Chereads / CALON IMAM PILIHAN ABI (END) / Chapter 46 - MENGANTAR PULANG

Chapter 46 - MENGANTAR PULANG

Setelah acara Walimatul Ursy selesai, Hanum meminta Edo untuk tinggal di rumahnya bersama nenek Nuriyah. Karena sudah terlalu malam jika mereka di biarkan pulang ke rumah Nuriyah. Ada beberapa kamar yang kosong di rumah Wahyu yang bisa dipakai. Kata Wahyu ini permintaan ibunya yang ngidam, jadi mau tidak mau Edo harus menuruti kemauan ibunya yang kini dipanggil dengan sebutan Umi.

"Abang, bisa tidak anterin Anisa pulang? kasihan dia sendirian malam-malam begini," ucap Mahira saat mereka semua bersiap untuk pulang ke rumah. Mahira yang memang sengaja memberi kesempatan pada Edo dan Anisa untuk berdua.

"Jangan berdua saja dong, Minta tolong pak sopir untuk mengantarkan mereka saja." Aydin mengingatkan Mahira. Karena Edo dan Anisa bukan mahrom

"Ya kalau begitu mendingan Anisa diantar sama sopir saja.," ucap Anisa. Padahal dia ingin memancing Edo apakah mau berkorban atau tidak.

"Jangan-jangan, Nis. Bang Edo, tega ya Annisa dibiarin berdua saja sama Pak sopir. Emangnya Abang nggak cemburu Anisa diantar sama sopir?" Semua yang ada di sana menoleh ke arah Edo dan Anisa. Terutama Wahyu dan Hanum yang senyum-senyum melihat mereka berdua.

"Kita kan ga ada hubungan apa-apa, Hir" Anisa membela diri. Edo yang berada di sebelahnya hanya diam saja.

"Alah jangan bohong. Dari tadi kita lihat dari atas, kalian berduaan terus deh. Cie cie." Mahira sengaja menggoda Edo dan Anisa.

"Apaan sih, Hir, mulai deh bikin ulah." Annisa mencubit lengan Mahira.

Edo yang tadi hanya diam, lama-lama memikirkan perkataan Mahira. Bukankah tadi ia berniat untuk belajar mencintai Anisa? Kenapa tidak, dia menggunakan kesempatan ini untuk mendekati gadis itu. Dengan begitu dia juga tahu di mana rumah anisa.

"Baiklah kalau begitu Biar aku saja yang ngantar." ucapan Edo membuat lega banyak orang. Terutama Mahira.

"Nah gitu dong bang. Kalau abang yang nganterin Anisa, aku jadi lebih tenang. Tolong Dijagain ya, Bang. Ini sahabatku satu-satunya. Langka soalnya. Enggak ada stok orang kayak dia. Kalau ada apa-apa abang yang harus tanggung jawab ya." Mahira memang berusaha untuk biasa pada Edo. Bagaimanapun juga lelaki itu sekarang statusnya adalah seorang kakak kandung.

"Ya sudah abang sama Anisa berangkat dulu ya." ucap Edo pada Mahira. "Abi, Umi Edo mau mengantar Anisa dulu ya." Pamit Edo pada Wahyu dan Hanum. Anisa terperangah mendengar Edo dengan sukarela mau mengantarnya.

"Iya, Nak. Hati-hati ya. Nanti Pak supir yang nganter." Ucap Wahyu. Dia jadi bertambah bahagia. Berharap Edo dan Anisa bisa berjodoh. Wahyu dan Hanum juga sudah tahu Anisa seperti apa.

Mereka semua masuk ke dalam mobil masing-masing. Untung saja masih ada mobil pengantin yang masih kosong. Jadi mobil Wahyu dan Hanum  bisa dipakai Edo untuk mengantar Anisa.

**

"Kenapa diam? ga suka ya aku anterin pulang?" Ucap Edo menoleh sekilas ke arah Anisa.

"Jangan-jangan abang yang keberatan nganterin aku pulang." Anisa cemberut memilih menikmati pemandangan malam dari balik jendela mobil.

"Siapa bilang terpaksa? aku senang." ucapan Edo membuat Anisa menoleh ke arahnya. Entah kenapa hati Anisa berbunga-bunga walau hanya mendengar kalau Edo senang menemaninya. Ingin sekali ia tersenyum. Tapi ia tahan dengan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.

"Kalau mau senyum, ya senyum aja. Ga usah di tahan." ucap Edo yang langsung membuat Anisa salah tingkah.

"Siapa juga yang senyum."

"Rumahmu masih jauh?"

"Lumayan, Bang."

"Kenapa ga bilang sama Pak Sopir? kamu sadar ga dari tadi mobilnya ga bergerak." Omongan Edo membuat Anisa merasa jadi orang bodoh. Anisa melihat ke sekelilingnya. Benar saja. Tenyata mobil masih di SPBU.

"Mbak Anisa dari tadi saya tanyain ga jawab sih." ujar Pak sopir yang mengantar mereka.

"Masa sih Pak? perasaan saya ga denger, bapak manggil-manggil saya."

