Setelah pulang meeting tadi, Aydin mampir ke masjid untuk ahalat dzuhur. Jika ada meeting dengan klien tentu saja dia harus menggunakan mobilnya. Dan siapa sangka jika di masjid tadi ia bertemu Mahira, calon istri yang belum mengakuinya menjadi calon suami. Menyedihkan bukan?
Bukan Aydin jika dia menyerah begitu saja. Dan seakan pertolongan Allah memang selalu ada. Tanpa pertongan Nya, tak mungkin Mahira dipertemukan dengannya di tempat yang mulia. Yaitu Masjid. Lagi-lagi Allah membukakan jalan untuknya. Karena Mahira ternyata membutuhkan pekerjaan yang kebetulan dia bisa menolongnya.
Aydin terus beristighfar karena akhir-akhir ini selalu memikirkan Mahira. Harusnya dia memang secepatnya menikah. Tapi apa boleh buat yang diajak menikah belum membuka hati untuknya.
Rahma segera menelpon adik kesayangannya, setelah Mahira kelua dari ruangannya. Ia menceritakan semua tentang Mahira saat gadis itu melamar pekerjaan sebagai guru di sekolahnya. Wanita berhijab lebar itu antusias saat menceritakan Mahira pada adiknya.
"Mahira itu ternyata pintar ya Dek. Nilainya nyaris sempurna."
"Gimana Kak? cocok ga buat aku?"
"Cocok sih. Tapi apa dia mau sama laki-laki kayak kamu, Dek?"
"Memang kenapa Kak? ada yang salah sama aku?"
"Bukankah dia trauma dengan laki-laki sholih? Kakak penasaran aja sama dia. Apa dia bisa menghilangkan traumanya?"
"Semoga saja kak. Makanya kakak harus bantu aku ya."
"InsyaAllah, Dek."
"Mahira sudah kakak terima kan?"
"Belum, Dek. Masih ada serangkaian tes yang harus dia jalani besok."
"Ya Allah kak, kenapa ga langsung diterima aja sih?"
"Eh.. kakak ga mau nepotisme ya. Walau dia itu calon istri kamu, tetap saja dia harus di tes. Ya walau itu cuma formalitas. Dan kebetulan memang dia anak yang pintar. Kalau tidak pintar, mungkin aku juga ga bisa nerimanya. Kaka tidak mau mutu sekolah kita turun."
"Iya, kakak cantik. Aydin percaya kakak bisa mengatur semuanya."
"Ya sudah. Nanti kita ngobrol lagi di rumah ya."
"Iya, Kak." Aydin menutup telponnya. Dia yang sekarang sudah berada di kantor lagi, merasa lega karena akhirnya ada sedikit pintu yang terbuka untuknya. Semoga saja Mahira nanti bisa dekat dengan kakaknya dan pelan-pelan Rahma bisa menasehati gadis itu. Karena untuk mendekati Mahira di rumah singgah sepertinya tidak memungkinkan. Pekerjaannya di kantor kadang membuatnya tidak bisa sering-sering ke rumah singgah. Hanya saat jadwal dia mengajar ngaji saja dia bisa ke sana.
*****
Seperti biasa Aydin mengayuh sepedanya ke rumah singgah. Dia sudah berganti dengan kaos dan celana jeans. Sedangkan mobil yang ia pakai tadi ditinggalkan di kantor. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Itu artinya, dia sudah sangat terlambat jika sampai di sana.
Aydin mengayuh lebih cepat lagi agar bisa segera sampai tujuan. Saking cepatnya, dia bisa tiba di sana sepuluh menit lebih awal dari biasanya.
Peluh bercucuran membasahi wajah Aydin yang tampan. Dia mengambil sapu tangan lalu mengelapnya. Entah kenapa hari ini rumah singgah sangat sepi. Lain dari biasanya yang di depan pasti sudah banyak anak-anak yang bermain di sana, menunggu kedatangannya.
Tak lama kemudian, ada salah seorang anak yang berlari dari arah berlawanan dengan Aydin. Salah satu muridnya ini terlihat sangat panik. Keringatnya bercucuran. Mulutnya komat kamit entah sedang apa. seperti mencari sesuatu.
"Retro ada apa? kenapa kamu terlihat panik?"
"Gawat bang.. Bang Wira pulang saja. Saya ke sini hanya memastikan tidak ada anak-anak yang masih ada di luar."
"Memangnya ada apa?"
