Kamar Alisha telah berubah fungsi. Dari sebuah privasi menjadi tempat penelitian. Tidak ada aura feminim lagi di sini. Ruangan ini hanya berisi tumpukan buku, kertas, dan dinding penuh coretan yang membuatku pusing.
Alisha telah kembali menjadi sosok peneliti yang tak kenal ampun pada misteri yang membuatnya penasaran. Bahkan sang gadis perawan ini tak segan – segan mengganti pakaiannya saat aku—seorang lelaki sedang berada dua meter di dekatnya. Seakan jadi binatang buas yang haus akan ilmu pengetahuan. Imbasnya, aku juga terseret dalam penelitian yang menguras waktu tidurku.
"Rahl! Jangan tidur!" Ucapannya itu sontak mengejutkanku.
"Alisha, kau ingat kapan terakhir kita tidur?"
"Dua hari lalu? Yang lebih penting, tulis semua artefak yang berhubungan dengan legenda tujuh pahlawan, Rahl. Semua tanpa terkecuali."
Wanita itu sama sekali tidak menggubris protes dari rakyat kecil sepertiku. Apa dia tidak melihat kantung mataku sudah hitam seperti pantat wajan? Ah! Ngantuk! Banget!
"Aku sudah menyelesaikannya." Aku bangkit dari meja dan menyodorkan berkas itu padanya. "Apa sekarang aku boleh tidur?"
Alisha memeriksa dengan seksama. Matanya tidak berkedip sekalipun saat membalikkan laman demi laman. Buju buneng. Ini wanita belajar ilmu hitam dari mana sih bisa melotot begitu?
Setelah ia sampai ke laman terakhir, Alisha pun mengelus dagunya sebentar. Kemudian menyuruhku untuk menuliskannya pada dinding bersih di belakangku.
"Semuanya?" tanyaku.
"Tentu."
"Jadi buat apa aku tulis di kertas ini!" Aku marah seperti orang mabuk.
"Kalau begitu hanya nama artefak, efek dan pemiliknya saja."
Syukurlah dia meringankan beban hidupku. Jika menulis semuanya, aku bisa pingsan. Walau perut terus terisi, tetapi kalau ngantuk seperti ini, hasrat alamiku pasti meronta – ronta.
"Baiklah. Tapi janji kamu akan membiarkanku tidur setelah ini."
Ia hanya tersenyum dan tidak menjawabnya. Licik sekali. Tapi senyumnya memang manis.
Aku mulai mencoret dinding. Satu persatu yang ada di kertas mulai kujabarkan.
Dari yang pertama yaitu : Witch Whisper (W.W) atau disebut Anting Kecemburuan.
Merupakan artefak yang menyimpan jiwa sang penyihir pencemburu, Wyn. Hanya bisa digunakan dengan mengorbankan jiwa sang pemakai. Dan pemakainya hanyalah wanita. Kemampuannya masih tidak diketahui.
Kedua, Deus Dagger atau disebut juga Belati Deus.
Merupakan artefak yang menyimpan jiwa sang pembunuh, Daz. Semua orang bisa memakainya, setiap pemakainya akan mendapatkan candu untuk membunuh. Kemampuan juga masih belum diketahui.
Ketiga, Christ Crown ( C.C ) Atau Mahkota Christ.
Merupakan artefak yang menyimpan jiwa sang agung, Tir. Artefak ini berbentuk mahkota. Hanya bisa dipakai oleh orang yang dipilih oleh Tir sendiri. Jenis kekuatannya masih belum diketahui.
Keempat, Buraq Bow (B.B) atau disebut juga Busur Kilat.
Merupakan artefak yang menyimpan jiwa sang pemburu, Bax. Artefak ini berbentuk busur panah. Dari namanya, mungkin kemampuannya adalah kecepatan yang luar biasa dalam menembak musuh.
Kelima, Naughty Necklace (N.N) Atau disebut juga kalung kenakalan.
Merupakan artefak yang menyimpan jiwa sang pengingkar, Non. Artefak ini dipakai oleh semua orang. Kemampuannya adalah regenerasi tanpa batas yang dapat mencapai mutasi dan kerusakan genetika hingga menjadi makhluk abadi. Cara membatalkannya masih tidak kuketahui.
Keenam, Madame Mirror (M.M) atau disebut juga Cermin Nyonya.
