Ivy turun dari kasurnya yang empuk. Berjalan dengan langkah gontai menuju saklar lampu yang terletak di dekat pintu. Terang menggantikan posisi gelap yang tadinya menyelubungi kamar bernuansa biru miliknya. Melihat cahaya, membuat perasaan Ivy jadi lebih baik. Setidaknya Ivy bisa bernapas lega. Merasa percaya diri untuk mengatakan bahwa kini dia berada di tempat yang aman. Jauh dari huru-hara maupun kegaduhan yang mencekam.
Ivy melangkahkan kaki keluar kamar. Tidur yang memiliki fungsi untuk merilekskan tubuh, nyatanya malah membuatnya lelah seakan dia baru saja selesai lari maraton sebanyak sepuluh kali putaran. Tenggorokan Ivy terasa begitu kering. Serak setelah berteriak histeris di tengah malam yang dingin. Gadis bersurai hitam panjang itu menenggak habis satu gelas air minum yang dia ambil dari dapur dalam satu kali tegukan.
Duduk berpangku tangan di kursi meja bundar, memandang lurus ke depan dengan tatapan menerawang. Ivy menghela napas panjang sambil menyugar rambut yang menghalangi pandangannya.
" Mimpi apa aku tadi? Sungguh mengerikan. "
Ivy menaikkan kakinya di atas kursi. Mengerut, memeluk tubuhnya sendiri seolah dia baru saja mengalami hal paling menyedihkan dalam hidupnya. Matanya terpejam seiring dengan dahi yang mengernyit. Terlihat seperti sedang menahan sakit yang sangat memilukan hati akibat kehilangan. Tak mau berlarut-larut dalam perasaan gamang, Ivy menggelengkan kepalanya keras-keras. Menepuk-nepuk kedua pipinya dengan tepukan yang lumayan kencang, agar kewarasan yang ia miliki segera kembali secara utuh.
" Sudah selesai. Itu hanya bunga tidur. Bukan apa-apa. Kau aman. Kau tidak perlu takut. "
Suaranya sedikit bergetar. Identik dengan orang yang sedang ketakutan namun berusaha untuk tegar. Setelah diam terpaku selama beberapa saat, Ivy pun bangkit dari tempat ia duduk. Berniat pergi ke kamarnya demi bisa berdamai dengan rasa takut dan kembali larut dalam buaian.
Namun belum sampai kaki Ivy melangkah di anak tangga kedua, suara ayahnya yang sedang bersenda gurau diiringi gelak tawa seorang wanita yang entah itu siapa, datang mengusik gendang telinganya. Rasa ingin tahu mendorong Ivy bergegas mendekati sumber suara. Dari balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan ruang keluarga, Ivy mencondongkan sedikit kepala supaya bisa melihat apa yang sedang ayahnya lakukan.
" Ya Tuhan! " Ivy memekik lirih.
Matanya membulat sempurna di detik ketika indera penglihatannya, memergoki apa yang sedang ayahnya lakukan bersama seorang wanita yang tak ia kenal di sofa. Buru-buru Ivy membekap mulutnya. Pemandangan tak senonoh yang ia lihat sekarang, betul-betul membuatnya syok dan lumpuh selama beberapa detik. Ivy memejamkan mata sebelum kembali menajamkan penglihatan.
Berharap apa yang dia lihat belum lama, hanyalah tragedi salah lihat yang lumrah terjadi pada siapa saja termasuk dirinya. Namun.... Semakin Ivy memusatkan pandangan, Ivy semakin tertampar oleh kenyataan yang menumpulkan asumsi positif yang ia miliki. Memang! Laki-laki yang sedang bergumul di sofa itu ayahnya. Benar-benar ayahnya. Tak diragukan lagi.
