Chapter 13 : Bosan dan Pengakuan
**
Seorang wanita memeluk guling dengan erat. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai dan berantakan. Tangannya menggapai selimut yang ia biarkan terjatuh tadi malam. Hawa dingin menusuk sampai tulang, namun yang dicari tidak kunjung ia gapai. Irsan yang merasa terganggu, membuka matanya sedikit. Tahu kalau istrinya sekarang sedang kedinginan tapi malas mengambil selimut membuat ia pun bangkit dari duduknya. Menggapai selimut yang berada di ujung ranjang.
Setelah menyelimuti Arisha, istrinya itu semakin menenggelamkan tubuhnya mencari kehangatan. Tak lama, tak ada pergerakan sama sekali. Arisha sudah kembali ke alam mimpi. Irsan menoleh ke atas dinding tepat di mukanya, sebuah jam dinding dengan gambar sepak bola kesayangannya. Masih pukul 3 dini hari. Merasa kalau masih ada waktu, Irsan pun kembali memejamkan matanya. Wajar saja mereka baru pulang dari cafe tadi sekitar pukul sebelas malam.
Bunyi alarm membuat Irsan terbangun. Ia melihat ke arah jendela yang menampakkan langit mulai cerah. Irsan duduk dan mengambil handphone nya. Sudah pukul 8 pagi.
"Risha, Ris." Irsan menguncang pelan lengan Arisha. Namun sang pemilik masih saja enggan membuka mata.
"Ris, kamu gak kuliah? Udah jam 8 ini," kata Irsan lagi. Bukannya bangun, Arisha malah merapatkan selimutnya. Enggan meninggalkan kenyamanan yang baru saja ia dapat.
"Ris."
"Risha."
Kesal karena Irsan terus saja memanggilnya, Arisha membuka mata. Tatapannya yang mengantuk berubah nyalang. "Aku males, kamu aja yang berangkat sana!"
"Beneran?"
"Iya," Arisha kembali berbaring. Menelunsupkan wajahnya ke bantal. Memeluk kembali guling dengan erat.
"Dirumah sepi, Sha. Kamu beneran ditinggal sendiri?" Tanya Irsan lagi. Arisha mengerang. Ia bangkit duduk, melempar bantalnya kesal. Irsan hanya memperhatikan, apalagi wajah bantal dan rambut Arisha yang berantakan menjadi daya tarik tersendiri baginya.
"Aku gak ada jadwal. Mager banget."
Irsan mengangguk. "Jadi kamu mau dirumah aja? Gak ada siapa-siapa disini."
"Bibi?"
"Udah pergi tadi."
Arisha menghembuskan nafas kasar. Memikirkan dirinya sendirian di rumah sebesar ini membuatnya bergidik. Apalagi Irsan pasti akan pulang agak sorean, jadi selama itu apa yang akan ia lakukan. Arisha yakin kalau Danifa dan Naila pasti kuliah sekarang, mereka lagi mengejar-ngejar dosen pembimbing, beda dengannya yang tinggal tahap penyusunan dan tidak ada mata kuliah lagi yang ia ambil.
"Tapi aku mager," ujar Arisha lagi.
"Yaudah aku berangkat, kamu diam aja di rumah, kalau ada apa-apa hubungin aku." Irsan mengambil tasnya yang berisi laptop di atas meja.
Arisha mengigit bibirnya. Menimbang kembali apakah ia tetap berada di rumah ini sendirian atau ikut dengan suaminya. Entahlah setiap Arisha ditinggal di rumah sendirian ada-ada saja sugesti otaknya yang membuat ia ketakutan dan memikirkan itu saja Arisha sudah bergidik ngeri. Rupanya tidak ada pilihan lain.
"Aku ikut, tunggu." Tanpa menunggu jawaban Irsan, Arisha langsung bangkit berdiri. Dengat amat terpaksa ia mengguyur tubuhnya dengan air.
