ya, Vino ada benarnya. Aku hampir tidak pernah melihat ibu-ibu senam melakukan salto ke belakang. Entah memang karena mereka itu ibu-ibu atau memang salto bukan salah satu gerakan senam.
"Jangan khawatir, gerakan yang kau buat lebih dari cukup. Tak perlu ada tambahan apapun."
"Aku mengikuti saranmu. Aku mencarinya di internet. Lalu memilah-milah mana yang bagus tapi yang aku sendiri bisa melakukannya."
"Oh, begitu? Baguslah."
Aku memang pernah mengatakannya. Ini adalah tugas mata pelajaran penjaskes, dimana kami semua harus membuat kelompok 2 sampai 4 orang dan memperlihatkan senam yang kami buat.
Aku bukan lepas dari tanggung jawab, walaupun aku tidak ikut mencari, tapi Vino sendiri yang menginginkannya. Dia mengatakan, ["Aku yang akan mencari gerakan-gerakannya"]. Karena aku tidak peka, aku hanya menyodorkan saran kepadanya tanpa memberikan hal-hal tambahan lain.
Ya, aku hanya tidak peka. Itu saja.
"Jadi mohon kerja samanya hari ini, ya." sudah seminggu berlalu. Kini waktunya tiba.
"Uh." aku hanya memberikan jawaban yang mudah dimengerti.
Lalu anak itu berjalan kembali ke tempatnya.
Jika membicarakan akademis, mereka berbondong-bondong menyerbu kursi kosong di samping Vino. Tapi jika untuk hal-hal yang berbau seperti ini, namanya pun tidak sedikit sama sekali terpikirkan oleh mereka.
@ @ @ @ @
Kami semua sudah digiring ke dalam lapangan ini sekitar 10 menit yang lalu. Dan daripada disebut lapangan olahraga, ini seperti lapangan eksekusi mati. Siapa yang bodoh, dia akan malu.
Tak jauh berbeda dengan para terpidana mati, kami di sini juga memakai seragam khas. Yang membedakan, bahan yang kami pakai lebih elastis dan terkadang terlihat begitu menggoda.
Jika mereka menggunakan golgo sebagai alat eksekusi, di sini kami menggunakan senam yang kami buat sendiri sebagai alat eksekusi. Atau bisa dibilang, kami sedang mencoba bunuh diri.
Sebagai orang yang akan menguasai dunia, tentunya diriku memiliki pendirian. Aku yakin Vino memiliki potensi yang besar sebagai seorang atlet. Bahkan jika dirinya ditempatkan pada ajang olimpiade, bukan hal yang tidak mungkin ia akan mampu menyabet seluruh medali emas dari seluruh cabang olahraga yang dipertandingkan—kecuali cabang olahraga senam mental.
Karena akulah orang yang akan memenangkannya.
Tak peduli dimana kami berada dan siapa saja yang akan melihat kami, kami adalah utusan yang sudah sangat siap menghadapi hari ini. Darahku sangat memanas untuk menunjukkannya pada mereka.
Lihat saja penampilan kami,
Lihat saja.
...
...
...
...
Memalukan.
Kurasa aku harus berhenti berpikir bahwa setiap orang memiliki kejutan dan memiliki kekuatan sakti jika sedang terdesak—dan berhenti untuk selalu memaksakan keberuntungan.
Lihat saja, kami berdua dikerubungi seperti korban tabrak lari dan ditertawakan seperti badut sulap. Diriku tidak terlalu paham kondisi sekarang, tapi ingin rasanya mengeluarkan jurus menghilang dan tak kembali lagi.
Sebenarnya ini bukanlah sesuatu yang tidak diperhitungkan. Dasarnya diriku mewajarkan hal ini. Sebelumnya kami tidak pernah sama sekali latihan bersama untuk membiasakan diri. Kami hanya latihan sendiri-sendiri dan menghafal gerakan.
Walau begitu, ini lebih dari cukup. Sebagai calon penguasa dunia, aku harus tetap berusaha dan tegar—terlebih rekanku ini memberikan senyumnya padaku. Aku tidak mengerti kenapa ia tersenyum bukannya malu, tapi sepertinya ia juga menikmati kebodohan dirinya sendiri.
