Mahira kini duduk di depan Rahma. Dia benar-benar gugup karena akan mendengar hasil dari tes yang baru saja dia jalani. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin. Dia berharap diberi kesempatan untuk mengajar di sekolah ini. Dan menjadi bagian dari sekolah ini. Tangan gadis berkemeja motif bunga itu sampai berkeringat dingin.
"Langsung saja ya bu Ghaziya. Karena sebentar lagi waktu dzuhur."
"Iya Bu Rahma."
"Setelah saya melihat nilai akademik anda dan performa anda saat mengajar. Saya putuskan untuk menerima anda menjadi guru di sini. Selamat ya bu Ghaziya."
"Alhamdulillah.. Terimakasih ya Bu. Saya senang sekali." Mahira terharu sampai ingin menangis. Akhirnya ia mendapatkan pekerjaan tanpa tergantung dari usaha Abinya.
"Anda mulai mengajar minggu depan ya. Soalnya kebetulan ada guru yang sedang cuti melahirkan. Nanti setelah tahun ajaran baru, barulah Bu Ghaziya akan menjadi guru tetap."
"Iya bu denga senang hati. Lebih cepat lebih baik. InsyaAllah saya akan berusaha sebaik mungkin."
"Saya suka semangat anda Bu Ghaziya."
"Sekali lagi terimakasih, Bu."
" Sama-sama. Anda sudah boleh pulang Bu."
"Baik bu. Saya permisi dulu. Assalamualaikum." Mahira menjabat tangan Rahma.
"Waalaikumsalam."
Mahira keluar ruangan dengan hati yang bahagia.
'Alhamdulillah. Terimakasih ya Allah. Akhirnya Mahira punya pekerjaan. Mahira akan cari uang sendiri dan tidak lagi bergantung pada Abi.' Gadis berhijab syar'i itu mengendarai motornya dengan sedang. Karena sebentar lagi adzan dzuhur, dia akan mampir ke masjid yang kemarin lagi sebelum pulang ke rumah.
Sampai di masjid, sudah banyak orang yang bersiap akan menunaikan shalat dzuhur. Berbagai macam profesi ada di sini. Di tempat inilah, dihadapan Allah semuanya sama ketika kita berdiri menunaikan shalat berjamaah.
Mahira memarkirkan motornya. Dia menuju ke tempat wudhu wanita. Dia harus bergantian dengan jamaah yang wanita yang lain saat mengambil air wudhu. Kali ini lebih ramai dari waktu pertama ia shalat di sini. Mungkin karena masjid besar ini letaknya dekat dengan sekolah dan perkantoran.
"Eh, siang ini ustadz ganteng ngimamin shalat dzuhur lagi ga ya?" ucap salah seorang perempuan saat Mahira sedang berwudhu. Mahira sedikit mendengar pembicaraan di antara mereka.
"Kamu mau shalat atau mau ketemu ustadz ganteng?"
"Ya dua-duanya gapapa donk. Sambil menyelam minum air."
"Siapa sih nama ustadz itu?"
"Enggak tahu. Nanti coba kalau beliau ngimamin lagi kita tanya namanya."
"Enggak ah. Malu-maluin aja."
"Sudah punya istri belum ya itu ustadz? beruntung banget perempuan yang jadi istrinya ustadz itu ya. Udah sholeh, ganteng lagi."
Pembicaraan kedua wanita itu membuat Mahira ingin cepat-cepat keluar dari tempat wudhu. Setelah mengenakan hijabnya kembali, Mahira langsung menuju tempat shalat.
'Kenapa gadis-gadis itu suka bapet kalau lihat laki-laki sholeh dan tampan. Belum tahu aja mereka nanti kalau sudah berumahtangga harus siap dipoligami.' begitulah isi hati Mahira. Ia mengeluarkan mukena dari dalam tasnya. Lalu mengenakannya. Muadzin sudah mengumandangkan iqamah, artinya sebentar lagi shalat akan segera didirikan.
Suara imam yang sedang membaca takbir sangat Mahira kenal. Tapi dia masih mencoba untuk khusyu' dalam shalatnya dan berushaa mengabaikan suara orang yang menjadi imam saat ini.
Gadis bermata sipit itu berdoa setelah selesai menunaikan shalat. Dia bersyukur pada Allah atas anugrah yang diberikan padanya hari ini. Akhirnya sebentar lagi dia akan bekerja dan mencari uang sendiri. Biarpun Wahyu adalah pengusaha sukses, namun usahanya kini dipegang oleh Furqon, latifah dan Azizah. Bahkan dulu Furqon selalu tidak setuju jika Wahyu memberi salah satu restoran untuk dikelola Mahira. Sejak saat itu Mahira ingin bekerja dengan usahanya sendiri tanpa bergantung pada usaha keluarga mereka. Dan Alhamdulillah hari ini doanya di kabulkan oleh Allah.
