" Ayah lepaskan aku! "
" Tidak sebelum kau meminta maaf pada Stella! "
" CUKUP DAVID!!! "
... Untouchable Man ...
Ivy POV
Suara teriakan ibuku melengking tinggi hingga perhatian ayah serta selingkuhannya teralihkan. Aku sangat berharap kalau ibu tidak terbangun di dinginnya dini hari yang menggigit seperti sekarang. Akan lebih baik bagi ibu, jika ibu tetap terlena dalam buaian sang mimpi, dari pada harus terbangun hanya untuk melihat kenyataan pahit bahwa suami yang dia cintai, begitu tega mengkhianati cintanya.
Aku ingin pergi memeluk ibu. Memberikan kekuatan padanya karena aku tahu, ibuku tidak akan mampu menghadapi situasi seperti ini sendirian. Namun keinginanku itu terhalang oleh cengkeraman tangan besar dan kasar milik ayah yang masih juga belum lepas dari rambutku. Aku merasa kesulitan sekaligus kesakitan meski sekedar untuk menoleh ke belakang.
Isakan pilu ibuku mulai terdengar. Begitu merana. Begitu menyayat hati hingga aku tak bisa memikirkan hal lain selain lepas dari cengkeraman tangan sialan ayahku sesegera mungkin, lalu menghamburkan diri pada wanita yang sudah melahirkanku dengan susah payah.
" Lepaskan aku! "
Aku terpaksa menendang lutut ayah sekuat tenaga. Hingga akhirnya aku bisa bebas dari tarikan menyakitkan yang mendera kulit kepalaku. Ayahku mengaduh. Kedua tangannya sibuk memegangi lututnya yang yang terkena tendangan, sambil terus mengumpatiku dengan berbagai macam sumpah serapah yang tak pantas diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya. Tapi aku tidak peduli! Sama sekali tidak peduli.
Andaikan aku bisa melakukan hal yang lebih menyakitkan dari sekedar menendang, akan aku lakukan sekarang juga demi membalas sakit hati yang aku dan ibu rasakan. Namun aku sadar. Aku kalah tenaga. Aku tidak bisa melawan ayah yang sedang kesetanan seperti orang gila hanya demi seorang wanita penggoda. Maka dari itu... tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku segera membalikkan tubuh lalu berlari memeluk ibu erat-erat.
" Ivy! Beraninya kau! "
Sorot mata ayah yang sedang menatap tajam ke arahku dipenuhi oleh kebencian. Bahkan dari sini aku masih bisa mendengar kembang kempis napas ayah yang sarat akan kemurkaan. Aku begitu takut hingga aku tak berani membalas tatapannya. Aku tahu ayah sudah berubah. Kehangatan yang dia miliki untuk kami terkikis seiring berjalannya waktu. Namun tetap saja. Aku tidak pernah menyangka kalau ayah akan setega ini pada kami.
Ayah terlihat ingin memburu kami. Seakan belum puas menyiksa batin kami dengan tingkah lakunya yang tak terpuji. Tatapan nyalangnya masih menyala. Merah dan garang. Ayah mulai melangkah gusar. Tetapi langsung terhenti saat Stella memeluk erat pinggangnya. Aku merasakan tubuh ibuku menegang. Tangannya terkepal kuat. Getaran yang terjadi di sana tak mampu ia tutup-tutupi. Aku mendongakkan kepala untuk melihat wajah ibu. Dahiku pun berkerut khawatir. Tidak pernah selama tujuh belas tahun hidupku, aku melihat ibu yang begitu hancur sampai tidak bisa berteriak ataupun marah.
" Bu... "
Panggilku dengan suara serak. Aku tidak sadar sejak kapan aku mulai menangis menemani duka yang ibuku rasakan. Aku mengarahkan pandanganku kepada ayah dan wanita simpanannya secara bergantian. Aku tumpahkan semua kebencian yang menggelora di dalam dadaku lewat sebuah tatapan. Andai saja aku memiliki sebuah kekuatan magis yang mampu membuat sebuah tatapan berubah menjadi sebuah pedang tajam mematikan, aku yakin mereka berdua akan tinggal nama hanya dalam hitungan detik.
Lihat ayah! Apa kau puas dengan luka yang kau hujamkan pada kami? Oh! Aku tahu jawabannya. Tentu saja kau tidak puas. Kau tidak akan pernah puas menyakiti kami, karena kau sudah buta sebab wanita idaman lain yang kau miliki.
... Untouchable Man ...
Belinda-- ibu dari Ivy hanya bisa menangis tersedu-sedu seolah dia kehilangan kemampuannya untuk bicara ataupun berpikir. Seluruh saraf ditubuhnya seakan tak mampu merespon dengan baik hingga dirinya tak bisa merasakan apapun selain rasa sakit. Setelah berlalu beberapa saat, Belinda mulai mengeluarkan suara meski harus bersusah payah.
