Chereads / Jadi Pahlawan Lagi? / Chapter 20 - Chapter 19

Chapter 20 - Chapter 19

"Permisi."

Dengan nada bicara yang terkesan kaku, aku memohon ijin untuk memasuki sebuah pintu kayu yang terlihat begitu lain di antara yang lain.

Ukurannya begitu besar, desainnya terlihat begitu oriental, dan ada semacam bel di dekat pintu masuk.

Walau ada bel tetapi aku lebih memilih untuk mengetuk pintu saja agar orang yang berada di dalam bisa mendengar dengan jelas, alasan yang tidak terlalu penting juga.

Aku pun menunggu selama beberapa saat sampai akhirnya suara derap langkah kaki di atas lantai kayu bisa terdengar mengarah ke pintu.

Dengan pelan, pintu bergeser dan ini jujur mengejutkanku.

Rupanya ini adalah pintu geser.

Ini sebenarnya ruangannya siapa sih sampai bisa memiliki pintu geser seperti di Jepang.

Namun sosok yang menyambut pandangan mataku sudah jelas sekali bukanlah pemilik ruangan ini melainkan seseorang yang bisa dianggap tamu dalam ruangan tersebut.

Sebuah senyuman kecil terukir di wajahku pada saat sosok dari seorang gadis bisa ditangkap oleh pandangan mataku.

"Yo. Leena adalah namamu, kalau kau tidak salah?"

"Anda… Sakaki?"

"Benar sekali. Tidak ada yang lain dan tiada duanya, Sakaki Hiyama~"

"Hiyama? Itu nama belakang anda?"

"Di negaraku nama belakang disebutkan terlebih dahulu, nama depan disebutkan kemudian."

Sebuah anggukan keapala dilakukan oleh Leena sebagai tanda kalau dia berusaha untuk mengerti apa yang baru saja kukatakan.

"Seperti nama orang dari benua Timur. Mungkinkah anda orang Timur juga?"

"Aa, kurang lebih begitu."

"Tidak terlalu mengejutkan mengingat wajah anda mirip dengan orang Timur."

Leena kemudian mengalihkan pandangan matanya, berusaha untuk menghindari kontak mata langsung dengan diriku.

"Ah, maaf kalau aku terkesan sok tahu."

"Tidak, tidak. Sama sekali tidak ada yang salah dengan ucapanmu juga."

Entah mengapa jalannya pembicaraan ini berubah menjadi tidak mengenakkan dan kami berdua bisa mengetahui hal ini sehingga keheningan melanda di tegah percakapan.

Sepertinya aku harus mengambil inisiatif terlebih dahulu.

"Boleh aku masuk ke dalam?"

"Ke dalam… ah, silahkan."

Pintu geser terbuka dengan lebarnya.

Mengikuti langkah kaki sang gadis Elf, aku berjalan memasuki ruangan dengan pintu geser tersebut.

Aku pun mendapatkan sambutan yang luar biasa dengan pemandangan interior ruangan.

Interior-nya benar-benar memiliki kesan yang berbeda dengan pemandangan yang selama ini ditangkap oleh mataku bahkan ketika aku masih berada di Eos sebelumnya.

Kesannya benar-benar Oriental.

Mirip dengan sebuah toko oleh-oleh Cina dengan berbagai hiasan beserta barang-barang di dalamnya.

Jujur, aku merasa sedikit terkejut tetapi aku masih bisa menahannya walau wajahku mengatakan hal yang lain.

"Kata orang Guild, orang yang memiliki nama Sakaki di Guild hanyalah seorang pendatang baru yang muncul dalam waktu setengah hari lalu, aku terkejut setelah mendengarnya."

Leena di luar dugaanku membuka pembicaraan.

Dia yang sekarang sedang terduduk meringkuk di atas sebuah tempat duduk menyerupai sofa kulit.

Sementara aku duduk di sebuah bangku yang berhadapan secara langsung dengan Leena.

"Terkejut? Kalau kau terkejut dan menganggap jika orang yang menyembuhkanmu adalah diriku ini maka kau salah besar, Shigure yang melakukannya."

"Shigure… oh, maksudnya gadis yang ada di sisi anda."

"Ahh, tidak usah terlalu formal kepadaku. Gunakan namaku atau panggil aku dengan 'kau' saja, aku bukan tipe orang yang terbiasa dengan etika ketat."

Walau aku masih sering menggunakan 'diriku'….

"Un…."

Sebuah anggukan kuterima sebagai jawaban dari Leena.

Dia kemudian memandangku dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.

"Aku dengar Sakaki adalah orang yang mengalahkan Undead yang dipanggil sebagai Skeleton Knight. Undead yang menghancurka desaku."

