Mahira berderai airmata saat mendengar pembawa acara telah siap untuk memulai acara. Dia yang sekarang ditemani Umi Hanum, tak kuasa membendung lagi airmatanya. Mendadak dia ragu untuk melanjutkan pernikahan buta ini. Buta karena sampai detik ini dia tidak mau melihat wajah si calon suami. Bahkan tidak mau tahu tentang si calon suami yang bernama Aydin nanti. Dalam hitungan menit, dia akan sah menjadi istri dari Aydin.
"Udah donk sayang jangan nangis lagi. Umi sedih kalau kamu seperti ini." Hanum berusaha untuk menghibur Mahira.
"Umi, Mahira mundur saja ya. Bilang abi, Mahira mau batalin pernikahan ini, Mi. Mahira ga bisa berumah tangga dengan orang yang Mahira tidak cintai."
"Kamu jangan begitu, Nak. Kamu sudah sepakat dengan Abi untuk melangsungkan pernikahan ini, Nak. Abi akan sangat malu jika kamu membatalkan pernikahan ini, Nak. Percaya sama Umi. Kamu pasti bisa mencintai dia. Karena kamu memang sejak awal sudah mencintainya."
"Maksud Umi apa?" Mahira mengusap air matanya. Penata riasnya dibuat bingung dengan make up Mahira yang luntur karena airmata.
"Saudara Aydin Wira Althafurrahman bin Abdullah Fajar, saya nikahan anda dengan adik perempuan saya Ghaziya Mahira Kazhima binti Muchtar Fauzi dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan seperangkat perhiasan seberat seratus gram dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Ghaziya Mahira Kazhima binti Muchtar Fauzi dengan mas kawin tersebut tunai."
"Bagaimana para saksi?"
"Sah..."
Mahira dan Hanum mendengar dengan jelas proses ijab kabul dari pengeras suara. Mahira yang saat ini berada di lantai satu tidak jauh dari tempat berlangsungnya acara mendadak tak bisa berkata-kata. Bukan hanya dirinya yang telah sah menjadi istri orang. Tapi karena Mahira di sebutkan bukan binti Wahyu Nugraha Pambudi. Tapi Muchtar Fauzi. Lalu yang menikahkan bilang adik perempuan? berarti yang saat ini menjadi wali adalah kakak laki-lakinya? bukankah dia anak tunggal?
"Umi tolong jelaskan tentang semua ini Umi. Tolong jangan bohongi Mahira, Mi. Apa Mahira ini bukan anaknya Abi? Umi, tolong katakan pada Mahira, Mi. Kenapa aku tidak tahu apa-apa tentang semua ini?" Mahira terisak. Dia sangat berantakan saat ini.
"Umi akan jelaskan, Nak. Umi tidak bermaksud menutup-nutupin statusmu yang bukan anak kandung Abi Wahyu. Tapi bukankah selama ini dia selalu menyayangi seperti anak kandungnya sendiri?"
"Mahira tahu, Mi. Tapi kenapa selama ini kalian diam saja. Dan tidak pernah memberi tahu yang sebenarnya?"
"Maafkan kami, Mahira."
"Lalu itu siapa Mi yang jadi wali nikahku? kakakku siapa Mi?" Mahira menatap Uminya. Berharap dia mendapatkan jawaban atas semua ini.
"Dulu waktu kamu masih berusia empat tahun kurang, Ayah kandungmu yang bernama Muchtar meninggal dunia. Waktu itu Umi masih berusia 19 tahunan. Mau 20 kalau tidak salah. Karena Umi punya anak yang masih kecil-kecil, Umi akhirnya menikah lagi dengan Abi Wahyu sampai sekarang. Kakakmu yang bernama Idris, kabur dari rumah setelah Umi menikah. Kami sudah mencarinya kemana-mana, Nak. Karena kuasa Allah dua hari menjelang pernikahanmu, dia kembali lagi ke pondok pesantren milik nenekmu. Idris kembali, Nak. Umi sangat bahagia sekali saat melihat Idris yang sekarang tumbuh menjadi laki-laki yang tinggi, gagah, Nak. Dan Alhamdulillah dia kini bisa menjadi wali nikahmu."
"Subhanallah, Umi. Kenapa jadi begini? Aku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa, Mi. Kenapa aku tidak tahu tentang semua ini?" Mahira terisak.
Ceklek..
"Hanum, Mahira harus segera keluar. Dia harus menandatangani buku nikah," ucap Aida saat membuka pintu kamar. Aida heran melihat Hanum dan Mahira yang banjir airmata. "Mbak tolong rapikan make upnya Mahira." titah Aida pada penata rias.
