Chereads / Shitty World & Heroes / Chapter 26 - Chapter 22 : Selamat Tinggal

Chapter 26 - Chapter 22 : Selamat Tinggal

Dalam dimensi yang begitu putih nan bersih, sosok hitam yang menyerupai siluet manusia muncul. Sedikit demi sedikit, siluet itu mulai memperlihatkan wujud sejatinya. Sudah jelas kalau dia adalah seorang lelaki. Postur tubuhnya yang tegap dan bidang dada yang datar.

Pria itu terlihat mengenakan topeng. Ada bilangan hexadecimal yang tergores di topengnya. Ia juga memakai celana jeans dan jaket hijau berlapis cokelat.

"Siapa kau?" tanyaku.

"Kau yang siapa?" balasnya seketika.

Begitu mata kami bertemu, kengerian menyelinap masuk dan meremukkan jantung. Rasa sakit yang kurasakan membuat mataku terbuka sekali lagi.

"Kau sudah sadar, Rahl?"

Aku berusaha menjawab, namun tak ada bunyi yang terdengar.

"Tenanglah. Regenerasi tubuhmu sedang berlangsung."

Sesaat mataku menangkap pigmen warna, sumber suara yang familiar itu mulai terlihat wujudnya. Dia adalah Bahamut. Wajah besarnya terlihat dekat sekali.

Aku mencoba bertanya tentang keadaan Alisha kepadanya. Namun sekali lagi, tak ada bunyi yang keluar dari pita suara.

"Tenanglah, Rahl. Alisha juga baik – baik saja. Penyembuhannya jauh lebih cepat darimu." Ia menjawab pertanyaan yang tak sempat kuucapkan.

Aku terlupa. Dia bisa membaca pikiran.

Syukurlah. Mengetahui Alisha baik – baik saja membuatku merasa lebih baik.

Aku mencoba melihat sekitar dan mendapati tubuhku tengah melayang di dalam gelembung yang berisi suatu cairan. Tepatnya, aku tenggelam. Namun, masih bisa bernapas. Seolah cairan ini adalah udara untuk dihirup.

"Saat ini tubuhmu sedang kritis, Rahl. Aku hanya tidak habis pikir tentang serangan terakhir yang kau lakukan kala itu." Bahamut mendesahkan napas panjang, ia terlihat bingung. "Jika saja aku terlambat sedetik saja, mungkin kalian tidak akan bisa diselamatkan."

Aku ingin bertanya tentang hasilnya. Apakah kami memenangkan pertarungan atau tidak.

Bahamut mengelus rahangnya sesekali. Mungkin ia sedang mempertimbangkannya.

"Seri," ujarnya. "Karena aku harus menyelamatkan kalian di akhir pertarungan. Tapi jika itu tidak dihitung, maka kalianlah pemenangnya. Jujur saja, serangan yang kalian lancarkan sudah amat kuat. Itu sudah cukup membuktikannya. Terutama kamu ... Rahl. Kemampuan void-type milikmu itu seperti menghentikan waktu. Tetapi penggunaannya masih sangat tidak efisien. Tentu aku tidak bisa mengajarimu tentang hal yang tidak kuketahui."

Mendengar pujian atau lebih tepatnya kritikan atas pertarungan sebelumnya membuatku sedikit kecewa. Bohong jika aku tidak ada merasa senang. Hanya saja, dilihat dari manapun, itu sebuah kekalahan telak.

"Lagi – lagi, pikiranmu terus saja dipenuhi hal yang tidak perlu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun lagi. Sekarang istirahatlah, Rahl. Biarkan tubuh dan jiwamu pulih."

Ya. Hanya itu yang bisa kulakukan sekarang. Menutup mata dan membiarkan sihirnya bekerja.

Penyembuhan memakan waktu hingga lima hari. Selama proses itu, aku hanya tersadar satu kali. Ketika penyembuhan selesai, tubuhku telah kembali seutuhnya. Walau ada bekas luka kecil di bagian dada.

Beberapa hari setelahnya, Bahamut mengumpulkan kami di depan jeruji miliknya. Dalam wujud kecilnya, ia membawa dua bingkisan. Satu dibungkus dengan warna merah dan satunya berwarna pink.

"Ini adalah hadiah atas kelulusan kalian," ujarnya.

Ia memberikan bingkisan berwarna merah kepada Alisha dan warna pink kepadaku. Sebelum aku menerimanya, Bahamut menukarnya kembali.

