Ratih menggigit jari. Dia tidak berhenti menghubungi Hartoyo, suaminya karena berita demo anarkis yang tiba-tiba raib ditelan bumi. Bahkan teman-teman yang ikut dalam demo, tidak tahu keberadaannya. Seolah-olah ada sesuatu terjadi padanya.
"Ayolah, Mas. Angkat telponnya," gumamnya memohon.
Tapi telpon yang sedang dituju sedang tidak aktif. Ini sudah kelima kalinya Ratih menghubungi Hartoyo. Apabila sibuk, paling tidak nomor WhatsApp aktif meski terlambat. Akan tetapi, pesan yang terkirim selalu centang satu terus. Belum lagi, Aisyah juga tidak jelas keberadaannya. Kini, hatinya deg-degan. Makan pun tidak berselera. Ratih hanya bisa pasrah dan berharap mereka berdua tidak terjadi sesuatu padanya.
Suara bel berbunyi dari luar pintu. Sebanyak tiga kali bunyi terus ditekan dari luar. Ratih penasaran siapa yang menekan bel. Dia membuka pintunya.
"Assalamualaikum," kata seorang laki-laki membuka topinya.
"Waalaikumussalam. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Ratih.
"Apa ada seorang gadis bernama Rebecca Heimthr?"
"Rebecca ... apa?" tanya Ratih kebingungan.
Dia menunjukkan anak bayi berupa foto. Meski tidak begitu jelas dan warna hitam putih, setidaknya bayi tersebut dapat dilukis dengan baik.
"Jika anda maksud adalah Aisyah, itu anak saya. Memangnya ada apa Pak?"
"Saya mohon pertemukanku dengan dia. Ada yang ingin saya bicarakan dengannya berdua," katanya memohon.
"Tapi Aisyah sedang sekolah, Pak. Saya sendiri tidak tahu apakah sudah selesai atau belum," kata Ratih sedikit khawatir.
Wajar yang dia bicarakan orang asing. Apalagi bahasa Indonesianya benar-benar fasih.
"Begini saja. Saya tunggu di rumah Ibu. Sebagai gantinya, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada Ibu. Mengenai kondisi suami ibu," ujarnya.
Jantung Ratih berhenti berdetak. Tubuhnya tidak mampu bergerak untuk sesaat. Tapi Ratih berusaha sekuat tenaga untuk menahan emosinya. Dia membiarkan laki-laki asing masuk ke dalam. Mendengarkan kisahnya mengenai Hartoyo, suaminya.
"Silakan duduk Pak," katanya.
Laki-laki asing itu duduk, menerima pemberian satu gelas air putih. Dia meminum sekali tegukan. Setelah itu, dia menarik napas dan mulai berbicara.
"Maaf mengganggu waktunya. Tapi saya akan menceritakan kondisi suami ibu, Hartoyo. Dia sekarang diculik oleh seseorang," katanya tanpa basa-basi.
Jantungnya mulai berdegup kencang. Dia menelan ludahnya. Berharap tidak terjadi sesuatu padanya.
Sebuah pintu terbuka oleh salah satu pria berjas hitam. Dia mempersilahkan laki-laki bertopeng badut untuk masuk duluan. Membawa peralatan terjadi dari tang berukuran raksasa, kunci inggris, linggis, pemotong jari dan alat penyiksaan lainnya. Alat tersebut berlumuran darah, berapa kali pun digosok.
Hartoyo membuka kedua kelopak matanya perlahan-lahan. Dia melihat tiga orang laki-laki sedang berdiri. Yang satu sedang mempersiapkan sesuatu. Hartoyo menarik lengan yang terikat. Tapi tidak bisa karena sudah diikat dengan tali. Dia meronta-ronta, berusaha melepaskan diri.
"Diamlah ... aku sedang sibuk melakukan sesuatu,"
"Di mana ini? Katakan kepadaku!"
"Di mana ini? Bagaimana ya jelasinnya?" katanya dengan nada menggoda.
Kedua laki-laki berjas hitam menggunakan knuckle terbuat dari besi. Lalu menghajar Hartoyo sampai wajahnya dipenuhi luka dan lebam. Kedua matanya tidak bisa fokus karena pukulan yang dilancarkan terlalu keras.
"Oh ya. Kau pasti ikut terlibat dalam demo anarkis ya?"
"Demo anarkis? Apa yang kau bicarakan?"