Ciuman yang dilancarkan ayahnya pada wanita bergaun merah yang sedang bergelayut manja, semakin lama semakin beringas. Kemesraan mereka di atas sofa pun kian panas. Ayahnya bahkan sudah membuang jas hitam yang ia pakai entah kemana. Ikat pinggangnya juga sudah terlepas dari tempatnya bersangga. Pun dengan beberapa kancing kemeja putih yang sudah kehilangan fungsi untuk menutupi tubuh. Ivy menggeram marah. Langkah kasar mengiringinya mendekat pada sang ayah, yang masih terlena oleh buaian bibir bergincu.
" Apa yang kalian lakukan! "
Bentaknya dengan suara mengguntur. Ivy tak segan-segan menarik rambut wanita yang ia anggap sebagai jal*ng menggunakan seluruh kekuatan yang ia punya, saat wanita itu sedang memposisikan dirinya duduk di antara kedua kaki ayahnya. Wanita itu memekik nyaring sebelum terpelanting keras ke lantai.
" Dasar wanita murahan! Apa yang sedang kau lakukan dengan ayahku! "
" Ivy! Jaga bicaramu! "
Bentak ayahnya keras demi membela wanita bergincu merah tebal, yang sedang menatap tajam ke arah Ivy dengan kebencian menggunung. Wanita itu mengeluarkan seringaian licik. Bangun, lalu menghamburkan diri pada David, memeluknya erat. Tangisan buaya darinya menggema. Meraung-raung dengan cara berlebihan, seolah sedang mengadu kalau dirinya telah disakiti sedemikian rupa oleh Ivy, yang notabene adalah putri semata wayang dari pria yang sedang dia peluk.
" Kenapa aku harus menjaga bicaraku sedangkan Ayah tidak menjaga kelakukan Ayah sendiri? Kenapa Ayah bermesraan dengan wanita jal*ang sepertinya?! Apa Ayah tidak memikirkan perasaan ibu? "
" Sayang... aku takut. "
" Diam kau dasar wanita murahan! "
" Tutup mulutmu, Ivy! "
PLAAKK
Sisi kanan wajah Ivy terdorong keras ke sisi yang berlawanan, setelah David mendaratkan kelima jarinya dengan kekuatan yang tak ia tahan-tahan di sana. Tangan Ivy bergerak menyentuh sisi pipinya yang terasa panas dan perih. Kepalanya bergerak pelan kemudian berhenti ketika matanya bersirobok dengan mata ayahnya. Pupil mata Ivy bergetar. Ivy tak menyangka. Benar-benar tak menyangka jika Ayahnya bisa melakukan hal ini padanya hanya karena wanita lain.
" A... ayah? "
Suaranya terbata. Matanya berkaca-kaca. Tangisnya hampir meledak jika saja Ivy tak berusaha menahannya sekuat tenaga. Melihat kesedihan yang tersirat jelas di wajah putrinya, David sama sekali tak meletakkan rasa iba. Padahal, Ivy bukanlah orang lain. Gadis itu adalah anak kandungnya! Darah dagingnya sendiri.
Pandangan mata yang memiliki warna sama dengan Ivy itu menyipit. Alisnya berkerut karena marah. Sambil mengeratkan dekapannya pada wanita lain yang dia bawa ke rumah, David berbicara lantang pada Ivy tanpa merasa bersalah sedikit pun.
" Kau yang memintaku untuk bersikap kasar padamu! Makanya....jangan kurang ajar! "
" Ayah.... Kau benar-benar sudah gila."
" Kau dan ibumu yang gila! "
" Bukan kami? Tapi kau dan wanita itu yang gila! "
Hilang kesabaran, David memangkas jarak antara dirinya dan Ivy. Menarik paksa rambut anak gadisnya sendiri persis seperti yang sudah Ivy lakukan pada Stella-- wanita idaman lain yang dia miliki. Ivy meringis kesakitan. Menahan tangan ayahnya yang masih mencengkeram rambutnya dengan kekuatan penuh.
" Ayah lepaskan aku! "
" Tidak sebelum kau meminta maaf pada Stella! "
" CUKUP DAVID!!! "