"Ada surat di dalamnya." ucap Luna seraya mengambil surat di dalam kotak cinta itu.
"Baca saja, apa isi di dalamnya." ucap Alvaro dengan hati berdebar-debar.
"Aku...aku tidak bisa membacanya, aku merasa takut kalau Zenita mengetahui tentang kita." ucap Luna dengan tangan gemetar.
"Ya sudah, biar aku yang membacanya." ucap Alvaro sambil meraih surat yang ada di dalam genggaman tangan Luna.
Sambil menahan nafas, Alvaro membuka surat yang masih terlipat rapi.
Sebelum membaca Alvaro melihat ke arah Luna kemudian melihat ke arah surat dengan tulisan Zenita yang begitu sangat indah.
"Lunaku sayang. Selamat hari kasih sayang dan selamat datang dalam kehidupanku dan Alva. Aku senang kamu akhirnya kita bisa bertemu setelah dua tahun lamanya berpisah. Baik Mama, Papa dan aku sangat merindukanmu. Terutama Alvaro dia terlihat sangat merindukanmu. Kamu tidak tahu dalam hari-hari Alva hanya di sibukkan dengan pekerjaan tanpa ada kehidupan yang di penuhi warna cinta. Dua tahun sudah hari-hariku di warnai dengan cinta Alva. Namun baru aku tahu cinta Alvaro bukan untukku, tapi untukmu Luna. Aku tidak tahu aku harus menangis atau marah padamu? Kamu pasti bertanya-tanya bukan? bagaimana aku bisa tahu kalau Alvaro ternyata mencintaimu? Saat Alvaro demam dan tak sadarkan diri aku yang merawatnya tanpa sengaja aku melihat sebuah tato yang terukir namamu di dada kiri Alvaro. Aku sedih Luna, aku menangis keras. Kenapa kamu tidak jujur padaku kalau Alvaro mencintaimu. Luna, kamu juga mencintai Alva kan? kalau kamu mencintainya, kenapa kamu berikan Alvaro padaku? apa kamu terlalu sayang padaku Luna? Terima kasih Luna atas semua pengorbananmu. Maafkan aku Luna, karena rasa sayangku padamu tidak seperti rasa sayangmu padaku. Aku masih mempertahankan Alvaro untuk menjadi milikku. Aku ingin Alvaro menikahiku. Dan keinginanku sudah tercapai Minggu depan aku akan menikah dengan Alvaro. Tapi, Luna semakin mendekati hari pernikahanku kenapa aku merasa akan kehilangan Alvaro. Dan entah kenapa, tadi pagi aku melihat sebuah kalung yang sangat indah. Aku membelinya dan ingin kuberikan padamu. Ada dua kalung yang ku beli untukmu dan untuk Alvaro. Sengaja aku menempelkan foto yang terbalik agar kalian bisa saling mengingat dan tidak saling melupakan. Bagiku kalian berdua tetaplah sahabat, dan aku ingin kalian tetap baik-baik saja. Luna, anggap saja kata-kataku ini kata-kata terakhir dariku. Karena setelah ini aku tidak akan pernah membahas lagi masa lalu kamu dan Alva, karena aku akan segera menikah dengan Alva. Berikan kalung yang satu ini pada Alva ya Luna. Berikan pada sahabat tersayang kamu Alvaro. Semoga kalian berdua akan menjadi sahabat baik selamanya. Aku menyayangimu Luna. Tapi aku juga mencintai Alvaro. Maafkan aku yang egois, ZENITA"
Air mata Luna menetes di pipinya, bagaimana bisa Zenita menyimpan kesedihannya. Walau tahu Alvaro tidak mencintainya, tapi Zenita tetap bertahan dan mau menikah dengan Alvaro.
"Alvaro? benarkan apa yang aku katakan? tidak mungkin selama dua tahun kalian bersama, Zenita tidak mengetahui tato yang ada di dadamu. Apa saat itu kalian dalam keadaan tidur bersama?" ucap Luna dengan tatapan sedih bercampur rasa cemburu.
Alvaro menghela nafas panjang kemudian menatap penuh wajah Luna.
"Apa kamu berpikir saat itu aku tidur bersama dengan Zenita? apa kamu tidak bertanya apa yang terjadi padaku saat itu?" tanya Alvaro dengan suara bergetar.