Merupakan artefak yang menyimpan jiwa sang aristokrat, Myn. Bentuknya adalah cermin. Bisa digunakan siapa saja. Dari informasi yang kudapatkan dari Mahfuzi, kemampuan dari cermin ini bisa membalikkan segala sihir.
Dan yang terakhir adalah, Lawful Lore ( L.L ). Satu – satunya yang kuketahui keberadaannya. Tentu saja, L.L adalah Grandorus itu sendiri. Namun artefak atau senjata yang digunakan olehnya masih tidak kuketahui. Meskipun saat pertarungan itu diperlihatkan di dalam Mahfuzi, aku tidak melihat Grandorus memakai sebuah senjata sekalipun.
Bagaimanapun juga, informasi yang kudapat dari Mahfuzi memiliki batasan. Jika informasi yang kuperoleh dari Mahfuzi dapat menggeser jalannya takdir, maka informasi itu tidak akan bisa kucerna. Seperti sosok entitas mutlak yang dilawan oleh ketujuh pahlawan legendaris.
Namun yang jadi permasalahannya adalah di mana kami akan menemukan enam sisanya? Jika diibaratkan Grandorus memiliki kekuatan yang maha dahsyat, harusnya keenam artefak itu memiliki kekuatan yang setara dengannya.
"Sudah selesai, Rahl?" Suara itu memecah lamunanku.
Aku berbalik dan melihat Alisha telah melepas jas laboratoriumnya. Tampak kemeja lengan pendek dengan motif garis berwarna krem. Dipadu dengan rok hitam seperti asisten nakal di film dewasa.
EH? Alisha pakai rok? Ada apa ini? Biasanya dia cuma mau memakai celana keper atau jeans!
"Rahl?" Alisha menepuk pipiku, tersadarkan.
"Kamu sudah lihat sendiri, kan? Kenapa harus ditanya lagi?" desahku.
Ia tertawa kecil.
"Tentu untuk mencegahmu tidur."
"Aku bisa membuatmu terkena pasal 999 A tentang mengganggu tidur seorang lelaki tampan, kau tahu?"
Ia tergelitik dan mengeluarkan tawa yang sedikit menjengkelkan.
"Apaan sih!" Alisha berusaha menghentikan tawanya. Saat tawanya menghilang, ia bertanya kepadaku, "Bagaimana menurutmu, Rahl?"
"Apanya?"
"Tentang rencana kita setelah keluar dari Babylon Tower. Apa menurutmu kita akan bisa menghentikan konspirasi yang dirancang Grandorus?"
Saat ia mengatakan itu, matanya sedikit sayup. Tangannya menjadi gemetaran dan suaranya mengecil.
Aku langsung menepuk kuat punggung Alisha hingga membuatnya melangkah ke depan.
"Apa yang harus kamu takutkan, Alisha?" Aku menatap matanya dengan menyeruakkan semua kepercayaanku padanya. "Ini—Rencana ini dibuat oleh ilmuwan cerdas yang tidak kenal menyerah, bahkan ia tidak tidur dan terus menggunakan kepalanya selama berhari – hari. Ia tidak sedikit pun mengeluh walau kebuntuan terus menghantui dirinya. Terlebih lagi, ia telah bekerja lebih keras dari siapa pun. Alisha, atas dasar apa rencana ini tidak akan berhasil? Aku malah yakin seribu persen, semua rencana ini bisa menghentikan Grandorus atau yang terbaiknya, kamu bisa menyelamatkan umat manusia."
Alisha terdiam mendengar ucapanku.
Ah! Aku tahu ini sangat memalukan! Mengatakan hal – hal seperti ini secara sadar! Ah! Gara – gara tidak tidur, pemikiran MC dalam serial film masuk begitu saja ke dalam kepalaku!
"Terima kasih, Rahl."
Senyuman Alisha itu mengejutkanku. Walau wajahnya berantakan, rambutnya tidak rapi, dan kantung matanya juga menghitam, sama sekali tidak mengurangi kecantikan senyumannya.
"Aku mencium aroma merah jambu."
Suara itu berasal dari makhluk kerdil yang membawa nampan berisi makanan. Setelah meletakkannya ke meja, ia segera terbang di antara aku dan Alisha. Ia memukul – mukul lenganku dengan raut wajah seperti bapak yang anaknya akan direbut oleh lelaki jahat.