"Aku mengira kamu akan membuatku kesal lagi, Bahamut."

"Rencananya begitu," cetusnya. "Tapi reaksimu terlalu tenang jadi terkesan menjijikkan."

Rautnya kusut bak melihat komedi yang tidak lucu.

"Sudah – sudah," sela Alisha. "Boleh kami buka sekarang, Bahamut?"

"Tentu. Kalian pasti suka."

Tanpa basa basi lagi, kami berdua membuka bingkisan tersebut.

Alisha mendapatkan sebuah bola kristal yang dibalut tulisan bercahaya. Sesaat Alisha menyentuhnya, tubuhnya bersinar dan bola kristal itu pecah.

"Aku menghadiahkanmu salah satu kemampuan yang kumiliki berupa penangguhan kematian. Penduduk Elysium biasa menyebutnya sebagai Once Upon A Time. Karena di dalam tubuhmu sudah mengalir darahku, kemampuan ini bisa langsung engkau kuasai, Alisha."

"Keren! Terima kasih, Bahamut!" Alisha kegirangan. "Boleh aku coba langsung?"

"Jangan!" Aku dan Bahamut sontak menahannya. "Jangan kau lakukan walau itu demi ilmu pengetahuan, Alisha!"

"Hanya bercanda!" Sang wanita tertawa lepas.

Dia tidak mengetahui betapa mengerikan saat kepalanya dipenuhi oleh hasrat keingintahuan. Aku dan Bahamut sudah paham betul tentang itu.

Setelah memastikan Alisha tidak akan berbuat macam - macam, sekarang aku membuka bingkisan milikku. Aku mendapatkan sesuatu seperti gading gajah berukuran kecil, sekitar 4 cm.

"Apa ini, Bahamut?"

"Itu gigiku yang paling kecil."

Oh, gigi ternyata ...

"Kimbeng! Kenapa aku malah dapat gigimu?"

"Dengarkan dulu penjelasanku!" tandasnya.

"Pasti ada jigongnya melekat di sini, kan? Pasti ada kan?"

"Ya ... aku gak bisa menafikan itu. Tapi, tunggu dulu! Biar kujelaskan apa kegunaan gigi itu!"

Aku merasa kena prank oleh tikus kecil ini. Tetapi, aku akan berikan dia waktu untuk menjelaskan betapa hebatnya gigi yang dilumuri air liur kadal raksasa.

"Taring terkecil yang kuberikan untukmu berisi satu persen dari kekuatan yang kumiliki."

"Bohong. Aku tidak akan termakan bualanmu," jawabku datar.

"Silakan kau coba sendiri anak kecil! Genggam erat taring itu dan tinju lantai di bawah kakimu!"

Aku mengikuti ucapannya dan melepaskan pukulan ke lantai untuk melampiaskan kekesalan. Seketika lantai itu hancur dan menjadi kawah kecil. Menerbangkan debu dan serpihannya.

"Wow!" Aku terperanjat tak percaya. "Ini ... hebat sekali, Bahamut!"

"Kan sudah kubilang. Aku tidak akan mempermainkanmu lagi, Rahl. Karena ini adalah hadiah sekaligus bukti pertemanan kita."

Aku bahagia mendengar keseriusan ucapannya. Namun entah mengapa, ada sebuah maksud tersembunyi yang tidak bisa kusingkap darinya.

"Besok ... kita akan pergi melewati Batas Hitam. Jangan lupa mempersiapkan yang kalian butuhkan."

"Kamu juga, Bahamut!" ucap Alisha, tangannya menyentuh lembut sang naga. "Bawa apa yang kamu perlukan. Kita bertiga akan pergi ke Earsyia dan menggaungkan kelompok harapan warna – warni."

Senyuman Bahamut merekah ketika mendengar perkataan Alisha. Matanya sempat berkaca – kaca lalu tertawa kecil.

"Aku tidak perlu banyak barang untuk dibawa, Alisha. Lagian, aku tidak akan membiarkan kamu berduaan dengan Rahl. Kebodohannya sudah seperti pandemik."

"Oi kimbeng! Aku tidak sebodoh itu!" sanggahku. "Begini – begini!"

Kami terus berbincang dan saling bercanda. Meski godaan terkadang nyelekit ke sanubari, tawa dan senyumanlah yang mencuat dari bilik hati.

