Semua panik saat melihat Hanum mual-mual. Aida berlari mengikuti madunya. Wanita yang sudah menganggap Hanum sebagai adiknya itu memijit tengkuk Hanum dengan lembut. Wahyu datang kemudian dan juga terlihat panik.
"Hanum kenapa, Mi?" tanya Wahyu pada Aida.
"Mungkin masuk angin, Bi. Kemarin kan dia sibuk seharian. Mungkin lupa makan juga.
"Udah mbak. Makasih." ucap Hanum menyuruh Aida menghentikan pijatannya. Dia mengelap mulutnya dan sebelah tangannya memegang perut yang terasa sangat mual.
"Kamu baik-baik saja, Dek?"
"Mas, kamu habis makan apa sih? kenapa bau mulutnya mas bau sekali?"
"Masa sih? Hah.." Wahyu menghembuskan nafas dari mulutnya.
"Mbak Aida, aku istirahat dulu ya mbak."
"Iya Num, aku antar ya." Hanum mengangguk. Entah kenapa Hanum jadi enggan berdekatan dengan Wahyu.
"Umi Hanum kenapa?" Mahira tergopoh-gopoh menghampiri ibunya.
"Mungkin hanya masuk angin, Hir. Umi ke kamar dulu ya." Pamit Hanum pada Mahira. Gadis itu tampak khawatir dengan Uminya. Baru saja digandeng Aida, Hanum kembali merasakan mual lagi.
"Hoek Hoek.." Beberapa kali Hanum memuntahkan cairan.
"Aku telpon dokter Laila dulu saja ya," ucap Wahyu pada Aida.
"Iya Bi. Cepetan. Hanum bisa kehabisan cairan kalo muntah terus." titah Aida.
Wahyu merogoh ponselnya, menghubungi dokter keluarga untuk datang. Dia juga masih memikirkan tamu yang masih ada di luar juga. Tapi sekarang istrinya jauh lebih penting.
Hanum tampak lebih nyaman. Dia dipapah Aida masuk ke dalam kamar. Di sana Hanum direbahkan. Mala justru Aida yang dengan telaten mengurusi Hanum. Mereka berdua memang tidak pernah seperti madu. Malah lebih seperti kakak beradik. Saling membantu satu sama lain. Meski anak-anak Aida tidak ada yang suka pada Hanum.
"Mbak, aku kayaknya telat datang bulan deh." Hanum curhat pada Aida saat mereka berdua di dalam kamar.
"Apa jangan-jangan kamu hamil, Num?" Aida duduk di samping Hanum.
"Masa seumuran aku masih bisa hamil mb?"
"Jangan salah, kalo kamu masih haid, berarti masih bisa punya anak, Num. Kecuali kalau udah menopause kayak aku. Apalagi selama ini Mas Wahyu belum punya anak dari kamu. Kalau memang benar, ini adalah jawaban doa kalian."
"Malu sama anak-anak ah mb. Masa seumuranku hamil lagi?"
"Udah ga usah dipikirin. Malah bagus kamu punya anak lagi."
"Assalamualaikum." sapa Wahyu yang datang bersama dokter Laila.
"Waalaikumsalam. Eh dokter silakan masuk Dok," ucap Aida.
"Bagaimana Umi Hanum? apa yang Umi rasakan?" Laila terbiasa memanggil Hanum atau Aida dengan sebutan Umi.
"Tadi saya mual-mual, Dok. Dan sedikit pusing."
"Umi masih datang bulan?" Wahyu yang berdiri di dekat dokter Laila tampak mengernyitkan dahinya.
"Masih. Tapi dari bulan lalu saya memang belum datang bulan, Dok." Laila tersenyum.
"Coba di cek dulu ya, Umi. Barangkali Mahira mau punya adik."
"Iya Dok." Hanum menerima testpack dari dokter laila. Dia lalu mengeceknya di kamar mandi. Lima menit kemudian, dia keluar dari kamar mandi dengan memegang benda panjang pipih kecil di tangannya.
"Bagaimana, Dek?" Tanya Wahyu penasaran.
"Ini Dok, Hanum menyerahkan testpack itu pada Laila.
"Alhamdulillah, Selamat Abi Wahyu, Umi Hanum hamil."
"Alhamdulillah." Wahyu sangat senang sekali. Di usia yang tidak lagi muda, akhirnya Allah kabulkan doanya memiliki anak lagi.
"Tapi nanti dicek lagi di rumah sakit ya. Biar bisa di USG."
"Iya Dok, terimakasih." Wahyu langsung menghampiri Hanum. Sedangkan Aida mengantar dokter Laila pulang.
"Alhamdulillah.. akhirnya kamu hamil, Dek. Terimakasih." Wahyu mencium kening Hanum berulang kali.
"Mas, aku malu. Sudah tua hamil."
"Ngapain malu. Kan hamil juga ada suaminya. Ga usah malu ya. Dijaga kandungannya. Mahira pasti senang mau punya adek lagi."