"Jangan dekat – dekat dengan Alisha, Rahl! Nanti Alisha bisa ketularan kebodohanmu!"
"Njir! Dasar tikus haram! Aku tidak sebodoh itu! Lagian bodoh itu tidak menular, kau tahu!" Aku balas menyerangnya. Namun ia sangat lihai menghindar.
Alisha tertawa senang melihat kami begitu bersemangat.
"Kalau kita bertiga bisa keluar dari Babylon Tower pasti sangat seru, ya."
Saat mendengar ucapan Alisha, Bahamut berhenti menghindar. Ia mendarat di dekat nampan yang diletakkannya di atas meja. Lalu menatap Alisha dengan penuh keseriusan.
"Alisha, Rahl. Ada hal yang perlu kalian ketahui tentang Babylon Tower dan diriku."
Aku merasakan sebuah kesedihan dari untaian katanya. Tanganku dengan sendiri berhenti mengusili marmut yang telah kehilangan semangatnya.
"Tentang apa, Bahamut?" tanya Alisha.
"Siapa pun yang masuk ke dalam Babylon Tower tidak akan pernah keluar untuk selamanya."
Aku dan Alisha terkesiap.
"Bukankah karena kamu tidak bisa menjelajahi seluruh tempat ini karena tubuhmu yang terkurung di penjara itu, Bahamut?" ujarku.
"Tentu bukan karena hal itu. Aku bisa memindai seluruh bagian Babylon Tower dengan menggunakan seluruh energi yang ada di dalam tubuhku. Namun aku tidak menemukan celah yang mengarahkan bangunan ini ke dunia luar—tempat kalian berasal."
Alisha jatuh dalam pemikirannya. Setelah beberapa detik berlalu, sorot matanya menjadi tajam. Giginya ikut menggeram.
"Begitu rupanya. Grandorus mengirimku ke tempat ini agar tidak bisa mengganggu rencananya."
Ucapan Alisha langsung membuat informasi yang terpisah – pisah di dalam kepalaku, menyatu.
Pantas saja! Aku merasa ada yang janggal dengan perjalanan misi ini. Kenapa Alisha hanya dikirim ke Babylon Tower bersama denganku? Bukannya dengan pahlawan kelas SS jika misi ini begitu penting dalam penyelamatan dunia?
"Kurang ajar!" Tanganku melepaskan pukulan ke meja, Membuat suara bising yang mengejutkan diriku sendiri.
"Grandorus memang benar – benar ingin membunuhku, ternyata." Alisha memijit keningnya lalu berteriak sekuatnya.
Aku dan Bahamut terkesiap mendengar teriakannya. Kemudian Alisha dengan raut songong disertai tatapan yang penuh keyakinan, ia berbicara dengan lantang.
"Tidak ada kejahatan tanpa adanya kebaikan. Begitu pula dengan tempat ini. Jika ada pintu untuk masuk, maka pasti ada pintu untuk keluar. Kita akan keluar dan mengejutkan semuanya!"
"Tapi hal seperti itu tidak mungkin ada, Alisha," sela Bahamut.
"Pasti ada, Bahamut. Kamu tidak mungkin mengatakan hal ini tanpa memberikan solusi lain kepada kami, bukan?"
Bahamut tertegun. Ia menggigit bibir kecilnya dan berujar dengan suara gemetar.
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu? Bisa jadi aku ingin menjebak kalian selamanya di tempat ini?"
"Tidak mungkin Bahamut akan melakukannya ...," Alisha menggapai tubuh mungil Bahamut dan mengelus kepalanya. "Karena Bahamut adalah salah satu bagian dari kelompok bunga harapan warna – warni."
Nama apaan itu! Lagian kelompok apa juga itu! Astaga! Jika saja tangan tidak menutup mulutku, tawaku bisa terlepas dan mengacaukan momen ini.
Aku melihat Bahamut terdiam. Ia menunduk sebentar dan perlahan mengangkat wajah berbulunya. Tatapan sendu yang sempat ia pancarkan lenyap seketika senyumannya muncul ke permukaan.
"Kamu memang hebat, Alisha. Sudah lama sekali aku tidak mendapatkan kepercayaan dari manusia sampai sejauh ini." Jemari Bahamut menyentuh telapak tangan Alisha. "Ya. Aku menemukan satu – satunya jalan keluar. Namun aku sendiri tidak mengetahui apa yang ada di ujung jalan itu."
