Yang paling menarik perhatianku adalah tiga tumpukan kertas yang ada di dekatnya. Ditulis tangan dan cukup rapi untuk sebuah novel. Tentu saja itu bukan novel. Melainkan laporan yang ditulis oleh Alisha sendiri.
Pada lembar teratas di tiap tumpukan, ada judul besar yang dilingkari oleh tinta merah. Bulan, Gift, dan Ruang Bawah Tanah.
Tumpukan pertama memaparkan tentang bulan. Aku ingin membaca laporan ini, hanya saja ketebalannya sudah seperti buku kamus.
Yang kedua juga tak kalah tebalnya. Judulnya adalah Gift. Aku sedikit mengerti jika ini memang harus diselidiki. Namun apa hubungannya dengan Regifter? Buku yang sempat aku berikan padanya sewaktu mencari tahu keberadaan Mahfuzi dan Tujuh Pahlawan.
Dan yang ketiga ... aku tidak mengerti. Apa maksudnya ruang bawah tanah? Terkadang Alisha menggunakan diksi yang sederhana namun tidak bisa kumengerti. Di dalam Babylon Tower, aku bahkan tidak bisa menentukan apa itu definisi ruang. Bagaimana tidak? Semuanya—termasuk dinding dan lantai bisa bergerak dan berubah seolah benar – benar hidup.
"Oke. Dari mana aku harus mulai membacanya?" Dahiku berkerut, menentukan bagian mana untuk dibaca lebih dahulu sangat sulit. Mengingat semua bagian sama banyaknya.
"Rahl...." Lembutnya suara itu mengalihkan pandanganku.
Alisha sudah bangun. Ia sedikit menguap lalu merenggangkan badannya.
"Sudah kamu baca belum?" ujarnya dengan mata yang sayup.
"Belum. Lagian, lebih baik kamu yang menjelaskannya, Alisha. Ini ... terlalu banyak."
Wajah kantuknya cemberut seketika.
"Dasar pemalas," tandasnya. Ia lekas mengambil alih tumpukan kertas itu ke hadapannya.
Alisha pun memasang kacamatanya dan berdehem sekali.
"Pertama adalah bulan. Rahl, Bagaimana pendapatmu tentang bulan yang terlihat di Earsya?"
"Bukannya sudah keroak? Hanya sekitar 3/5 dari bulan yang tersisa."
"Benar." Alisha turun dari ranjang lalu mengambil Regifter yang ada di lantai. Ia kembali duduk manis dan menunjukkannya padaku. "Namun, di dalam buku Regifter diketahui bahwa bulan telah hancur total."
Aku sempat terperanjat. Tetapi, apa yang Alisha bicarakan sudah jelas mana yang benar dan mana yang keliru.
"Bulan hancur total? Tidak masuk akal, Alisha. Faktanya malah membantah informasi yang ada di dalam buku tersebut."
"Benar." Alisha mengangguk. "Sekarang kita membahas yang selanjutnya yakni tentang Gift. Apa pendapatmu tentang Gift yang diperoleh oleh manusia?"
Tatapannya yang serius itu membuatku tidak bisa bercanda.
"Bukannya Gift semacam dampak geometris dari penyatuan dua dunia? Ibarat proses selektif yang terjadi secara alamiah. Yang tidak sanggup akan mati dan yang bertahan akan memperoleh Gift."
"Kamu dan aku tahu bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Namun, jika Gift adalah benar dari dampak geometris penyatuan dua dunia, mengapa ada orang – orang yang tidak memiliki Gift seperti dirimu, Rahl?"
Ucapannya berhasil meraih rasa penasaranku.
"Jadi, menurutmu Gift itu bukan dampak geometris? Lagian, bukannya aku memiliki gift? Void syndrome."
"Void syndrome sudah jelas bukan gift. Karena penggunaannya terbatas pada lingkungan, bukan pada penggunanya."
Benar juga. Mau dilihat bagaimana pun, kekuatan yang kumiliki tersebut sama sekali tidak akan berguna untuk masyarakat ataupun menghasilkan uang. Malah seperti sebuah kegagalan.
"Jika Gift bukan berasal dari dampak geometris, apa itu artinya bahwa Gift bisa didapatkan oleh manusia?" Aku berdalih.
Mendengar ucapanku, Alisha tersenyum dan membuka buku Regifter yang ada di genggamannya.
