Chereads / Mr. CEO, Please Love Me / Chapter 7 - Zebra Masuk Angin

Chapter 7 - Zebra Masuk Angin

Gadis biasa saja kini berevolusi menjadi makhluk berbeda atau bisa juga menggunakan istilah bermetamorfosis sempurna layaknya ulat yang mendekam dalam kepompong lalu keluar dengan sayap yang indah.

Kepompong tersebut lambang dari baju kedodoran dan kacamata bulat yang aneh. Kini, masa bertapanya telah selesai sehingga hewan bersayap lembut tersebut berubah bentuk menjadi si cantik yang memancarkan aura dewi. Sungguh, di luar dugaan siapapun.

Sangat-sangat berbeda sehingga gerakan lirihnya di dalam mobil yang membawa empat pemuda beserta dia –seorang gadis sendirian- di kursi penumpang bagian depan, tertangkap mencuri perhatian. Dan gadis tersebut berakhir kikuk seorang diri.

Mimi yang menjadikan tiga orang mencuri-curi lihat, serta seorang pemuda yang duduk di kursi paling belakang sendirian -Sultan- mengacak rambut keritingnya. Frustasi tak bisa melakukan hal yang serupa. Hingga pada akhirnya, ia memilih mengganggu kedua temannya Anton serta Arga yang duduk kursi tengah dan kedapatan sedang asik memandangi si aura dewi tanpa henti. Gadis cantik dengan dress yang dikaitkan oleh dua utas tali.

"Dia sangat berbeda," bisik Anton terdengar nyaring di telinga Arga dan Sultan. Si rambut keriting menggosok mukanya berupaya mengusir rasa keterpanaan yang menjadi-jadi.

Bukan hanya suka tidur, pemilik rambut keriting ini juga sering lupa dengan adab kesopanan dalam menjaga arah gerak rambutnya. Rambut-rambut ikal itu kini mendesak maju, mencuri celah di antara keberadaan Anton dan Arga hingga dapat menyapu sempurna muka pemuda yang mengaku bertanggung jawab atas keselamatan si gadis -Anton-, dan tentu saja yang terjadi berikutnya adalah suara bersin menggelegar mengguncang ketenangan mobil yang membawa lima orang.

"Ihh! Jorok elo," suara Arga memekik. Menatap risih ke arah Anton.

"Sorry," si tersangka meringis, "Elo gila, ya?!" Anton menimpali kenakalan rambut liar Sultan dengan mendorongnya ke belakang. Mengembalikan posisi kepala yang sempat menyusup ke depan.

"Mimi, tutup!" tampaknya yang paling beruntung hari ini adalah Daniel. Pemuda dengan model rambut man bun tersebut berhasil mengawali interaksi yang didambakan tiga orang lainnya. Interaksi dengan kupu-kupu cantik hasil metamorfosis, dan tentu saja hal tersebut menciptakan iri.

Tangan Daniel yang spontan menjulur ke arah Mimi sembari menawarkan sehelai tisu, tanpa diduga mendapatkan protes berupa tamparan kilat bercampur dengan raut wajah kesal dari arah bangku penumpang bagian belakang. Dan pelakunya tak lain dan tak bukan ialah Anton.

"Fokusin mata elo ke jalan!" kilahnya, dan diam-diam mengumbar senyum manis pada Mimi sebelum mengekor perilaku Daniel. Meraih tisu yang tersaji di tengah-tengah keberadaan mereka dan detik berikutnya menyodorkan pada gadis tersebut.

"Terima kasih," Mimi menarik bibirnya hati-hati. Dengan senyum samarnya, gadis tersebut menunjukkan bahwa dia sudah memiliki tisunya sendiri. Spontan dua pemuda yang lain -yang duduk di kursi belakang- berupaya keras menahan tawa mereka. Arga dan Sultan cekikikan dengan suara tertahan-tahan.

"Diam kalian! Berisik," suara ancaman ini bervolume rendah dengan bumbu penekanan khas Anton yang menyala, berapi-api, dan mata melotot. Sialnya, hal tersebut menjadikan dua pemuda yang mendapatkan ancaman kian berkelakar. Sengaja. Sangat-sangat disengaja. Tepat beberapa saat kemudian, kursi penumpang di bagian belakang dipenuhi kegaduhan.

"Kamu bisa gunakan headset mu," saran Daniel, mengabaikan kegaduhan yang terjadi di bangku belakang.

Anehnya bukan mengejawantahkan, gadis tersebut menoleh ke beberapa arah. Matanya terbuka lebih lebar dan detik berikutnya alisnya mengerut, "Apa kamu punya nomornya bu Shofia?".