Namun laki-laki bertopeng badut mengisyaratkan mereka berdua terus menghajarnya. Pukulan demi pukulan terus dilancarkan. Tidak peduli kondisi Hartoyo. Hingga kursi yang diikat terjatuh. Salah satu laki-laki berjas hitam menaruh kembali ke posisi semula. Hartoyo membuang ludah yang tercampur banyak darah.
"Kau tahu. Aku tidak peduli lho tentang demo anarkis atau semacamnya. Itu hanyalah rencana awal saja. Untuk selanjutnya ... rahasia," katanya memilih pemotong rumput.
Dia berjalan pelan menuju ke Hartoyo. Keduanya memasang penutup mata dan sebongkah kayu besar untuk digigit. Hartoyo terus meronta-ronta untuk melepaskan diri. Tapi tidak bisa karena ikatannya sangat kuat. Kepalanya terus menggeleng-geleng. Keringat bercucuran banyak di sekujur wajahnya. Tapi laki-laki bertopeng badut tidak mempedulikan hal itu.
"Nah beritahu aku. Di mana Gufron sekarang?"
Namun tidak ada jawaban darinya. Kedua tangan laki-laki bertopeng badut langsung memotong jari kelingking sekuat tenaga. Jarinya terpotong dan teriakan Hartoyo sangat keras. Dia mengangkat wajahnya disertai jeritan putus asa. Hartoyo memohon ampun kepada laki-laki bertopeng badut. Laki-laki berjas hitam mengambil potongan kayu. Membiarkan Hartoyo.
"Aku tidak tahu! Beneran aku tidak tahu! Tolong lepaskan saya! Saya mohon!" paraunya.
"Tidak mau~ Katakan di mana Gufron berada, baru kulepaskan," jawab laki-laki bertopeng badut.
"Tapi untuk apa anda mencari Gufron?"
Laki-laki bertopeng badut menyuruhnya untuk memasang kembali potongan kayu ke mulut. Lalu menaruh lampu di atas kepala.
"Aku bertanya sekali lagi. Di mana Gufron berada?"
Namun tidak ada jawaban dari Hartoyo. Sebaliknya tatapannya berubah menjadi kebencian terhadapnya. Seketika, laki-laki bertopeng badut gembira ditatap seperti itu.
"Aku suka, Aku suka, Aku suka! Mata indahmu ... perlu kucongkel satu persatu nih," katanya senang.
Hartoyo mendesah berkali-kali. Berharap dirinya diampuni oleh laki-laki bertopeng badut. Tapi nyatanya tidak. Laki-laki bertopeng badut terus memotong jarinya satu persatu. Lontaran pertanyaannya serupa. Yaitu menanyakan keberadaan Gufron. Tapi jawaban selalu sama. Laki-laki bertopeng badut melihat enam jari telah dipotong. Satu tangan dipotong oleh laki-laki bertopeng badut sebanyak tiga jari.
"Pertanyaan terakhir ... Di mana Gufron berada? Atau ... aku akan mengincar gadis ini," katanya menunjukkan foto Aisyah bersama Hartoyo dan Ratih. Mereka bertiga sedang foto bersama di sebuah kebun binatang.
Meski berapa kali pun dia menjawab, laki-laki bertopeng badut tetap menyiksanya. Hartoyo hanya bisa pasrah kehilangan banyak jari. Tapi jika dia menyangkut putri dan istrinya, dirinya tidak akan diam begitu saja.
"Jangan kau sentuh mereka. Istriku dan putriku itu tidak tahu apapun soal ini,"
"Kalau begitu katakan di mana keberadaan Gufron sekarang? Dan juga ... jangan bohong. Karena akan ketahuan kalau kau berbohong di hadapanku" kata laki-laki bertopeng badut.
Dia membaca pikiran Hartoyo. Laki-laki bertopeng badut bukanlah orang bodoh. Dia sudah garam asam sering dibohongi. Tidak kaget jika satu kata dirinya bisa terbunuh.
Namun Hartoyo tidak memiliki pilhan. Di saat lidahnya siap menjulur dan siap bersuara, seorang laki-laki berjas hitam berbisik ke telinga laki-laki bertopeng badut.
"Benarkah? Baiklah kalau begitu," katanya menaruh kembali alat penyiksaan.
Laki-laki bertopeng badut menaruh alatnya di pojok. Dengan santainya, dia berjalan bersama dua orang laki-laki berjas hitam. Salah satu dari mereka membuka mulut Hartoyo. Kemudian membuang sepotong kayu ke lantai. Pergi meninggalkannya sendirian. Lalu pria bertopeng badut menoleh ke Hartoyo.