" Teganya kau... "
" Teganya kau melakukan ini... "
Suara Belinda tertahan di tenggorokan sementara bulir kristal bening yang mengalir deras di kedua pipinya masih enggan untuk surut. Genggaman tangan Ivy semakin erat. Sengaja ingin memberitahu pada ibunya bahwa dia tak sendiri.
" Kenapa kau melakukan ini padaku David? Kenapa kau begitu tega padaku padahal aku..."
" Sudahlah. "
Tangan David mengibas jengah.
" Kau tidak perlu mendramatisir keadaan. Bersikaplah sewajarnya Belinda. Kau tidak bisa menyalahkan perbuatanku. Silahkan berkaca dan lihat sendiri apa kekurangan yang ada pada dirimu hingga aku akhirnya berpaling pada wanita lain. "
David menyeringai licik sebelum menarik pinggang Stella merapat padanya. Nuraninya telah pergi hingga David sama sekali tak merasa berdosa, atas pengkhianatan yang telah dia lakukan kepada seorang wanita yang sudah menemaninya selama dua puluh tahun. Belinda terhuyung. Nyaris jatuh jika saja tangan Ivy tak segera menahannya.
" Ayah cukup! Apa kau sedang kerasukan iblis sampai lidahmu tega mengatakan hal seperti tadi? "
" Satu lagi yang tidak aku suka darimu Belinda. Lihat! "
David menunjuk Ivy dengan dagunya.
" Bagaimana caramu mendidiknya hingga dia jadi kurang ajar seperti itu?! "
" Untuk apa aku bersikap manis pada ayah sepertimu! "
David menggeram seiring wajahnya yang memerah marah.
" Anak ini memang harus diberi pelajaran! "
David merangsek maju dengan tangan terangkat tinggi. Belinda mengeratkan dekapannya pada Ivy. Menyurukkan wajah anaknya ke dada sebagai tempat perlindungan. Belum lagi David sampai ke tempat mereka, Stella menarik lengan David sambil berseru.
" Jangan, Sayang. Bagaimanapun Ivy adalah darah dagingmu. Kau sudah memberi pelajaran padanya tadi. Aku rasa itu sudah cukup. Benar kan Ivy? "
Kerlingan memuakkan yang disertai senyum licik di wajah cantik namun bengis milik Stella, hadir menyiksa mata Ivy dan Belinda. Berlagak sok baik di situasi buruk yang disebabkan oleh kehadirannya. Cih! Sangat menjijikkan! Stella mendekatkan dadanya hingga menempel di dada David. Ikut mendaratkan tangannya di sana lalu mengusapnya penuh kelembutan, seolah ingin menenangkan gemuruh amarah yang sedang berkobar hebat.
" Sudah David. Masalah ini jangan dibesar-besarkan. Bukankah lebih baik kita beristirahat? Hari masih gelap dan malam masih dingin. Kita bisa saling menghangatkan satu sama lain sebelum fajar menyingsing. Bukankah itu lebih menyenangkan dari pada meneruskan perdebatan ini? "
David tersenyum miring. Mengangkat dagu Stella kemudian mengecup bibir merahnya sekilas.
" Kau benar Stella. Lebih baik kita segera memanfaatkan waktu untuk bersenang-senang. Ayo, Sayang. "
David melingkarkan tangannya di pinggul Stella. Mendorongnya agar Stella berjalan beriringan dengannya menuju kamar. Darah Ivy mendidih. Amarahnya meletup-letup bagaikan letusan gunung berapi yang siap melahap apa saja dengan lahar merah membara yang ia miliki. Ivy baru melangkahkan kakinya beberapa kali berniat untuk mencabik-cabik Stella. Namun dirinya langsung terhenti di langkah berikutnya ketika Belinda menahan tangannya.
" Ibu.... Aku tidak bisa menerima perlakuan ayah terhadap kita. Aku harus membunuh wanita sialan itu. "
" Ibu tidak mau ayahmu membunuhmu. Sudah cukup ibu kehilangan ayahmu. Ibu tidak bisa kehilanganmu juga. "
" Lalu? Apa Ibu akan diam saja melihat ayah berselingkuh? Bahkan dia berani membawa selingkuhannya ke rumah! "
Belinda terdiam sejenak seolah sedang menyerap perkataan anaknya. Wanita berwajah muram itu menatap Ivy dengan tatapan kosong selama beberapa detik. Berbalik badan lalu berjalan menuju ke kamarnya sendiri. Langkahnya sama sekali tak bersemangat. Bagaikan seseorang yang sudah kehilangan asa untuk hidup.
Melihat ibunya seperti itu, dentam jantung Ivy terasa semakin menyakitkan. Sakitnya tak terperi seolah-olah seseorang sudah mencabiknya berkali-kali lalu menyiramkan air garam ke atas lukanya. Terus seperti itu tanpa perasaan. Dan sialnya, Ivy tidak berdaya untuk mencegahnya ataupun melawan.