Menjelang akhir aku bisa merasakan nada sendu serta kesedihan dari balik ucapannya.

Dia sepertinya lega karena si Skeleton Knight berhasil dimusnahkan tetapi itu masih belum mengubah fakta kalau dia juga telah kehilangan segala hal yang dimilikinya.

Leena sekarang tidak memiliki keluarga, uang, ataupun tempat tinggal.

Ketiga hal penting yang menunjang kehidupan seseorang, seandainya ada salah satunya saja maka kehidupannya akan diringankan.

Namun tidak.

Leena sama sekali tidak memilikinya satu pun.

Aku yang menyadarinya sebisa mungkin akan berusaha untuk menghindari semacam ini.

"Ah ngomong-ngomong sepertinya kau sudah memiliki pakaian pengganti ya."

"Memang benar, orang-orang dari Guild yang memberikannya kepadaku."

Pakaian yang dikenakan oleh Leena sekarang adalah semacam gaun dengan hiasan renda-renda dengan ukuran yang besar sekaligus mencolok, namun anehnya pakaian tersebut tidak memiliki lengan baju. Warnanya hijau dan terkesan menenangkan juga sepertinya mudah untuk bergerak di balik gaun tersebut.

Bukan pakaian yang buruk, bahkan terkesan sangat layak walau pakaian tersebut adalah pemberian dari Guild. Mereka sepertinya memberikan perlakuan yang amat baik.

Aku menurunkan kedua bahuku kemudian bertanya kepada Leena.

"Apakah kau menyukai pakaian itu?"

"Eh, kenapa tiba-tiba… tapi kalau disuruh untuk mengatakan suka atau tidak maka aku sendiri akan mengatakan suka karena pakaian ini nyaman dan mudah untuk bergerak pada saat mengenakannya."

"Baiklah, nanti aku akan suruh orang-orang Guild untuk membuatmu menyimpan pakaian itu."

"Bukankah itu rasanya terlalu berlebihan?"

"Selama kau merasa senang maka aku akan melakukan apapun untuk membantumu… pada dasarnya aku sendiri tidak pandai berbicara atau menghibur orang yang sedang bersedih walau aku bisa merasakannya."

"Sakaki… ternyata kau sadar ya."

"Meski kau berusaha untuk menutupinya dengan senyuman yang terpampang sekarang pun aku bisa melihatnya."

"Aku… tidak ingin membicarakannya."

"Kalau begitu tidak usah membicarakannya."

"Sebenarnya—ehh?"

Leena membuka mulutnya lebar-lebar begitu ia mendengar perkataanku.

Orang biasa akan membuat orang lain menceritakan hal yang paling tidak ingin diceritakan oleh pihak orang lain tersebut.

Namun aku bukanlah orang semacam itu.

Aku bukannya tidak kejam atau apa.

Aku hanyalah jenis orang yang tidak terlalu suka ikut campur dalam urusan orang lain dengan terlalu dalam.

Hanya sekedar tahu saja sudah cukup.

Menyelesaikannya bukanlah hal yang akan dilakukan oleh diriku ini.

Daripada akan dilakukan lebih tepatnya aku sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Meyakinkan seseorang adalah perkara mudah namun bagaimana dengan membuat mereka untuk tidak meyakini sesuatu yang sudah terjadi di depan mata mereka?

Itu sudah menjadi masalah lain yang seolah-olah berada di luar jangkauan tanganku.

Hal yang sulit untuk digapai.

Melakukannya malah akan membuat kesalahan tersendiri.

Lebih baik aku menuggu Leena untuk berbicara atas keinginannya sendiri, tak peduli seberapa lamanya hal itu akan terjadi, aku akan terus menunggunya walau mungkin pada saat seperti itu tiba aku sudah menjadi seorang kakek dan Leena masih awet muda karena dia adalah seorang Elf.

Seorang Sakaki bukanlah seseorang yang bisa menyelesaikan masalah ini, pada akhirnya itu adalah kesimpulan yang kucapai.

"Daripada membicarakan soal hal yang ada di masa lalu, lebih baik kita membahas kehidupanmu untuk ke depannya saja."

"Kehidupanku untuk ke depannya?"

"Kau tidak punya saudara jauh atau semacamnya kan, bahkan uang saja kurasa kau tidak punya."

Leena mengalihkan pandangan matanya seolah dia kehilangan segala keberanian untuk menatap diriku ini, aku bagaikan sang pembawa berita buruk yang sedari tadi ia coba untuk hindari.

"Memang benar… aku tidak punya apa-apa…."

Kata-katanya itu tidak diucapkan dengan mudah.

Ada beban yang berada di baliknya.

