Chapter 3 - Chapter 2

Pemanggilan Roh Pahlawan Bag 2

Mojokerto - Di suatu tempat di Trowulan.

"Kau mau pergi kemana dur malam² bergini?"

Tanya seorang wanita kepada seorang anak muda yang sedang membawa tasnya.

"Sebentar bu aku mau pergi untuk ke sekolah untuk megambil barangku yang Ketinggalan." (Durwiyata)

"Oh kalau begitu hati-hati dijalan."

"Iya aku berangkat."

Maaf ibu aku harus berbohong kepadamu tidak mungkin aku bilang aku akan pergi ke candi atau makam untuk mencari relik untuk ritual pemanggilan servant. Perang Cawan Suci sepertinya aku terpaksa mengikuti perang ini dan sebagai bukti aku adalah peserta dalam perang ini adalah sebuah tanda di tangan kiriku ini.

"Ah sepertinya tempat yang aku tuju sepertinya semakin dekat semoga saja aku mendapatkan relik yang berhubungan dengan orang paling hebat pada zaman dahulu." (Durwiyata)

Akhirnya durwiyata sampai di

Dengan semangat Durwiyata segera berlari dengan cepat menuju tempat yang akan dia lakukan ritual pemanggilan. Tapi ditengah jalan ia bertemu dengan seorang anak laki-laki seumuran dengannya yang menatap tajam Durwiyata.

"Siapa anak itu tadi? Siapa yang peduli sekarang bukan waktunya memikirkan itu."

Akhirnya durwiyata sampai di sebuah reruntuhan candi.

"Yosh sekarang waktunya untuk mencari relik." (Durwiyata)

Durwiyata mulai mencari relik yang ia butuhkan setiap sisi candi ia telusuri untuk menemukan relik dan pada akhirnya tidak menumukan apapun kecuali potongan sebuah arca yang sangat tua yang terdapat pada reruntuhan candi tersebut dengan cepat ia segera mengukir sebuah diagram sihir rumit dengan tulisan aksara jawa kuno setelah diagram sihir selesai dia meletakan arca tersebut ditengah diagram sihir itu dan mulai melafalkan mantra.

"Wahai engkau yang tertidur dalam kegelapan,

kini saatnya kau kembali."

Baru sedikit mantra yang ia ucapkan sebuah cahaya mulai keluar dari diagram sihir yang di sertai tiupan angin yang sangat kecang.

"Ambillah apa yang menjadi milikmu,

dan terikatlah dengan dunia ini."

Tiba-tiba cahay emas tersebut semakin terang sehingga membuat seisi candi bercahaya. Tinggal selangkah lagi ritual pemanggilan selesai.

"Wahai roh pahlawan, datanglah!"

Terjadilah ledakan dahsyat. Tanah yang semula digambari diagram sihir itu menyembur keluar, menerbangkan batuan kerikil. Sang pemuda tambun sampai terhempas ke belakang dibuatnya.

"Aduduh," erang Durwiyata sambil memegangi pinggang. "Kenapa ini... Apa karena aku membaca mantra yang salah?"

Sempat kekhawatiran menguasai pemuda itu. Kekhawatiran ia akan kalah bahkan sebelum perang dimulai. Dan akhirnya ia bersusah payah berdiri dengan kakinya.

Tepat didepanya berdiri seseorang dengan penampilan seperti seorang raja dengan pakaian yang berlapis emas dan sebilah keris di pinggangnya. Ekspresi wajahnya amat kasar, dengan tatapan hitam nan tajam. Kumisnya tebal, memancarkan aura kewibawaan yang sesungguhnya.

"Apa kau Tuanku?" tanyanya tegas.

"Ya," jawab sang pemuda mantap. Wajahnya terlihat sumringah. Dengan penuh kebanggan, ia melengkapi kalimatnya. "Akulah Tuanmu, Durwiyata Syahputra."

"Maka kau akan menjadi hidupku, dan keris ini akan membuka tirai takdirmu," balas sang Pelayan seraya mengacungkan keris yang kini tampak amat berkilau.

"Lalu," lanjut Durwiyata, "apa kelasmu?" Beberapa tebakan sudah ada di kepalanya berdasarkan sejarah sang Pelayan, tapi ia tak bisa menentukan.

"Saber."

Durwiyata yang mengangguk dengan senang. Bagaimana tidak dia berpikir akan kalah sebelum perang tapi akhirnya ia bisa mengikuti perang ini.

"Aku bersyukur bisa memanggilmu saber" gumamnya tak tertahan.

"Ya master aku juga bersyukur bisa menjadi servantmu."

"Baiklah sebaiknya kita kembali kerumah disini mulai dingin." aja durwiyata pada saber.

"Baiklah master."

