Chereads / Shitty World & Heroes / Chapter 20 - Chapter 16 : Gentar

Chapter 20 - Chapter 16 : Gentar

Mahfuzi pun mulai memberikan informasi yang kami minta.

Sang Buku memperlihatkan segalanya dengan sejelas – jelasnya.

Kebenaran Tujuh Pahlawan dan fenomena THE END.

Kisah itu bermula dari munculnya makhluk – makhluk mistis buas yang merusak tatanan kehidupan manusia.

Seorang peramal menjelaskan tentang akhir dunia dan bagaimana cara menyelamatkannya.

Sesuai isi dari ramalan, tujuh manusia berkumpul.

Mereka adalah Wyn, sang penyihir. Daz, sang pembunuh. Tir, sang agung. Bax, sang pemburu. Non, sang pengingkar. Myn, sang aristokrat. Dan terakhir adalah Gran, sang peniup.

Ketujuh manusia yang terpilih oleh ramalan adalah mereka yang paling berpotensi untuk mengalahkan sumber malapetaka yang menimpa dunia yaitu , Sang Entitas Mutlak.

Diperlihatkan kembali oleh Mahfuzi tentang betapa beratnya pertempuran mereka dalam mengalahkan musuh – musuhnya. Harta dan raga terus dikorbankan. Jiwa – jiwa pemberani terus melayang. Keringat dan darah tak henti – hentinya mengalir demi kedamaian abadi.

Ketujuh pahlawan akhirnya berhadapan dengan . Sebuah pertempuran sengit pun terjadi. Dengan mengerahkan segalanya, berhasil dikalahkan dan sisa – sisa kekuatannya disegel dalam dimensi tak berujung.

Kemenangan yang dinanti oleh dunia pun tiba. Manusia bersorak sorai akan kedamaian yang diperoleh dengan pengorbanan yang tak terhingga.

Hanya saja ...

Rasa takut dan angkuh manusia mulai menyambangi sanubari mereka. Manusia mencari segala cara untuk tetap menjaga kedamaian ini terus berjaya.

Akhirnya sebuah tabu pun dilanggar.

Para manusia yang angkuh dan ketakukan itu menggunakan jasad para pahlawan yang telah mati untuk menciptakan senjata yang bisa mengalahkan segala ancaman di masa depan.

Jiwa – jiwa pahlawan tak terima dengan perlakuan yang tidak pantas tersebut. Mereka meronta – ronta dan mengutuk para manusia dengan kebencian yang mengendap jauh di dalam takdirnya.

Namun sekuat apapun jiwa yang telah meninggalkan jasadnya, tak berarti apa – apa di hadapan mereka yang masih hidup. Jiwa para pahlawan berhasil disegel dalam benda pusaka yang menjadi simbol kehebatan mereka dahulu.

Berkat pengkhianatan dan penistaan yang manusia lakukan terhadap mereka, jiwa pahlawan yang masuk ke dalam benda itu menjadi sebuah kutukan yang membawa kehancuran mereka sendiri.

Manusia saling memperebutkannya. Bahkan nyawa adalah harga yang murah untuk ditukar dengan kekuatan terkutuk dari benda pusaka pahlawan tersebut. Terus dan terus terjadi, siklus kebodohan yang tiada habisnya.

Gran, salah satu dari ketujuh pahlawan yang masih hidup menyaksikan kekejian itu. Ia sangat murka melihat kebusukan manusia yang terus menginginkan segalanya. Sampai tubuh dan jiwa rekannya dijadikan alat penjamin terjaganya kenikmatan mereka. Kejijikan yang ia rasakan telah mencapai batasnya.

Gran akhirnya pergi meninggalkan sisi kemanusiaannya. Ia menelan sisa kekuatan lalu menjadi makhluk yang memiliki keabadian.

Sebagai sosok yang memiliki kekuatan dan keabadian, Gran pun membuat sebuah rencana untuk membangun kembali peradaban manusia.

"Akhirnya," teriak Gran. "Akhirnya mimpi ini akan terwujud!"