Dibandingkan menyebutnya senam, yang kami berdua lakukan sekarang lebih disebut menghancurkan reputasi secara besar-besaran. Saat Vino mengangkat kedua tangannya ke atas, yang ku lakukan malah jongkok lalu loncat. Dan terkadang Vino terdiam melihat gerakanku seakan ingin berkata "Sebenarnya kita lagi apa, sih?". Intinya, gerakan kami berdua begitu sinkron dan amat sangat terlatih. Tak jauh berbeda seperti pesenam-pesenam kelas dunia.
Setelah sekitar 4 menit, sebagai gerakan penutup,
SALTO KE BELAKANG
Aku melakukan gerakan yang memukau—tidak, sebenarnya itu hanyalah cara agar menutupi bodohnya diriku saja. Aku hanya ingin membuat mereka takjub, itu saja.
Tapi dasar para pembuat onar,
"Oy ngapain, sih? Nyaris aja ke tendang!"
"Dia lagi ngapain, sih? Kok salto-salto segala!?"
Hhhhh. Mereka tidak mengerti esensi yang barusan ku buat.
Tapi ya sudahlah. Yang penting bagian kami telah berlalu. Aku hanya perlu menunggu bagian yang lainnya saja saat ini—dan menerima 'Aib' yang baru saja ku ciptakan.
Dan sekarang giliran mereka bertiga.
Aku yang telah selesai dengan semua kebodohan ini, berderap perlahan menuju barisan paling belakang di antara yang lainnya. Vino mengekor di belakangku.
"Hana, kau kenapa?"
"Huh?.... ah—nggak apa-apa, kok."
"Kau nggak usah cemas, anggap aja ini main-mainan."
"Hehe, iya."
Dan aku mendengar percakapan mereka bertiga selagi berpapasan.
Namanya adalah Hana. Sepertinya ada yang salah dengan dirinya. Wajahnya samar-samar terlihat pucat dan ketakutan akan sesuatu. Satu hal tambahan, jika diklasifikasikan dengan binatang, mungkin ia masuk jajaran kepiting. Walaupun tidak berjalan miring, rasanya tetap ada yang aneh. Ya, seperti kepiting.
Aku mengambil poin, bahwa Hana adalah anak yang pemalu. Padahal ini hanyalah permainan kecil, walaupun melakukan kesalahan pun, mereka akan peduli hanya untuk waktu sesaat. Mungkin itulah yang membuatnya terlihat 'Gugup' saat ini. Tapi aku tidak bisa menyalahkannya jika Hana menganggap permainan ini adalah sesuatu yang besar.
Karena aku tidak pernah mengerti apa yang dia rasakan.
Mungkin dia tipe orang yang tidak bisa mengendalikan diri. Tapi untung saja salah satu temannya cukup mampu membodohinya dengan motivasi yang monoton. Tapi tetap saja, walaupun perawakannya yang tenang, layaknya ibu kos yang jutek nan judes, si Risa ini tetap tidak mampu untuk menyihirnya. Dan untuk yang satunya lagi, aku lupa siapa namanya. Jadi terserahlah.
Dan kalau dilihat baik-baik, mata para lelaki hidung belang yang berkumpul di sini selalu tertuju pada Hana dan memancarkan aura 'Jadikan aku budakmu'. Aku tidak bisa menyalahkannya, karena di antara ketiganya, objek cahaya memang tertuju padanya. Penilaian umum mendeklarasikan itu—terlebih ia sepertinya pemalu. Aku sendiri tidak tahu—karena aku memang tidak peduli. Tapi sepertinya di kalangan siswa telah menjadi rahasia umum, bahwa Hana adalah sumber kebahagiaan. Lihat saja mata mereka, terlihat buas seperti predator saat menatapnya. Apalagi pakaian olahraga yang berwarna hijau terang berkolaborasi putih dan kuning. Mungkin biasa saja, tak ada yang salah. Hanya saja tercium bau-bau yang menyenangkan di sini.
Acara ini tidak disponsori oleh siapapun. Kelompok-kelompok yang maju pun diundi secara acak. Sialnya, kelompokku adalah yang pertama. Dan semua orang tahu, menjadi yang pertama adalah sesuatu yang spesial. Tapi rasanya kata 'Spesial' di sini berbau begitu menyengat.
Lebih menyengat dari pada yang lainnya.
Senam bukanlah sesuatu yang memalukan. Tapi jika tidak ditangani dengan baik, senam bisa jadi sesuatu yang memilukan. Seperti apa yang terjadi padaku saat ini.
