Niat hati memberi kejutan. Malah dirinya yang dikejutkan dengan Aydin dan Idris yang sudah saling mengenal. Wahyu dan Fajar hanya tersenyum. Mereka lebih terkejut lagi karena satu sama lain memanggil dengan nama yang lain dari yang mereka kenal selama ini.
"Edo, ngapain kamu di sini?" tanya Aydin. Dia sudah berfikiran buruk kaena takut Edo akan menggagalkan pernikahannya dengan Mahira.
"Bang Wira jangan salah paham."
"Bentar tunggu-tunggu. Kenapa nama panggilan kalian jadi berubah? Edo? Wira?" Wahyu terlihat kebingungan.
"Maaf Ustadz Wahyu, sebenarnya saya dan Edo sudah saling mengenal. Kami bertemu di rumah singgah tempat saya biasa mengajar ngaji anak buahnya Edo. Di sana memang nama panggilannya Edo. Dan di sana nama panggilan saya adalah Wira. Karena nama saya Aydin Wira. Anak-anak di sana lebih suka memanggil Wira. Lebih mudah diucapkan katanya."
"MasyaAllah. Ternyata kalian saling mengenal. Dunia ini sempit ternyata ya. Dan Allah selalu punya rencana indah untuk kita. Rahasianya tidak pernah kita tahu."
"Lalu Edo ini siapa Ustadz?" Aydin masih belum paham dengan situasi ini. Dan untuk apa Edo di sini.
"Edo yang kamu kenal ini adalah kakak kandungnya Mahira, Nak Aydin. Dia yang nanti akan jadi wali nikahnya Mahira."
"MasyaAllah.. Edo? bukankah kamu--"
"Sudah bang tidak usah dilanjutkan. Aku juga baru tahu kemarin. Aku sudah ikhlas menerima. Dan aku senang melihatmu dan adikku menikah."
"Kalian bicara apa? ada yang bisa menjelaskan?"
"Abi, penghulu dan petugas KUAnya sudah datang." Furqon tiba-tiba datang menyela pembicaraan Wahyu.
"Oh iya Fur, sebentar." ucap Wahyu
"Sudah ayo kita keluar. Tidak enak karena para tamu sudah menunggu." lanjut Fajar.
Edo dan Aydin berjalan beriringan. Mereka saling diam. Edo nampak lebih santai karena dia sudah mempersiapkan sejak awal. Tapi beda dengan Aydin yang masih merasa syok dengan kenyataan bahwa laki-laki yang pernah mengaku mencintai Mahira ternyata adalah Kakak kandung Mahira.
Aydin dan Edo di suruh untuk duduk berhadapan. Di meja yang dikelilingin beberapa kursi yang diisi oleh Penghulu, Petugas KUA, wali, mempelai laki-laki dan dua saksi dari mempelai perempuan, dan dua saksi dari mempelai laki-laki. Meja dan Kursi semuanya berwarna putih. Senada dengan pakaian yang dikenakan Aydin.
"Sudah siap semuanya ya." pembawa acara memulai acara ijab kabul. Setelah dibuka, semua menjadi hening karena acara selanjutnya adalah pembacaan ayat suci Al-Qur'an. Dilanjut dengan khutbah nikah. Dan setelah itu, adalah acara inti yang dinanti-nantikan oleh semua orang.
"Mas Idris dan Mas Aydin saling berjabat ya." Penghulu membimbing keduanya sebelum mengucapkan Ijab kabul. "Mas Idris memakai bahasa Indonesia?"
"Iya, Pak."
"Baik silakan Mas Idris."
Edo memandangi Aydin. Sanggupkah dia menikahkan Mahira dan Aydin saat ini. Dia menghela nafas panjang sebelum menikahkan adiknya. Rasanya sesak. Sangat sesak. Mahira yang pernah menjadi pemilik hatinya kini harus ia relakan bersama orang lain. Dan parahnya lagi, dia yang harus menikahkan.
"Saudara Aydin Wira Althafurrahman bin Abdullah Fajar, saya nikahan anda dengan adik perempuan saya Ghaziya Mahira Kazhima binti Muchtar Fauzi dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan seperangkat perhiasan seberat seratus gram dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Ghaziya Mahira Kazhima binti Muchtar Fauzi dengan mas kawin tersebut tunai."
"Bagaimana para saksi?"
"Sah..."
"Alhamdulillah.. Barakallah.." dilanjutkan doa akad nikah yang dipimpin oleh penghulu. Setelah doa selesai, Edo berdiri dan berjalan ke luar rumah tanpa menunggu Mahira keluar.
Anisa yang berada di barisan para tamu, sejak tadi menatap heran pada Edo yang duduk menjadi wali nikah Mahira. Begitu banyak pertanyaan dalam otaknya. Dia tidak tahu kenapa harus Edo? dan nama Ayahnya Mahira ternyata bukan Wahyu yang selama ini dia tahu sebagai Ayahnya Mahira. Anisa berdiri berusaha mengejar Edo. Siapa tahu dia bisa mendapatkan jawaban dari Edo tentang semua ini.