"Bang Edo tadi berantem sama kelompok timur Bang. Dia sekarang sekarat di rumah sakit. Saya di suruh jaga wilayahnya agar tidak dikeroyok oleh anak buahnya kelompok timur. Karena ketua mereka juga sama-sama masuk rumah sakit."
"Andri mana?"
"Bang Andri nungguin Bang Edo di rumah sakit. Tadi punggungnya kena sabetan parang."
"Innalillahi.. Edo ngapain sih bisa terlibat tawuran sama mereka?"
"Bang Edo cuma mau nglindungin anak-anak di jalanan yang tadi digangguin sama anak buah kelompok timur. Dan sekarang anak-anak di suruh masuk dalam rumah. Ga ada yang boleh keluar. Maaf ya bang. Hari ini kita ga bisa ngaji dulu."
"Iya Ret tidak apa-apa. Aku akan ke rumah sakit saja menjenguk Edo."
"Pakai sepeda bang?"
"Iya lah mau pake apa lagi? di rumah sakit mana?"
"Rumah Sakit Cepat Sehat, Bang. Nanti telpon bang Andri saja, Bang."
"Iya, nanti aku akan telpon Andri. Makasih ya." Aydin langsung mengambil sepedanya. Dia mengayuh sepeda ke rumah sakit yang tidak jauh dari rumah singgah. Cukup keluar ke jalan raya. Belok ke kanan kira-kira 500 meter sebelah kiri jalan.
Aydin tiba di rumah sakit langsung memarkirkan sepedanya. Sedikit repot karena dia membawa ransel yang biasa di bawa di punggungnya. Di menelpon Andri untuk menanyakan di ruang mana Edo di rawat. Setelah tahu di ruang apa? Aydin bertanya pada resepsionis letak ruang IGD. Aydin berjalan sesuai arahan resepsionis tadi. Tiba di depan IGD, Aydin melihat Andri dan perempuan berhijab yang tidak ia kenal.
"Assalamualaikum, Ndri." Aydin menjabat tangan Andri.
"Waalaikumsalam.. Bang Wira. Abang tahu dari mana Edo masuk rumah sakit?" Andri menanyakan hal itu karena waktu telpon tadi Aydin langsung menanyakan ruang tempat Edo di rawat.
"Dari Retro, Ndri. Katanya Edo kena sabetan parang?"
"Iya bang. Udah di jahit tadi. Ini masih di dalam. Sudah siuman koq. Sebentar lagi mungkin mau di pindah ke ruang perawatan. "
"Lalu yang di rumah singgah siapa yang jaga, Ndri?"
"Ada anak buah banh Edo banyak bang. Semoga kelompok timur ga bikin ulah lagi. Karena pimpinan kita tumbang. Tumben saja dia gampang banget tumbangnya. Dia emang kayaknya lagi banyak fikiran akhir-akhir ini."
"Memang ada masalah apa?"
"Biasalah kayaknya sih cewek Bang." Aydin tersenyum mendengar pernyataan Andri. Aydin tak menyangka Edo bisa jatuh cinta juga.
"Memang dia suka sama siapa? Sampai dia bisa hampir mengorbankan nyawanya begitu."
"Yang pasti gadis yang sangat istimewa. Sampai sekarang dia juga belum pernah mau terbuka sama aku tentang cewek itu. Dia seperti enggan mengakui."
"Ada-ada saja si Edo. Kenapa ga dilamar saja terus nikah. Beres. Dari pada ganggu pikiran begitu. Dan siapa tahu setelah menikah, Edo bisa berhenti dari profesinya sekarang. Memang niat dia baik. Tapi pekerjaan ini banyak mudharatnya. Sangat membahayakan dirinya.
"Kalian berdua ini ngobrol sendiri. Aku cuma liatin kalian."
"Eh maaf Nis, gue lupa ngenalin lo sama Bang Wira. Dia ini yang ngajar ngaji anak-anak di rumah singgah."
"Oh Bang Wira. Saya Anisa Bang. Yang ngajar baca tulis anak-anak."
Ceklek..
"Bang Andri, dipanggil Bang Edo." keluarlah seorang gadis dari ruang IGD. Memanggil Andri agar masuk ke dalam.
"Iya Hira." Andri bergantian dengan Mahira masuk ke dalam. Aydin hanya diam saat melihat Mahira keluar dari IGD.
"Eh ada bang Wira juga."
"Iya Mahira."
"Kalian saling kenal?" Anisa kebingungan saat melihat interaksi dua orang di depannya.
Ada yang tiba-tiba mengganggu pikiran Aydin. Semoga dugaannya kali ini tidak benar.