Beberapa menit kemudian, Arisha keluar kamar dengan handuk. Irsan yang duduk di pinggir ranjang memalingkan wajahnya. Meski Arisha istrinya dan ia pernah melakukannya hingga sekarang tumbuh anaknya di rahim Arisha, Irsan masih tidak berani menatap istrinya terang-terangan. Ia takut 'penyakit' Arisha kambuh lagi dan akan membahayakan janinnya.
Tak butuh waktu lama, Arisha memakai kaos lengan panjang sejenis sweather ala korean style yang dipadukan dengan celana karet longgar berwarna hitam di atas mata kaki. Wajahnya sedang tidak ia poles macam-macam, hanya sunscreen dan bedak bayi saja. Ditambah dengan lipstick berwarna nude yang sering ia pakai. Rambut abunya dicepol ke atas. Memperlihatkan leher putihnya yang dihiasi oleh kalung emas putih pemberian mamanya.

"Dingin banget," gerutu Arisha. Ia kembali membalur perutnya dengan minyak telon. Sekarang badannya sudah berbau khas bayi dicampur dengan parfumnya. Irsan menyukainya.
"Kamu beneran?"
Arisha tak menjawab. Ia memasang kaos pink pucat kesayangannya. "Sha."
"Aku takut sendirian," sungut Arisha tak suka. Ia mengambil sling bag yang sering ia pakai jalan-jalan. Memasukkan dompet dan handphone. Arisha memasang sepatu vansnya masih dengan tatapan Irsan yang mengarah padanya.
"Nanti kamu bosen."
"Emang kamu mau ngapain?" Tanya Arisha balik.
"Aku mau ketemu dosen aku dulu, terus ada janji sama anak-anak buat nanti."
"Buat apa?"
"Bisnis, Sha,"jawab Irsan seadanya.
"Ayo, entar telat."
***
Arisha tak menduga jika ia akan sebosan ini. Setelah tadi ia menunggu Irsan menemui dosen pembimbingnya, Arisha hanya menunggu di depan ruangan. Menatap orang-orang yang berlalu lalang. Apalagi keberadaaan Danifa dan Naila tidak ia temukan. Pasti keduanya sedang sibuk-sibuknya sekarang.
Hingga beberapa jam kemudian, Irsan keluar dan mengajaknya lagi bertemu teman-temannya yang sudah menunggu di rumah Aziz dan sialannya lagi hanya dirinya seorang wanita disana.
"Ada Arisha nih, kok bisa San?" Tatapan menyelidik dari satu persatu orang yang ada disana menatap ia dan Irsan yang sekarang duduk bersampingan. Namun, tampaknya lelaki di sebelahnya ini tidak terganggu sama sekali. Irsan justru membuka hasil laporan yang sudah ditulis oleh ketiga temannya.
"Pacaran? Mulai kapan? Kok gak bilang? PJ dong!" Celutukan itu datang dari mulut Wiranto, lelaki berkacamata yang doyan ngemut pulpen.
"Emyr bilang gak bisa hadir, kalau Fadhil handphonenya gak aktif," seru seorang lelaki tinggi kurus dengan jaket bomber yang membalut tubuhnya datang dengan handphone di tangan kanannya, Alfian.
"Yaudah kita aja, selagi banyak yang datang kan," ujar Irsan yang diangguki setuju oleh mereka.
Mereka berdiskusi mengabaikan Arisha yang memandang mereka bosan. Ia tadi memilih menjauh dari mereka dan berdiam diri di depan televisi sambil tiduran di sofabed milik Aziz. Meski sebenarnya tidak ada yang menarik perhatiannua sejak tadi.
"Kamu butuh sesuatu?"
Arisha mengerang bosan. "Bosan, aku bosan disini."
"Kamu mau jalan?"
Arisha mengangguk antusias. "Mau! Mau!" Ujarnya seperti anak kecil yang akan dibelikan jajan.
"Kamu mau makan?" Irsan melirik jam yang sudah hampir jam dua. Sedari tadi tak bosan ia bertanya apa yang diinginkan oleh istrinya itu. Arisha masih sedikit pemalu jika meminta langsung padanya, tapi jika Irsan bertanya, maka Arisha dengan senang hati memberitahukan apa yang sedang ia inginkan. Gampang.