Gadis yang tidak tahu menahu mengenai hal yang lebih luas di dunia ini namun terpaksa untuk membuka matanya sekarang juga, seperti itu lah keadaan dari Leena sekarang.

"Tapi… orang Guild bilang selama aku bisa berguna untuk mereka maka aku akan dirawat oleh mereka."

"Memang benar sih."

Orang-orang dari Guild di luar dugaan cukup baik juga karena mau menampung Leena.

"Hanya saja, entah mengapa aku merasa kurang puas dengan bagaimana semuanya berjalan."

Sebelah alisku naik, menandakan kalau aku tidak mengerti akan apa yang dikatakan oleh Leena sekarang.

Dia kurang puas?

Kurang puas bagaimana?

Dendamnya terbalaskan, walau dia tidak berada di sana secara langsung untuk menyaksikannya.

Sekarang dia kurang lebih telah mengamankan uang dan tempat tinggal akan menyusul nanti.

Tetapi meskipun semua itu sudah ada di depan matanya, jalan hidup yang paling tenang dan damai serta aman, dia merasa tidak puas dengan semua itu.

"Aku merasa tidak puas karena bagaimana bisa aku hidup damai setelah seluruh keluarga menghilang begitu saja, apakah aku dipaksa untuk menerima suatu kenyataan yang begitu menyakitkan ini seperti semudah membalik telapak tangan?"

Suaranya mulai menjadi berat.

Beban yang berada di dalam dirinya secara perlahan semakin terbuka dan semakin terlihat.

Sebuah beban yang tidak akan menghilang begitu saja dan hanya bisa dipendam, suatu keadaan yang pernah kualami sebelumnya.

Sendirian, di lempar ke tengah keadaan asing, tidak ada yang mau mengulurkan tangan kecuali beberapa orang saja.

Perasaanmu akan mengatakan kalau kau tidak nyaman namun dirimu akan berusaha untuk mengatakan jika semuanya baik-baik saja.

"Semuanya baik-baik saja."

Kata itu keluar dari mulutku seolah-olah mereka baru saja kabur dari bagian hatiku yang paling dalam.

Kata yang membuat Leena ,yang kelihatan penuh kesedihan dan kepedihan, berhasil kembali menatapku.

Aku berdiri dari bangku tempatku duduk kemudian menggenggam bahu milik gadis berambut pirang tersebut, pandangan mata milik kami bertemu dan menghindari pandangan satu sama lain adalah suatu hal yang mustahil.

"Semuanya akan baik-baik saja, kau dengar."

"Sakaki?"

"Dengarkan aku, kau tidak usah khawatir dengan masalah kepuasanmu atau semacamnya, hidup sudahlah menjadi pemberian untukmu dan membuangnya secara sia-sia bukanlah jawabannya."

Leena terdiam.

Dia terus terdiam sambil memandangiku.

Berusaha untuk memahami tiap kata yang kuucapkan dengan arti paling dalam.

Pada kenyataannya apa yang kuucapkan pada dasarnya adalah luapan emosi setelah mengingat masa lalu milikku.

Tetapi ini harus disampaikan.

Keadaan kami berbeda jauh.

Perasaan kami sama.

Hal yang menjadi pembeda paling dasar itu adalah hal yang merepotkan juga tetapi aku akan menembus masuk ke dalamnya!

"Kau ini pantas untuk hidup, Leena. Jangan pernah berpikir kalau kau tidak boleh hidup, sama sekali jangan."

"Tapi aku sama sekali tidak memiliki alasan untuk hidup… aku juga takut dengan kematian, maka apa yang harus kulakukan?"

"Ikutlah denganku!"

Kalimat yang menggelegar dengan suara yang amat keras sampai-sampai aku merasa kalau orang yang berada di luar ruangan tersebut bisa mendengar suaraku.

Tetapi pada saat itu juga aku tidak bisa menaruh kepedulian sama sekali akan nada bicara atau suara yang kubuat, apa yang berada di dalam pikiranku hanyalah cara untuk menyampaikan kesimpulan yang telah didapatkan oleh kepalaku kepada Leena.

Gadis ini tidak ingin mati namun dia merasa tidak berhak untuk hidup.

Perasaan rumit semacam itu bukanlah sesuatu yang bisa kutangani dengan mudah namun setidaknya untuk menahannya bersama merupakan hal yang mungkin.

Aku memang bukanlah seseorang yang suka hal merepotkan.

Mengurusi orang lain, peduli kepada orang lain, dan semacamnya.

Menurutku hal semacam itu amatlah merepotkan.

Aku hanya bisa menelan ludahku pada saat mengingat hal semacam itu terutama karena aku menyadari hal yang akan kulakukan ini benar-benar bertentangan dengan dasar dari seorang Sakaki.