Setelah lama waktu berlalu, Gran berhasil menciptakan sebuah distorsi di inti Elysium. Ruang dan waktu dibelokkan sekehendaknya. Ia terus memainkan melodi penciptaan dengan terompetnya. Menyusun ulang segalanya dari awal. Menghapuskan masa depan yang busuk dan penuh keputusasaan.

Sayang, usahanya itu gagal.

Kegagalannya menyebabkan ketidakstabilan dimensi dan melemparkan Elysium ke sebuah tata surya yang tidak diketahui.

Elysium yang terlepas dari orbitnya, menjadi sumber kematian pada planet yang akan diterjangnya.

Itulah Bumi (Earth), yang tepat berada di jalur lintas Elysium.

Tabrakan itu tak terhindarkan, menghancurkan kedua planet tanpa jeda dan celah. Melenyapkan kehidupan, masa depan dan eksistensinya.

Namun muncul kembali dan berhasil menahan kehancurannya pada titik kritisnya. Sebagai bentuk pertaubatan atas kelalaian dan keangkuhannya dahulu, Ia terlahir kembali dari tekad kuat manusia yang ingin menyelamatkan dunia. Dengan mengambil jiwa – jiwa mereka dan menjadikannya sebagai bagian dari dirinya, berhasil menyelamatkan dunia dan menjadi pondasi utama Earsya hingga kini.

Sayang seribu sayang, Gran masih hidup dengan membawa tekad yang sama kuatnya.

Sekali lagi, ia akan melakukannya. Mewujudkan impian dan melahirkan kembali dunia yang suci dan terbebas dari dosa.

Ia kembali dengan nama yang baru.

Sang Pemimpin Dunia.

Grandorus.

~0~

"Mustahil ..." Wajah Alisha pucat seketika. "Bagaimana mungkin?"

Bibirnya yang gemetaran itu menjadi rasa takut dalam benakku.

Aku langsung menggengam erat tangannya. Keringatnya yang bercucuran itu bukan sebuah candaan.

"Kamu baik – baik saja? Apa yang terjadi?" tanyaku.

Alisha terlihat begitu syok dengan apa yang diperlihatkan Mahfuzi.

Aku tidak mengerti. Sama sekali tidak.

Kemudian sang gadis pun perlahan membuka mulutnya—menjawab pertanyaanku.

"Dia ..." Alisha menunjuk pada wajah manusia aneh yang bernama Grandorus. "Dia adalah pemimpin Great United Nation dan pendiri Great Association."

Kepalaku berputar dan mata langsung menatap tajam pada wajah manusia tersebut. Rasa familiar itu menghujam kuat ke dalam kepalaku. Grandorus, wajahnya terdapat di dalam buku panduan Great Association.

"Jadi ... penyebab utama fenomena The End adalah kakek tua bangsad ini?" Aku langsung bertanya pada Sang Pemandu. "Apakah kamu yakin Mahfuzi tidak berbohong?"

"Lantang sekali bicaramu, Anak Adam." Suaranya bergetar keras, mengancam. "Mahfuzi tidak bisa dimanipulasi oleh makhluk apa pun. Ia akan tetap menunjukkan kebenaran hingga waktu akan berakhir."

Lututku tiba – tiba terasa lemas setelah mendengarnya.

Aku melepaskan tangan Alisha lalu memijit kening sebentar.

Otak ini sudah penuh dengan hal – hal yang tidak masuk akal. Kebenaran tujuh pahlawan dan fenomena The End membuat kepalaku semakin berdenyut keras.

Saat menoleh ke arah Alisha, ia tergeletak pingsan.

"Alisha!"

Aku langsung mengangkat dan menggendong tubuhnya dengan kedua tanganku. Tanpa ragu, aku meminta Sang Pemandu untuk mengembalikan kami ke tempat sebelumnya.

"Kau yakin?" tanya Sang Pemandu. "Jika kalian pergi dari sini, kalian tidak akan pernah bisa mendapatkan informasi apapun lagi dari Mahfuzi untuk selamanya."