"Banyak teori yang lain, namun satu – satunya yang memiliki petunjuk kuat tentang Gift ada di dalam buku ini."
Aku menilik ke dalam lembaran yang dibuka oleh Alisha. Bagaimanapun juga, aku tetap tidak bisa membacanya.
"Lalu apa isinya?"
"...Gift diberikan oleh seseorang."
Aku terperanjat kaget.
"Itu tidak mungkin terjadi Alisha. Kalau memang ada orangnya, maka siapa dia?"
"...Ahma Hakim. Seorang pemberontak yang menyatukan dunia."
"Tunggu dulu. Bukankah orang yang menyatukan dunia adalah Grandorus? Lagian, aku tidak pernah mendengar nama Ahma Hakim sekalipun. Bahkan dalam tesis yang kamu buat juga tidak melibatkan namanya. Jika dia memang sosok yang begitu penting, mengapa rekam jejaknya tidak pernah ada?"
Alisha kembali tersenyum mendengar bantahanku.
"Bagaimana jika ini adalah kebenaran yang disembunyikan? Bagaimana jika rekam jejaknya dibuat seolah tidak pernah ada?"
Nada ucapan Alisha terdengar sangat serius. Sorot matanya juga tidak bergeming.
"Tunggu dulu, Alisha." Aku mencoba menurunkan tensi, kemudian mengingat sesuatu yang terlewatkan di awal. "Apa kamu ingat di mana letak buku ini berasal?"
"Pada rak mitos," jawabnya cepat.
Aku langsung menghela napas panjang. Kemudian merileksasi otot yang sempat menegang.
"Jadi, kamu percaya pada buku yang ditaruh pada rak mitos ini?"
Dahi Alisha berkerut. Ia terdiam sesaat.
"Walau demikian, aku tidak menganggap ini sebagai bagian dari mitos semesta, Rahl."
Alisha masih kokoh pada pendapatnya. Tetapi, dari pada berargumen benar tidaknya masalah ini, lebih baik aku mengganti topiknya saja.
"Jadi bagaimana dengan yang ketiga?" tanyaku sambil memegang lembaran teratas dari tumpukan yang ketiga.
Alisha bungkam—enggan menjawab. Tampaknya perbedaan pandangan terhadap 'kebenaran lain' yang dia maksud itu membuatnya sedikit kesal.
"Jadi apa yang kamu maksud dengan ruang bawah itu?" tanyaku sekali lagi.
Ia sedikit menggeram dan mengalihkan pandangannya. Hingga ia pun menyerah pada kesenyapan yang terjadi.
"Tempat pertarungan yang mungkin bisa membuat kita menang melawan Bahamut."
"Itu mustahil." Aku langsung membantingkan tubuhku ke ranjang. "Bagaimana mungkin kita mengalahkan Bahamut? Tempat pertarungan yang baru tidak akan mempengaruhi perbedaan kekuatan kita yang terlampau jauh, Alisha."
"Aku yakin kita bisa menang, Rahl."
"Berapa persen?"
"20%."
Aku langsung terduduk saat mendengarnya. 20% itu angka yang tinggi untuk melawan makhluk kolosal yang nyaris tanpa kelemahan.
"Di mana tempatnya?" tanyaku pada Alisha yang sudah tersenyum yakin.
***
"Dewi yang memiliki enam sayap, turunlah dari langit yang berlapis – lapis. Dengan bentangan sayapmu, lindungilah diri ini dari semua musuhku! Aku memanggilmu, Rosales!"
Seusai Alisha berucap, bulir – bulir cahaya muncul dengan masif dan sangat cepat memenuhi udara. Bulir – bulir itu memadat dan melepaskan kemilau cahaya yang membutakan mata.
Dalam redup kemilaunya, sesosok wanita yang amat jelita turun dari kehampaan. Gaun putih yang dihiasi kemilau bintang menghadirkan nuansa keagungan. Saat Rosales mengepakkan sayapnya, angin pun bergerak ke seluruh penjuru sembari menebarkan aroma kasturi.
Meskipun sudah beberapa kali melihatnya, mataku tetap tidak terbiasa dengan pesona Rosales. Kata – kata pujian tidak akan pernah cukup untuk menggambarkannya.
"Rahl? Apalagi yang kamu tunggu?" ujar Alisha yang telah berada dalam naungan sayap sang dewi.