"Mbak Anisa mikirin mas Idris kali." Pak sopir itu menggoda Anisa dan Edo.

"Dia lagi terpesona sama orang ganteng kayak saya Pak. Udah Pak ayo jalan. Kelamaan nungguin orang bengong."

"Ih.. abang.. ngeselin banget sih.. Uh.." Anisa cemberut. Gadis ini memang sebelas dua belas dengan Mahira. Sifat mereka hampir sama. Hanya wajahnya saja yang berbeda.

"Kalau kamu cemberut begitu, mirip ya sama Mahira. Adikku memang sama ngeselinnya kayak kamu."

"Emang kapan aku bikin abang kesel?

"Enggak pernah sih. Kamu beda. Kalo dulu Mahira sering bertengkar sama aku. Tapi kalau kamu selalu ada waktu aku aku sedang terpuruk. Makanya aku mau mencoba.." Edo tidak mau melanjutkan kalimatnya.

"Mencoba apa, Bang?" Anisa menelisik wajah Edo. Lelaki itu tak ada ekspresi apapun. Datar.

"Mencoba mencintai mbak Anisa kali." Pak sopir justru yang menjawab pertanyaan Anisa.

"Apaan sih Pak. Ga ada layangan putus, main sambung aja nih bapak." ucap Anisa kesal. Padahal dia berharap Edo melanjutkan kalimatnya dengan kata-kata romantis. Ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi.

"Rumahnya sebelah mana Mbak?" tanya Pak sopir saat mobilnya sudah sampai di pintu masuk perumahan.

"Lurus aja terus mb. Masih lumayan koq. Pertigaan kedua nanti belok kanan." Anisa memberi arahan pada Pak sopir. Tanpa dia sadari ada seseorang yang sedang menatapnya. Seseorang yang mungkin awalnya tidak punya rasa cinta padanya. Tapi kini dia sedang menumbuhkan perasaan itu.

"Udah nih mbak. Rumah nomor berapa? Blok B no.5 Pak. Cat warna biru."

"Nah udah sampai nih Mbak."

"Iya Pak. Makasih banyak ya Pak. Maaf sudah merepotkan."

"Santai saja mbak Anisa."

Anisa dan Edo turun bersamaan. Gadis itu bertatapan dengan Edo saat mereka keluar dari mobil.

"Makasih ya, Bang. Udah ngrepotin."

"Aku mau ketemu sama orangtuamu." ucap Edo tiba-tiba. Yang tentu saja membuat Anisa sport jantung.

"Eh mau ngapain, Bang?"

"Ya mau nganterin kamu. Dan menyerahkanmu langsung pada orangtuamu. Memangnya kamu mau, aku antar cuma sampai sini? Aku bisa dicincang sama Mahira, kalau tahu aku ga nganterin kamu sampai rumah.

"Oh ya sudah. Di rumah cuma ada ibu. Ayahku udah ga ada, Bang?"

"Meninggal?"

"Enggak.. pergi sama perempuan lain. waktu aku berumur lima belas tahun. Dan sejak saat itu, ibu mengurusku sendirian." Ucap Anisa sambil membuka pintu pagarnya. Rumah yang sangat sederhana. Anisa merasa perlu mengatakan itu, agar nanti Edo tidak menanyakan keberadaan ayahnya pada ibunya.

"Maaf ya.. jadi membuka luka lama." ucap Edo yang kini ikut masuk ke halaman rumah Anisa.

"Assalamualaikum.. tok tok tok!!"

"Ceklek.. Waalaikumsalam. Alhamdulillah kamu sudah pulang, Nak. Bunda khawatir sampai malam begini kamu pulangnya."

"Iya bun acaranya baru selesai jam sembilanan tadi. Bunda, kenalin ini Bang Edo. Abang kandungnya Mahira." Edo mengangguk

"Oh ini ya abangnya Mahira. Ibu sudah dengar cerita kalian dari Anisa. Mahira pasti senang sekarang punya kakak. Makasih ya, Nak. Sudah mengantar Anisa pulang."

"Sama-sama bu. Maaf ya bu kalau terlalu malam pulangnya. Makanya Mahira nyuruh saya nganterin Anisa sampai di rumah."

"Iya Nak, ayo masuk dulu. Ibu bikinin minum."

"Tidak usah repot-repot bu. Saya langsung pulang saja karena sudah malam." Sejak tinggal di pondok, Edo memang lebih santun. Bahkan dia sudah mulai meninggalkan kebiasaan memanggil Lo gue.

"Makasih ya, Bang."

"Sama-sama. Permisi.. Assalamualaikum. Edo mengangguk lalu langsung meninggalkan rumah Anisa.

"Ganteng ya? kamu ga naksir sama kakaknya Mahira?" ucap Ibunya Anisa saat mereka masuk ke dalam rumah.

"Ah Bunda ini. Sudah ya bun. Aku mau istirahat dulu." Dalam hati, Anisa berbunga-bunga karena mendapat perlakuan manis dari Edo.

*****

Yuk 100 komen untuk bab selanjutnya.