"Kau juga mengetahuinya! Ingatlah!" pekik Ive pada Ain yang langsung membuat pemuda itu terhenyak dengan mulut sedikit terbuka. Kali ini Ive menggunakan kemampuan telepatinya, sehingga kalimat lantang itu hanya terdengar di dalam benak Ain.
Sedangkan Riev dan Kiev hanya terpaku, mendengar cerita masa lalu Grief, juga tentang perlakuan para petinggi Cerberus pada Grief. Mereka tidak bisa mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Ive.
"A-Aku... Aaaaaaah!!!" pekik Ain dengan keras. Kepalanya terasa sakit begitu ia berusaha mengingat-ingat lagi kejadian masa lalu, yang terus-menerus jadi bayang-bayang mimpi buruk baginya.
"Ingat!! Nerin tewas saat melindungimu!!" Suara Ive yang disampaikan melalui telepati itu membuat kepala Ain terasa lebih sakit, sehingga ia tak sadarkan diri.
"Ain?!" pekik Riev dan Kiev serentak. Mereka terlihat panik begitu Ain terjatuh dari kursinya tak sadarkan diri.
"Master?! Apa yang terjadi?!" tanya Riev yang dengan segera menopang kepala Ain dengan lengan kanannya.
"Minggir. Aku akan melepaskan belenggu yang mengikat teman kalian," jawab Ive meminta Riev dan Kiev untuk menjauh. Kemudian ia menghampiri Ain dan memegang kepala belakang pemuda itu.
Ive menarik napas panjang, lalu memejamkan matanya. Ia berusaha menghubungkan frekuensi otaknya dengan Ain, agar ia bisa menjelajah masuk ke dalam alam bawah sadar pemuda itu.
[•X-Code•]
Ain kecil terpaku melihat seorang pria yang tengah menggenggam sepasang pedang kembar, terbuat dari Plasma. Pria yang baru saja menyelamatkan nyawanya itu tengah mengamati setiap sudut tempat tersebut, mencari seseorang.
"P-Paman...." sapa Ain pelan dengan sedikit gemetar, sembari berjalan menghampiri Grief yang memunggunginya.
"Hm?" gumam Grief tanpa menoleh ke arah Ain.
Ain berlutut di belakang Grief sambil meneteskan air mata, lalu dengan lantang ia berkata, "Aku... Aku akan jadi kuat!! Aku berjanji! Tapi untuk sekarang... Tolong selamatkan teman-temanku, paman... Aku mohon...."
Grief tidak menanggapi perkataan Ain. Bukan karena ia menolak, tapi memang itulah yang akan ia lakukan.
Bagi Grief, misi hari itu merupakan misi terberat baginya. Lebih mudah baginya untuk menghabisi kelompok bandit, mafia atau malah penjahat kelas kakap sekalipun daripada harus berlaku kasar pada anak-anak tidak berdosa itu.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Grief melesat untuk menghabisi para pasukan Zinzam yang memperlakukan anak-anak panti asuhan dengan kasar, tanpa belas kasihan.
Lalu tatapan Grief tertuju jauh ke arah kapal yang berlabuh di pantai, dekat dengan panti asuhan itu.
Seorang wanita yang ia cintai, sang pemilik panti asuhan itu, Nerin, tengah dibawa oleh seorang pria dari pasukan Zinzam.
Grief berlari kencang ke arah kapal. Namun ia terkejut melihat Ain yang tiba-tiba sudah mendahuluinya.
Ain bisa tiba lebih cepat karena memang sedari awal ia sudah berlari ke arah kapal. Tidak seperti Grief yang menyelamatkan beberapa orang anak terlebih dahulu.
Ain yang pada saat itu masih berusia sekitar 7 tahun, memukuli punggung pria yang tengah membopong Nerin.
Tentu saja pukulan dari Ain tidak berarti apa-apa. Pria itu melempar Nerin dengan kasar, lalu menendang perut Ain dengan keras.
Ain terguling-guling di tanah akibat tendangan yang membuat perutnya sakit luar biasa. Rasa sakit itu bahkan sampai membuat Ain kesulitan untuk bernapas.
"Mau cari mati, Hah?! Bocah sialan!!!"
Pria itu menodongkan pistol miliknya ke arah Ain yang terjerembab di tanah.
Ain hanya memejamkan matanya dengan rasa takut yang menggerayangi seluruh tubuhnya.
Dor! Dor! Dor! Tiga buah peluru melesat cepat dari moncong pistol milik pria itu.
Suara tembakan itu begitu keras menggelegar, namun Ain tidak merasakan apapun. Perlahan ia membuka matanya, lalu melihat Nerin, wanita yang menjadi 'ibu' baginya di panti asuhan itu, berdiri sambil membentangkan kedua tangannya.
Nerin berdiri tepat di depan Ain untuk melindunginya dari tembakan.
"I... Ibu...?" Untuk kesekian kalinya, mata Ain dibuat terbelalak.
Nerin terjerembab di tanah dengan dua lubang di dada dan satu di perutnya yang dengan cepat mengeluarkan darah.
"Ibu!!!" pekik Ain sambil merangkak maju ke arah Nerin.
"Nerin!!" Grief yang sedari tadi berlari kencang menghampiri mereka segera menebas leher pria yang berdiri dengan pistol di genggaman tangannya.