"Aku yak—Alisha!" Sang wanita yang ada dalam genggamanku tersadar, menarik bajuku dan berusaha membuka mulutnya.

"J-Jangan, Rahl," lirihnya. "Kita harus mendapatkan kebenaran sebanyak – banyaknya. Sebelum ..."

Suara Alisha meredup. Jemarinya yang sempat menarik bajuku, terkulai lemas. Wajahnya yang semakin pucat membuatku tak punya banyak pilihan.

Jujur saja, aku tidak peduli dengan semua ini. Tapi jika Alisha menderita karena melihat kebenaran, aku akan mencegahnya. Walau hal itu pasti akan membuatnya membenciku.

"Kirimkan kami kembali, Sang Pemandu," pintaku.

Ada jeda sebelum dia mengabulkan permohonanku.

"Baiklah. Selamat tinggal."

Setelah ucapan Sang Pemandu tidak terdengar lagi, tanah bergetar dan langit – langit runtuh. Wujudnya juga mulai memudar bersamaan dengan cahaya yang menyinari seisi ruangan. Yang tersisa hanya gelap dan setitik bulir cahaya. Aku melangkah pelan dan mendapati diriku telah berada di tempat sebelumnya.

"Bahamut!" teriakku, "Buka portal menuju kamar Alisha!"

Bahamut tak sempat memahami keadaan. Namun saat melihat Alisha tak sadarkan diri dalam genggamanku, ia dengan cepat membuka portal dengan tangan kecilnya.

"Terima kasih, Bahamut!"

Langkahku dengan cepat melewati portal dan sampai di sebelah ranjang Alisha.

Aku membaringkannya perlahan dan mulai menyeka keringat di wajah hingga ke lehernya. Namun seluruh pakaiannya telah basah oleh keringat yang terus keluar.

Aku segera melucuti pakaian Alisha perlahan satu demi satu.

"Anak Kecil! Apa yang kau lakukan?" Bahamut berteriak keras sekali.

"Pakaiannya basah. Suhu tubuhnya meninggi. Jika dibiarkan situasinya akan memburuk."

"Walau begitu, kau tidak pantas melakukannya! Dia seorang wanita!"

"Dia memang wanita. Tapi dia juga ... sosok pahlawan bagiku, Bahamut."

Bahamut terdiam saat aku menatapnya dalam. Ia jadi ragu untuk membuka mulutnya. Tetapi tatapannya mendadak menjadi lembut, sebagaimana ia selalu menatap Alisha.

"Kau tidak perlu sampai menangis, Anak Kecil. Aku mengerti."

Aku hanya bisa mengangguk pelan pada Bahamut.

Segera kukembalikan fokus pada hal yang sedang kulakukan. Tentu dengan penuh kehati – hatian. Walau sesekali tanganku berhenti untuk menyeka air mata yang terjatuh.

Setelah selesai melepaskan semuanya, aku mengelap keringat di seluruh tubuh lalu mengganti pakaiannya. Kemudian memberikan kompres di dahi dan menaikkan selimut hingga ke dadanya. Kubelai pipinya yang memerah itu dengan lembut. Sembari memanjatkan doa dan harapan.

"Kamu pasti baik – baik saja, Alisha."

Aku mencoba tersenyum secerah senyuman miliknya. Namun air mata ini menggagalkannya. Rasa asin yang terkecap membuat senyumku runyam seketika.

"Rahl ... Apa yang sebenarnya terjadi?" Bahamut mendarat lembut di pangkuanku. "Aku juga ingin membantumu. Membantu Alisha juga."

Ada ketulusan yang tersirat dari ucapannya.

Segera kuseka bersih air mata yang menghalangi pandangan.

Dengan penuh keyakinan, aku akan menjelaskan semuanya kepada Bahamut. Dimulai dari awal kami kembali bertemu setelah fenomena The End berakhir.