"Aku sudah tidak tertarik dengan pertanyaan itu. Tapi ... kemungkinan besar aku sudah tahu keberadaan keluargamu," ujarnya.
"Dasar bajingan! Sini kemari kau! Akan kubunuh kau kalau terjadi sesuatu pada mereka!"
"Aku takut, Aku takut. Kira-kira mereka matinya seperti apa ya? Dipenggal atau disiksa dulu?" kata pria bertopeng badut.
Erangan dan amarah memuncak dari Hartoyo. Dia terus berteriak dan mengucapkan sumpah serapah hingga mengganggu telinga laki-laki bertopeng badut.
Dari celah jendela, sebuah drone merekam kejadian tersebut. Terlihat Hartoyo berusaha melepaskan diri dari ikatan yang cukup kuat. Serta juga meronta-ronta meminta bantuan. Tapi Hartoyo melihat dindingnya kedap suara. Wajar tidak ada seorang pun kemari.
Layar hitam dimatikan. Ratih meneteskan air mata. Tidak mampu melihat suaminya diperlakukan kejam oleh laki-laki bertopeng badut.
"Astaghfirullah hal adziim," katanya air matanya tidak mampu membendung lagi.
"Kini nyawa anda dan Aisyah dalam bahaya besar. Jika berdiam diri di rumah, mereka akan kemari untuk membunuh keluarga anda,"
"Apa sebaiknya kita lapor ke polisi saja?" tanya Ratih bernada panik.
"Polisi tidak akan membantu. Mereka sibuk berkutat dengan masalah yang dinilai umum. Tapi melihat kondisi ini, sangat kecil mereka akan bertindak," kata laki-laki asing.
"Jadi apa yang harus saya lakukan?"
"Pertemukan saya dengan Aisyah. Itu satu-satunya untuk menghindari mereka,"
Ratih mengusap matanya. Memang dirinya tidak tahu apa hubungan antara laki-laki yang baru ditemui dengan Aisyah. Tapi untuk saat ini, dia tidak memiliki pilihan kecuali percaya kepadanya.
"Saya tidak masalah jika pertemukan dengannya. Tapi apa hubungan anda dengan putri anda?"
"Putri anda? Apa maksud nyonya? Dia itu putriku," katanya.
Seketika, Ratih bingung dengan pernyataan laki-laki barusan. Dia ingin menegur, tapi ditelpon oleh Aisyah. Lalu Ratih mengangkat telponnya.
"Assamualaikum,"
"Waalaikumussalam. Kau di mana, nak?"
"Aku mau pulang, ma! Mau ambil perlengkapan dan lain-lain. Nanti aku makan—"
"Nak, ada seseorang ingin berbicara kepadamu,"
Aisyah terdiam sejenak. Kemudian Ratih memberikan smartphone kepada laki-laki asing itu.
"Siapa ini?"
"Rebecca? Apa itu kau?"
"Rebecca? Katakan siapa kau dan jika kau mengancam ibuku, aku akan—"
"Tidak perlu mengancam seperti itu. Aku tahu kau masih bingung dengan perkataanku, Rebecca anakku," kata laki-laki bernada melas.
Gadis berhijab memilih bungkam. Beberapa saat kemudian, dia terdengar suara menghela napas.
"Beritahu kepadaku. Siapa kau dan kenapa tidak menemuiku segera?"
"Soal itu ... aku terpaksa melakukannya karena ingin melindungimu,"
"Melindungiku? Omong kosong. Melindungi dari siapa yang kau maksud? Apa jangan-jangan seseorang yang mengincar nyawaku?" tanya Aisyah.
Tidak ada jawaban dari laki-laki asing itu. Dia menundukkan kepala, merasa bersalah karena menyembunyikan sesuatu.
"Katakan sesuatu dong! Aku tidak ada waktu untuk meladenimu!" bentaknya.
"Namaku Ash Heimthr. Seorang ksatria satu-satunya yang tersisa dari Persatuan Amerta. Kau ... adalah keturunan dari ras Isekai. Ibumu adalah wanita dari negara bernama Italia. Namanya ... Amelia Rosanna,"
Bibirnya kelu. Tidak mampu menyembunyikan apapun karena Aisyah berhak mengetahuinya. Akan tetapi, reaksinya berbeda dari apa yang diharapkan.
"Ibuku di mana sekarang? Aku mau bicara dengannya,"
Ash Heimthr memberikan smartphone kepada Ratih. Tapi tangisannya berhenti. Suaranya terisak-isak.
"Mama kenapa? Kok tiba-tiba menangis? Apa orang itu memperlakukan mama dengan buruk?"