"Assalamualaikum.. Mahira." sapaan orang yang duduk di sampingnya mengagetkan Mahira. Ia menoleh da. mendapati sosok Wira di situ.
"Waalaikumsalam.. Eh bang Wira."
"Eh ketemu lagi." Aydin merasa beruntung karena tadi dia melepas kemejanya, melipatnya di dalam tas dan kini hanya mengenakan kaos dan celana bahan saja.
"Iya bang. Abang sering shalat di sini ya?
"Ga juga sih kalau pas kebetulan lewat aja."
"Bang aku habis tes di sekolah yang direkomendasikan sama abang kemarin."
"Oh ya? gimana hasilnya?"
"Alhamdulillah keterima bang."
"Alhamdulillah. Selamat ya. Semoga sukses."
"Aamiin.. makasih ya bang."
"Untuk apa?"
"Ya kalau abang tidak ngasih tahu tempat itu mungkin aku ga akan dapat pekerjaan itu." Mahira tersenyum manis sekali.
"Semua karena pertolongan Allah, Hira."
"Iya tapi lewat perantara abang. Hehehe." Aydin senang sekali Mahira kini mau tersenyum padanya. Dan mau terbuka dengannya. Setidaknya ada sedikit perkembangan dari hubungannya dengan Mahira. Meski dia belum bisa membuka identitas dia yang sebenarnya untuk saat ini. Dia ingin Mahira melihat dirinya yang sebenarnya lebih dulu.
"Iya Hira Alhamdulillah aku ikut senang."
"Abang.. aku tadi denger suara abang lagi ngimamin shalat ya?" Aydin gelagapan mendengar pertanyaan Mahira.
"Oh itu, iya kadang aku ngimamin kalau pas shalat di sini. Tapi tidak setiap hari."
"Pantesan aku ga asing sama suara abang. Soalnya abang kan pernah ngimamin aku waktu ban motorku bocor waktu itu. Tadi aku kira aku salah denger. Hehehe."
"Nanti mau nengok Edo tidak?"
"Pengennya sih gitu, bang. Tapi nanti nunggu Anisa. Dia bisa apa tidak jenguk bang Edo."
"Kamu deket banget sama Edo ya?"
"Iya.. Aku kagum aja sama dia. Penampilannya memang urakan, ada tato, pake tindik juga. Tapi orangnya baik banget. Dia sering bantu orang susah."
"Sepertinya kamu suka sama dia ya?"
"Hah... Enggak tahu bang. Aku ga berani jatuh cinta sama sembarang orang. Kalau aku milih calon suami, aku maunya yang tidak akan poligami."
"Memangnya kenapa kamu ga suka sama laki-laki yang poligami?"
"Gapapa bang. Ah sudah lupakan saja. Yang jelas tidak ada wanita rela dimadu, Bang. Biarpun balasannya surga untuk mereka yang ikhlas, tapi bagiku masih ada banyak cara untuk mendapat surga selain dari poligami kan?"
"Iya memang begitulah sifat perempuan. Dia itu makhluk yang cemburuan. Makanya kalau nanti aku punya istri juga nyari yang nggak cemburuan dan curigaan. Hehehe."
"Lho koq gitu? bukannya cemburu tanda sayang?"
"Oh iya ya? Ya sudah kalau gitu aku mau deh yang suka cemburuan biar di sayang terus sama istri." Aydin sengaja tidak menanggapi pernyataan Mahira dari segi agama. Saat ini belum tepat waktunya Mahira mengerti. Jadi lebih baik dia mengobrol santai saja agar Mahira merasa nyaman berbicara dengannya.
"Abang ini bisa aja. Memangnya abang masih jomblo?"
"Iya nih nyari perempuan yang mau dijadiin istri koq susah ya?"
"Ada tuh temenku namanya Anisa. Kayaknya dia ngefans sama bang Wira."
"Oh ya? Padahal aku berharap temannya Anisa yang ngefans sama aku." Aydin tersenyum simpul.
"Eh.. temennya Anisa? siapa? abang kenal temennya Anisa yang mana lagi?" Mahira tampak berfikir. Siapa saja mahasiswi perempuan yang mengajar di rumah singgah.
"Ustadz ganteng...! Saya boleh minta fotonya?" tiba-tiba saja dua orang perempuan yang bertemu Mahira di tempat wudhu tadi menghampiri Aydin dan meminta berfoto.
"Ustadz??" Mahira mengernyitkan dahinya. Masih memikirkan hal yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
*****
Yuk tinggalkan jejak.
Vote dan komen ya.😊😍