Berdiri di depan menjadi imam shalat di masjid besar di kotanya sudah sering dilakukan seorang Aydin Wira Althafurrahman. Dua hari sekali ia bergantian dengan imam lainnya yang juga suaranya tak kalah merdu dan fasih. Salah satu syarat menjadi imam adalah bacaannya harus fasih. Meski Aydin tergolong masih muda. Kadang ia menertawakan diri sendiri karena sampai umurnya saat ini yang hampir dua puluh enam tahun, dia masih belum bisa menjadi imam untuk istrinya. Ya ustadz muda ini masih berharap pada wanita cantik yang belum bisa ia sentuh hatinya, karena prinsip yang menurutnya sangat aneh. Jika perempuan di luar sana mendambakan lelaki sholih untuk menjadi suami mereka, lain halnya dengan Mahira yang sangat membenci lelaki sholih karena latar belakang keluarganya.
"Assalamualaikum ustadz. Jangan melamun nanti setan masuk lho." Tegur salah satu jamaah di masjid besar tempat ia baru saja selesai mengimami shalat.
"Waalaikumsalam warahmatullah.. maaf Pak saya tidak memperhatikan kehadiran anda," ucap Aydin sambil mengulurkan tangan kanannya menjabat tangan lelaki paruh baya itu.
"Tidak apa-apa Ustadz. Maaf ustadz Aydin. Apa Nak Ustadz ini sudah mempunyai istri?"
"Belum, Pak," jawab Aydin malu-malu. Harusnya dia sudah menikah sejak setahun lalu jika perempuan yang dijodohkan dengannya itu mau menerimanya.
"Wah kebetulan sekali, saya punya anak perempuan yang belum menikah. Sekarang sedang kerja jadi pegawai bank. Anak saya cantik, Tadi. Kalau Ustadz tidak keberatan, kapan-kapan saya undang makan malam biar bisa mengenal anak saya lebih dekat."
"Terimakasih sebelumnya Pak, tapi maaf saya sebenarnya sudah mempunyai calon. Jadi mohon maaf saya tidak bisa berkenalan dengan putri bapak."
"Oh begitu ya? sayang sekali Ustadz. Padahal saya ingin sekali mempunyai menantu seorang Ustadz seperti Nak Aydin ini."
"Maafkan saya, Pak. Semoga anak Bapak segera dipertemukan dengan jodohnya."
"Aamiin.. makasih Nak Aydin."
"Sama-sama Pak." Aydin tersenyum melihat kepergian bapak itu. Sudah puluhan kali ada orang yang menawarkan anak perempuan mereka untuk dikenalkan pada Aydin. Dan puluhan kali juga Aydin selalu menjawab dengan jawaban yang sama seperti tadi. Entah keyakinan dari mana Aydin merasa suatu saat nanti bisa meluluhkan hati Mahira. Bukan tanpa alasan dia bersikeras mendapatkan Mahira. Dia sudah beberapa kali shalat istikharah dan selalu ada keyakinan condong pada perempuan itu. Meski dia harus berusaha sangat keras merobohkan prinsip Mahira.
Aydin memakai sandal kulitnya yang berwarna hitam. Setelah shalat Isya' dia biasanya langsung kembali ke rumahnya yang berjarak kurang lebih satu setengah kilometer dari masjid itu. Nama Aydin sudah cukup tersohor di kotanya. Tapi siapa sangka anak muda ini sering masuk ke perkampungan kumuh untuk mengajar ngaji. Dia malah jarang ceramah di atas mimbar atau panggung besar untuk berdakwah. Tapi dia lebih sering bercengkrama dengan orang-orang yang membutuhkan. Dia bisa menjadi dirinya sendiri, sekaligus bisa berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan.
Sambil mengayuh sepedanya dia melalui jalanan malam kota itu yang masih cukup padat kendaraan di jam seperti sekarang. Kota yang tidak pernah mati. Jakarta ibukota negara Indonesia. Sampai di rumah, dia disambut Abinya yang sudah ada di depan teras. Membaca buku ditemani secangkir kopi dan tak lupa ada wanita cantik yang ada di sebelahnya. Wanita yang masih cantik di usianya yang sekarang.
"Assalamualaikum Abi, Umi." setelah meletakkan sepedanya, Aydin menghampiri kedua orangtuanya, mencium punggung tangan mereka bergantian.