Daniel menggeleng, "Ada apa?" arah pandangan pemuda yang sedang mengemudi tersebut berpindah dari jalanan ke Mimi. 

"Tasku, bajuku, dan handphone, aku rasa semua diamankan olehnya. Semoga. Ah, bagaimana ini?" si kupu-kupu cantik tertangkap panik.

Dan secara mengejutkan Daniel memencet tombol klakson kuat-kuat beberapa kali. Kegaduhan di belakang spontan terhenti. Tiga pemuda tersebut mengamati jalanan di luar dan hasilnya adalah suasana lengang.

"Apa ada kucing di depan?," Arga mengamati teliti setiap sisi di luar mobil yang membawa mereka.

"Tidak. Adanya kelompok ayam yang berisik," Daniel menjawab seraya menajamkan matanya.

Dari kaca spion, Mimi bisa menangkap kenakalan wajah mereka yang di belakang memasang raut muka kesal pada Daniel. Sepertinya, pemuda di sampingnya punya temperamen dingin yang mengesalkan. Buktinya, kini dia menyelesaikan kegaduhan teman-temannya dengan cara paling out of the book. Memencet klakson dan menekan pedal beberapa kali seolah mobil bakalan tertabrak sesuatu padahal tidak sama sekali.

"Ada yang tahu nomor bu Shofia, nggak?, Mimi kehilangan barang-barangnya," ternyata pemuda tersebut punya maksud yang baik. Walaupun caranya mencuri perhatian teman-temannya tergolong ekstrim.

"Pak yosan, mungkin dia punya," Anton menimpali.

"Hubungi pak Yosan, sekarang! Gue nggak bisa melakukannya. Gue lagi mengemudi," Daniel bahkan memberitahukan alasannya kenapa dia harus meminta bantuan. Di antara wajah yang terkesan datar, pemuda tersebut terlihat sedikit lebih dewasa dengan caranya memerintah yang lain.

"Terima kasih," Mimi menoleh sejenak menatap pemuda tersebut. Gadis itu bisa melihat warna mata Daniel yang menatap ramah walaupun wajahnya jelas tak banyak berubah. Kaku dan ketus.

Sepanjang perjalanan menuju rumah susun yang merupakan indekos Mimi, suara Arga menghubungi seseorang yang dipanggil bos Yosan terdengar. Kalimat-kalimat pertama yang terdengar dari panggilan handphone mode loudspiker adalah ujaran ancaman yang memekikan telingan terkait mobil yang di tagih pemiliknya. Baru lah pemuda tersebut diperkenankan mendapatkan nomor bu Shofia selepas rayuan super yang terdengar menggelikan digunakan untuk mengimbangi produser talk show For You.

Dan akhirnya bu Shofia meminta share lokasi.

.

"Em, apakah," ragu Mimi memutar bagian atas tubuhnya ke arah belakang. Mengamati tiga pemuda, dan berusaha mengumpulkan keberanian, "Setelah ini kalian sibuk? ," spontan kata 'tidak' terdengar hampir bersamaan.

"Kalau gitu, mari kita makan bersama. Di dekat indekos ku ada resto. Anggap ini ucapan terima kasihku sekalian menunggu bu Shofia datang," gadis itu berbicara lebih panjang dari biasanya. Anton yang kenal Mimi lebih lama dari yang lain menyadari, ia tengah berusaha keras ketika membuat permintaan.

"Okey," jawab Anton, "Nggak buruk, karena tadi kita nggak sempat makan," dia memasang senyum seperti iklan pasta gigi.

"Kami bisa bayar sendiri dan nggak perlu berterima kasih, sebab kamu mengalami kesialan karena ulah," ucapan Daniel berhenti. Dahinya kusut.

"Ulah kita semua," Arga menyahut.

"Kita bayar patungan saja. Gue udah lapar banget. Kasihan badan binaragawan ku, nanti otot-otot ku bisa menyusut,"  Ucapan Anton menjadikan yang lain menyingkir perlahan. Ucapanya sama sekali tidak lucu. Kalimatnya cenderung garing sebab perutnya akan menciptakan bukit bergelombang andai detik ini pemuda tersebut membuka kaos yang membungkus tubuhnya sisi depan.

***

"Kamu tidak ingin ikut?" tanya Shofia selepas mengumpulkan barang-barang sederhana Mimi.

"Buat apa?" balas Bram mematikan mesin mobil. Mereka sudah memasuki basement apartemen mewah yang pada lantai tertentu terdapat hunian kedua orang tersebut.