Hanya saja, apa yang menggerakanku untuk melanggar suatu hal tetaplah sama.

Tak peduli di dunia ini, dunia sebelumnya, semuanya selalu sama.

Perasaan orang lain yang begitu kuat serta mencerminkan diriku adalah apa yang menggerakanku untuk terus mematahkan janji yang sudah aku buat sendiri.

Leena adalah salah satunya.

Dia yang merasakan perasaan keinginan untuk tidak hidup namun menakuti hal yang akan selalu menyambut mahluk hidup, kematian.

Perasaan yang kurasakan pada saat masih menjadi pahlawan awam namun dengan cepat tersapu dan menghilang dari tempatnya karena aku menyadari kalau selama kau percaya dengan dirimu sendiri dan terus melatih diri maka hal semacam ini bukanlah halangan.

Aku mengingat itu dengan amat jelas.

Perasaan itu lah yang tercermin dari Leena.

Tanpa perlu menggunakan Skill apapun, aku masih dapat melihatnya dengan begitu jelas, daripada melihat maka apa yang bisa kuanggap lakukan sekarang adalah merasakannya.

Suara tawa pelan keluar dari mulutku.

Bodohnya.

Aku baru saja sadar.

Kalau ikut kami bukankah itu berarti dia akan menjalani kehidupan sebagai seorang Adventurer dan kehidupan semacam itu dipenuhi dengan ketidak pastian.

Sekali lagi, aku kembali berlawanan dengan hal yang sudah kutentukan dari awal.

Benar-benar kebodohan, seperti kata seorang pemikir tertentu; kebodohan adalah penyakit yang mustahil untuk disembuhkan.

Oleh karena itu….

"Ma—maafkan aku yang sudah berbicara seenaknya."

Tindakan yang bodoh beserta ucapan yang bodoh, apa yang harus dilakukan untuk membuat kedua hal tersebut bisa dianggap tidak pernah ada adalah dengan meminta maaf dan berharap saja kalau hal itulah yang akan terjadi.

Kaki ini terasa begitu berat.

Lemas.

Tidak bertenaga.

Namun selalu bergerak dengan keinginan untuk meninggalkan tempat dimana aku sekarang sedang berdiri.

Di tengah ruangan aneh yang mirip dengan toko oleh-oleh Cina.

Alasan mengapa aku meninggalkannya bukanlah karena perasaan tidak suka kepada Leena maupun kepada ruangan ini.

Alasannya sebenarnya sudah jelas.

Aku merasa bersalah karena membuka mulutku seenaknya sendiri.

Untuk kali pertama, seorang Sakaki Hiyama kehilangan kepercayaannya begitu ia sampai di dunia lain.

Itulah apa yang kurasakan.

Namun ada hal lain yang secara bersamaan kurasakan pada saat aku memikirkan hal tersebut dan bergerak ke arah pintu keluar.

Sebuah sensai lembut nan hangat yang menerpa tanganku.

Sensasi yang hanya bisa dirasakan oleh indra penyentuh.

Sentuhan atau lebih tepatnya genggaman tersebut menyalur ke dalam diriku dan langsung memenuhi pikiranku.

Apa yang sedang terjadi?

"Jangan pergi."

Suaranya bisa terdengar dengan pelan.

Suara dari gadis Elf yang terkesan kikuk dan lemah namun di balik semua itu terdapat determinasi kuat yang bisa kurasakan.

Kemudian…

"Sakaki… kurasa apa yang kau katakan itu benar, aku rasa ikut denganmu adalah hal yang tepat."

Sebuah perkembangan yang tidak diduga terjadi kepadaku.

Aku tidak akan pernah menyangka kalau ucapan seenaknya yang keluar dari mulutku akan menggerakan orang lain.

Biasanya justru hal yang sebaliknya terjadi kepadaku.

Aku hanya bisa terdiam di sana.

Bukan karena perasaan kebingungan atau pun tidak mengerti situasi.

Perasaan yang kurasakan sekarang bisa dibilang adalah rasa takjub.

Seandainya saja ini adalah komik maka mulutku pasti sudah akan terbuka lebar-lebar.

Namun sekali lagi kuulangi kalau hal semacam itu sama sekali tidak terjadi di sini.

Apa yang terjadi adalah kemunculan keinginan dan keteguhan seorang gadis dalam mengambil keputusan akan masa depannya.

Dalam ruangan aneh tersebut.

Kami saling pandang dan menganggukkan kepala secara bersamaan.

Suara tawa milikku pun terdengar pelan.

"Selamat datang di Party yang dipimpin oleh Sakaki Hiyama ini!"