"Terima kasih, Bahamut." Alisha menundukkan kepalanya.
"Aku yang harusnya berterima kasih, Alisha. Untuk segalanya." Bahamut juga menundukkan kepalanya.
Setelah Bahamut mengangkat kepalanya, ia kembali berbicara dengan nada yang serius.
"Namun seperti yang kubilang sebelumnya, Alisha, Rahl. Jalan itu sama sekali tidak kuketahui. Aku hanya tahu namanya. Babylon Tower menyebutnya Batas Hitam."
Alisha tersenyum dan berdehem sekali.
"Kamu tidak perlu khawatir akan hal itu. Kita akan selidiki sendiri cara untuk melewati Batas Hitam tersebut, Bahamut." ujar Alisha, penuh percaya diri.
"Hoi! Jangan lupakan aku! Bukankah aku juga bagian dari kelompok bunga warna pelangi?" Aku menyela di antara mereka.
"Harapan warna – warni!" sanggah Alisha, sempat cemberut lalu tersenyum kembali. "Lagian, siapa yang akan melupakan asisten terhebat sepanjang masa, Rahl?"
Ucapan Alisha itu membuatku sedikit bangga, walau tidak dapat Choco Space sekalipun.
"Tentu saja, Rahl." Bahamut ikut – ikutan berbicara. "Siapa yang akan melupakan mantan Jambul Ayam sepertimu?"
"Hoi! Hoi! Hoi!" Aku mencoba merampas Bahamut dari telapak tangan Alisha, namun Bahamut lincah sekali. "Aku bukan Jambul Ayam! Bukan Mohawk juga!"
Aku terus protes pada makhluk kerdil yang bisa terbang di udara.
"Pffft—Hahaha!"
Alisha tertawa lepas melihat pertengkaran rutin ini.
Entah mengapa, aku ingin keceriaan ini berlangsung selamanya. Bertengkar dengan Bahamut, dihina sekaligus dipuji oleh Alisha, tertawa di akhir segalanya. Aku benar – benar ingin bersama mereka menikmati suka dan duka. Jika bisa keluar dari sini, aku pasti akan mentraktir mereka Choco Space yang paling manis di dunia.
Aku berjanji.
~000~
Bahamut mengantarkan kami ke sel tempat dia terkurung. Seketika itu, keberadaan Bahamut kecil lenyap dan Bahamut besar yang gantian menjadi pemandu. Karena tempat ini sudah seperti kamarnya, pasti dia tidak akan tersesat.
"Bahamut? Apa kita tersesat?" tanyaku, memastikan keadaan.
"Tentu tidak. Mengapa kau bertanya?"
"Entah mengapa jalan lurus dan gelap ini membuatku berpikir seperti itu."
"Rahl memang suka tersesat, Bahamut," kicau Alisha.
"Oi! Mengaca dulu sebelum bicara," tandasku.
Alisha malah pura – pura tidak mendengarkan. Mencoba bersiul walau tidak satupun bunyi keluar dari bibirnya yang kering.
Abaikan hal itu.
Sekarang fokus pada kegelapan yang tak habis – habisnya kujalani. Kakiku saja sudah gak kuat melangkah. Makanan yang belum sempat ditelan, mata yang belum sempat tertidur. Entah mengapa semua penderitaan ini datang bersamaan.
Apakah ini cobaan sebagai pria tampan?
"Kita sudah sampai."
Ucapan Bahamut mengusir halu dan membalikkan semangat juangku. Namun sesuatu yang ada di depan membuat mataku kehilangan kantuknya.
Sebuah pintu gerbang yang memiliki patung – patung kolosal sebagai gapura. Ruang yang ada di dalamnya seperti jalan menuju ke kursi tahta berada. Tiang – tiang kolosal berbaris lurus di sepanjang sisinya. Membuat kami terasa kecil seperti semut yang melintasi peradaban manusia.
Di dalamnya sangat terang sampai tidak ada bayangan terbentuk. Kilauan cahaya yang bergerak bebas bagaikan kunang – kunang yang bermain di angkasa. Di penghujung jalan itu terdapat sebuah kilauan cahaya yang tak dapat ditembus oleh mata.