~0~

Setelah The End berakhir, aku menemukan diriku di sebuah reruntuhan yang nyaris menguburku hidup – hidup. Saat itu aku sedang interview untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus sarjana. Naas, bencana itu menghancurkan segalanya. Perusahaan impianku, orang – orang yang akan bekerja sama denganku, dan pekerjaan yang setelah sekian lama kunanti, lenyap.

Aku mengira itulah ha terburuk yang bisa terjadi kepadaku. Sayang, dunia punya skenario melodramatis yang bisa membuatku menangis.

Kedua orang tuaku, adik – adik perempuanku, semuanya tewas mengenaskan. Keputusasaan itu datang bak air bah yang menghanyutkan kesadaranku. Membuatku tenggelam dalam kepedihan yang membuatku enggan untuk hidup. Namun ...

Alisha yang juga tak kalah menderita, datang mengulurkan tangannya padaku. Dengan menampakkan senyuman—seolah tak terjadi apa – apa. Seolah dia yakin semua itu ada hikmah yang harus dipelajari.

"Syukurlah, Rahl. Kamu masih hidup. Aku ... tidak sendirian."

Bulir – bulir air matanya kala itu membuatku tersadar. Aku tidak sendirian. Masih ada Alisha yang berdiri di sampingku.

Mungkin saat itu aku tidak menyadarinya. Bahwa dia telah menjadi sosok yang kukagumi. Aku tahu kalau itu bukanlah sesuatu yang bisa menggerakkan banyak orang. Tetapi bagiku, dia telah melakukannya. Menggerakkan jarum jam yang telah berhenti dalam diri ini.

Seiring berjalannya waktu, aku dan Alisha menemukan banyak terjadi kekacauan di dunia.

Mulai dari perebutan kekuasan, tipisnya persediaan makanan, hingga monster yang muncul dan menerkam manusia.

Dunia benar – benar kacau balau.

Namun kala itu, sosok yang menyebut dirinya Grandorus, berhasil menumpas para monster, menawarkan dialog pada seluruh pemimpin bangsa untuk bersatu, hingga menawarkan bantuan dari kemampuan ajaib yang ia dan pasukannya miliki.

Tak berlangsung lama, Grandorus berhasil menyatukan bangsa – bangsa dalam satu meja bundar yang disebut Great United Nation. Organisasi itu merupakan persatuan dari bangsa – bangsa yang menaungi seluruh manusia baik dari Bumi maupun Elysium. Mereka akhirnya mengukuhkan nama baru untuk planet ini. Yaitu Earsya.

Grandorus mengambil langkah selanjutnya dengan memanfaatkan orang – orang yang memiliki daya tempur dan berkontribusi tinggi dalam sebuah organisasi khusus yang disebut Great Association. Sebuah organisasi di bawah naungan Great United Nation untuk mengelola orang – orang yang pantas menjadi pahlawan.

Grandorus bagaikan sosok utusan dari Maha Kuasa yang menyelematkan manusia dari kekacauan dan mengembalikan tatanan kehidupan dengan sangat cepat. Begitulah sosok Grandorus di mata Alisha Aswa. Sosok yang begitu peduli akan kemanusiaan dan kedamaian dunia. Oleh sebabnya, Alisha yang tidak memiliki kekuatan spesial apa pun, menyerahkan hidupnya pada penelitian yang dapat membantu Grandorus sewaktu – waktu.

Bagi Alisha, Grandorus adalah pahlawannya.

Namun apa yang diperlihatkan Mahfuzi meruntuhkan segala yang telah ia yakini sepenuh hati. Menghancurkan eksistensi Alisha yang telah berjuang keras selama ini. Apa yang telah mendukungnya begitu kuat, ternyata adalah sosok yang berkebalikan dengan yang ia percayai.

...

"Bahamut, apa yang seharusnya aku lakukan?"

Bahamut membisu.

Tubuh kecilnya itu tidak bergerak. Tetapi tatapannya yang penuh keseriusan itu menciptakan keheningan. Aku ingin menghilang dalam keheningan ini. Selamanya.

"Bukankah dia memilikimu, Rahl?"

Suaranya itu memecahkan sunyi. Sebuah kalimat yang ingin kudengar, namun ...

