Mahira bersemu merah saat Abinya menanyakan hal pribadi padanya. Hanum yang ada di sebelahnya hanya tersenyum melihat kebersamaan Ayah dan Anak yang jarang terjadi. Mahira memeluk Abinya adalah pandangan yang langka. Ya setelah kemarin Furqon meminta maaf langsung pada Hanum, Mahirapun perlahan bisa memaafkan abi dan kakaknya itu.
"Ayo bilang sama abi. Siapa yang kamu suka, Nak?"
"Emmm. siapa ya? Bi, kata abi kita kan tidak boleh melihat orang dari luarnya saja kan?"
"Iya betul, nak. Karena kita tidak tahu hati seseorang itu seperti apa. Bisa saja dari luar dia seperti preman tapi ternyata hatinya baik. Begitu pula sebaliknya. Yang kita minta adalah dijauhkan dari orang yang dzalim."
"Mahira mau cerita. Tapi Hira malu, Bi."
"Malu kenapa?"
"Mbak Hira, ada tamu. Katanya temen mbak. Namanya Anisa." Baru saja Mahira mau cerita, terpotong lantaran ada Anisa yang datang ke sana.
"Oh ya sebentar buk Inah." Mahira melepaskan pelukan dari Abinya. lalu dengan segera ia berlari menghampiri Anisa yang sudah menunggu di depan.
"Mahira, kamu belum cerita sama Abi.." teriak Wahyu saat Mahira meninggalkan dia dan Hanum. Keduanya saling pandang lalu tersenyum.
"Nanti ya Bi.." jawab Mahira.
"Anakmu sudah besar, Mi. Kira-kira seperti apa ya lelaki pilihan Mahira? apa lebih baik dari Aydin?" Wahyu duduk di kursi bekas Mahira. Sambil memakan Risol mayo ia berbincang dengan istri keduanya itu.
"Entahlah Bi. Semoga saja Mahira tidak salah pilih. Mahira sudah besar. Kalau memang dia tidak mau dijodohkan sama Abi, tidak ada salahnya melihat dulu lelaki pilihan Mahira, Bi. Seperti yang pernah Umi bilang sama abi, Mahira tidak usah jodoh-jodohkan dulu, Bi."
"Iya Umi. Tapi kalau lelaki yang dicintai Mahira bukan lelaki baik-baik bagaimana, Mi? Apa Abi boleh melarang?"
"Tentu saja, Bi. Kita berhak melarang. Orangtua seperti Abi lebih banyak makan garam tentu tahu mana lelaki yang baik dan tidak."
"Jadi abi sudah tua nih?"
"Sudah lima puluh sembilan mau dibilang masih muda, bi?" Ada kalanya mereka berdua bersendau gurau. Meski banyak masalah yang ada dalam keluarga, Wahyu yakin suatu saat keluarganya akan bersatu lagi. Berkasih sayang antar anggota keluarga seperti yang ia dambakan sejak dulu.
"Hehehe.. Abi ternyata sudah tua ya Mi? sudah mau enampuluh tahun."
"Baru nyadar ya, Bi?" Hanum dan Wahyu memang terpaut cukup jauh. Enam belas tahun.
"Abi sudah semakin tua, tapi ada satu anak Abi yang belum menikah. Abi ingin menikahkan Mahira sebelum Abi meninggal. Ya itu rencana manusia. Tapi rencana Allah siapa yang tahu?"
"Semoga Abi diberi panjang umur agar bisa menikahkan Mahira."
"Aamiin.. "
"Abi udah kenyang nih Mi. Ke kamar yuk."
"Mau ngapain Bi? Bentar lagi maghrib."
"Pijitin Abi bentar. Emang mau ngapain? Umi pikirannya jorok ya? habis maghrib Abi ada undangan taklim di masjid Baiturrahman. Boleh kan minta pijit dulu? Badan abi pegel-pegel rasanya, Mi."
"Iya, Bi. Baiklah."
********
"Nis, kamu ngapain ke sini sore-sore begini? kamu tadi ga langsung pulang?" Mahira mengajak Anisa duduk di tepi kolam renang sambil bermain air..
"Enggak Hir. Ada yang perlu gue omongin nih. Tentang Bang Edo."
"Emang Bang Edo kenapa?"
"Bang Edo bilang kalau tadi yang dia omongin ke elo itu becanda. Emang Bang Edo ngomong apaan sih?"
"Oh becanda ya? aku kira.." Mata Mahira berubah sendu. Padahal baru saja dia ingin menyampaikan pada Abinya perihal Edo. Tapi tenyata Edo tidak sungguh-sungguh mengatakan itu. Rasanya perih sekali mengingat tadi ia dibawa terbang tinggi namun sekarang dihempas. Mahira hanya ingin hubungan yang halal kalaupun benar Edo menyukainya. Oleh karenanya dia ingin mengatakan pada Wahyu kalau dia tak perlu lagi jodoh-jodohkan.