Melihat senyuman dan tawanya membuatku bersyukur telah bertemu keduanya di dalam hidupku. Aku merasa mampu melakukan apa pun asal bersama dengan mereka.

Sungguh ... ini benar adanya.

Waktu yang berlalu begitu singkat rasanya. 24 jam yang harus dilalui telah tiba di depan mata. Semua persiapan telah selesai dilakukan.

Aku beranjak dari kamar menuju gapura Batas Hitam. Keduanya telah menanti dengan wajah secerah mentari. Saat kutolehkan wajah ke belakang, aku teringat semua perjuangan yang telah kujalani. Semua rasa sakit itu mendadak berubah menjadi kerinduan yang dalam.

Walau aku tidak akan pernah bisa kemari lagi, bukan berarti semua yang kulalui tidak memiliki arti. Masih di sini. Di dalam hati ini, seluruh kenangan akan abadi. Aku percaya bahwa ini adalah awal yang baik. Bersama Alisha dan Bahamut, aku akan tegar menyingsing hari esok.

Bahamut merapal mantra yang memunculkan sebuah pelindung seperti bola di sekitar kami. Warna pelindung jernih namun sangat keras melebihi intan. Di dalamnya seolah tersedia gravitasi yang membuat kami tetap stabil berdiri.

"Kalian sudah siap?" ujar Bahamut dalam wujud sebenarnya.

Aku dan Alisha menatap satu sama lain. Tersenyum lalu berkata dengan lantang.

"Kami siap. Mari kita berangkat."

Bahamut langsung menelan kami. Saat memasuki tubuhnya, ada getaran yang cukup hebat terjadi dan semuanya hitam pekat. Tak berapa lama, kegelapan pun sirna. Tiba – tiba saja, kami seolah bisa melihat apa yang terjadi di luar.

Belum sempat aku terkagum, Bahamut langsung membanggakan dirinya.

"Hebat, bukan? Di dalam perutku, kalian bisa mengakses indra penglihatanku yang nyaris bisa melihat ke segala arah. Dengan begini, kita akan melihat Earsyia bersama – sama."

Ucapannya menorehkan senyuman di wajah kami berdua. Aku dan Alisha saling berpegangan tangan dan memantapkan tekad.

"Mari kita melihatnya bersama, Bahamut."

Setelah mendengar jawaban kami, Bahamut meraung keras dan menggetarkan ruangan. Ia mengepakkan sayapnya sekali lalu menerjang masuk ke dalam Batas Hitam. Ia dengan cepat melewati tiang – tiang kolosal yang berbaris rapi. Terbang lurus ke penghujung jalan dan menembus jutaan bulir cahaya.

Bulir – bulir itu pecah menjadi kilauan yang membutakan mata. Setelah kesilauan berakhir, kami berada di sebuah tempat yang berbeda. Tak ada lagi pilar yang membubung tinggi. Tak ada lagi lantai yang membentang panjang.

Sekarang, Bahamut tengah melayang di angkasa penuh bintang. Sebuah horizon dengan kemilau galaksi terhampar luas sejauh mata memandang. Yang mengalihkan seluruh perhatian kami hingga getaran dahsyat mengguncang.

"Apa yang terjadi, Bahamut?" tanyaku.

"Sepertinya Batas Hitam tidak mengizinkan kalian untuk pergi. Jaraknya menjadi sangat jauh. Juga tekanan energi menjadi berkali lipat dari yang kurasakan pertama kali."

"Apa kita harus putar balik?" sela Alisha, tangannya sedikit gemetar.

"Tentu tidak, Alisha. Bahamut adalah naga terkuat! Hal seperti ini cuma kacang goreng baginya!"

Bahamut tertawa mendengar kesongonganku.

"Tentu saja, Alisha," sela Bahamut. "Ini tidak ada apa – apanya!"

Bahamut meraung keras sekali lagi. Meski berada di dalam tubuhnya, aku tahu dia sedang memfokuskan seluruh kekuatannya untuk menahan tekanan energi yang ingin mengurai tubuhnya.

"Alisha, apa kau tahu ke mana kita harus pergi?" tanya Bahamut.

Alisha menarik napas dan melepaskannya perlahan. Keraguan dan rasa takut yang sempat menyelinap telah ia hempaskan keluar.

Matanya mulai mendelik dan merinci. Memperhatikan dengan seksama apa yang ia saksikan. Mulutnya mulai berbicara sangat cepat bagaikan sedang merapal mantra.