"Aku mau makan mie sama tiktac," Irsan mengerutkan kening. "Mie instan?"
"Iya, aku mau itu."
Irsan mengangguk. Sebelumnya ia meminta izin terlebih dahulu pada Aziz untuk menggunakan dapurnya. "Alfi, bisa beliin tiktac?"
Alfian yang sedang berdiskusi bersama Fajar, Arif dan Arfi menoleh bingung. "Buat apa?"
"Arisha mau," katanya cepat. Jawaban Irsan justru memicu pandangan bertanya dari rekannya. "Mau apa?"
"Mau makan, Al. Tolong ya, gue mau ke dapur dulu. Kalo kalian laper makan aja dulu, beli makan diluar." Mereka mengangguk setuju. Alfian yang disuruh oleh Irsan pun menyanggupi. Ia pergi ke warung untuk membeli beberapa cemilan, nasi padang dan tentunya pesenan Irsan.
"Dikeringi, San. Pake sambel terus disajikan di mangkuk aja, aku mau pake sumpit," ujar Arisha lagi. Ia malah membanyangkan semangkok jajangmyeon dihadapannya meski versi KWnya.
Kamu rese kalau lagi laper, ungkap Irsan dalam hati. Tentu saja jika ia tidak ingin kepalanya melayang jika mengatakannya langsung. Akhir-akhir ini istrinya itu sensitif sekali dan Irsan sempat kewalahan menanganinya apalagi jika ia sedang fokus mengerjakan skipsi miliknya.
"Sambelnya dua aja, kalau ada Bon Cabe pakai itu aja," kata Arisha lagi. Matanya kembali fokus ke layar televisi yang menanyangkan drama Turki yang baru pertama kali ia tonton. Tahu aja baru tadi. Tvwan memang beda.
"Ini tiktacnya," ujar Alfi menyerahlan bungkusan plastik merah yang terlihat jelas sekali isinya. Ariha bangkit dan membongkar isinya. Bukan cuma tiktac tapi bebeapa cemilan disana dan semua itu kesukaannya.
"Jadi pengen makan mie," kata Aziz yang baru datang ke dapur ketika melihat Irsan sedang mencapuradukan mie dengan bumbu secara merata.
"Gue juga," ujar Arif yang sudah duduk di meja makan.
"Bikin dong, Jar."
"Jar, Jar lo kira gue Magic Jar apa!" Ketus Fajar.
"Baperan banget sih lo!" Dengus Arfi.
Irsan mengindahkan perdebatan tak bermutu mereka. Ia memanggil Arisha menuju dapur.
"Enak banget yang dimasakin," ledek Arif ketika melihat Arisha yang mulai menyantap mienya. Arisha tak berkomentar, ia makan dengan lahap.
"Pedes."
"Cabe satu aja tadi," Irsan memberitahu. Arisha minum airnya meredakan rasa panas di rongga mulutnya. Merasa tak sanggup, Arisha menggeser mangkok mie yang masih sisa setengah. "Buat kamu aja." Irsan mengangguk tanpa protes dan mulai menyantap diiringi dengan pandangan heran, bingung, geli, terkejut yang menjadi satu dari teman-temannya. Arisha yang sudah kenyang pun kembali menonton televisi.
"Lo sama Arisha beneran pacaran?" Tanya Arif shock. Bagaimana bisa, benaknya selalu bertanya-tanya.
"Iya."
"Gak bohong?"
Giliran Irsan yang menatap Arfi kebingungan. "Itu cincin di jari lo apa? Gue liat Arisha juga makai," kata Arfi curiga.
"San."
Belum sempat Irsan menjawab, Arisha mendekat padanya. "Bosen, mau pulang."
"Iya gue sama Arisha sudah menikah," Mereka semua yang ada disana melongo saking terkejutnya. Berbeda dengan Arisha yang menatap Irsan bingung dan marah ketika lelaki itu memberitahukan status mereka.
Tbc