Setelah dirapikan, Hanum dan Aida menggandeng Mahira keluar dari kamar. Mahira tampak kacau. Matanya masih terlihat sembab.
"Umi, aku mau ketemu bang Idris." ucap Mahira saat akan dibawa keluar menemui suaminya. Tapi fikiran Mahira hanya tertuju pada Kakaknya. Dia tidak memperdulikan lagi tentang suaminya.
"Iya, nanti kita cari Kakakmu ya."
"Bang... bang Idris.. " teriak Mahira dan membuat semua tamu menoleh ke arahnya. Mahira masih celingukan mencari kakaknya. Mahira melepaskan tangan Hanum dan Aida.
"Mahira, kamu harus tanda tangan dulu, Nak. Kamu jangan seperti ini." Hanum menangis melihat Mahira yang tampak kacau.
"Ga Mi. Aku tanda tangan nanti saja." Di ruangan itu nampak gaduh melihat sikap Mahira. Tak terkecuali Aydin yang sedari tadi hanya diam melihat Mahira.
"Biar Umi yang cari abangmu, Ya."
"Abi, bang Idris dimana? aku ingin menemuinya. Aku punya kakak kan Bi?"
"Iya, Ra. Sabar ya. Kita cari Idris."
"Bang.. bang Idris..."
"Coba panggil dengan nama Edo." celetuk Aydin. Namun Mahira tak mau menoleh ke arah Aydin. Lelaki itu merasa diabaikan. Tapi dia mencoba untuk dewasa menghadapinya
"Edo? abang.. Bang Edo.." teriak Mahira. Dia tahunya nama Edo itu banyak. Dan mungkin itu nama sehari-harinya. Mahira tak berfikir panjang. Dia melewati para tamu mencari keberadaan Edo.
"Mahira." Edo dan Anisa berdiri melihat Mahira yang tampak mencari-cari seseorang.
"Abang.. Bang Idris . Bang Edo."
"Mahira, kamu cari siapa?" Tanya Anisa. Mahira melihat sosok Edo yang berdiri di samping Anisa.
"Aku mencari kakakku. Aku ingin bertemu dengannya, Nis. Kamu melihatnya?" Anisa menoleh ke arah Edo.
Edo bukannya menjawab malah memeluk Mahira.
"Bang jangan seperti ini. Aku sudah punya suami Bang. Abang ngapai. peluk aku? lepasin bang."
"Aku tidak akan melepaskanmu Mahira. Orang yang kamu cari tadi, adalah yang sedang memelukmu saat ini."
"Bang.. kamu bohong Bang."
"Aku tidak bohong, Dek. Aku adalah Idris. Kakak kandungmu."
"Enggak bang.. Enggak mungkin.. Abang bohong." Mahira terisak di pelukan Edo. Tapi kemudian cengkraman Mahira tiba-tiba mengendur.
"Mahira.. bangun Mahira.. Dek.. bangun." Edo tampak sangat khawatir saat melihat adiknya pingsan. Dia menepuk nepuk pipi Mahira tapi adik perempuannya ini masih tak sadarkan diri. Edo spontan mengangkat tubuh Mahira lalu membopongnya masuk ke dalam. Semua tamu tampak terkejut dengan si mempelai perempuan yang jatuh pingsan.
"Idris, bawa Mahira ke kamar." titah Wahyu pada Edo.
"Iya Abi." Edo mengikuti Aida yang menjadi penunjuknya sedangkan Hanum juga merasa lemas melihat putrinya jatuh pingsan.
"Nak Aydin, susulah Idris ke kamar Mahira. Kita akan menjelaskan semuanya. Sepertinya dia sangat tertekan dengan semua kejadian hari ini," ucap Wahyu pada Aydin.
"Iya Abi." Aydin ragu melangkah. Meski ia sudah tahu kalau Edo adalah kakak kandung Mahira, tapi masih ada rasa cemburu ketika melihat Edo membopong Mahira seperti tadi. Tapi kesalahpahaman ini memang harus segera diselesaikan.
Wahyu, Aydin dan Hanum menyusul Edo di kamar Mahira. Gadis itu kini terbaring di tempat tidur. Si penata rias dan Aida melepaskan jilbab yang dan aksesoris yang menempel di kepalanya. Agar nafasnya bisa lebih lega. Mahira masih saja tak sadarkan diri. Hanum mengambil minyak kayuputih, memegangnya di dekat hidung Mahira.
"Saya panggilkan Dokter saja ya, Bi." ucap Aydin.
"Iya, Nak."
"Bang, bang Edo." baru saja Aydin mau keluar, Mahira mengigau memanggil nama Edo. Terasa nyeri di dadanya saat mendengar wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya justru memanggil nama laki-laki lain meskipun itu kakak kandung Mahira sendiri.