"Pergilah ke bagian yang memiliki tekanan energi paling kuat. Jika Babylon Tower dan Batas Hitam tidak mengizinkan kita keluar, berarti pemusatan tekanan tertinggi akan berada di akhir perjalanan," jelas Alisha.

"Aku mengerti!" sahut Bahamut.

Sang naga langsung mengepakkan sayapnya dan melesat terbang di antara kemilau cahaya. Kecepatannya begitu tinggi hingga bintang terlihat membentuk garis – garis lurus.

Semakin dekat Bahamut ke tujuan, semakin besar pula getaran yang kami rasakan. Bahamut terus maju. Ia tidak mempedulikan apa yang terjadi pada tubuhnya. Begitu pula kami pada awalnya. Hingga kami melihat sisiknya terkelupas dan darah yang menutupi pandangannya.

"Bahamut?" Suara Alisha tiba – tiba bergetar. "Apa kau baik – baik saja?"

Bahamut menjawabnya sembari tertawa.

"Tenang saja, Alisha. Itu hanya sisik. Lagi pula, aku masih bisa beregenerasi. Tidak perlu khawatir."

Bohong jika aku tidak khawatir meskipun dia adalah naga terkuat. Namun, Batas Hitam adalah sesuatu yang diluar dugaan sang naga, apalagi manusia. Jawabannya barusan adalah penenang agar Alisha tidak curiga terhadap apa yang tengah terjadi.

Tujuan kami mulai tampak jelas. Sebuah lubang singularitas yang menghempaskan seluruh cahaya yang hendak memasukinya.

Kami terpaku, terkejut pada ketidakmungkinan yang ada di depan mata. Jika cahaya saja tertolak, bagaimana dengan makhluk hidup seperti kami?

Andai saja void syndrome bisa digunakan, aku pasti akan menggunakannya untuk membantu Bahamut. Kali ini, aku tidak berguna sama sekali. Hanya Bahamut saja yang melindungi kami dengan segenap kekuatannya. Hanya dia seorang.

"Kita tidak mungkin bisa masuk, Bahamut! Sebaiknya kita kembali dan cari jalan lain!" teriakku, menolak skenario terburuk yang bisa saja terjadi.

"Itu benar, Bahamut!" sambung Alisha. "Kita sebaiknya menyusun ulang rencana ini. Masih banyak waktu. Kita bisa mengulanginya sekali lagi."

"Tidak bisa!" bantah sang naga. "Aku tidak bisa membuat kalian menunggu lebih lama lagi!"

Sesaat ia selesai berbicara, Bahamut langsung menabrakkan diri ke dalam pusaran energi yang maha dahsyat tersebut.

Benturan energi yang terjadi amat dahsyat sampai meretakkan perisai sihir yang melindungi kami.

"Bahamut!" teriakku. "Hentikan! Kau bisa dalam bahaya!"

Bahamut mengabaikan ucapanku. Dia tetap saja menerobos masuk ke dalam lubang singularitas.

"Hentikan Bahamut!" Alisha juga berteriak. "Kita bisa mencari jalan lain! Kumohon!"

Bahamut jua mengabaikan ucapan Alisha.

Getaran yang kami rasakan kian brutal. Retakannya juga menyebar hingga ke seluruh penjuru bola pelindung. Pelindung ini tidak akan mampu bertahan. Meskipun begitu, Bahamut tetap maju dan melawan arus energi yang dapat menghancurkannya.

Setelah bersusah payah sekuat tenaga dan mendapatkan luka yang serius, Bahamut berhasil menembus masuk ke dalam lubang singularitas. Di dalamnya terlihat seperti lorong dengan cahaya beragam warna membentuk garis – garis lurus. Di ujung lorong ini terlihatlah tujuan kami. Sebuah negeri—dunia yang menjadi tempat tinggal kami. Earsyia.

Seluruh getaran lenyap sebelum pelindung kami hancur. Membuat kami bersorak atas keberhasilan yang luar biasa ini. Sesaat bibir ini hendak memuji ketangguhan Bahamut, tiba – tiba saja suara keras terdengar.

Bahamut yang hendak tertawa mendadak berteriak kencang. Suara keras itu berasal dari sayapnya yang patah dan tercerai berai.

"Bahamut!" Kami sontak berteriak.

"Tenang saja! Ini bukan apa – apa!" seru Bahamut. "Kalian tidak perlu khawatir."

