" Leo... "
" Aku merindukanmu... "
" Sangat merindukanmu... "
Suaranya serak, tersendat, pilu, dan bergetar.
Emosi tak terjabarkan membanjiri setiap sel di tubuh Ivy, saat pertemuan menakjubkan dengan seseorang yang sudah lama ia tunggu-tunggu akhirnya terjadi. Rasanya... Ivy hampir tersedak oleh rasa gembira sekaligus sedih, akibat euforia yang menggulungnya tanpa ampun. Orang yang Ivy rindukan begitu dekat. Bisa dipandang. Bisa disentuh. Dia begitu nyata dan ada di depan mata. Tak sekedar hidup dalam kenangan seperti yang sudah-sudah.
Kerinduan yang begitu menggebu, membuat rongga dadanya terasa penuh sesak, hingga Ivy mengira sebentar lagi dia akan meledak. Ivy butuh banyak kekuatan untuk mengungkapkan apa yang terendap jauh di palung hatinya. Sesuatu yang tak mampu Ivy utarakan pada Lucas menggunakan rangkaian kalimat yang mudah dicerna.
Pikiran Ivy sekarang, seluruhnya dipenuhi oleh kenangan-kenangan yang hanya bisa diingat oleh dirinya seorang. Dalam tetes air matanya yang bergulir, Ivy tersenyum miris. Ivy tak mampu melakukan apa-apa untuk menahan semua gejolak yang kian hebat mendera, selain dengan menangis. Terisak dan merana sendirian di dalam pelukan seseorang yang menganggap dirinya asing.
Kedua alis Lucas nyaris menyatu ketika lilitan tangan Ivy yang melingkari pinggangnya semakin erat. Punggung kemejanya basah oleh lelehan air mata yang Ivy tumpahkan di sana. Tak hanya itu, makin lama tangisan Ivy semakin pilu dan menyayat hati, hingga mengundang perhatian orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka.
Apa yang Ivy lakukan pada Lucas, tak ayal membuat siswa-siswi lain yang tadinya hanya sekedar lewat, langsung menghentikan langkah mereka dengan fokusĀ tertuju pada sepasang murid yang tampak mesra.
Tak mau berlarut-larut dalam situasi yang membingungkan dan membuat jengah, Lucas segera menghempas kasar tautan tangan Ivy. Berbalik dengan kecepatan kilat, kemudian mencengkeram keras pergelangan tangannya. Apa yang dilakukan Lucas menyakitinya. Namun, tak ada satu pun rintih kesakitan terlontar dari bibir merah muda milik Ivy.
Lucas tercenung di tempatnya berdiri. Sesaat tak bisa berkutik, saat iris coklat Ivy memandangnya lekat. Lewat mata sendu gadis asing di hadapannya, Lucas seolah mampu melihat sosok jiwa yang selalu dikuasai kerinduan menyedihkan. Lelaki itu terus menatap Ivy, meski otaknya mati-matian memerintahkan agar dia segera berlari menjauhi gadis itu. Lucas seakan sedang menyelami hal paling rumit yang pernah ia temui di muka bumi, saat wajah Ivy memenuhi pandangannya.
Normalnya, Lucas akan mendorong gadis itu tanpa ragu, lalu menghadiahkan tatapan tajam menusuk pada orang yang telah begitu berani memeluknya tanpa izin. Tetapi yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Segala normal yang lumrah dilakukan oleh Lucas, terhempaskan begitu saja oleh sebab yang tak dimengerti Lucas. Degup jantung yang merindu dari Ivy, seolah memanggilnya untuk mendekat dan menerima. Memaksa Lucas menyerap semua gejolak jiwa, yang disalurkan oleh Ivy hingga ke tulang sum-sum, tanpa pemberontakan yang berarti.
Ivy maupun Lucas, seolah berada dalam kendali sihir. Terhipnotis oleh suasana yang melingkupi mereka, sampai mengaburkan fakta bahwa mereka sedang menjadi bahan tontonan murid-murid yang sibuk memperhatikan sambil berbisik-bisik penuh goda ataupun cemooh.
" Apa yang kau lakukan? " Geram Lucas setelah beberapa saat.
