Tak lama setelah ibunya pergi, Ivy pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Ada sesuatu yang membuat Ivy menghentikan langkah, saat gadis itu melewati kamar yang Ivy tahu, sedang dihuni oleh ayahnya bersama wanita simpanan yang dia bawa. Ivy menoleh ke arah samping menatap tajam pintu yang terkunci.
Berhenti bernapas sesaat, setelah suara desahan manja yang disertai erangan tertahan, menjamah gendang telinganya. Ivy menutup kedua telinganya rapat-rapat. Menggeleng penuh kebencian seiring deru napas yang memburu. Tangan Ivy jatuh cepat ke sisi tubuh. Melangkah gesit ke arah dapur, lalu memecahkan beberapa piring dan gelas hingga menjadi pecahan-pecahan kecil. Sigap, Ivy mengumpulkan pecahan-pecahan kaca yang baru saja ia ciptakan.
" Mungkin ibu bisa diam melihat sikap bejat ayah. Tapi aku tidak. Ayah... aku berharap suatu hari nanti, aku bisa melihatmu lenyap bersama selingkuhanmu di depan mataku. "
Ivy tersenyum miring. Kembali menuju kamar yang dihuni ayahnya, lalu berdiri mematung di depan pintu. Nyanyian erotis yang berasal dari dalam kamar terdengar heboh dan panas. Ivy tersenyum jijik, melirik sekilas ke arah pengki berisi beling yang sedang ia pegang.
Mereka yang di dalam sedang sibuk berdansa dengan gulungan birahi. Saling mengejar, bertaut, maupun membalas, agar pelepasan penuh sensasi yang mereka cari segera mereka capai. Mereka tidak akan peduli dengan suara pecahan kaca yang tercipta sebab ledakan emosi. Karena yang terpenting bagi mereka sekarang adalah kesenangan mereka sendiri. Bukan jeritan patah hati dari hati yang tersakiti.
Ivy berjongkok kemudian menabur serpihan-serpihan tajam itu di depan pintu bagakan sedang memasang ranjau untuk menjebak musuh.
" Jika kalian mendapat luka dari serpihan kaca ini, ketahuilah... apa yang aku dan ibuku rasakan, sakitnya jauh lebih hebat dari apa yang kalian rasakan. "
... Untouchable Man ...
Pagi-pagi sekali sebelum semua penghuni rumah bangun, Ivy sudah lebih dulu pergi dari rumahnya. Dia terlihat seperti anak kelewat rajin yang rindunya terhadap sekolah sangat menggebu-gebu. Hingga dia rela bersiap diri untuk berangkat ke sekolah, ketika kondisi alam masih berada dalam spectrum biru muda. Padahal jam pelajaran baru akan dimulai sekitar jam delapan pagi.
Ivy berjalan santai sambil menghirup udara segar yang belum terkontaminasi oleh asap kendaraan. Berterima kasih pada alam dan udara, karena mereka sudah mengangkat sesak yang mengikat paru-parunya sejak tadi malam. Sedikit merasa lelah dan juga mengantuk, mendorong Ivy untuk menepi sejenak di sebuah mini market 24 jam.
Ivy duduk di depan mini market. Mendesah pelan dan panjang sambil menyandarkan punggungnya di bangku. Tadi malam dia sama sekali tidak bisa melanjutkan tidur. Baik itu karena mimpi buruk, maupun karena kejadian buruk yang dia alami. Setelah beberapa menit membiarkan matanya terpejam, gadis bersurai kecoklatan itu merogoh saku jas almamaternya.
" Syukurlah aku masih memegang uang. "
Digenggamnya kuat-kuat beberapa uang lembar beserta koin yang ia dapat dari dalam rok yang ia pakai. Berdiri, kemudian masuk ke dalam mini market, untuk membeli satu cup mie instan, nasi kepal berbalut nori, dan juga air mineral. Ivy merasakan tatapan heran penuh minat bertanya dari kasir pria yang tengah melayaninya.
" Terima kasih. Pagi sekali Nona... "
Sementara si kasir ragu untuk kembali meneruskan pertanyaan, Ivy menatap sayu dengan senyum simpul ke arah pria itu.
" Berangkat ke sekolah. "
" Iya. Ada tugas tambahan. Makanya berangkat pagi. "
" Kalau begitu... selamat belajar ya. "
" Terima kasih. "
Ivy mengangguk sopan lalu keluar dari mini market setelah menyeduh mie instan yang baru dia beli. Ketika langit berwarna biru diselingi oleh warna jingga yang dihasilkan oleh sinar mentari muncul, barulah Ivy meninggalkan tempat dia berada sekarang menuju halte yang terletak tak jauh dari sana. Ini sudah tidak terlalu pagi. Bis pertama yang melewati sekolahnya pun sudah datang, hingga Ivy tak lagi khawatir gerbang sekolah masih dikunci saat dia sampai di sana.
... Untouchable Man ...
Ivy sedang asyik membaca buku saat Fenrir sahabatnya, tiba-tiba hadir dengan tepukan keras di bahu. Ivy tersentak kaget. Menatap Fenrir dengan mata bulatnya yang membeliak lebar sambil mengelus dada.