Padahal aku tidak habis melakukan dosa besar. Tapi banyak sayup-sayup menyenangkan terdengar dan akulah yang menjadi tokoh utamanya. Sebelumnya aku dikerubungi seperti orang yang habis tertabrak truk. Sekarang diriku diperbincangkan bagaikan seorang aktor yang habis berhubungan dengan aktor lainnya. Dan masih kurasakan hawa-hawa yang tertawa terpingkal-pingkal saat ini.
Cih. Padahal yang ku lakukan adalah senam bukan komedi.
Untung saja aku ini tidak peka. Jadi bukan masalah.
"Kalian bertiga, semangat ya."
[Memangnya ini ajang olimpiade apa!!?]
Tidak, bukan maksudku iri pada mereka karena ada yang menyemangati. Hanya saja terdengar begitu vulgar untuk saat-saat seperti ini. Dan lagi, kata 'Semangat' terdengar ambigu bagiku. Entah ingin mengungkapkan, 'Berusahalah dengan keras', atau ingin memperhalus kalimat sindiran, 'Jangan malu ya nanti'.
Jadilah pengikut ku saja.
Setelah sampai di belakang, kami berdua duduk bersebelahan sembari melihat persiapan mereka bertiga yang akan segera membunuh diri mereka sendiri.
Jujur, kalau boleh memilih, aku lebih memilih pulang ke rumah daripada melihat mereka bertiga senam. Karena aku benar-benar tidak tertarik akan hal ini. Apalagi aku masih punya banyak persediaan komik di rumahku yang belum kubaca. Tapi sayangnya karena aku hidup di dalam aturan, jadi aku hanya bisa mengikuti aturan tersebut.
"Bagaimana perasaanmu, Haika?"
Ya, tidak ada salahnya juga Vino menanyakan itu.
"Bagaimana, ya...? Rasanya seperti ada sesuatu yang membuat darahku mendidih."
"Benar 'kan? Sebenarnya agak malu juga, tapi lucu juga kalau dipikir-pikir, ya. Hehe."
[Ternyata kau seorang masokis, ya.] "Kau cukup benar. Untung saja di akhir tadi aku sempat improvisasi salto ke belakang."
"Memang kenapa?"
"Karena itulah yang membuat darahku mendidih." [Sebenarnya aku punya alasan yang lebih hebat, tapi pasti kau takkan memercayainya.]
"Sering-sering saja seperti ini, ya?"
[Aku akan pindah sekolah sesegera mungkin jika begitu.] "Ini memang cukup bagus untuk melatih mental, kurasa."
Sepertinya anak ini habis makan sesuatu yang sudah kadaluwarsa. Atau mungkin otaknya telah dicuci oleh sesuatu yang bernama 'Aku ingin ditertawakan'. Oh, kalau begitu mungkin jika kutanyakan cita-citanya, jawabannya pasti adalah pelawak.
"Kau ingin menjadi apa suatu saat nanti?"
Lho kok? Kenapa dia menanyakan apa yang ingin ku tanyakan? Aku harus berhati-hati dengannya mulai saat ini.
"Oh..... aku ingin jadi penikmat komik yang sukses."
Dan.... kalau bisa, aku ingin sukses tanpa melakukan apa-apa. Mungkin itu terdengar mustahil, tapi siapa yang tahu? Siapa tahu suatu saat nanti ketika aku meminta uang pada pesawat terbang yang lewat, mereka menjatuhkan uang 5 miliar sebagai usahaku itu.
"Ternyata kau suka sama komik, ya? Kau selalu membacanya setiap hari? Memang tidak ada yang melarangmu?
"Selama aku menyukainya, aku tidak peduli dengan hal-hal kecil."
Sebenarnya ada satu orang yang selalu menggangguku selama ini. Tapi karena itu hal kecil, siapa yang peduli.
"Kau sangat beruntung ya Haika."
Aku tidak mengerti. Memangnya apanya yang beruntung? Membaca komik tidak sama seperti memenangkan lotre, kan? Dan setelah menoleh, auranya seakan berubah. Jadi aku putuskan untuk tidak melanjutkan bicara dan memalingkan wajahku ke depan.
Kini semua mata tertuju pada apa yang akan 3 perempuan ini lakukan. Formasi mereka sepertinya membentuk segitiga, dimana Hana berada sendirian pada posisi paling belakang dan duanya lagi berada sejajar di serong depan. Jika tidak hati-hati dan bersungguh-sungguh, mungkin ini akan berubah menjadi pentas komedi yang mengocok perut atau menjadi malapetaka dan sesuatu yang menyeramkan lainnya. Dan sepertinya ada satu hal yang salah.