Aku mendekati Alisha tanpa memberikan komentar.
Sebelumnya, tempat aku berpijak saat ini terletak di tengah dari Babylon Tower yang amat luas. Lalu tepat di sebelahnya adalah lubang yang menjadi pembatas antara timur dan barat, utara dan selatan. Sebagai sekat yang tidak bisa dilewati tanpa kemampuan untuk terbang.
Jika ingin pergi ke seberang, maka lebih baik memutarinya walau jaraknya amat sangat jauh. Tentu itu bukan pilihan. Bagi manusia yang mudah tersesat seperti diriku, keseluruhan tempat ini adalah labirin yang akan menjebakku selamanya.
Tetapi, tempat yang kami tuju nantinya adalah dasar dari lubang tersebut. Sangat dalam dan pekat. Tidak ada sedikit pun cahaya yang menembus dasarnya.
"Sudah siap, Rahl?"
Aku mengangguk.
Setelah memastikan diri, kami berdua berpegangan erat pada kedua lengan Rosales. Alisha memberikan perintah pada sang dewi untuk terjun bebas ke dalamnya. Dalam sekali kepakan sayapnya, Rosales melesat turun ke dalam lubang yang hitam.
Aku tidak bisa melihat apa pun. Hanya mampu merasakan derasnya angin yang menerpa wajah. Kegelapan ini seolah menelanku dalam mulutnya. Pengap dan begitu menyesakkan dada.
Ketika Rosales tiba di dasarnya, aku berhasil bernapas lega. Sensasi jetcoaster dalam kegelapan panjang tidak akan pernah ingin kurasakan kembali.
"Terima kasih, Rosales," ujar sang gadis.
Saat Alisha menyentuh jemari Rosales, sekejap sang dewi bertransformasi menjadi bulir cahaya yang menerangi kegelapan di dasar sekat ini.
Bulir – bulir cahaya masih mengambang di udara, seolah ingin membantu kami walau dia telah kembali.
"Jadi di mana letaknya, Alisha?" Aku berdiri dan membiasakan mata dengan pencahayaan yang terbatas.
Ruangan ini tidak gelap namun tak juga terang. Seiring waktu berlalu, maka kegelapan akan kembali menyergap.
"Tidak jauh." Alisha berjalan mendekat. Telunjuknya mengarah pada sebuah gemerlap cahaya terang yang ada di depan. "Setelah berjalan lurus ke sana kita akan sampai."
Aku mengkuti Alisha yang telah berjalan lebih dahulu. Gema langkah kaki yang saling bersahutan membuatku yakin akan satu hal. Hanya ada kami berdua di dalam sini. Tidak ada monster ataupun sesuatu seperti Marduk.
Di penghujung jalannya, terdapat pintu gerbang yang sedikit terbuka. Cahaya itu berasal dari balik pintunya yang kokoh. Alisha masuk melalui celah sempit dengan tubuhnya yang langsing. Sementara aku cukup kesulitan. Tentu bukan karena buncit, tapi massa tubuhku yang mulai bertambah.
Saat masuk ke dalamnya, mataku butuh waktu untuk menyesuaikan cahaya kembali. Aku terbelalak, takjub pada pemandangan yang tidak asing.
Lantainya amat berpasir. Luas dan kering. Aku dapati bangunan yang terbuat dari bebatuan solid melingkari seisi ruangan. Konstruksinya seperti bangku penonton bertingkat di stadion sepak bola. Dinding – dindingnya memiliki ukiran binatang, manusia, dan pohon. Menambah kesan mistis yang membuat bulu kudukku merinding.
Sepasang patung raksasa berdiri tegak memegang tombak dan perisai di bagian timur dan baratnya, bagaikan gapura penyambutan untuk mereka yang akan datang ke luasnya lapangan berpasir.
Tinggi di atasnya terdapat sebuah bola cahaya yang menerangi tempat ini. Sinarnya terasa hangat layaknya matahari. Teriknya cukup untuk menguapkan tetesan air dalam hitungan detik. Tidak ada tanda – tanda kalau ia akan berhenti memancarkan sinarnya. Seolah malam tidak akan pernah tiba untuk selamanya.
"Ini Colosseum, 'kan?" Aku bertanya pada wanita yang ada di sampingku.
"Benar. Tempat ini akan jadi arena pertarungan kita."
"Lalu apa yang membuat arena ini akan menguntungkan kita?"