Di akhir ucapannya, Bahamut meregenerasi sayapnya yang hancur seketika. Namun dalam hitungan detik, sayap itu kembali remuk dan tercerai berai. Tak hanya sayapnya, seluruh sisik, kulitnya, hingga tulang yang patah itu terdengar oleh kami.

Bahamut terus memusatkan seluruh kekuatan pada regenerasi. Setiap kali sayapnya berhasil diperbaiki, ia sempat mengepakkannya sekali untuk tetap bergerak maju.

Siklus itu terus berulang dan membuat kami tak tahan melihatnya.

"Biarkan kami membantumu, Bahamut!" ujar Alisha.

"Jika kalian menggunakan kekuatan, maka bola sihir yang melindungi kalian akan hancur sepenuhnya!"

"Itu masih lebih baik dari pada kau menderita seperti ini, Tupai Bodoh!" sergahku, menggeram pada ketidakberdayaanku saat ini.

Alisha bergegas memanggil Rosales. Namun, Rosales tidak menjawab panggilannya.

"Apa yang terjadi?" Alisha berpikir sesaat, mencoba memahami apa yang barusan terjadi. "Bahamut ... jangan – jangan kau?"

Bahamut tertawa dengan sedikit merintih.

"Maafkan aku, Alisha, Rahl. Aku ... bagaimanapun juga, aku akan membawa kalian keluar dari sini dengan selamat. Meski nyawaku menjadi taruhannya."

Alisha terduduk lemas saat mendengarnya. Membuat bulir air mata jatuh begitu saja di pipinya.

"Kau tidak perlu mengorbankan dirimu untuk kami, Bahamut!" Aku membentaknya sekeras yang kubisa. "Kita masih bisa mencari cara lain! Sekarang kembalilah! Biar kita akan menyusun rencana baru! Alisha pasti bisa membuat rencana yang akan mengeluarkan kita bersama – sama dari tempat ini!"

"Benar, Bahamut!" Alisha menyeka air matanya dan kembali berdiri. "Mari kita berbalik! Aku pasti akan membuat rencana yang bagus!"

"Aku tidak mau!" jawabnya. "Aku tidak mau melakukannya!"

"Apa yang kau lakukan dasar tupai bodoh! Selagi kita berbicara, tubuhmu terus terkoyak – koyak oleh Batas Hitam! Lebih baik kita pulang dan menyusun rencana!"

"Aku tidak mau, Rahl!"

Tak tahan melihatnya begitu keras kepala, aku langsung berusaha memakai kekuatanku. Begitu pula dengan Alisha, yang sekali lagi merapal mantra untuk memanggil Rosales. Namun sekuat dan sebanyak apa pun kami melakukannya, tidak ada yang terjadi. Seolah kekuatan kami tersegel sepenuhnya.

"Sepertinya tubuhku memang tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi," lirihnya. "Aku akan melontarkan kalian."

"Meninggalkanmu di sini? Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu!" protesku.

Alisha mengigit bibirnya. Sekuat tenaga menahan air mata yang hendak terjatuh lagi.

Kemilau cahaya mendadak muncul di hadapan kami. Yang kemudian mendatangkan Bahamut dalam wujud kecilnya.

"Rahl ... Alisha ... Saat ini seluruh energiku akan dipusatkan untuk melontar kalian menuju ujung dari lorong ini. Ini satu – satunya cara yang bisa kulakukan demi membawa kalian kembali ke dunia yang seharusnya."

"Mengapa kau melakukan hal ini, Bahamut?" Aku menuntut jawabannya.

Bahamut menghempaskan napas sekali dan tersenyum dengan bibir kecilnya.

"Ada rahasia yang harus kalian ketahui. Bahamut—aku yang sekarang bukanlah sesosok naga. Aku menyadari hal ini saat memasuki Batas Hitam untuk pertama kalinya."

Aku tersentak kaget. Demikian pula dengan Alisha. Sampai – sampai kami tak tahu harus menanggapinya seperti apa.

"Aku hanyalah mekanisme pertahanan Babylon Tower. Aku diberi kesadaran oleh Babylon Tower. Seluruh tubuh dan kekuatanku diambil dari kehidupan masa lampau yang dipadu menjadi satu kesatuan. Itu sebabnya juga, aku tidak dapat melihat Mahfuzi. Sebab aku bukanlah makhluk hidup. Aku telah lama mati. Karena itu, kalian tidak perlu bersedih sedikit pun."