Setelah melihat wajah dan gestur Hana yang memilukan,
"Siap?"
"Y-ya."
Entah kenapa rasanya aku begitu khawatir padanya.
"Nyalakan musiknya!"
....
Aku melihat sesuatu yang ganjil pada diri Hana.
....
"Ayo mulai!"
Sebenarnya ini bukan sesuatu yang menakutkan dan bersifat membunuh. Ini hanyalah bumbu kehidupan agar dunia tidak terasa begitu hambar. Kalaupun memalukan, setidaknya hal-hal kecil adalah sesuatu yang mudah untuk dilupakan.
"Satu, dua...."
Jangan terlalu mengkhawatirkannya. Semakin khawatir, semakin serba salah untuk bersikap. Anggap saja ini sebuah lelucon yang amat menghibur diri.
"Satu, dua...."
Walaupun mundur satu langkah, siapa pula yang akan peduli padamu? Apapun yang kau lakukan maupun keberadaanmu?
"Satu, dua...."
Lagi pula.....
Aku hanya bisa menjadi tirai dibalik kehidupan orang lain.
"Oooooy! Memangnya apa yang bisa mereka bertiga lakukan??? PERGI SAJA SANA!!!" [Cepat pergi sana Hana bodoh.] "Hey, semuanya lihat ke sini! Lihat apa yang bisa ku lakukan, lihat gerakanku baik-baik! Senam yang ku perlihatkan tadi hanya bercanda, akan ku tunjukkan kemampuanku yang sebenarnya sekarang! Akan kubuat kalian terpukau! Perhatikan baik-baik—.....! "
"Kenapa dia? Penyakitnya kumat!?"
"Dia kenapa, sih? Nggak punya malu, ya!!?"
"Aduh tuh anak, yang benar aja. Dasar nggak punya malu!!"
"Cih. Menjijikan!"
"Namanya, Haika 'kan? Untung saja dia bukan temanku!"
[Aku tidak mengerti kenapa aku melakukan ini. Tapi....ya, syukurlah dia mengerti.]
Sejauh mataku memandang, Hana sudah berhasil melarikan diri ke suatu tempat tanpa membuat kecurigaan yang berarti. Untung saja saat ini masih jam pelajaran pertama, karena itu koridor sekolah terlihat sepi akan siswa-siswi yang masih bergelut di dalam kelasnya pagi ini.
Jadi setidaknya ia bisa menyembunyikan apa yang menjadi kekhawatirannya dengan tenang.
Karena aku sudah tidak bisa melihat keberadaan Hana lagi, aku sudah tak punya alasan lagi untuk bergoyang-goyang untuk menarik perhatian mereka sekarang. Lebih baik aku mengklarifikasi apa yang barusan ku lakukan dan kembali duduk.
"Hehe, Terima kasih untuk perhatiannya, ya semua."
Maaf.
Maafkan aku wahai diriku sendiri. Sekali lagi maaf. Tapi lihat sisi positifnya, walaupun memalukan, setidaknya saat ini mereka mengetahui keberadaanku, bukan?
"Anak yang memilukan!"
"Semoga orang tuanya bisa berlapang dada, ya."
"Kurasa dia belum minum obatnya hari ini."
Mereka memandangku dengan begitu energiknya. Mata mereka memicing, dahi mereka mengernyit dan suara mereka berbisik seakan-akan sedang bergosip. Atmosfer di sini rasanya benar-benar berubah. Terlebih jika kulihat 2 perempuan di depan sana yang raut wajahnya seperti ingin membunuhku. Aku tak bisa menyalahkannya, karena sebelumnya aku menyindirnya dengan kata-kata yang sepertinya menyayat hati mereka. Aku hanya bisa memalingkan wajahku dari mereka saja.
Aku sangat menyadari bahwa apa yang ku lakukan barusanlah yang menyebabkan viral saat ini. Bukan hanya makhluk kelas ini yang terguncang, Risa dan temannya pun sampai berhenti senam dan terpaku melihatku saat itu sampai sekarang. Sampai-sampai guru olahragaku pun ikut bersuara.
"Lain kali jangan pernah lakukan itu lagi. Ini bukan giliranmu."
Dan aku hanya mengangguk sebagai jawabannya.