Alisha menatapku penuh dengan senyuman licik.
"Apa kamu tidak merasakannya, Rahl? Ada sebuah kejanggalan di sini. Aku tidak bisa melihatnya, tapi intuisi berkata demikian."
Saat Alisha mengungkitnya, memang benar ada keanehan yang kurasakan sejak menginjakkan kaki ke dalamnya. Aku mencoba mengatur napas dan memfokuskan diri pada sorot mata.
Perlahan, koloseum yang terang benderang itu mulai tampak gelap di mataku. Patung – patung yang indah pun retak. Begitu pula dinding dan bangku penontong yang ada di sekelilingnya.
Aku juga memfokuskan pendengaran. Terdapat suara bising yang memekikkan telinga. Suara itu seperti radio rusak yang disetel dalam volume yang tinggi. Aku nyaris terjerembab ke lantai. Beruntung, Alisha menahanku berdiri.
Sekali lagi, Aku mencoba memfokuskan pandangan walau kebisingan tetap membuatku kehilangan keseimbangan.
Aku melihatnya. Sebuah kejanggalan yang tidak masuk akal.
"Alisha, bagaimana kondisi patungnya?"
"Tidak ada yang berubah."
"Yang aku lihat ... semuanya kacau balau."
Benar – benar kacau. Ada retakan hitam yang memisahkan bagian – bagian dunia. Seperti bagian puzzle yang tidak menyatu satu sama lain. Namun, sesuatu berwarna hitam seolah bertindak sebagai sekat yang melekat kuat.
Sesuatu yang gelap itu memiliki beragam bentuk dan ukurannya. Ada yang seperti retakan kaca, pusaran air, hingga sarang laba – laba.
Ketika aku bertanya pada Alisha tentang kondisi patungnya, semata – mata untuk memastikan dan meyakinkan diriku. Karena amat sulit untuk menerima sebuah fakta yang hanya bisa dimengerti sendiri.
Astaga ... dunia macam apa yang kulihat sebenarnya?
Aku menarik napas. Memperhatikan sekeliling dan menatap Alisha di akhir.
"Sepertinya dugaanmu benar, Alisha. Di sini ada retakan dimensi. Mungkin void syndrome dapat kugunakan."
"Mengapa tidak kamu coba gunakan, Rahl?" Alisha mengelus dagunya, sedang memikirkan sesuatu.
"Itu yang akan kulakukan, Alisha."
Aku langsung berjalan pelan ke retakan dimensi yang terdekat. Saat jemariku menyentuhnya, dunia seketika menjadi kelabu. Kebisingan yang menyerangku berhenti. Terik dari miniatur matahari juga menghilang. Dunia menjadi sunyi.
"Alisha, Bagaimana menurutmu? Apa—"
Aku terkejut ketika menoleh kepadanya.
Alisha tidak bergerak. Bibirnya membeku. Matanya tidak berkedip.
Aku sempat panik. Kemudian berlari ke arahnya dan menyentuhnya.
Tangannya tidak panas, tidak juga dingin. Seolah kalor di dalam tubuhnya direnggut oleh sesuatu. Bukan. Dia bahkan tidak bernapas sama sekali.
Beragam spekulasi langsung berembuk di dalam kepalaku. Hingga bermuara pada sebuah kesimpulan yang mendekati kebenaran.
Waktu telah berhenti. Lebih tepatnya, aku berada di dalam zona yang tidak dipengaruhi oleh waktu. Tapi bagaimana mungkin? Waktu harusnya hak prerogratif Sang Maha Kuasa. Manusia sepertiku tidak akan mampu mengendalikannya.
Tunggu dulu. Bagaimana jika ini—dunia inilah kebenaran yang sebenarnya?
Kengerian menyusup ke dalam batinku. Aku langsung menggelengkan kepala untuk melupakan hal mengerikan yang pernah terbayangkan.
"Hoi Alisha! Hoi! Hoi!"
Aku terus memanggilnya. Namun tak sekalipun ia menjawab panggilanku.
Aku mencoba menggerak – gerakkan tubuhnya. Sungguh tidak disangka, tubuh Alisha menjadi sangat ringan. Bahkan lebih ringan dari sebuah balon. Bukan. Ini bagaikan seluruh massa tubuhnya juga ikut menghilang.