"Waalaikumsalam warahmatullah.. sudah pulang, Nak? Bagaimana jamaah di masjid besar? apakah masih ramai?"
"Alhamdulillah masih Bi."
"Alhamdulillah.. semoga semakin banyak orang yang menjaga shalat berjamaahnya." Fajar sendiri menjadi Imam di masjid lingkungan tempat tinggal mereka. Tadinya dia juga menjadi imam di masjid besar. Tapi setelah Aydin sudah mampu menggantikannya, dia serahkan pada Aydin. Dan dia sendiri lebih sering menjadi imam di masjid dekat tempat kediamannya. Sambil mempererat tali silaturahmi dengan para tetangganya.
"Aamiin.."
"Cuci kaki dulu sana.. nanti duduk di sini. Abi mau ngobrol sama kamu."
"Iya, Abi." Aydin mencuci kaki di keran yang ada di sebelah taman rumahnya. Lalu kembali lagi duduk bersama kedua orangtuanya.
"Duduk, Nak."
"Iya Abi, ada apa Bi?"
"Abi tadi ke rumah Ustadz Wahyu dan kebetulan bertemu dengan Mahira. Apa kamu masih ingin melanjutkan perjodohan ini, Nak?"
"InsyaAllah masih, Bi. Aydin tidak mau menyerah lebih dulu. Aydin sudah shalat istikharah dan hasilnya merasa yakin dengan pilihan ini, Bi."
"Tapi tadi Abi lihat Mahira tidak ada respon ketika Abi menyinggung namamu."
"Semua butuh proses, Abi. Aydin ingin mendapatkan Mahira tidak hanya karena saya mencintainya sejak melihatnya pertama kali. Tapi juga untuk jalan dakwah. Karena prinsip Mahira yang keliru itu harus diluruskan, Bi."
"Bagus, Nak. Tapi apa kamu siap untuk membuktikan bahwa tidak semua lelaki sholih itu akan berpoligami?"
"InsyaAllah Abi. Sejauh ini Aydin tidak ada niat ke arah sana. Dan Saya selalu memohon pada Allah agar menjaga hati saya. Seperti kisah cinta Abi dan Umi. Aydin ingin seperti kalian yang selalu harmonis dan bahagia."
"Menjalankan rumah tangga tidak semudah yang kamu pikirkan, Aydin. Godaan pasti ada. Tapi tergantung bagaimana kita menyikapinya. Betul katamu. Allah yang menjaga hati kita. Senantiasa ingat pada Allah agar hati kita merasa tentram. Sebagaimana yang tercantum dalam surat Ar-Ra'du ayat 28 "Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."
"Terimakasih nasehatnya Abi. Semoga Aydin bisa segera menyempurnakan separuh agama saya dengan menikah."
"Aamiin.. Semoga Allah memudahkan urusanmu, Nak. Mohon sama Allah agar melembutkan hati Mahira. Karena hanya Allahlah yang bisa melembutkan hatinya."
"Aamiin ya robbal alamin.."
"Istirahat dulu sana.. Besok kan kamu berangkat pagi."
"Iya Abi. Aydin izin masuk ke dalam ya Abi, Umi."
"Iya, Nak." Aydin masuk ke dalam rumah, sedangkan kedua orang tuanya masih berada di teras untuk mengobrol santai.
"Anak itu kalau sudah yakin pada satu hal, dia akan teguh untuk mendapatkannya."
"Iya sama seperti Abi." Fajar dan Hamidah berbincang membahas Aydin yang belum juga menikah. Setiap hari mereka juga selalu mendoakan anaknya agar dipermudah mendapat jodoh. Mereka juga bukan tipe orangtua yang suka memaksakan kehendaknya pada anak. Mereka menghargai keputusan Aydin yang masih ingin mendapatkan Mahira. Putri dari sahabat mereka.
Aydin kembali ke kamar. Meraih ponselnya yang sudah sejak menjelang maghrib tadi tidak ia buka. Aydin membaca semua pesan yang masuk lalu membalasnya satu persatu. Saat malam seperti ini, bujang seperti dirinya kadang merasa kesepian. Tak jarang dia selalu jadi bahan bully an teman-temannya yang sebagian besar sudah menikah. Entah kapan keinginan Aydin bisa terwujud. Hanya Allah yang tahu. Yang jelas dia tidak akan berhenti memohon pada Allah dan menyebut nama Mahira dalam doanya.