"Apa yang barusan kau lakukan, Haika?"
Keingintahuan Sang jenius Vino ini mulai kambuh lagi. Dengan kedua kaki yang ditekuk, dengan santainya ia bertanya ketika aku mulai terduduk.Wajahnya menatapku dengan keingintahuan.
"Kau bisa melihatnya sendiri, bukan?"
"Um~"
[Kenapa malah mendengkur!!?]
"Maksudku, kenapa kau tiba-tiba melakukan itu?"
".... aku hanya terbawa suasana."
Alasan yang tidak keren.
"Hmm~ kupikir kau bukan orang yang seperti itu."
Tidak-tidak. Aku memang bukan orang yang seperti itu. Sungguh, itu hanya alasan ku saja.
"Benar, kan? Ku pikir hanya aku saja yang berpikir ini menyenangkan. Tak ku sangka kau juga menikmatinya, Haika."
Hhhh. Kurasa anak ini harus belajar bagaimana caranya melihat aura kebohongan dengan giat. Kesumringahan wajahnya menggambarkan bahwa dia belum pernah kursus cara melihat aura kegelapan.
"Kurasa setelah ini aku harus membuat surat permintaan maaf."
Ya, sungguh. Aku punya alasan membalas dengan kalimat tadi. Ketika aku menatap ke depan, kedua perempuan itu masih menatapku dengan keji dan jijik bersamaan. Ku harap mereka tidak tahu saat pulang nanti aku lewat mana.
"Oh, mereka? Kupikir Risa, Hana dan Sarah bisa memakluminya, kok."
[Dari mana asal kepercayaan diri itu!?]
"Huh? Hana pergi kemana?"
[Mengesankan. Kau baru menyadarinya!?]
Baguslah kalau begitu. Jika tak ada yang menyadarinya, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Sejujurnya aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan hari ini. Aku paham apa yang terjadi adalah memang yang seharusnya. Tapi tetap saja aku tidak mengerti. Rasanya aku terhimpit oleh sesuatu yang akan membuatku sakit. Entah dengan sengaja atau tidak, aku membenturkan semua himpitan itu dengan sekali langkah. Walaupun pada akhirnya, hal itu hanya sia-sia.
Ini bukan berarti aku tertarik atau menyukai Hana. Yang kulakukan hanyalah hal yang ingin kulakukan. Bukan berarti apa-apa. Aku tidak memiliki impian menjadi seorang pahlawan. Tapi bukan berarti aku menginginkan menjadi seorang penjahat. Aku juga tidak ingin menjadi seseorang yang diselamatkan. Aku hanya ingin menjadi penonton dari skenario kecil ini. Lagi pula hanya itu yang bisa kulakukan.
Hanya itu.
Karena 'Kejutan' yang tadi ku buat, sepertinya pertunjukan hari ini agak sedikit Berantakan. Perginya Hana ternyata membuat yang lainnya bingung—bahkan untuk kedua temannya itu. Tapi kurasa ada juga yang mengetahui hilangnya Hana.
Firasatku memang mengatakan ada yang ganjil pada anak itu. Tapi aku benar-benar tidak mengerti apa yang salah. Lagi pula dia itu perempuan, mungkin itu masalah yang tidak ku mengerti. Tapi yang membuatku berpikir, jika dia memang sudah menyadarinya sejak awal, kenapa ia memaksakan diri sampai detik-detik akhir? Dasar bodoh. Ya, walaupun aku sedikit mengerti tentang karakternya.
Semua kembali pada alurnya lagi. Kelompok Hana terpaksa dihentikan sementara karena ada suatu masalah, Hana-nya menghilang. Dan dilanjut dengan kelompok selanjutnya secara acak.
Saat ini Nyla dan kelompoknya-lah yang sedang mempertunjukkan senam erotis mereka. Tidak. Nyatanya senam mereka benar-benar dasar dan membosankan—sampai-sampai membuatku mengantuk.
Selagi pertunjukkan berlangsung, Risa dan Sarah mencari Hana yang pergi. Dan masih bisa ku sadari pula mata-mata yang memancarkan siratan penuh kejijikan saat ini, begitu pun dengan umpatan-umpatan dongeng sebelum ku tertidur yang menghunusku secara bersamaan. Tidak begitu buruk.
Ya. Semua kembali pada alurnya lagi.