"Bang.. Bang Edo..!! Teriak Anisa saat di luar rumah. Dan mendapati Edo sedang merokok di taman. Ya Edo masih belum sepenuhnya meminggalkan kebiasaan merokok. Namun dia sudah berusaha mengurangi. Tapi tekanan berat hari ini membuat dia membutuhkan satu batang rokok yang sudah biasa ia kantongi.
"Bang.. Bisa tolong jelasin sama aku, ada apa sebenarnya dengan Abang dan Mahira?" Anisa menatap ke arah Edo. Tapi Edo enggan membalas tatapannya. Dia masih asyik dengan rokoknya.
"Aku juga tidak tahu apa yang sedang terjadi, Nis. Dalam waktu satu hari semua tiba-tiba saja berubah total. Merubah hidupku."
"Abang jangan merokok lagi. Abang terlihat pucat."
"Nis!!" Anisa merebut rokok yang terjepit di antara dua jari Edo. Membuat lelaki itu geram.
"Cerita sama aku bang. Siapa tahu aku bisa bantu. Atau abang butuh minum? aku ambilkan ya?" Edo mengangguk. Dia tahu rokok bukan penyelesaian masalah yang tetap. Anisa mengangkat sedikit gaunnya lalu setengah berlari masuk ke dalam ruangan yang disiapkan untuk jamuan para tamu undangan. Dia mengambil air mineral dan sepiring nasi kebuli untuk Edo. Dia berjalan dengan hati-hati agar tidak terjatuh. Sayup-sayup dia mendengar suara gaduh di dalam. Tapi Anisa tidak menggubrisnya. Dia memilih untuk menemani Edo yang terlihat begitu pucat.
"Abang minum dulu terus makan ya." Anisa menyerahkan air mineral pada Edo.
"Terimakasih, Nis. Minumnya saja. Aku lagi ga pengen makan." Edo hanya mengambil air mineral dari tangan Anisa.
"Aku suapin lho kalau ga mau makan. Udah capek ngambilnya. Malah ga dimakan. Kalau ga mau makan nanti malah sakit lho." Anisa terus memaksa agar Edo mengatakan yang sebenarnya padanya. Tapinmelihat Edo yang nampak pucat dia jadi tidak tega. "Ayo cepat makan."
"Ogah." kepala Edo terasa pening.
"Ayo haaakk." Anisa mengambil satu sendok nasi kebuli. Dia akan memaksa Edo untuk makan agar dia bisa memaksa lelaki itu untuk bicara juga.
"Enggak.. Aku makan sendiri saja."
"Baguslah kalau begitu." Anisa tersenyum. Dia menemani Edo yang tampak lahap memakan nasi kebuli lengkap dengan daging kambing, acar mentimun dan kerupuk. Anisa hanya bisa menelan ludah. Melihat Edo begitu menikmati Nasi kebulinya.
"Hek." Edo bersendawa setelah makan di depan Anisa.
"Ih.. bau.. bang Edo jorok." Anisa memalingkan wajah sambil mengipas bau dengan tangannya.
"Kenyang Nis. Ni masih sisa sedikit mau ga?"
"Idih ogah Bang. Habis sendawa di atas begitu, di tawarin ke aku."
"Hahaha.." Edo akhirnya bisa tertawa. Mungkin tadi dia memang sedang lapar.
"Ayo bang cerita.. ada apa sih sebenarnya?"
"Aku sebenarnya kakaknya Mahira. Aku juga baru tahu kemarin, Nis. Ga nyangka ya orang yang aku cintai selama ini tenyata adalah adik kandungku sendiri. Aku malu tapi aku berusaha ikhlas."
"MasyaAllah bang.. Aku belum pernah denger cerita ini dari Mahira."
"Dia juga ga tahu, Nis. Karena kita pisah sejak umur 5tahun."
"Oh begitu? pantesan.. berarti Abi Wahyu bukan abinya Mahira?"
"Bukan. Ayah kami namanya Muchtar. Saat ayah meninggal, ibuku menikah lagi dengan Abi Wahyu. Aku marah dan kabur meninggalkan mereka. Jadilah aku preman di jalan. Seperti yang selama ini kamu kenal, Nis." Edo menunduk lagi dia mengingat bagaimana sulitnya hidup di jalanan.
"Aku benar-benar syok mendengar semua ini, Bang." Mereka terlibat pembicaraan serius. Anisa mencoba menguatkan Edo yang terlihat rapuh. Karena dia tahu Edo sangat mencintai Mahira. Begitupula sebaliknya.
"Abang... Bang Edo..!!" Anisa dan Edo kaget saat mendengar suara teriakan dari dalam rumah.