"Memangnya ada apa sih Hir? aku penasaran deh jadinya."
"Ga ada apa-apa Nis. Udah deh bahas yang lain." Mahira seperti menahan tangis. Dia memang mempunyai perasaan pada Edo. Dan saat Edo menyampaikan perasaannya tadi, ia merasa bahagia. Tapi ternyata itu hanya bahan becandaan Edo saja.
"Hira, gue sahabatan sama lo sejak masuk kuliah. Ga ada yang bisa lo sembunyiin dari gue. Begitupula sebaliknya. Gue yakin lo sedang ada masalah sama bang Edo."
"Nis... " Mahira memeluk sahabatnya. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya. Tapi rasanya berat untuk mengatakan semuanya pada Anisa.
"Plis percaya sama gue. Kalo lo baik-baik aja, lo ga mungkin sampai nangis begini."
"Tadi bang Edo bilang kalau dia suka sama gue. Gue pura-pura ga ngerti ucapannya. Gue malah ninggalin dia. Dan waktu selesai ngajar, gue buru-buru pulang. Gue pikir setelah tau perasaannya, gue ga mau lagi deket sama dia. Takut kalau gue terjebak hubungan yang enggak halal. Makanya gue menghindar. Tapi ternyata dia cuma becanda. Nyakitin banget tahu Nis."
"Sejak kapan sih lo suka sama bang Edo?"
"Sejak gue ditarik waktu mau ketabrak kereta."
"Hahahaha... Cinta pada pelukan pertama."
"Ngaco.."
"Ya iya kan? dulu lo cerita kalau lo sempat dipeluk sama bang Edo waktu ada kereta lewat."
"Iya itulah gue ngerasa ada yang aneh dalam hati gue. Tapi gue ga brani ngakuin kalau itu cinta."
"Dan sekarang lo sedih karena bang Edo ternyata ga suka sama lo?"
"Iya... hiks hiks. Tadinya gue mau cerita sama Abi tentang bang Edo."
"Gila lo Hir. Lo yakin Abi lo bakal ngrestuin?" Hira menggeleng cepat.
"Ya itu lo tahu. Kenapa lo masih mau nekat? lagian ya sekarang lo udah tahu kalau bang Edo ga suka sama lo. Jadi lupain aja dia."
"Apa bisa semudah itu? Sedangkan gue masih sering ketemu di rumah singgah."
"Kalau gue jadi elo, gue bakal nerima perjodohan yang direncanain Abi lo. Lo belum tahu kan bang siapa namanya lupa gue din din gitu udin ya?"
"Bukan.. Aydin."
"Ya siapalah itu namanya. Menurut cerita abi lo, dia itu ganteng, mapan, sholeh, kurang apa lagi coba? lo aja yang bego, malah milih preman kayak bang Edo yang ga jelas."
"Jangan lihat orang dari luarnya, Nis."
"Tapi pake logika donk Hira. Iya emang lo benci sama laki-laki alim tapi bukan berarti semua laki-laki alim lo samaratain kayak abi lo. Lo itu harus menghilangkan trauma lo. Berdamai dengan keadaan. Toh sekarang lo udah selesai kuliah. Bentar lagi kerja. Siapa yang mau ngehina lo? selama lo kuliah juga ga ada yang ngatain lo anak pelakor. Masalah tetangga, lama-lama mereka juga bosen ngomongin keluarga lo. Sekarang ini emang lo masih di omongin sama mereka?"
"Enggak sih."
"Ya udah ngapain lo masih benci laki-laki sholih? Lo bukan Tuhan yang tahu semua masa depan orang Hira. Kalau memang nanti takdir lo dipoligami, lo mau apa? pilihannya cuma dua bertahan atau cerai."
"Masa nikah kepengen cerai?"
"Ya makanya lo harus berdamai dengan keadaan. Jangan mikir ke sana terus. Kalau semua laki-laki yang alim itu pasti poligami. Pemikiran lo itu ga ada penelitian ilmiahnya. Orang menikah itu pengennya dengan laki-laki yang tahu agama Hira. Biar apa? biar dia bisa bimbing kita. Masalah dia nanti poligami atau tidak tergantung takdir lo. Kasih donk pelayanan ekstra pada suami. Kalau semuanya bisa lo penuhi, ngapain mau cari yang lain. Logika gue gitu Hir. Ga tahu deh sama logika lo."
"Tapi Umi Aida itu sempurna. Tapi kenapa Abi nikah lagi sama Umi hanum?"
"Itu takdir Hir. Kalau Abi lo ga nikah sama Umi lo, lo ga akan ada di sini Udah ah gue mau balik. Mau maghrib. Tega banget gue ngoceh dari tadi ga dikasih minum. Orang kaya tapi pelit lo." Anisa berdiri meninggalkan Mahira yang masih termenung memikirkan ucapan sahabatnya ini.
"Eh Nisa.. tunggu sorry gue lupa ngasih lo minum."