Aku masih ragu dengan teori ini. Sebabnya, aku berlari ke arah patung yang ada di sana dan mencoba mengangkatnya. Hasilnya, bahkan dengan hidung, aku bisa mengangkatnya. Lalu aku meletakkannya kembali.
Mungkin teoriku benar. Seluruh benda yang ada di dalam dunia kelabu tidak bermassa. Namun sekali lagi, ini sesuatu yang tidak masuk akal.
Aku menghela napas panjang dan memijat kening. Isi kepalaku mencoba menyusun rapi masalah yang baru saja kutemui.
Yang kutahu, setiap kekuatan besar, pasti ada resiko yang besar pula. Tetapi, aku tidak mendapatkan resiko tersebut.
Selagi jatuh dalam pikiran, telingaku mulai mendengarkan kebisingan, dunia kelabu memudar dan warna pun kembali. Dalam waktu yang singkat, semua telah kembali seperti sedia kala.
Menyadari hal itu, aku berjalan menghampiri Alisha. Mendadak tubuhku terjerembab ke tanah berpasir. Sangat lemas dan nyaris tidak bisa membuka mulut.
Ah ... jadi ini salah satu resiko yang aku dapatkan dari menggunakan void syndrome. Terlalu mengerikan. Ini masih mencoba menyentuh retakan dimensi saja. Belum mencoba masuk ke dalam retakan dimensi seperti yang Tir lakukan kepadaku sebelumnya.
"Rahl! Rahl!" Alisha memanggil namaku. Aku melihatnya lari tergesa – gesa. Ia menepuk – nepuk pipiku dengan raut yang penuh kekhawatiran.
Aku tidak ingin dia mengkhawatirkanku lagi. Karenanya, aku berusaha sekuat tenaga untuk menganggat jemari kananku dan mengacungkan jempol.
Saat Alisha melihatnya, ia langsung tersenyum.
"Dasar bodoh!" Alisha tertawa dengan wajah yang tidak lagi dipenuhi kekhawatiran.
Aku hanya bisa diam sembari menunggu tenagaku pulih. Alisha juga duduk tenang di sebelahku. Terkadang, ia mengajakku ngobrol tentang makanan dan minuman yang disukainya.
Perlahan, aku pun bisa mengeluarkan suara. Mulai dapat duduk dan berbicara dengan lancar kembali.
Aku langsung menceritakan pengalaman yang baru saja kudapatkan. Tentu, raut terkejut Alisha sudah bisa kutebak. Namun senyuman Alisha yang penuh percaya diri selalu membuatku berdebar – debar.
"Dengan begini, persentase kemenangan kita naik hingga 45%." Senyuman Alisha semakin terlihat percaya diri. "Kalau begitu, kamu harus mulai berlatih di sini, Rahl."
"Bagaimana dengan latihan Bahamut?"
"Aku yang akan menyampaikannya. Jika dia melihat latihanmu, maka kita tidak akan bisa membuatnya lengah. Kamu hanya perlu fokus untuk menguasai void syndrome. Kita berdua akan menguak potensi dari kekuatan yang kamu miliki, Rahl."
Perkataan Alisha membuatku menjadi sangat tenang. Sampai – sampai membuatku semakin yakin.
"Baiklah," sahutku.
Alisha langsung berdiri dan membersihkan pasir yang hinggap di pakaiannya.
"Untuk porsi latihannya akan kususun setelah kita berhasil memastikan batasan yang void syndrome miliki. Untuk itu ..."
Alisha menjelaskan beberapa hal yang cukup sulit kupahami. Namun sepertinya itu hal yang sangat hebat.
Tak lama setelahnya, Alisha memanggil Rosales dan terbang untuk menemui Bahamut. Meninggalkanku sendiri di tengah – tengah koloseum. Sunyi, memang. Tetapi, kesunyian ini akan membuatku lebih mudah fokus. Berpegang teguh pada rencana Alisha, semua pasti baik – baik saja.
Hari hari latihan mandiri pun berlangsung. Meski tidak semenyakitkan saat berlatih dengan Bahamut, tetapi kali ini aku merasa sangat kelelahan. Wajar saja, aku harus menggunakan tubuh dan isi kepala secara maksimal. Tidak ada waktu yang boleh terbuang percuma. Tidak boleh ada keringat yang jatuh sia – sia.
...Masa itu, seandainya saja aku mengerti kekuatanku secara penuh ... mungkin tidak akan berakhir seperti ini.