"Apa ga malu nanti usia anak kita, sama dengan usia anak Mahira. Kalau mereka langsung dikaruniai momongan."
"Tidak apa-apa malah nanti mereka bisa bermain bersama."
**
Setelah mengetahui kondisi Uminya yang ternyata hamil lagi, Mahira dan Edo merasa lega dan senang. Kehamilan Hanum disambut gembira oleh anak-anak mereka. Mereka juga menguatkan Hanum kalau mereka tidak malu punya adik lagi.
Setelah acara itu, Semua tamu meninggalkan rumah Wahyu bergantian. Terakhir Edo dan neneknya yang harus pulang. Dan lusa akan ada acara resepsi pernikahan Aydin dan Mahira.
Untuk pertama kali, Mahira dan Aydin kini berada dalam satu kamar. Kamar yang sudah ditata dengan dekorasi khas pengantin baru.
Lama mereka saling diam di kamar. Bingung harus bicara dari mana dan bicara tentang apa? bisa dibilang ini adalah kali pertama mereka akan tidur bersama.
"Kamu mau begitu terus, Hira?"
"Maksud Abang?"
"Pakaianmu tidak ingin kamu lepas? make up mu juga. Apa tidak mau dibersihkan? abang bantu ya."
"Eh.. ga ga.. Aku bisa sendiri Bang. Ga perlu dibantu." Dress putih panjang bak seorang putri itu membuat Mahira kegerahan. Dia ingin melepas pakaiannya, tapi malu dengan Aydin.
"Kenapa? koq cuma berdiri di situ?"
"Abang bisa keluar dulu ga?Aku mau melepas bajuku," Ucap Mahira malu-malu.
"Kenapa harus malu? aku kan sudah sah jadi suamimu. Masa tidak boleh lihat aurat istrinya sendiri." Aydin mengedipkan sebelah matanya menggoda Mahira.
"Tapi aku masih malu, Bang."
"Ya sudah aku tutup pake bantal. Aku ga mau keluar. Nanti dikira kita berantem lagi." Aydin terkekeh.
"Ih.. abang ngeselin banget sih."
"Nih udah aku tutup nih." Aydin merebahkan tubuhnya di atas ranjang, lalu menutup wajahnya dengan bantal.
Mahira berdiri di pojokan dekat lemari pakaian. Dia bersembunyi. Pertama dia buka hijab instannya dulu lalu setelahnya membuka pakaiannya perlahan.
"Aduuh.." Sial bagi Mahira karena rambutnya tersangkut di resleting baju.
"Ada apa Hira?" Spontan Aydin membuka bantalnya dan melihat Mahira yang mengaduh kesakitan. Dia berdiri menghampiri istrinya.
"Abang tolong bantuin lepas. Sakit nih."
"Lagian kamu sih. Dibantuin ga mau." Aydin melepaskan rambut Mahira pelan-pelan dari selipan resleting. Agak susah karena sudah terlilit. Pelan-pelan akhirnya terlepas. Aydin langsung menarik resleting baju itu ke bawah. Sekarang terpampang jelas kulit punggung Mahira yang putih. Dan yang membuat Aydin menelan ludah adalah tali bra milik Mahira yang terlihat dengan jelas. Aydin mengambil baju di lemari pakaian Mahira asal. Dia memilih baju tidur tanpa lengan untuk Mahira. Karena dia tahu, Mahira sepertinya kegerahan.
"Bang, jangan macem-macem ya."
"Macem-macem juga gapapa, Hira. Kamu kan sudah jadi istriku."
"Abang.. aku belum siap." Mahira melepas dressnya saat Aydin menyerahkan baju ganti untuknya. Lagi-lagi Aydin harus menelan ludah. Kali ini juga ada yang sedang berdiri di bawah sana. Saat Mahira melepaskan semua bajunya. Hanya tinggal pakaian dalam yang tersisa. Aydin membalikkan badannya. Dia tahu belum waktunya dia melakukan itu sekarang. Mahira dengan cepat mengganti pakaiannya. Baju tidur tanpa lengan itu tampak pas di badannya. Dia lalu ke meja riasnya. Membersihkan make up yang sedari tadi sudah menyiksanya.
"Mahira, kamu sudah ikhlas kan menjadi istriku?" ucap Aydin yang lagi-lagi memeluknya dari belakang. Mereka berdua bisa melihat bayangan mereka di cermin.
"Kalau aku tidak ikhlas, memangnya bisa pernikahan ini dibatalkan?"
"Tidak akan aku biarkan." Aydin mengecup rambut Mahira yang mengeluarkan wangi bunga mawar.
"Maksa."
"Biarin.. kalau ga dipaksa, kamu pasti ga akan mau nikah sama aku." Aydi membalikkan tubuh Mahira saat Mahira telah selesai membersihkan make up nya.
Aydin mencium bibir Mahira dengan lembut. Ada sedikit penolakan pada awalnya. Tapi setelahnya Mahira pasrah. Karena tenaga Aydin lebih besar.