"Meskipun demikian, kau tidak boleh berakhir di sini!"

"Tidak, Rahl. Aku harus berakhir di sini. Kepribadian dalam tubuhku sudah mulai tak terkendali. Ingat saat pertarungan kita terakhir? Aku nyaris saja membunuh kalian berdua. Karenanya, ini saat yang tepat untuk membawa kalian pulang dan mengakhiri perjalanan kita."

Terjadi kesenjangan di antara kami bertiga. Aku tak tahu harus berkata apa – apa lagi. Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini? Mengapa!

"Aku bukanlah naga terkuat," Suaranya bergetar hebat. "Aku hanyalah delusi dari Babylon Tower."

"Tidak!" Aku berteriak dengan lantang. "Kau adalah Naga terkuat! Bahamut dari Elysium! Ini adalah perkataan dari lelaki terhebat yang pernah ada! Dan seluruh perkataan dari lelaki terhebat itu adalah kebenaran!"

Bahamut meneteskan air mata. Ia tak mampu mengeluarkan kata – kata.

"Rahl benar, Bahamut," sambung Alisha, "Kau adalah naga terkuat yang pernah ada. Dan juga kau adalah rekan kami yang sangat berharga. Tidak ada satu pun yang bisa menggantikan dirimu selamanya."

Bahamut meratap—menangis sekerasnya. Lalu ia mendongakkan wajah dan tersenyum dengan penuh kebanggaan dalam sorot matanya.

"Jangan pernah lupakan aku! Rahl! Alisha!"

"Siapa yang akan meninggalkanmu!" Alisha memeluk Bahamut erat. "Kita akan pergi keluar bersama."

Aku merangkul keduanya. "Kami tidak akan lengkap tanpa dirimu, Bahamut."

"...Aku akan membawa kalian pulang." Bahamut pun tersenyum, berkata dengan lembut. "Terima kasih untuk segalanya, Rahl, Alisha."

Senyumannya yang lebar merekah membuat kami terlengah. Bahamut menyelinap terbang dari pelukan kami dan pergi menuju sisi luar bola pelindung. Kemudian ia merapal mantra yang memadatkan bola pelindung kami. Terus memadat hingga kami tidak dapat melihat apa pun. Sampai jeritan kami tak lagi mampu didengar olehnya.

Aku masih tidak bisa menerima keputusannya yang sepihak.

Karena dirinya adalah teman yang berharga. Teman yang mengakui keberadaanku. Meski perbedaan dan pertikaian sering terjadi, ia tidak pernah membenciku sekalipun. Aku sangat bahagia dan ingin membuatnya merasakan hal yang sama.

Lantas ... apa salahnya jika kebahagiaan ini tetap berlanjut, Bahamut? Bersama Alisha, kita bertiga bisa melakukan hal – hal yang menyenangkan di mana pun kita berada.

Mengapa engkau seegois ini, Bahamut?

Kami juga ingin melindungimu.

Meski hanya sebagian kecil saja.

Meski hanya tawamu yang selalu menghangatkan benak ini.

Seketika seluruh kenangan tentangmu datang membanjiri jiwaku hingga keluar melalui air mata. Menghanyutkan rasa sakit yang tak terbendung lagi.

Aku menjerit memanggil namamu.

Walau kutahu itu percuma, mulut ini tak dapat kuhentikan.

Tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, bola pelindung pun retak dan pecah menjadi jutaan kemilau cahaya. Yang mendaratkan kami di sebuah gurun pasir yang tandus.

Tak ada lagi jejak bangunan yang menjulang tinggi.

Tak ada lagi keemasan yang memancarkan aura kemegahan.

Tak ada jua sedikit pun yang tersisa dari dirimu, Bahamut. Melainkan hadiah perpisahan yang tengah kugenggam erat.

Aku menatap matahari yang menyilaukan. Berusaha sekuat mungkin menghentikan ratapan yang tak lagi mengeluarkan air mata.

Alisha ada di sampingku. Ia menangis dan terus menangisi kepergianmu.

Aku tak mampu menenangkannya. Hanya waktu yang bisa melakukannya. Bersama kenangan manis yang telah kami ukir bersama denganmu.

Karena itu ... lihat dan berdoalah. Suatu hari nanti, aku yakin kita bisa bertemu.

Kendati dalam mimpi.

***