Akhirnya durwiyata dan saber pergi meninggalkan candi tersebut.

◇ ◆ ◇ ◆ ◇ ◆ ◇ ◆

Di suatu tempat di Yogyakarta

Seorang gadis cantik sedang berdiri dan memperhatikan bulan dari balkon rumahnya tidak selang beberapa lama datang seorang pelayan.

"Apakah kamu sudah mendapatkan relik yang aku inginkan?" tanya seorang gadis pada pelayan tersebut.

"Saya sudah mendapatkan relik yang anda butuhkan nona."

"Bagus sekarang berikan kepadaku dan satu hal lagi jangan pernah panggil aku nona panggil saja melati."

"Baik no- maksud saya melati."

Dengan segara pelayan tersebut memberikan sebuah kotak yang berisi relik kepada melati.

"Hmm sepertinya ini cukup melakukab ritual."

ujar melati sambil melihat relik yang ia pegang.

"Apakah anda yakin mengikuti perang yang belum tentu tentang kebenarannya ini melati?" tanya pelayan tersebut pada melati

"Tentu saja aku yakin mengikuti perang ini dan sebagai bukti aku adalah peserta adalah ukiran merah yang ada ditanganku ini." jawab melati sambil melihatkan tangan kirinya pada pelayannya

"Baiklah sekarang waktunya untuk melakukan ritual bisakah kau membantuku untuk mempersiapkan ritual ini."

"Baik melati saya akan membantu anda."

Dengan segera melati dan pelayannya membuat diagram sihir yang akan digunakan untuk melakukan ritual. Setelah selesai membuat diagram sihir melati meletakan relik itu ditengah diagram sihir dan mulai membaca mantra.

"Wahai roh air yang bijaksana.

Wahai roh bumi yang perkasa.

Wahai roh langit yang agung."

Cahaya mulai muncul dari diagram sihirnya langsung menerangi seluruh ruangan, tapi gadis itu sama sekali tidak berpengaruh dan terus melafal mantranya.

"Ragaku hanya untuk santapan jiwamu.

Jiwaku pun hanya menjadi bahan permainanmu.

Pujianku adalah alat pembangkit kematian.

Dengan ini hembuskanlah nafasku kepadanya.

Bangkitlah. Wahai roh suci yang mulia!!!"

Cahaya putih bersinar menyilaukan dari dalam lingkaran sihir.Seiring fenomena itu, napas Melati makin tersendat. Pandangannya mulai mengabur. Kesadarannya sudah setipis kertas. Tapi ia menolak untuk jatuh sekarang. Karena di depannya, kini telah muncul sosok yang ia tunggu-tunggu. Dan ia, tak mau melewatkan kesempatan untuk melihat sosok itu sedini mungkin.

Seorang pemuda berwajah lembut dengan baju adat jawa berdiri di hadapannya. Sebuah blangkon diatas kepalanya, namun surai rambut hitamnya tetap dibiarkan terurai keluar. Begitu menawan, begitu rupawan. Meski roh pahlawan seharusnya dipanggil untuk bertarung, aura yang ia pancarkan amatlah berwibawa, jauh dari aroma darah dan kematian.

Pemuda itu melipat sebelah tangan di balik punggung, sebelahnya lagi menjura. Sambil agak membungkuk ia berkata, "Akulah Lancer. Apa Nona yang memanggilku?"

"Ya akulah yang memanggilmu." jawab melati dengan tegas.

"Baiklah aku Lancer bersumpah untuk memberikan kemenangan kepadamu master."

"Ya aku menerima sumpahmu itu."

Selang beberapa detik Tubuh gadis itu pun limbung, lalu tumbang. Dengan sigap Lancer menangkapnya agar tak membentur lantai.

Lalu pemuda itu mengamati khidmat wajah Melati yang sudah tak sadarkan diri. Ia tersenyum. "Tidakkah perang ini terlalu berat untuk Nona sepertimu?"

Tentu saja Melati tak akan bisa menjawab pertanyaan itu. Lancer pun menggendongnya dengan lembut. Melalui matanya ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, ke arah dunia kejam yang penuh kedengkian.

​"Tenang saja," bisiknya di telinga Melati. "Aku akan melindungimu."

◇ ◆ ◇ ◆ ◇ ◆ ◇ ◆

"Sepertinya perang akan dimulai ya kan caster."

Tanya seorang pemuda kepada wanita yang ia panggil caster.

"Iya master sepertinya ritual pemanggilan sudah selesai dan semua master sudah memanggil servant mereka." (Caster)

"Baiklah sebaiknya kita pergi dari sini dan mulai untuk mencari tahu setiap Identitas master dan servantnya."

"Baik master." (Caster)

Laki-laki dan wanita tersebut menghilang dalam kegelapan malam dengan sangat cepat.