" Isshh... kau ini. Membuatku kaget saja. "
Fenrir meringis tanpa dosa. Meletakkan tas gendongnya ke atas meja, lalu duduk di bangku kosong sebelah Ivy.
" Tumben kau sampai di sekolah lebih dulu daripada aku. "
" Karena aku sedang rajin. Makanya aku berangkat lebih awal. "
Jawab Ivy sekenanya tanpa melihat ke arah Fenrir.
" Vy. "
Panggil Fenrir lembut sambil mendorong lembut bahu Ivy hingga sahabatnya menoleh ke arahnya.
" Matamu sembab? Kenapa? Habis menangis semalaman ya? "
Mata Fenrir menyipit penuh selidik, sedangkan Ivy membalas tatapannya dengan pandangan tak fokus.
" Itu karena aku bermimpi buruk. Ditambah lagi... aku tidak bisa tidur nyenyak tadi malam. Jadi mataku sedikit bengkak. "
" Yakin? " Nada suara Fenrir ragu.
Senyum muncul di wajah Ivy sebelum mengangguk membenarkan perkataannya sendiri. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, saat Fenrir hanya diam seribu bahasa dengan pandangan tak lepas dari wajah cantik sahabatnya yang tampak lelah. Ketenangan gadis itu, membuat Fenrir mengembuskan napas lega.
Namun dibalik semua ketenangan yang terlihat, jika ditelisik lebih jauh, ada sesuatu yang mengganggu di mata coklat gelap milik gadis itu. Semacam gejolak tanpa suara yang mengisyaratkan rasa tertekan juga kesedihan yang tak bisa dia ungkapkan, termasuk kepada sahabatnya sendiri.
" Ivy, kau sudah mengerjakan tugas rumah? "
" Sudah. Kenapa? Kau pasti belum, ya? "
" Ah! Seratus untuk tebakanmu! "
Fenrir tersenyum gembira sambil bertepuk tangan seolah-olah sahabatnya baru saja memenangkan sebuah jackpot. Ivy memutar bola matanya malas. Memiringkan tubuhnya untuk mengambil sebuah buku bersampul coklat dari dalam tas, kemudian memberikannya kepada Fenrir.
" Ini. Aku tahu apa yang selanjutnya akan kau minta padaku. "
" Waaaahh.... Kau memang temanku yang paling baik. "
Fenrir langsung menyambar buku tugas yang ada di tangan Ivy. Sibuk menyalin pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru pelajaran pertama secepat mungkin. Ivy menopang pipinya dengan salah satu tangan. Melirik ke arah Fenrir seraya menggeleng perlahan. Ternyata pekerjaan rumah yang belum selesai dikerjakan, menjadi hal yang memicu sahabatnya untuk datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya.
Berbeda dengan Ivy yang berangkat lebih awal, karena ingin kabur dari rumah yang lebih mirip seperti neraka dunia. Senyum yang mengandung kegetiran timbul ketika Ivy menunduk menatap meja. Bulir air matanya mulai menggenang, saat memori sialan yang memutar kejadian perselingkuhan ayahnya, terputar begitu saja di kepala. Ivy berdiri dari duduknya. Gerakannya cepat, sedikit tergesa. Membuat atensi Fenrir yang tadinya fokus pada tugas, jadi beralih memandang Ivy dengan tatapan bingung.
" Aku mau ke toilet dulu. " Ivy lebih dulu menjelaskan sebelum sahabatnya sempat bertanya, " ada apa, " padanya.
" Oke. " Jawab Fenrir singkat kemudian kembali fokus pada kegiatannya sendiri.
... Untouchable Man ...
Ivy berjalan santai di koridor lantai dua gedung sekolahnya. Pandangan Ivy lurus ke depan, namun sebenarnya tidak benar-benar sedang fokus melihat jalan. Pikirannya sibuk berkelana. Banyak pertanyaan yang singgah di otaknya seiring kakinya melangkah. Tentang bagaimana keadaan ibunya hari ini. Bagaimana reaksi ayah padanya saat dia pulang ke rumah nanti. Ivy pun penasaran tentang ranjau yang entah berhasil mengenai target atau tidak.
Ivy tersenyum miris. Gadis itu tahu apa yang akan ayahnya lakukan padanya, jika sampai jebakan yang dia pasang mampu melukai ayah atau si wanita simpanan. Dihajar habis-habisan sampai diusir dari rumah. Itulah dua kemungkinan besar yang akan terjadi setelah dia pulang ke rumah. Gadis bersurai hitam panjang itu mengusap tengkuknya, menunduk, dan menghela napas panjang. Rasanya... dia ingin kabur saja. Tapi... kemana? Di tengah kekalutan yang menggayuti Ivy. Tiba-tiba...
Bugh!
" Aduh! " Ivy sedikit memekik.
Seseorang menabrak bahu mungil Ivy dari arah yang berlawanan, hingga Ivy nyaris jatuh jika saja gadis itu tak mampu mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Ivy mendongak. Bibirnya bersiap diri untuk melontarkan kata maaf pada seseorang yang tak sengaja bertabrakan dengannya. Tapi sayangnya, suara Ivy tertahan. Satu kata pun tak mampu ia keluarkan, saat kedua matanya bersirobok dengan mata elang yang tengah menatapnya tajam.