Puas tertawa bersama, Aisyah, Fanesya dan Florensia berdiskusi mengenai rencana ke depan. Terutama ketiganya sudah berbaikan.
Meski Aisyah dan Florensia agak canggung, setidaknya Fanesya bisa menengahi kedua pihak tanpa sungkan. Ketiganya duduk bersila. Menulis poin poin inti permasalahan mereka.
"Bagaimana kalau kita membuat group Vigilante?" usul Fanesya.
"Huh?" kompak Aisyah dan Florensia satu suara.
Wajar mereka berdua bingung dengan usulan Fanesya. Pasalnya, belum pernah ada siswa atau siswi melakukan tindakan di luar hukum. Di sisi lain, Fanesya sudah memperhitungkan konsekuensi dan pilihan yang diambil. Apalagi kasus pemilihan umum akan berujung anarkis. Dan para polisi tidak mampu menghentikannya.
"Tapi kalau sebanyak itu apakah bisa diatasi dengan mudah?" tanya Florensia.
"Asalkan kita rekrut banyak orang, kenapa tidak?"
"Menurutku tidak perlu mendirikan group vigilante deh," tolak Florensia
"Kenapa?" tanya Fanesya kepada Florensia.
Gadis bandana merah polkadot membuka browsing internet. Dia menunjukkan beberapa peristiwa. Contohnya tahun 1981, salah satu orang di sebuah pedesaan Skidmore, Missouri menembak pembully Ken Rex McElroy pada siang hari, tanpa terkena hukuman penjara. Para saksi membisu mengenai penembaknya. Lalu tahun 1954, Kepolisian Thailand mendirikan Volunteer Defense Corps hingga 1976. Tepat ketika mereka terlibat dalam pembantaian Universitas Thammasat.
Membacanya saja membuat Fanesya dan Aisyah berpikir dua kali. Memang dalam satuan perlindungan semacam tentara dan polisi, mereka tidak mampu berbuat apa-apa jika menangani tindakan anarkis. Salah sedikit saja, masyarakat bisa antipasti terhadap mereka. Tapi keduanya paham dengan keresahan Florensia. Aisyah sendiri terus terang firasat buruk terhadap keluarganya. Oleh sebab itulah, dia berkeinginan menegakkan keadilan dengan caranya sendiri. Tapi kendalanya adalah gadis berhijab itu belum memiliki keberanian seperti Florensia.
"Beri aku waktu, Florensia. Aku … mempertimbangkan usulanmu," kata Aisyah.
"Aisyah! Apa kau gila!" ucap Fanesya menuntut jawaban ke Aisyah.
"Kan sudah kubilang. Aku masih mempertimbangkannya. Kalau mau, aku pasti bergabung dengannya," ujar Aisyah tersenyum memaksa.
"Tapi—"
"Aku tahu kok. Makanya kubiarkan kalian pikir-pikir mengenai tawaranku," ucapnya tersenyum.
Fanesya menghela napas. Tangan kiri menggaruk-garuk kepalanya. Hingga kemudian, Florensia memulai bicara.
"Memang merepotkan ya, menjadi keturunan terakhir ksatria Templar," gumamnya.
Seketika, Aisyah dan Florensia terkejut dengan ucapannya. Keduanya menatap mata Florensia penuh penasaran. Mulut Gadis bandana merah polkadot tenganga melihat mereka. Dia berusaha menjaga jarak Aisyah dan Fanesya. Tapi mereka berdua justru mendekatinya. Langkah mundur Florensia terhenti saat di belakangnya ada tembok. Kini mata mereka berdua penuh berbinar-binar. Ingin mendengarkan kisah asal usul Florensia.
"Kalian ini senang banget ya dengarkan kisahku," keluh Florensia.
"Mau bagaimana lagi? Senjatamu sendiri dari Templat Knight. Jarang lho kita menemukan sesuatu yang langka di Indonesia," ucap Fanesya.
"Betul tuh!" Aisyah malah mengiyakan ucapan Fanesya.
Florensia mengambil permen karet. Lalu mengunyahnya berkali-kali. Mau tidak mau, dia menceritakan masa lalu sedikit mengenai kisahnya.