Malam menyapa bersama kelembutan embun yang kian tersamar. Hingga membuat diri tertuntun untuk menulis tentangmu. Menulis akan pedihnya rindu yang bertemu hujan kala senja mulai menutup usia. Menulis akan daun-daun yang berguguran dikala fajar melambai-lambai tanpa isyarat angin. Ingatlah kau bidadariku?. Langit manja menyapa kita dipagi hari dengan senyum terbuka. Hingga malam mulai malu untuk menyapa senja.
Bidadariku, kau telah menjadi tulisan yang mengalir dari qolbuku. Bermajas doa disetiap paragraf yang tersampai waktu. Berputar-putar mengelilingi lingkaran kisah yang tidak membuat jemu. Kau telah menjadi kalimat bisuku. Duhai bidadariku. Apa yang bisa dibaca orang lain tentangmu dariku. Itu semua bohong. Itu adalah sandiwara mulut yang bernyanyi bersama embun. Karena sesungguhnya engkau adalah waktu yang hidup bersama pikirku. Dan bukan untuk kubagi dengan orang lain. Seperti bayangan yang mengikuti setiap waktu. Itu semua hanyalah milikku.
Duhai bidadariku, telah banyak kisah aku sampaikan lewat tulisan hanya untukmu. Dan aku tau, kamu pun sering terlarut dengannya dikala keramaian pergi meninggalkanmu. Aku tau itu. Maka, kini bersahabatlah sebentar dengan sepi yang menyampaikan salam ku untukmu, agar kau tidak terlalu memastikan dari jauh tentangku. Jangan sampai lambaian senja telah sampai baru engkau bisa mengerti. Dan jangan pula kala fajar menutup diri kau baru bisa sadar akan kehadiranku dihatimu. Karena bisa jadi diwaktu itu, hatiku sudah tidak bersamamu lagi.
Hingga membuatmu akan menyesal bersama tangis yang tidak bisa terbendung kala sendiri menyapamu. Bahkan, bisa membuatmu asing dalam keramaian. Bidadariku, bangunlah dan lihatlah langit yang sama antara aku dan kamu. Agar mata kita bisa bertemu dalam satu tatapan dan tujuan. Agar kamu tidak menjadi kamu. Dan aku tidak menjadi aku. Tapi, agar aku dan kamu bisa menjadi kita yang selalu menyampaikan rindu setiap waktu tanpa jeda.