"Baiklah, inilah cerita mengenai penyebab kakek dan nenekku merantau ke Jakarta. Kisahnya sebagai berikut:"
"PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) terjadi sejak 15 Februari tahun 1958 dengan keluarnya ultimaum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat. Ultimatum tersebut hanya untuk menuntut terjadinya otonomi daerah akibat pembangunan yang sentralis di daerah Jawa. Daerah luar Jawa menjadi daerah yang semakin terpinggirkan. Namun pemerintah pusat menganggap gerakan tersebut sebagai bentuk pemberontakan yang harus ditumpas dengan mengerahkan kekuasaan senjata melalui operasi gabungan TNI yang terdiri dari angkatan darat, laut dan udara sehingga terjadilah perang saudara antara tentara pusat dengan orang Minang".
"Penumpasan PRRI difokuskan menyerang ke kampung - kampung karena diyakini para gerilyawan berada dikampung, bukan di kota sehingga suasana di kampung takut sekali mencekam sehingga warga kampung banyak yang melarikan diri ke kota. Hal yang sama terjadi pada Kakek yang melarikan diri dari kampungnya menuju ke kota Bukittinggi".
"Sebelum Kakek melarikan diri ke kota, sebelumnya Kakek tinggal di Koto XI Tarusan yang merupakan nama kecamatan di kabupaten di Pesisir Selatan. Nama Kakek yang sebenarnya adalah Datuk Maringgi, namun Eyang merubah nama anaknya setelah PRRI menjadi Trisanto".
"Pada tahun 1958 sewaktu terjadi pergolakan perang antara tentara pusat dengan orang Minang, Kakek Moyang ikut terlibat dalam gerakan PRRI. Setelah bergabung, Kakek Moyang pergi dari rumah bergabung dengan pasukan orang Minang bersatu berjuang demi kemajuan daerahnya menuntut hak dari pemerintah pusat yang telah menyimpang dari jalur semula dan mendukung PKI"
"Tak ada kabar sejak kepergian Kakek Moyang hingga setaun kemudian disaat Kakek berusia 4 tahun, tiba-tiba desanya diserbu tentara darat, tanpa bertanya terlebih dahulu mereka langsung membunuh para pemuda yang ada di desa. Sedangkan istrinya dikumpulkan, diinterogasi dan dipaksa untuk mengaku sebagai anggota keluarga yang terlibat dalam gerakan PRRI melalui penandatanganan surat pengakuan, kalau tidak mau maka anak anak mereka akan dilukai bahkan dibunuh. Setelah mengakui, rumah mereka diberi tanda silang".
"Awalnya mereka tidak mengerti apa yang dilakukan para tentara pusat itu. Hingga akhirnya 4 tank baja masuk desa dan mengebom rumah - rumah mereka yang sudah diberi tanda silang hingga rumah itu hancur musnah terhantam bom dan terbakar, lalu peluru mortir ditembakan ke segala arah secara membabi buta mengenai para penduduk desa. Para penduduk desa kocar kacir menyelamatkan diri ke segala penjuru arah untuk menyelamatkan diri sendiri, namun para tentara menembakan senapannya ke warga yang mencoba melarikan diri itu yang tak pandang bulu, wanita dan anak - anakpun menjadi korban. Bukan hanya itu, penduduk yang lari ke hutan di hujani peluru dan bom dari tentara udara. Korban luka dan mayat bergelimpangan di mana- mana.
"Untunglah Nenek Moyang beserta Kakek berhasil menyelamatkan diri ke goa di hutan sehingga mereka selamat dari serangan tentara darat dan udara. Sebelumnya, Nenek Moyang mendapat firasat buruk, tepat sewaktu mereka dibebaskan dari interogasi maka mereka segera berkemas dan lari meninggalkan rumah mereka ke tempat persembunyiannya di goa. Sewaktu berlari, benar saja bunyi bom dan tembakan mulai terdengar dari arah desanya, mereka makin memacu larinya dan akhirnya tiba selamat di goa sewaktu hutan di bombardir".
"Malam hari setelah bunyi bom dan tembakan tak terdengar lagi, mereka bergegas meninggalkan goa itu karena takut para tentara pusat keesokan harinya akan menyusuri semua wilayah sehingga semalaman mereka berjalan meninggalkan daerah kampung halamannya.