Hunian Bram berada dua lantai di atas hunian Shofia. Itu sebabnya, selain karena keluarga Ditcher akrab dengan ayah perempuan tersebut, mereka berdua juga telah berteman sejak sekolah dasar dan sudah saling mengenal satu sama lain layaknya teman bermain.

"Kamu tidak ingin menghitung berapa digit angka yang keluar dari platinum card mu untuk gadis itu -setengah hari?" mata Shofia membulat lebar bukan karena menatap Bram, melainkan kebenciannya yang natural terhadap atasan berupa sweater rajut abu-abu yang bentuknya tertinggal satu dasawarsa dari tren fashion tahun ini. Perempuan tersebut berhasrat membuangnya, menggulung baju atasan dan celana Mimi menjadi gumpalan dan membuka pintu mobil dengan tangkas kemudian berjalan gesit mengarah pada tong sampah besar berwarna hijau daun lalu melemparnya begitu saja.

Bramantyo bergeleng kepala mengamati perilaku sahabatnya itu, "Kamu melanggar privasi seseorang dengan membuang baju tanpa izin," tuturnya.

"Kita sudah melanggar privasi gadis itu sejak memaksanya berganti macam-macam pakaian," Shofia menutup pintu. Kepalanya bergerak sekilas meminta Bram memacu mobilnya kembali, "Dan dia terlalu mudah. Tak akan berani marah. Satu lagi, cukup cantik,".

Kepala bram mengangguk ringan.

***

"Buah, buah apa yang punya banyak uang?" sembari menunggu makan, para konten kreator acara televisi ini mulai beradu tebakan, "Sri Kaya" Mimi tak bisa menahan senyumnya.

"Apa yang dilakukan pegawai pizza, kalau mendapati dua orang berkelahi?" dia yang melempar pertanyaan, dia sendiri yang menjawab, "Dipizzah" Begitulah Arga.

"Nggak lucu," suara Sultan menyahut dengan gerakan tangkas memukul kepala bagian belakang Arga. Membuat pemuda tersebut mendesis.

"Garing banget! Dengerin gue," suara Anton mencela, "Buah, buah apa yang pernah menjajah Indonesia?" matanya mengembara menatap yang lain, "Ada yang tahu? Ada yang tahu?" Pemuda ini mempertanyakan dua kali sambil tersenyum lebar.

"Apa emang?," Arga penasaran.

"Terong Belanda," percaya diri Anton menjawabnya.

"Otak elo," Daniel yang sejak tadi memilih diam, mengais sendok pada wadah yang tersaji di masing-masing meja lalu memukul kepala Anton.

"Daripada elo diem aja! Bisa nggak elo bikin tebakan!" tantang Anton jengkel. Mengusap kepala dengan wajah sengit.

"Apa bedanya-" pemuda itu melirik gadis yang sedari tadi terbengong-bengong oleh celoteh random orang-orang di sekitarnya, "-dia," maksudnya Mimi, "dengan lukisan?" dan yang lain hening mencoba memikirkan tebakan yang tak berfaedah ini, "lukisan makin lama makin antik. Kalau 'dia' mungkin, makin lama makin-"

"Jangan bilang cantik! Ah basi!" Buru-buru Anton menutup tebakan dan mendapati sorakan dari pemuda lainnya.

"Sebentar, giliran gue belum," si keriting Sultan masih bersemangat ingin melanjutkan. 

"Gue rasa, nggak ada gunanya ngasih elo kesempatan," kalimat Arga sedikit sialan.

"Sial! Dengerin dulu!" tangan Sultan tertangkap terangkat ke atas dan meminta yang lain tenang, "Binatang apa yang warnanya hitam-putih-merah?" dia menggerakan dagunya meminta jawaban dan yang lain mengerutkan dahi termasuk Mimi. Detik berganti tak ada suara, si keriting menjawab pertanyaannya sendiri, "Zebra masuk angin habis dikerokin" Sontak dua orang pemuda memukul kepalanya, membuat kegaduhan di kedai makan.

"Cukup! Sebaiknya kita makan aja," Daniel menutup kegilaan yang berakhir garing.

"Setuju," Anton lekas menyambar mangkuk-mangkuk yang baru saja di letakkan pelayan.

"Buah apa yang bisa menampung banyak barang?" Arga berceletuk lagi, "Leci meja" lengkapnya, terkekeh seorang diri.

"Elo, pengen gue bunuh?!" ancaman Anton mendesahkan kejengkelan. tebakan yang mereka angkat telah mencapai limit. sejalan dengan Daniel yang menatap tajam si pemuda yang detik ini tengah merapikan rambut Leonardo dicaprio dengan belahan tengah berbentuk hati pada jidatnya yang tampak spektakuler -versi otaknya sendiri-.