"Apa kau tahu apa yang aku lakukan saat itu, Bahamut?" Aku menunduk, menyembunyikan wajah seorang pengecut. "Aku tidak melakukan apa – apa. Aku hanya melihat Alisha dari belakang. Hanya bisa memberikan semangat. Tidak ada bedanya aku dengan orang tidak berguna di luar sana. Aku ... tidak pernah berguna bagi Alisha."

Sentuhan dari jemari kecil Bahamut di tanganku, membuatku menatapnya.

"Yang menentukan berguna atau tidaknya bukanlah dirimu, Rahl, melainkan Alisha sendiri. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kau alami. Namun merendahkan nilai dirimu sendiri sampai sejauh itu membuatku muak!"

"Kau!" Aku spontan berteriak, lalu kembali memelankan suara dengan sedikit gemetar. "Kau tidak tahu apa – apa. Itu sebabnya kau tidak akan pernah mengerti betapa tidak bergunanya diriku."

"Apa kau gila?" Dia balas berteriak. "Apa kau tidak tahu siapa yang menyelamatkan Alisha dari Penjaga Babylon Tower? Itu kau! Apa kau tidak tahu siapa yang menyelamatkan Alisha dari keputusasaannya saat berada di dalam sini? Itu juga kau! Apa kau juga tidak tahu siapa yang menyelamatkannya dan membawanya ke tempat tidur ini? Bukankah itu juga dirimu, Rahl?"

Air mata terjatuh membasahi jemariku. Itu bukan air mata Bahamut. Itu adalah air mataku yang mengalir saat mendengar ucapannya. Dadaku seketika menjadi sesak. Namun bukan sesak yang kubenci. Kesesakan itu mengangkat penat yang sedari dulu telah memberatkan setiap detikku. Kemudian melahirkan perasaan yang sama saat melihat Alisha selalu tersenyum ceria.

Ya. Kebahagiaan itu datang tiba – tiba. Menyeruakkan air mata yang tak bisa kuhentikan.

Untuk pertama kalinya—setelah sekian lama—ada seseorang yang mengakui diriku ini benar – benar berguna.

Aku benar – benar bersyukur.

Aku ingin berterima kasih. Namun sepatah kata pun tak bisa keluar dari mulut cengeng ini. Membuatku terlihat seperti lelaki yang menyedihkan.

Sebuah sentuhan lembut dapat kurasakan di atas kepala. Sentuhan itu berulang – ulang terjadi, seperti sebuah elusan untuk menenangkan bayi yang sedang menangis.

"Perjalananmu masih panjang, Rahl," ucapnya. "Kamu masih punya banyak waktu untuk membahagiakan Alisha."

Aku hanya bisa mengangguk. Dengan penuh harap kalau hal itu bisa kuwujudkan. Karena Alisha sudah menjadi sesuatu yang sangat penting bagiku.

"Angkat wajahmu, Rahl. Bukankah seorang lelaki harus lebih tegar dari wanita yang ingin dia bahagiakan?"

Itu adalah sebuah ledekan. Namun entah mengapa, aku mendengarkan sebagai sebuah motivasi untuk bangkit kembali.

Aku menyeka air mata yang menjadi simbol kecengengan seorang lelaki. Terus mengusapnya hingga tersisa sepasang mata yang lebam karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.

Aku tersenyum dan menatapnya dengan penuh kepercayaan diri.

"Tentu saja, Bahamut. Lelaki terhebat ini akan bisa membuat Alisha kembali ceria seperti sebelumnya."

Bahamut tertawa kecil lalu menyeka bulir air matanya sendiri.

"Itu yang aku harapkan darimu, Anak Kecil—bukan, kini kau telah menjadi lelaki yang bisa diharapkan, Rahl."

Aku membalas ucapannya dengan senyuman yang menunjukkan besarnya harapan dalam benak ini.

Ya. Aku yakin pasti bisa untuk mengembalikan senyuman Alisha. Lalu membuat kesongongannya kembali berkibar di wajahnya.

~0~