@ @ @ @ @
Setelah bunyi bom terakhir beberapa saat yang lalu, kini waktunya evakuasi. Bukan-bukan, itu terdengar terlalu dramatis. Maksudku sekarang waktunya untuk pulang. Semua bergegas dan terlihat sumringah tak seperti sebelumnya. Rasanya waktu mulai berjalan lagi saat ini.
"Haika, kau pulang lewat mana???"
Vino menyapaku saat aku berjalan melewatinya untuk keluar kelas.
[Kenapa???] Jangan-jangan si Risa itu menyuruh anak ini sebagai informannya, ya?
"Ke arah Barat."
"Huh? Kalau begitu kita satu arah yang sama dong???"
[Ya, aku sering melihatmu dijalan pulang yang sama. Tapi kenapa kau baru menyadarinya, bocah.] "Ya, kau tidak salah."
Dan wajahnya semakin terlihat menggebu setelah mendengar pernyataan ku barusan.
"Minggir-minggir, orang normal mau lewat. Hahaha."
Dengan sedikit menabrak bahuku, anak itu langsung keluar kelas begitu saja, dan menyisakan tontonan hangat untuk yang lainnya. Walaupun sepertinya tidak ada yang terlalu peduli.
Ya, anggap saja ini tabrak lari.
"Hehe, kau tak perlu khawatir soal itu, Haika."
Vino yang melihat kejadian ini sepertinya mencoba membuat sebuah pengertian.
"Bukan masalah."
Setelah insiden tabrak lari itu, suasana di sini agak sedikit berbeda. Walaupun seperti tak peduli, hasrat mereka berkata sebaliknya. Menatap acuh dan menghiraukannya bukanlah pilihan yang sulit untukku.
"Kalau begitu bagaimana jika kita pulang bareng?"
[Rasanya sudah lama aku tidak mendengar kalimat ini.] "Sepertinya tidak bisa."
Karena itu adalah kalimat penolakan, mungkin itulah yang membuat wajah Vino berubah menjadi sedikit muram.
"Jadi kau keberatan, ya??"
Bagaimana menjelaskannya, ya? Sepertinya anak ini selalu butuh rincian.
"Tidak, aku hanya ada keperluan setelah ini. Jadi aku tidak akan langsung pulang." [Apakah ini cukup???]
"Begitu, ya? Maaf kalau begitu. Kukira kau akan langsung pulang."
Walau begitu, tetap saja raut wajahnya menyiratkan ketidakpuasan seperti sebelumnya. Aku jadi penasaran apa yang membuatnya seperti ini.
"Tidak, kau tidak perlu minta maaf."
Seperti terkesiap, ia langsung bergegas merapikan sisa-sisa perlengkapan sekolahnya yang berada di atas meja ke dalam tas dan menyiratkan senyum kepercayaan.
"Kau ini benar-benar aneh ya Haika—ah, tidak. Maksudku karakter mu itu benar-benar kuat. Walaupun banyak hal yang terjadi, kau bisa bersikap seolah tak terjadi apa-apa dan berlapang dada. Aku tidak tahu itu baik atau tidak, tapi setidaknya itu....."
Sembari memegang satu buku yang tersisa diatas mejanya, ia tertelan oleh omongannya sendiri.
".... Hehe. Maaf, ya. Maaf sudah bicara hal yang aneh-aneh."
Dengan keheningan kelas ini....
"Baiklah. Aku duluan."
Dengan datar seperti biasanya, aku mulai berbalik dan berderap perlahan keluar sembari memasukkan kedua tangan ku ke saku celana dan meninggalkan Vino sendirian ditempatnya.
Sesaat sebelum meninggalkan kelas, tepat diujung pintu, terdengar kembali ucapan yang energik.
"Lain kali saja, ya. Semoga lain kali kau bisa."
Pemandangan sore hari ini sepertinya memilih mimik wajah serta teriakannya sebagai berakhirnya masa remajaku kali ini. Jangan menganggapnya yang tidak-tidak. Ini hanya sekedar kiasan. Teriakannya memang dari karakternya yang sama. Tapi raut wajahnya seperti menggambarkan sebuah kepercayaan....
Kepercayaan akan sebuah kekhawatiran.
End.
*****
Terima kasih yang sudah menyempatkan diri untuk membaca.
Terus pantengin untuk kelanjutan bab-bab berikutnya, yaw.
Berikan komentar dan vote kalian sebagai bentuk dukungan untuk novel ini.
Salam.