"Aku tidak tahu, aku hanya bertanya saja. Dan apa yang terjadi padamu?" ucap Luna dengan wajah memerah.
"Aku sudah mengatakannya padamu, aku tidak pernah tidur bersama Zenita. Saat itu aku terluka saat bertugas. Aku berada di rumah sakit beberapa hari dan Zenita menjagaku. Bagaimana aku bisa tahu apa yang dilakukan Zenita saat aku pingsan." ucap Alvaro sama sekali tidak tahu apa yang dirasakan Luna atau isi hatinya.
Sesaat hati Luna merasa sangat sakit mendengar Alvaro terluka dan dia tidak ada di sampingnya. Namun dengan cepat Luna menepis perasaan sentimentilnya.
"Seperti yang di inginkan Zenita, selamanya kita adalah sahabat. Dan kita harus menerima kenyataan itu." ucap Luna dengan perasaan berat. Bagaimana bisa dia melupakan perasaan cintanya dengan mengganti perasaan pada seorang sahabat.
"Terserah apa yang kamu katakan saja. Percuma juga aku bicara kalau kamu tidak pernah mau mendengarkannya." ucap Alvaro sudah tidak bisa menahan tubuhnya yang lemas. Dengan sisa tenaga yang terakhir Alvaro bangun dari duduknya untuk segera keluar dari kamar yang membuat dadanya terasa sesak.
"Alva, tunggu!" panggil Luna saat tahu Alvaro meninggalkan kalungnya.
"Ada apa?" sahut Alvaro menghentikan langkahnya dengan tatapan matanya yang sudah berkunang-kunang.
"Kalungmu ketinggalan." ucap Luna seraya bangun dari duduknya dan mendekati Alvaro. Kening Luna mengkerut saat melihat wajah Alvaro yang pucat dan matanya yang sayu.
"Kamu simpan saja, aku tidak menginginkannya." ucap Alvaro sudah tidak bisa lagi menahan tubuhnya hingga hampir saja terjatuh jika Luna tidak cepat menangkapnya.
"Alva!! Alva! bangun! apa yang terjadi padamu?" tanya Luna sambil meraba kening Alvaro.
"Ya Tuhan! sepertinya Alvaro demam." ucap Luna seraya memapah Alvaro dan membaringkannya di atas tempat tidur.
"Alva, bangun! sadarlah." ucap Luna dengan tatapan cemas.
"Apa yang harus aku lakukan? apa aku harus memanggil Dokter? tidak! mungkin Alva hanya lelah saja." ucap Luna seraya meraba beberapa bagian tubuh Alvaro yang panas menyengat.
Dengan perasaan cemas, Luna mengusap punggung tangan Alvaro berulang-ulang agar Alvaro secepatnya sadar.
"Alva, bangunlah." ucap Luna mengamati wajah Alvaro yang terlihat pucat. Wajah hidung yang mancung dan rahang yang keras masih melekat di dalam wajah Alvaro yang tampan.
Tidak bisa Luna pungkiri kalau dalam hatinya masih tersimpan rapi rasa cintanya yang begitu besar pada Alvaro. Setiap detik dalam hari-harinya di basis Utara hanya bisa mengingat wajah dan kenangan bersama Alvaro.
Mengingat kenangan bersama Alvaro selalu membuatnya menangis. Rasa bersalah pada Alvaro selalu mencengkeram perasaannya.
"Maafkan aku Al, maafkan aku. Aku terpaksa menyakitimu demi melihat Zenita bahagia." ucap Luna dalam hati sambil menggenggam tangan Alvaro.
"Aku tahu, hati kamu pasti terluka. Dan selalu bertanya kenapa aku begitu tega menyakitimu hatimu. Semua ku lakukan demi kebahagiaan Zenita. Sejak kecil Zenita tinggal bersama nenek dia tidak mendapatkan kasih sayang dari Mama dan Papa. Sedangkan aku? mendapatkan kasih sayang yang berlimpah. Aku telah mendapatkan semuanya, tapi Zenita belum mendapatkan semuanya. Aku ingin memberikan kebahagiaan Zenita yang dulu hilang dengan memberikan cintamu padanya. Karena Zenita sangat mencintaimu." ucap Luna seraya mengusap lembut punggung tangan Alvaro.
"Aku tahu semuanya, kamu mengorbankan cintaku dan cintamu demi kebahagiaan Zenita." ucap Alvaro yang tiba-tiba sudah membuka matanya.