" Leo... "
" Aku bukan Leo! Berhenti memanggilku Leo."
Suara Lucas yang setajam lecutan pecut, membuat Ivy terlonjak. Ivy tahu kalau dia sudah membuat Lucas kaget oleh tingkah lakunya. Ivy tahu Lucas marah. Tapi itu semua tak mampu menyurutkan keinginan Ivy untuk tetap berdiri di depan Lucas, meski dia harus rela dianugerahi tatapan benci. Ivy memaksa senyum kemudian menggeleng pelan.
" Leo.... Bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja kan? "
Ivy perlahan mengulurkan tangannya yang bebas ke wajah Lucas. Gadis itu ingin sekali menangkup wajah Lucas yang tampan, lalu mendaratkan kecupan sayang di pipi dan kening lelaki itu seperti dulu. Tapi oleh Lucas, tangan kurus itu kembali ditangkap untuk ditepis. Penolakan yang membuat denyut nyeri timbul di dada Ivy, namun tidak menimbulkan benci.
" Aku baik-baik saja atau tidak, sama sekali bukan urusanmu. "
Lucas melepaskan cekalan tangannya di tangan Ivy. Membenarkan letak tas punggung yang ia sampirkan di salah satu bahu, sambil melontarkan tatapan mencemooh.
" Dan sekali lagi aku ingatkan padamu, jangan pernah memanggilku Leo karena aku bukan Leo. Jika tidak... "
" Tidak! Kau Leo. Kau adalah Leoku. Hanya saja kau tidak ingat siapa dirimu. Aku sangat bisa merasakan jika kau adalah Leo. Ingatan serta perasaan yang aku miliki, tidak mungkin salah mengenal. " Ivy menyanggah perkataan Lucas.
" Benarkah? " Lucas tersenyum miring, sebelum ekspresinya berubah keras.
" Sekarang aku benar-benar yakin, ada yang salah dengan otakmu. "
Malas meladeni gadis yang dia anggap gila lebih lama lagi, Lucas sigap memutar tubuhnya. Baginya, pergi ke kelas jauh lebih baik dari pada terus menjadi bahan olok-olok murid lain yang menganggap mereka aneh. Langkah besar yang tergesa mulai tercipta hingga jarak di antara mereka semakin membentang. Ivy tidak rela jika perpisahan kembali tercipta di antara mereka setelah pertemuan. Karena kepergian Lucas, membuat Ivy kehilangan pijakan yang baru saja ia temukan.
Gadis itu masih ingin memandang Lucas sepuas hatinya. Mendekapnya erat seperti yang selalu Ivy lakukan dulu. Ivy ingin mengetahui seluk beluk kehidupan yang Lucas jalani tanpanya. Sekecil apapun hal yang menyangkut Lucas, Ivy begitu haus ingin meneguknya hingga tandas. Ivy tidak mau menanggung rindu ini lebih lama lagi sendirian. Hal itulah yang memicu Ivy kembali mengejar Lucas, tak peduli dengan penolakan lain yang akan terjadi padanya nanti.
" Leo tunggu. Leo! Arrgh!!! "
Tangan Ivy hampir saja menggapai punggung Lucas, jika saja dentaman menyakitkan dan menyiksa yang ia rasakan di kepala, tidak datang memukulnya secara tiba-tiba. Jeritan Ivy dianggap Lucas sebagai angin lalu. Hanya sekedar mencari sensasi agar mendapat perhatian. Lelaki itu pun kembali berjalan cepat setelah sempat berhenti sebelumnya. Memilih tak peduli meski Ivy terus merintih kesakitan.
Di tengah hantaman yang menyiksa kepalanya, Ivy tetap berusaha berjalan. Namun lama kelamaan, sakit yang ia rasakan malah semakin menjalar. Jantungnya tak lagi mampu bertahan dari irama liarnya sendiri. Ivy menghirup dalam-dalam oksigen yang ada di sekitarnya. Tapi tetap saja, ia seperti tidak bisa mendapatkan cukup banyak udara, hingga paru-parunya berdenyut menyakitkan. Kabut tebal bergulung menyelimuti pandangannya. Mengaburkan suara, dan Ivy langsung terbenam oleh kegelapan tanpa dasar.