Suara deru terdengar jelas dari dalam pusaran cahaya yang muncul dari ketiadaan. Menelan kilauan cahaya dan redup seketika. Meninggalkan deruan yang membuat tiang – tiang dan lantainya gemeretak. Namun lantai yang gemeretak itu perlahan kembali seperti semula. Seolah waktu telah diputar kembali ke masa ia belum dirusak.
Ekor Bahamut menghantam tanah dan menimbulkan getaran hebat. Ekornya mengambil bongkahan tanah dan melemparkannya ke dalam pintu gerbang itu. Bongkahan yang telah berada di sana, melayang. Tidak jatuh juga tidak terbang. Bongkahan itu mulai retak, hancur dan terurai menjadi molekul – molekul unsur pembentuknya.
"Kalian sudah paham, bukan?" ujar Bahamut. "Jalan ini adalah Batas Hitam. Sebuah lorong yang tidak akan bisa dilewati oleh manusia ataupun makhluk hidup."
Alisha hanya bisa menelan ludah. Walau kakinya gemetaran, ia masih bisa menorehkan senyuman yang penuh percaya diri.
"Ini jauh lebih hebat dari Black Hole yang pernah diamati manusia. Sekarang tinggal mencari benda apa yang mampu melewati lorong ini dan membawa kita ke sana."
"Jadi maksudmu, kita membuat semacam mobil atau pesawat terbang menggunakan bahan yang ada di Babylon Tower?" tanyaku.
"Tentu saja, Rahl."
"Alisha, kamu bukan seorang inventor. Dan juga, di dalam Tower ini hanya ada bebatuan, kertas, buku, benda – benda kuno, tidak satu pun dari mereka akan mampu bertahan melewati kegilaan yang ada di dalam gerbang ini."
"Kalau belum dicoba kita tidak akan tahu, Rahl!" sanggah Alisha.
"Oh? Jadi kamu ingin membuat mobil pakai tumpukan buku dan kertas? Lalu berharap mampu melewati kegilaan ini? Nehi nehi kuche kuche hotahi!" tandasku.
"Hentikan debat kalian!" Bahamut meraung dan menggetarkan lantai. "Kalian tidak perlu berdebat. Untuk melewati lorong ini aku sudah menemukan solusinya."
"Heh?! Benarkah?" Aku dan Alisha terperanjat kagum. "Bagaimana caranya?"
"Kalian harus masuk ke dalam perutku," ujarnya datar, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun di wajahnya.
"Hoi! Jangan bercanda! Aku sudah menduga kau adalah musuh dalam selimut! Dasar tupai bersisik!" Aku berteriak sembari mencegah Alisha untuk bergerak maju. "Oi! Alisha! Apa yang kau lakukan?"
"Aku ingin melihat bagaimana isi perut naga!" serunya dengan mata yang berbinar – binar.
"Dasar maniak ilmu pengetahuan! Ketahui batasmu!"
"Hoi! Dasar bocah tengik!" sanggah Bahamut, raungannya keras menggema. "Sudah kubilang aku tidak akan pernah memakan kalian! Yang aku maksud, kalian harus berada di dalam perutku saja. Karena bagi ras naga, perut adalah bagian yang paling memiliki perlindungan terkuat dari segala serangan."
"Nah 'kan! Kau membuat kalimat manis seperti madu untuk memancing kami masuk ke dalam perutmu! Hei Alisha!" Aku menarik Alisha yang tengah memanjat tubuh Bahamut. "Hentikan uey!"
"Dasar! Memang kebodohanmu sudah akut sekali, Rahl." Bahamut mendesah lalu tiba – tiba saja tubuhku dikelilingi oleh barrier bulat yang menutupi ke segala arah. "Itu adalah pelindung yang akan kalian pakai saat berada di perutku. Dengan begitu, kalian akan aman dan tetap bisa berkomunikasi satu sama lain."
Ahhhhhhhh! Astaga! Hal memalukan apa lagi yang telah aku lakukan! Meragukan pertemananku dengan Bahamut hanya karena salah paham maksud dia sebenarnya!
"Tidak perlu khawatir dan malu, Rahl. Aku mengerti kalau kebodohanmu memang sudah di luar batas pengobatan," ujar Bahamut penuh rasa kasihan.
"Tunggu! Bagaimana kau tahu apa yang kupikirkan?"