"Penumpasan PRRI berpusat di kampung - kampung, bukan di kota sehingga suasana di kampung takut sekali mencekam sehingga warga kampung banyak yang melarikan diri ke kota. Hal itulah yang menjadi penyebab mereka pindah ke daerah perkotaan satu ke daerah lain dengan berdagang sebagai kedok dan modal untuk merantau mencari keberadaan Kakek Moyang dan mencari daerah aman untuk menjadi tempat tinggal baru"
"Selama perantauan mereka, tiap Nagari (wilayah kampung) yang sudah ditaklukan dan dikuasai daerahnya oleh tentara pusat, maka dibuat tugu - tugu di kampung. Sedangkan Nagari yang belum ditaklukan, maka mereka menyebarkan kabar agar warganya segera pergi meninggalkan daerahnya demi keselamatan mereka sendiri, namun tetap saja ada warga yang tak percaya berita yang mereka sampaikan, namun Kakek tak ambil pusing karena percaya atau tidak itu pilihan mereka dan resikonya tanggung sendiri".
"Sampai akhirnya suatu hari mereka mendapatkan kabar dari rekan seperjuangan pemuda kampung mereka, namun ternyata kabar yang mereka dapatkan merupakan kabar terburuk walaupun mereka sudah menduganya tapi tetap saja mendengar langsung berbeda dengan menduga dan berharap karena menduga itu merupakan sesuatu hal yang tak pasti sehingga mereka masih ada harapan akan keselamatan beliau. Sedangkan mendengar kabarnya langsung membuat harapan menjadi redup dan sirna hingga akhirnya mereka memutuskan menetap di kota Bukittinggi pada tahun 1960".
"Tak lama mereka menetap di Bukittinggi, pada saat Kakek dan Nenek Moyang sedang berdagang di pasar, orang - orang ramai membicarakan tentang tentara pusat yang menggiring orang - orang Minang yang kalah dan menjadi tahanan akibat gerakan PRRI. Setelah mereka mendengar hal itu, mereka bergegas mencari rombongan tentara itu"
"Rupanya mereka berkumpul mengitari monumen jam Gadang, Kakek menyaksikan tentara pusat menggiring ratusan orang mayoritas laki-laki dengan total 187 orang dalam kelompok kecil ke sekitar monumen jam Gadang. Kakek mencoba mencari Kakek Moyang, harapan semoga Kakek Moyang ada di sana, namun tak ditemukannya. Kerumunan masyarakat yang menyaksikan diusir dan dibubarkan oleh para tentara sehingga Kakek tak dapat menyaksikannya lagi. Walaupun tak melihat, namun terdengar suara tembakan berkali - kali dari arah jam Gadang".
"Akhirnya PRRI kalah pada tahun 1961, tanah Minang di kuasai oleh orang Jawa. Hal ini bagi orang Minang berdampak pada lahirnya orang - orang baru dengan spirit baru dengan memperbarui diri tapi tidak memutuskan sesuai dengan spirit dari kata Minang adalah Perubahan. Sebagai bentuk strategi bertahan orang - orang Minang maka para orang tua mulai menamakan anak - anaknya dengan nama yang mirip nama orang jawa, tapi nama Jawa yang mereka gunakan ada artinya sesuai kreasi mereka ciptakan".
"Sama halnya yang dialami kakek, namanya diubah dan diganti menjadi Trisanto, mirip dengan nama orang jawa namun itu merupakan nama singkatan dari tempatnya berasal dari Koto XI Tarusan. Hal ini sebagai bentuk pengadopsian seperti apa yang diinginkan oleh pusat yang ingin mensentralisasikan Indonesia yang berdampak warga Minang menamai anaknya sesuai keinginan mereka. Tak ada celah untuk mengeksiskan Minang itu kembali sehingga terputus dengan masa lampau".
"Tujuan perubahan nama itu dapat mempermudah segala urusan di Wali Nagari (kantor pemerintahan) contohnya melaporkan akta kelahiran, KTP, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga lebih mudah mendaftar masuk jadi PNS, kepolisian maupun Akabri. Sedangkan warga Minang yang merantau ke pulau Jawa, mereka jadi lebih mudah diterima dengan baik".
"Kakek tumbuh besar di kota Bukittinggi hingga menikah dengan Nenek, akhirnya mereka berdua memutuskan meninggalkan daerahnya dan merantau ke Jakarta. Hal ini karena kakek nenek menganut wejangan "kalau takuik diujung badia, pai kapangka badia" yang artinya kalau takluk di ujung pistol maka pergi ke pangkal pistol".
"Walaupun di Jakarta mereka tak memiliki sanak saudara, namun mereka merasa tak sendiri karena mereka banyak bertemu dengan sesama perantauan Minang yang akhirnya menjadi saudara karena merasa senasib hidup di perantauan".