Grief sudah berlari sekuat tenaga, namun tetap tidak sempat untuk menyelamatkan Nerin.
"A... Ain..." Nerin tersenyum sembari mengusap pipi Ain yang sudah berada di sampingnya. Perlahan, Nerin memejamkan matanya. Lalu wanita yang sangat disayangi oleh anak-anak panti asuhan itu menghembuskan napas terakhirnya.
Ain menangis tersedu-sedu hingga bahunya bergetar.
Baju putih yang dikenakan Nerin berubah warna menjadi merah akibat darah yang terus mengalir deras. Walaupun air mata menghalangi pandangannya, tapi warna merah itu terlihat jelas bagi Ain. Ia hanya bisa memeluk erat Nerin yang sudah tidak bernyawa.
Namun senyuman lembut masih terlukis di bibir wanita itu walau ia telah tiada. Ia pergi dengan rasa bahagia karena telah berhasil melindungi anak yang ia kasihi.
[•X-Code•]
Mendadak suasana berubah gelap gulita. Di dalam kegelapan itu, Ain yang berhasil mengingat lagi semua kejadian buruk itu duduk dengan kaki tertekuk hingga lututnya menempel di dada.
Tidak ada sedikitpun cahaya di sana. Hanya kegelapan yang menelan semua warna.
Tubuh Ain gemetar hebat. Rasa dingin menyengat di seluruh tubuh. Matanya terbelalak dengan napas terengah-engah. Beberapa kali ia menjerit keras dengan rasa sesal yang tidak pernah terlampiaskan.
"Lemah! Pembunuh! Penakut! Pengecut!" Berkali-kali suara itu menggema di tempat hampa, tempat Ain berada. Suara yang sangat tidak asing lagi bagi Ain, suara dirinya sendiri.
Tempat itu merupakan wujud dari alam bawah sadar Ain yang tergambarkan sebagai tempat hampa, tempat tersimpannya banyak kenangan buruk.
Ain menjerit keras, lalu menangis meraung-raung.
Kemudian tempat itu tidak lagi gelap gulita. Secara tiba-tiba, Ain kembali berada di panti asuhan, saat malam kejadian naas itu terjadi.
Kejadian demi kejadian, di mana ia melihat banyak orang yang ia sayangi terbunuh kembali terlihat di sana.
Rasa sedih, amarah, benci, dendam, sesal, juga perasaan haus darah menyeruak dari lubuk hati Ain.
[•X-Code•]
"Ain! Berdirilah!" Ive yang menyusup masuk ke dalam alam bawah sadar Ain, dapat divisualisasikan dengan jelas olehnya.
Wujud Ive seolah berada di sana, di alam bawah sadar milik Ain. Padahal, Ive hanya mengirimkan gelombang pikirannya saja. Namun bagi Ain, Ive terlihat seolah benar-benar ada di sana.
"Master...?" ujar Ain lirih sambil menoleh ke arah Ive yang berdiri tegak di sebelahnya.
"Kau dengar? Berdiri!!" pekik Ive dengan lantang.
Dengan berat hati Ain berdiri. Ia terpaksa harus melihat lagi semua kejadian naas itu.
"Inilah ingatan yang disembunyikan oleh alam bawah sadarmu. Kau terlalu lemah untuk menerima kenyataan. Kau selalu lari dari kenyataan. Kau selalu bersikap dingin pada orang, kau menjauh dari semua orang. Bukan karena kau membenci mereka, tapi kau tidak ingin merasakan lagi rasa sedih karena kehilangan. Sekarang, berdirilah! Hadapi masa lalumu!"
Kata-kata Ive terdengar begitu keras, menerobos masuk ke dalam hati. Karena Ive berbicara melalui gelombang pikiran, kata-katanya bisa langsung terserap di alam bawah sadar Ain.
Ain berdiri, lalu menghela napas panjang. Ia menatap dalam-dalam semua kejadian di hadapannya yang selama ini ia lupakan.
"Sampai kapan kau mau menyalahkan dirimu sendiri, Ain? Terimalah. Terima, bahwa saat itu kau lemah. Saat itu, kau belum mampu untuk menyelamatkan semua orang yang kau sayangi. Terimalah, kalau Nerin, wanita yang menjadi sosok seorang ibu bagimu, yang bahkan kau lupakan, tewas saat melindungimu. Apa kau akan menyia-nyiakan pengorbanannya? Ain, masa lalu adalah sejarah. Masa depan adalah misteri. Hidup adalah detik ini, saat ini. Jangan kau sia-siakan!"
Ucapan lantang dari Ive kembali membuat Ain terhenyak. Tanpa terasa, kedua bola matanya kembali mengalirkan air mata dengan deras.
"Energiku sudah mulai habis. Ternyata, alam bawah sadarmu sulit untuk ditembus. Karena itu, aku harus pergi. Ingat, Ain, biarkan yang telah berlalu mengalir layaknya sungai. Ingat, kau punya orang-orang yang harus kau lindungi sekarang!"
Perlahan, sosok Ive terlihat memudar.
Ain hanya terdiam sambil masih terpaku melihat semua kejadian kelam di masa lalu-nya, yang membuat seolah ia benar-benar berada di sana saat itu.
"Terimakasih... Master...." ujar Ain dengan pelan sebelum akhirnya sosok Ive benar-benar menghilang dari sana.