"Tentu saja karena aku bisa membaca pikiranmu."
"Eh ... Ehhhhhhhh! Berarti selama ini!" Aku terduduk dalam rasa malu yang jauh lebih besar dari pada memakai sempak di kepala.
"Sudah sudah. Berhenti bercanda kalian berdua." Alisha datang dan menarikku berdiri. Kemudian ia mengacungkan telunjuknya ke arah Bahamut. "Kamu juga, Bahamut. Sudah cukup menggoda Rahl. Dia paling tidak kuat kalau diperlakukan seperti itu."
Naga hitam itu merendahkan kepalanya dekat dengan Alisha.
"Maaf, Alisha. Aku sudah keterusan."
Alisha mengambil napas panjang. "Aku memaafkanmu. Baiklah. Sekarang tunjukkan apa yang kamu maksud sebenarnya, Bahamut."
Bahamut kembali menaikkan kepalanya lalu bergerak menuju pintu gerbang itu. Ia masuk ke dalamnya, diam sejenak dan kembali keluar dengan selamat.
"Lihat?" ujar Bahamut. "Tubuhku memiliki resistensi yang cukup agar tidak terurai dalam tekanan energi yang ada di dalamnya."
"Hebat! Kamu hebat, Bahamut!" Alisha melompat – lompat kegirangan.
Sementara aku hanya bisa kembali duduk di lantai dengan segudang penyesalan.
"Rahl. Aku hanya bercanda," kata Bahamut, ia mengangkatku dengan jemari ke depan wajahnya. "Kau dan aku rekan seperjuangan. Hal sepele seperti itu tidak akan mampu merusak hubungan kita selama ini."
Ucapan Bahamut itu bagaikan embusan angin sepoi di tengah panasnya kemarau. Sungguh membuatku terharu dan terkagum.
"Maafkan aku juga, Bahamut. Aku harusnya tidak terburu – buru membuat kesimpulan."
Tiba – tiba suara aneh keluar dan menggetarkan ruangan.
"Jangan tertawa tiba – tiba, Bahamut!" seruku. "Suaramu bisa meruntuhkan Babylon Tower!"
Seketika ia berhenti tertawa dan menatapku dengan kedua bola mata yang besar.
"Jika memang seperti itu, pasti kita sudah bermain di luar sekarang, Rahl."
Aku sempat kebingungan dengan arti ucapannya. Tak sempat aku berpikir, ia menurunkanku ke samping Alisha. Kemudian menatap kami dari dekat.
"Namun ada hal yang harus kalian lakukan terlebih dahulu."
Aku tambah bingung mendengar nada serius yang dikeluarkan Bahamut.
"Apa yang harus kami lakukan?"
Bahamut mengangkat kepalanya tinggi.
"Kalian harus berlatih menjadi lebih kuat dan bertarung melawanku." Makhluk besar itu melipat kaki depannya di dada, seperti manusia yang sedang melipat tangannya.
"Melawanmu? Kami melawan naga terkuat di dunia?" ucapku, semakin bingung dan gentar.
Bahamut mengangguk. "Ya. Itu syarat untuk membuktikan bahwa tubuh kalian akan baik – baik saja saat sedang melewati lorong ini. Aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian jika tubuh kalian lemah seperti kutu air."
Perkataannya memang rasional. Jika seperti ini, kami bisa terbunuh walau berhasil keluar dari Babylon Tower. Menguasai apa yang telah kami miliki dan meningkatkannya sampai ke batas maksimal adalah satu – satunya cara untuk bertahan hidup.
Aku menepuk pipi dan berkata dengan yakin.
"Baiklah. Beri aku pelatihannya, Bahamut."
"Dan jangan menyesal nanti, Bahamut," sambung Alisha, membakar semangatnya. "Kami pasti bisa mengalahkanmu!"
"Haha! Bagus. Kalau begitu bersiaplah. Jika tidak berhati – hati, kalian bisa mati." Tatapannya menjadi sangat serius dan mendominasi.
Kami akan memulai pelatihan keras yang telah dipersiapkan Bahamut. Membulatkan tekad, mengurungkan keluhan dan mempersiapkan diri akan skenario terburuk. Itu semua demi bisa keluar dengan selamat dari penjara yang telah mengunci kami dari realita.
~000~
"Selanjutnya, Chapter 19 : Versus Bahamut!"