"Tidak nak. Ini soal ayahmu ... dia diculik," kata Ratih tidak mampu menutupi hal ini
"Apa? Tidak mungkin ayah diculik! Siapa yang tega melakukan hal itu?"
"Aku tidak tahu nak. Tapi yang jelas, orang itu mengenakan topeng badut. Mama dibantu diperlihatkan sebuah video dari ayah kandungmu. Mama kirimkan segera," katanya.
Tangannya gemetar. Aisyah berusaha sekuat tenaga untuk menekan rasa amarah mendalam. Dia sedang melompat ke tiap rumah, untuk memperpendek jarak. Jika tidak memungkinkan, Aisyah memilih bergelantungan ke tiap pencakar langit atau pohon. Sayangnya mencari pohon yang seukuran tidaklah mudah. Karena itu, dia terpaksa memakai kendaraan dan naik ke atap mobil atau kendaraan umum lainnya. Meski cara itu terkesan lambat karena kota Jakarta macet total.
Aisyah keluar sejenak dari aplikasi whatsapp. Membuka file yang dikirimkan oleh Ratih. Dari video di atas, terdapat laki-laki bertopeng badut dan dua orang laki-laki berjas hitam. Mereka bertiga sedang menyiksa Hartoyo hingga babak belur. Setelah kondisi mentalnya jatuh, laki-laki bertopeng badut pergi begitu saja.
"Laki-laki itu! Aku tidak akan pernah memaafkannya!" geramnya.
"Mama tahu kau marah. Tapi tenanglah. Istighfar yang banyak dan tarik napas dalam-dalam,"
Meski terlihat enggan, Aisyah mengikuti ibunya. Dia melakukan persis yang disuruh. Bersamaan duduk di atap. Anehnya, di dalam kendaraan tidak ada satu orang pun yang menyadari. Hal itu disebabkan Aisyah menggunakan kemampuan [Stealth]. Dengan kata lain, pergerakannya tidak mengganggu area sekitar.
Aisyah memejamkan mata. Membulatkan tekad untuk membalaskan siksaan yang dilakukan laki-laki bertopeng badut.
"Mama, terima kasih. Aku sudah mendingan kok,"
"Sekarang, kau bersama siapa pulangnya?" tanya Ratih kepada Aisyah.
Seketika, dia kebingungan harus menjawab apa. Aisyah meninggalkan Fanesya dan Florensia di sekolah. Gadis berhijab berkeringat dingin.
"Apa jangan-jangan kau melakukan hal gila lagi ya, Aisyah?"
"Ternyata ketahuan ya, mama?" katanya bernada lemah.
Helaan keluar dari mulut Ratih. Tidak menyangka putri semata wayangnya malah berbuat nekat.
"Mama tahu karena kebiasaanmu sering memanah dan melompat pagar atau jendela. Tanpa sepengetahuan mama pula. Kayak pencuri saja kau," keluhnya.
"Habis mama dan papa selalu melarang Aisyah dan diminta menjadi gadis penurut," sanggahnya.
"Tapi mama tidak mau kau menjadi pamanmu. Dia itu—"
"Ya, ya. Aisyah tahu. Karena itulah, Gufron membimbingku supaya tidak menjadi seperti dia," sela Aisyah perkataan Ratih.
Walau demikian, Aisyah mengakui orang tua angkatnya mengajarkan kebaikan tanpa henti. Bahkan dia lebih mengenal Islam. Dalam tersenyum, gadis berhijab hanya bisa bersyukur dibesarkan di kehidupan normal.
"Jika kau memang ayahku, katakan di mana ayah tiriku berada?" tanya Aisyah.
"Ayah tiri? Apa Aisyah mencoba—"
"Tenang saja, ma. Aku ingin mengetahui apa orang itu bisa dipercaya atau tidak. Hanya itu saja," katanya bernada enteng.
Ratih menoleh ke Ash. Laki-laki itu memang terlihat mencurigakan. Tapi apabila dia bisa mengetahui keberadaan suaminya, Hartoyo. Mau tidak mau harus mencoba mengorek darinya.
"Baiklah, mama percaya kepadamu. Mama akan bertanya kepadanya sekaligus mengirimkan lokasi kepadamu,"
"Ok kalau begitu,"
"Berhati-hatilah nak. Mama berdoa supaya tidak terjadi sesuatu padamu,"
"Ya, ya. Assalamualaikum," kata Aisyah menutup telponnya.
Saat itulah, Aisyah membulatkan tekad untuk menyelamatkan tekad dibandingkan lainnya
To be Continued